Berbeda dengan tulisan Idham pada buku sebelumnya, problematika perikanan budi daya, khususnya pertambakan kali ini dihadirkan secara faktual disertai data, argumentasi dan gagasan alternatif pendekatannya. Buku sebelumnya, Perikanan atau Perikiri (2021) semacam antitesis yang menegaskan sudut pandang (point of view) Idham dalam kancah pemberdayaan perikanan budi daya bahwa “sisi tersembunyi sama pentingnya dengan sisi yang mengemuka”, yakni perikiri. Idham menegaskan problem dasar petambak adalah ketimpangan penguasaan lahan, dan karena itu dia berasumsi bahwa jalan reforma agraria adalah solusinya.
Beberapa tulisan dalam Gurendelan Peristiwa #2: Corona dan
Kebangsa(t)an (2022) mencerminkan perspektif ekologi-sosial dalam memahami visi
global pembangunan berkelanjutan. Secara tersirat, Idham hendak mensitesa
pemikiran radikal para ecologist dan environmentalist bahwa determinasi sains
dalam proyek eksploitasi sumber daya alam berujung pada krisis, bencana ekologis
seperti pandemi corona. Sebagai alternatifnya, Idham membuka “jalan sunyi”, yang
sesungguhnya tidak populer di kalangan ahli dan praktisi proyek perikanan,
yakni merevitalisasi makna budaya (culture)
dalam aquaculture. Dia meminjam
istilah “arus balik”[2]
budaya ekologis sebagai landasan kerja pendampingan petambak.
Dalam buku keempat ini, Idham memandu pembaca
untuk memasuki kenyataan – sebagaimana judulnya “Air Mati Perikanan” – membawa pembaca
lebih dekat dengan permasalahan aktual budi daya perikanan dengan berbagai
siasat mengatasinya. Dia menverifikasi pengalaman pahit petambak dengan metode
falsifikasi[3]. Pembaca diajak berefleksi
dengan pertanyaan pembuka “kemajuan atau kah kemunduran perikanan?”.
Dengan meminjam cara berpikir falsifikasi,
Idham bernegasi bahwa praktik pengembangan sektor perikanan budi daya,
khususnya tambak udang memang sudah “salah sejak dalam pikiran”[4]. Dalam
pengertian ini, permasalahan pokok dalam budi daya tambak menjadi titik tolak
untuk menilai suatu kebenaran otoritatif beserta pendekatan yang main-stream. Artinya, asumsi dan
kategori suatu desain proyek sudah semakin jauh dari kenyataan yang dialami
petambak. Resep-resep yang ditawarkan para ahli tidak selalu mujarab, justru banyak
menimbulkan sikap apatis dan pragmatisme. Proyek uji coba dan percontohan seperti
Minapolitan, sertifikasi ala CBIB, tidak menjamin menjamin keberlanjutan sistem
budi daya petambak. Terhadap situasi ini, Idham mengajukan semacam premis bahwa modernisasi
perikanan budi daya semakin utopis.
Meski terkesan lagi kasmaran dengan
perspektif ekologi budaya, catatan-catatan kritis Idham merupakan refleksi
terhadap arus-utama pendekatan dan desain proyek di sektor perikanan budi daya.
Seperti dalam “Pengetahuan yang Mengakar”, Idham menelusuri riwayat (story)
kehidupan petambak di Berau, menggali kebiasaan dan pengetahuan lokal, yang
tenggelam atau pun terabaikan oleh jargon produktivitas.
Rekonstruksi
Pengalaman Lapang
Deskripsi tentang linimasa perikanan
tambak dan degradasi hutan bakau (mangrove) seperti pada tulisan Latonro, Potret Manusia Sungai yang Mengubah
dan Beradaptasi dengan Sungai menunjukkan bahwa masalah permanen para
petambak dewasa ini selain benih adalah ketiadaan kontrol mereka terhadap kualitas
lingkungan hidup, termasuk kepemilikan lahan sebagaimana terungkap dalam buku
sebelumnya.
