24 Jun 2022

Prolog Buku "Air Mati Perikanan"

Kemajuan atau kah Kemunduran Pendekatan?
M. Nawir
“di atas kelompok teori kita membangun mazhab; di atas kelompok nilai kita membangun budaya”[1]

Berbeda dengan tulisan Idham pada buku sebelumnya, problematika perikanan budi daya, khususnya pertambakan kali ini dihadirkan secara faktual disertai data, argumentasi dan gagasan alternatif pendekatannya. Buku sebelumnya, Perikanan atau Perikiri (2021) semacam antitesis yang menegaskan sudut pandang (point of view) Idham dalam kancah pemberdayaan perikanan budi daya bahwa “sisi tersembunyi sama pentingnya dengan sisi yang mengemuka”, yakni perikiri. Idham menegaskan problem dasar petambak adalah ketimpangan penguasaan lahan, dan karena itu dia berasumsi bahwa jalan reforma agraria adalah solusinya.

Beberapa tulisan dalam Gurendelan Peristiwa #2: Corona dan Kebangsa(t)an (2022) mencerminkan perspektif ekologi-sosial dalam memahami visi global pembangunan berkelanjutan. Secara tersirat, Idham hendak mensitesa pemikiran radikal para ecologist dan environmentalist bahwa determinasi sains dalam proyek eksploitasi sumber daya alam berujung pada krisis, bencana ekologis seperti pandemi corona. Sebagai alternatifnya, Idham membuka “jalan sunyi”, yang sesungguhnya tidak populer di kalangan ahli dan praktisi proyek perikanan, yakni merevitalisasi makna budaya (culture) dalam aquaculture. Dia meminjam istilah “arus balik”[2] budaya ekologis sebagai landasan kerja pendampingan petambak.

Dalam buku keempat ini, Idham memandu pembaca untuk memasuki kenyataan – sebagaimana judulnya “Air Mati Perikanan” – membawa pembaca lebih dekat dengan permasalahan aktual budi daya perikanan dengan berbagai siasat mengatasinya. Dia menverifikasi pengalaman pahit petambak dengan metode falsifikasi[3]. Pembaca diajak berefleksi dengan pertanyaan pembuka “kemajuan atau kah kemunduran perikanan?”.

Dengan meminjam cara berpikir falsifikasi, Idham bernegasi bahwa praktik pengembangan sektor perikanan budi daya, khususnya tambak udang memang sudah “salah sejak dalam pikiran”[4]. Dalam pengertian ini, permasalahan pokok dalam budi daya tambak menjadi titik tolak untuk menilai suatu kebenaran otoritatif beserta pendekatan yang main-stream. Artinya, asumsi dan kategori suatu desain proyek sudah semakin jauh dari kenyataan yang dialami petambak. Resep-resep yang ditawarkan para ahli tidak selalu mujarab, justru banyak menimbulkan sikap apatis dan pragmatisme. Proyek uji coba dan percontohan seperti Minapolitan, sertifikasi ala CBIB, tidak menjamin menjamin keberlanjutan sistem budi daya petambak. Terhadap situasi ini, Idham  mengajukan semacam premis bahwa modernisasi perikanan budi daya semakin utopis.

Meski terkesan lagi kasmaran dengan perspektif ekologi budaya, catatan-catatan kritis Idham merupakan refleksi terhadap arus-utama pendekatan dan desain proyek di sektor perikanan budi daya. Seperti dalam “Pengetahuan yang Mengakar”, Idham menelusuri riwayat (story) kehidupan petambak di Berau, menggali kebiasaan dan pengetahuan lokal, yang tenggelam atau pun terabaikan oleh jargon produktivitas.

Rekonstruksi Pengalaman Lapang

Deskripsi tentang linimasa perikanan tambak dan degradasi hutan bakau (mangrove) seperti pada tulisan Latonro, Potret Manusia Sungai yang Mengubah dan Beradaptasi dengan Sungai menunjukkan bahwa masalah permanen para petambak dewasa ini selain benih adalah ketiadaan kontrol mereka terhadap kualitas lingkungan hidup, termasuk kepemilikan lahan sebagaimana terungkap dalam buku sebelumnya.