Pengalaman lapang selama enam tahun
terakhir (2016-2021) mengenai benih unggul kurang lebih sama dengan kejadian
yang dialami petani sawah sejak era Revolusi Hijau; Bila gagal mengatasi hama
dan penyakit, solusinya dengan penetrasi benih baru, yang sebenarnya dapat diprediksi
akan menimbulkan hama dan penyakit baru, serta tantangan baru pula. Semisal
peralihan dari benih udang Windu[5]
(1997-2000) ke Vannamei alias “Udang Putih” (2001-2004). Pemerintah melegalkan,
dan perusahaan mengintroduksi benih ini ke lahan-lahan tambak. Petambak pun merasakan
keunggulannya. Namun, euforia keberhasilan ini berlangsung sekitar 2 tahun,
setelah itu daya sintas Vannamei antara 10-20% saja.
Belum tuntas mencapai target
produktivitas udang, tahun 2005 petambak beralih, lebih tepatnya dialihkan oleh
kebijakan pengembangan rumput laut (gracilia).
Selama empat tahun (2010-2014) petambak menikmati keuntungan dari harga jual
rerata Rp 11.000, kemudian menurun Rp 8.000 hingga anjlok pada kisaran Rp 3.000
– Rp 5.000/kg pada tahun 2017. Lagi-lagi ada faktor ekologi yang mempengaruhi
kualitas dan produktivitas budi daya rumput laut (Cara Budidaya Ikan yang Baik - CBIB), Sebuah Dilema?).
Pada saat yang sama, perluasan lahan
tambak yang dipicu oleh booming Vannamei dibarengi dengan konversi kawasan mangrove
secara massif. Pola ini umum terjadi di kawasan budi daya tambak seperti di
kabupaten Pinrang dan Maros. Dua contoh kasus menarik mengenai hal ini.
Pertama, penebangan mangrove menjadi tambak (Brainstorming Kasus Penebangan Mangrove Tanroe, Pinrang). Kecenderungan
masyarakat desa mereklaim bantaran sungai menjadi lahan milik pribadi (sertifikasi)
menunjukkan lemahnya otoritas pemerintah setempat dalam mengatur tata guna
lahan berdasarkan UU No. 27/2007 jo UU No. 1/2014 dan zonasi mangrove menurut
peta RZPWP3K. Idealnya komposisi antara mangrove dengan tambak adalah 4:1 atau
80%:20% dalam kawasan sempadan pantai minimal 100 meter (Perpres 51/2016), dan
sempadan sungai 20-50 meter (PP 28/2011).
Kedua, lemahnya perlindungan hukum terhadap
lingkungan pesisir juga terjadi di kabupaten Maros. Vegetasi mangrove yang
bertambah secara alamiah akibat pendangkalan muara sungai selama 10-15 tahun,
justru direklaim oleh warga untuk memperluas lahan tambak dan pemukiman (Analisis Perubahan Garis Pantai Maros,
Pembacaan dari Laporan Penelitian Jordan Parenta). Analisis data penelitian
ini dengan sendirinya menegasi pendapat Idham mengenai permasalahan kepemilikan
lahan para petambak. Ternyata, penguasaan lahan oleh petambak secara tidak
terkendali justru menimbulkan dampak menurunnya daya dukung lingkungan hidup di
pesisir; Pada gilirannya, berdampak pada kemunduran usaha tambak.
Pertanyaan kritis terhadap kedua contoh
kasus di atas adalah sejauhmana advokasi kebijakan yang dilakukan LSM pegiat
pendampingan petambak? Advokasi berarti usaha terencana untuk mempengaruhi atau
pun mengubah kebijakan pemerintah setempat. Perihal ini, Idham mengadaptasi
pendekatan EAA (Ecosystem Approach to
Aquaculture) sesuai panduan FAO agar kegiatan budidaya perikanan
memperhatikan aspek lingkungan dan sosial. Salah satunya, membangun usaha
kolektif (Brotherhood Mangrove Celebes)
dengan menggalakkan gerakan konservasi atau pun penanaman kembali mangrove bersama
warga, khususnya kelompok pemuda didukung pemerintah setempat (Penanaman Mangrove dalam Semangat Komunal).