Pengalaman lapang selama enam tahun terakhir (2016-2021) mengenai benih unggul kurang lebih sama dengan kejadian yang dialami petani sawah sejak era Revolusi Hijau; Bila gagal mengatasi hama dan penyakit, solusinya dengan penetrasi benih baru, yang sebenarnya dapat diprediksi akan menimbulkan hama dan penyakit baru, serta tantangan baru pula. Semisal peralihan dari benih udang Windu[5] (1997-2000) ke Vannamei alias “Udang Putih” (2001-2004). Pemerintah melegalkan, dan perusahaan mengintroduksi benih ini ke lahan-lahan tambak. Petambak pun merasakan keunggulannya. Namun, euforia keberhasilan ini berlangsung sekitar 2 tahun, setelah itu daya sintas Vannamei antara 10-20% saja.

Belum tuntas mencapai target produktivitas udang, tahun 2005 petambak beralih, lebih tepatnya dialihkan oleh kebijakan pengembangan rumput laut (gracilia). Selama empat tahun (2010-2014) petambak menikmati keuntungan dari harga jual rerata Rp 11.000, kemudian menurun Rp 8.000 hingga anjlok pada kisaran Rp 3.000 – Rp 5.000/kg pada tahun 2017. Lagi-lagi ada faktor ekologi yang mempengaruhi kualitas dan produktivitas budi daya rumput laut (Cara Budidaya Ikan yang Baik - CBIB), Sebuah Dilema?).

Pada saat yang sama, perluasan lahan tambak yang dipicu oleh booming Vannamei dibarengi dengan konversi kawasan mangrove secara massif. Pola ini umum terjadi di kawasan budi daya tambak seperti di kabupaten Pinrang dan Maros. Dua contoh kasus menarik mengenai hal ini. Pertama, penebangan mangrove menjadi tambak (Brainstorming Kasus Penebangan Mangrove Tanroe, Pinrang). Kecenderungan masyarakat desa mereklaim bantaran sungai menjadi lahan milik pribadi (sertifikasi) menunjukkan lemahnya otoritas pemerintah setempat dalam mengatur tata guna lahan berdasarkan UU No. 27/2007 jo UU No. 1/2014 dan zonasi mangrove menurut peta RZPWP3K. Idealnya komposisi antara mangrove dengan tambak adalah 4:1 atau 80%:20% dalam kawasan sempadan pantai minimal 100 meter (Perpres 51/2016), dan sempadan sungai 20-50 meter (PP 28/2011).

Kedua, lemahnya perlindungan hukum terhadap lingkungan pesisir juga terjadi di kabupaten Maros. Vegetasi mangrove yang bertambah secara alamiah akibat pendangkalan muara sungai selama 10-15 tahun, justru direklaim oleh warga untuk memperluas lahan tambak dan pemukiman (Analisis Perubahan Garis Pantai Maros, Pembacaan dari Laporan Penelitian Jordan Parenta). Analisis data penelitian ini dengan sendirinya menegasi pendapat Idham mengenai permasalahan kepemilikan lahan para petambak. Ternyata, penguasaan lahan oleh petambak secara tidak terkendali justru menimbulkan dampak menurunnya daya dukung lingkungan hidup di pesisir; Pada gilirannya, berdampak pada kemunduran usaha tambak.

Pertanyaan kritis terhadap kedua contoh kasus di atas adalah sejauhmana advokasi kebijakan yang dilakukan LSM pegiat pendampingan petambak? Advokasi berarti usaha terencana untuk mempengaruhi atau pun mengubah kebijakan pemerintah setempat. Perihal ini, Idham mengadaptasi pendekatan EAA (Ecosystem Approach to Aquaculture) sesuai panduan FAO agar kegiatan budidaya perikanan memperhatikan aspek lingkungan dan sosial. Salah satunya, membangun usaha kolektif (Brotherhood Mangrove Celebes) dengan menggalakkan gerakan konservasi atau pun penanaman kembali mangrove bersama warga, khususnya kelompok pemuda didukung pemerintah setempat (Penanaman Mangrove dalam Semangat Komunal).

Patut diapresiasi bahwa pendekatan pengorganisasian komunitas (bottom up) melibatkan lebih dari 2.000 orang dari 150 komunitas. Selama empat tahun Aquaculture Celebes Community (ACC) menanam lebih dari 200 ribu bibit mangrove di lahan seluas 24 hektar pada 22 desa di Sulawesi Selatan (Melihat Mangrove Sebagai Ruang Kebudayaan). Idham mencatat karya ini sebagai gerakan sosial yang didorong oleh kesadaran dan prinsip: (1) Kesetaraan, melibatkan banyak pihak dari berbagai kalangan seperti pemerintah, tentara, polisi, ormas, pembudidaya, kelompok marjinal, dan mahasiswa; (2) Kepemimpinan lokal, memprioritaskan cara-cara yang sesuai dengan situasi dan konteks lahan atau substrat setempat. Semisal menjadikan keteladanan tokoh masyarakat setempat sebagai panduan aksi; (3) Etos gotong royong, semangat komunal, mengutamakan penghargaan pada kontribusi setiap orang yang ikhlas menanam mangrove untuk kebaikan bersama dunia wal-akhirat.

Pertanyaan selanjutnya, sejauhmana spirit kolektivitas tersebut dapat direplikasi dalam pendampingan petambak? Verifikasi terhadap persoalan ini dinarasikan Idham dalam catatan terbarunya dari kabupaten Berau Kalimantan Timur (Pengetahuan yang Mengakar: Istilah-Istilah Lokal Petambak Kab. Berau).

Dengan merujuk pada subtopik “arus balik budaya ekologis” dalam Corona dan Kebangsa(t)an (2022), Idham merekonstruksi pengalaman lapang petambak di Kampung Tabalar Muara. Dia menggali “pengetahuan dan istilah lokal” petambak sebagai titik berangkat (entry point) kegiatan pendampingan. Tentu saja pendekatan ini tidak lazim dilakukan, bahkan menyimpang dari arus-utama pembangunan sektor perikanan budi daya yang berorientasi pada input teknologi dan target hasil kumulatif.

Dalam pengorganisasian komunitas dikenal sikap etik “jangan menjauhkan gagasanmu dengan pikiran kelompokmu”. Jika terjadi sebaliknya, ada kemungkinan kelompok menjauh dari gagasan program, dan meninggalkan organizer sendirian. Pada saat itulah terjadi kesenjangan, yang berpotensi terjadinya peminggiran (alienasi), bukan proses penyadaran (consientization)[6]. Adagium ini menjadi pegangan bahwa superioritas di antara episteme pengetahuan bukan hanya mengubah kebiasaan, lebih dari itu akan diterima sebagai penaklukan (coercion).

Dari perspektif transformasi budaya[7], penyadaran dipahami sebagai upaya mengelupas pengetahuan instrumental yang menyelimuti kesadaran petambak menjadi “kebiasaan palsu” (naïve conciousness). Pada praktiknya, dimulai dengan merekognisi untuk memulihkan kembali daya sintas pengetahuan petambak. Mencari tahu memori kolektif petambak berkaitan dengan manajemen tradisional petambak, dan mengapa pengetahuan yang mengendap itu tidak membuatnya sintas?

Air Mati, Pengetahuan Ekologis Bugis Rantau

Apakah lahan tanpa air masih disebut tambak atau kolam? Ringkas cerita bertambak merupakan kelanjutan dari tradisi masyarakat agraris. Hasil tambak seperti udang, bandeng, laiknya lauk-pauk melengkapi nasi dan sayuran di atas meja makan petani. Kebiasaan makan para petani mengutamakan nasi (beras) tetapi lauk ikan bisa diganti dengan daging (hewani), sayuran (nabati) bahkan krupuk atau mie instan.

Air dalam tradisi berrtambak merupakan penentu hidup-mati petambak. Kegagalan melakukan pengamatan dan membaca pergerakan air dalam lingkungan tambak akan berakibat fatal. Kemampuan mengamati pergerakan air dipahami sebagai akar pengetahuan petambak Bugis di tanah rantau. Pengetahuan itu menguat sebagai upaya mengadaptasi situasi geografis sungai dan lahan gambut. Salah satu akar pengetahuan yang dimaksud adalah manajemen pasang-surut yang diungkapkan dalam konsep Air Mati.

Dari perspektif transformasi budaya-ekologis, perubahan lingkungan akan membangkitkan variasi budaya sebagai bentuk kemampuan adaptif manusia untuk sintas. Manusia memiliki mekanisme penyesuaian psikologis dalam mempelajari dan memperoleh varian budaya, sehingga dapat meningkatkan kemampuannya dalam merespons kondisi ekologis tertentu (Gangestad dkk., 2006:78).[8] Pengetahuan yang mengakar itu ibarat “jukebox” sudah terprogram untuk memainkan bermacam lagu tergantung pada input. Demikian halnya variasi budaya dibangkitkan (evoked culture) sebagai respon terhadap perubahan lingkungannya.

Dalam konsep Air Mati memuat pengetahuan teknis seperti “menceng”, air bergeser naik hingga delapan tahapan (guris); “soddo ni wae”, ketika air melewati pasang atau surut; “perbani”,  keadaan air tidak mengalami pasang maupun surut. Situasi dimana air sungai/laut fluktuatif disebut sebagai “air gila-gila”. Perangkat pengetahuan sederhana ini menjadi panduan (tools) pengamatan petambak sebagai variasi budaya Bugis rantau.

Masalahnya, persoalan air hari ini bukan lagi terletak pada sifat alamiahnya, melainkan kualitasnya. Pada banyak tempat, air sudah mati betulan, dalam arti tidak lagi menjamin keselamatan dan kemajuan petambak akibat pencemaran lingkungan sekitar tambak dan deforestasi bakau. Sebaliknya mengakibatkan kemunduran dan kegagalan. Terhadap situasi ini, varian-varian budaya lokal seperti pada konsep Air Mati haruslah diterima sebagai upaya merekonstruksi pengetahuan budi daya, membangkitkannya agar petambak terlepas dari beban produktivitas dan instrumen teknis proyek.

Hikmah yang dapat dipetik bahwa pemertahanan budaya dan pengetahuan lokal tidaklah berarti pelepasan ilmu dan teknologi dari desain proyek. Seperti yang diupayakan Idham, vitalisasi pengetahuan lokal justru hendak mengokohkan pondasi proyek pada komunitas yang apatis dan di ambang kemunduran. Diperlukan mentalitas kreatif daripada pengetahuan instrumental.

Pada akhirnya, seorang pembaharu – sebagaimana tulisan penutup buku ini Fasilitator: Seni Mencintai Manusia, cerminan sikap-mentalnya (I dan Me) terletak pada kerelaan untuk menerima dan memberi, mendengarkan dan merespon, mengetahui dan menggerakkan untuk pemajuan kemanusiaan karena manusia adalah pengampu budaya. (Makassar, 31 Mei 2022)


[1] Petikan kalimat Daoed Yoesoef, tokoh pendidikan nasional dalam Pendidikan yang Berkebudayaan: Histori, Konsepsi, dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif (Yudi Latief, 2018:361).

[2] Istilah “arus balik” merujuk pada karya novelis legendaris Pramoedya A. Toer, Arus Balik (1995), berkisah tentang keruntuhan budaya politik maritim di Jawa (Tuban) oleh kolonialisme Portugis Abad XVI. Istilah inipun dijabarkan oleh Hilmar Farid dalam Pidato Kebudayaan DKJ (2014), Arus Balik Kebudayaan: Sejarah sebagai Kritik untuk merevitalisasi spirit pembangunan masyarakat maritim yang sekian lama “memunggungi laut”.

[3] Popper menyatakan bahwa kebenaran suatu ilmu bukan ditentukan melalui pembenaran (verifikasi), melainkan melalui upaya penyangkalan terhadap proposisi yang dibangun oleh ilmu itu sendiri (falsifikasi): https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JFI/article/download/36536/19934. Metodologi falsifikasi Popper memahami permasalahan pada otoritas kebenaran, sebagai patokan untuk menilai kebenaran-kebenaran dan teori terdahulu (Riski dalam Teori Falsifikasi Karl Raymond Poper, 2014).

[4] Frase ini negasi dari petikan dialog tokoh Minke dan Jean Marais dalam Bumi Manusia (1975:77): “Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu."

[5] Udang Windu alias “udang loreng” diklaim sebagai benih asli Indonesia (Asia), sementara udang Vannamei merupakan udang introduksi, habitat aslinya dari perairan Pantai Pasifik Barat Amerika Latin; (https://ternakpedia.com/423/asal-usul-udang-vaname-indonesia/)

[6] Konsep Paulo Freire dalam Pendidikan Popular (Fakih, 1999) mengenai “penyadaran”, suatu proses penumbuhan kesadaran kritis dalam kelompok untuk merangsang pencarian pemecahan masalah berbasis pengetahuan yang mereka miliki (lokal).

[7] Dalam Pemberdayaan Petambak dari Perspektif Perikiri (2021) penulis memahami pendekatan transformasi budaya akan membantu petambak untuk merevitalisasi pengetahuan tradisionalnya, menyambung kembali simpul kekerabatan dan tradisi gotong royong, menegakkan kesepakatan untuk menjaga kelestarian ekosistem tambak. Dalam hal ini Idham meyakini pendekatan budaya merupakan jalan alternatif dalam meneguhkan kembali entitas budaya petambak sebagai masyarakat pesisir.

[8] Evolutionary Foundations of Cultural Variation: Evoked Culture and Mate Preferences https://www.researchgate.net/publication/242665531

Tidak ada komentar:

Posting Komentar