Patut diapresiasi bahwa pendekatan
pengorganisasian komunitas (bottom up)
melibatkan lebih dari 2.000 orang dari 150 komunitas. Selama empat tahun Aquaculture Celebes Community (ACC) menanam
lebih dari 200 ribu bibit mangrove di lahan seluas 24 hektar pada 22 desa di
Sulawesi Selatan (Melihat Mangrove
Sebagai Ruang Kebudayaan). Idham mencatat karya ini sebagai gerakan sosial
yang didorong oleh kesadaran dan prinsip: (1) Kesetaraan, melibatkan banyak
pihak dari berbagai kalangan seperti pemerintah, tentara, polisi, ormas,
pembudidaya, kelompok marjinal, dan mahasiswa; (2) Kepemimpinan lokal, memprioritaskan
cara-cara yang sesuai dengan situasi dan konteks lahan atau substrat setempat. Semisal
menjadikan keteladanan tokoh masyarakat setempat sebagai panduan aksi; (3) Etos
gotong royong, semangat komunal, mengutamakan penghargaan pada kontribusi
setiap orang yang ikhlas menanam mangrove untuk kebaikan bersama dunia wal-akhirat.
Pertanyaan selanjutnya, sejauhmana
spirit kolektivitas tersebut dapat direplikasi dalam pendampingan petambak? Verifikasi
terhadap persoalan ini dinarasikan Idham dalam catatan terbarunya dari kabupaten
Berau Kalimantan Timur (Pengetahuan yang
Mengakar: Istilah-Istilah Lokal
Petambak Kab. Berau).
Dengan merujuk pada subtopik “arus balik
budaya ekologis” dalam Corona dan
Kebangsa(t)an (2022), Idham merekonstruksi pengalaman lapang petambak di
Kampung Tabalar Muara. Dia menggali “pengetahuan dan istilah lokal” petambak sebagai
titik berangkat (entry point)
kegiatan pendampingan. Tentu saja pendekatan ini tidak lazim dilakukan, bahkan
menyimpang dari arus-utama pembangunan sektor perikanan budi daya yang
berorientasi pada input teknologi dan target hasil kumulatif.
Dalam pengorganisasian komunitas dikenal
sikap etik “jangan menjauhkan gagasanmu dengan pikiran kelompokmu”. Jika
terjadi sebaliknya, ada kemungkinan kelompok menjauh dari gagasan program, dan
meninggalkan organizer sendirian.
Pada saat itulah terjadi kesenjangan, yang berpotensi terjadinya peminggiran (alienasi),
bukan proses penyadaran (consientization)[6].
Adagium ini menjadi pegangan bahwa superioritas di antara episteme pengetahuan
bukan hanya mengubah kebiasaan, lebih dari itu akan diterima sebagai penaklukan
(coercion).
Dari perspektif transformasi budaya[7],
penyadaran dipahami sebagai upaya mengelupas pengetahuan instrumental yang
menyelimuti kesadaran petambak menjadi “kebiasaan palsu” (naïve conciousness). Pada praktiknya, dimulai dengan merekognisi
untuk memulihkan kembali daya sintas pengetahuan petambak. Mencari tahu memori
kolektif petambak berkaitan dengan manajemen tradisional petambak, dan mengapa
pengetahuan yang mengendap itu tidak membuatnya sintas?
Air Mati, Pengetahuan Ekologis Bugis Rantau
Apakah lahan tanpa air masih disebut
tambak atau kolam? Ringkas cerita bertambak merupakan kelanjutan dari tradisi
masyarakat agraris. Hasil tambak seperti udang, bandeng, laiknya lauk-pauk melengkapi
nasi dan sayuran di atas meja makan petani. Kebiasaan makan para petani
mengutamakan nasi (beras) tetapi lauk ikan bisa diganti dengan daging (hewani),
sayuran (nabati) bahkan krupuk atau mie instan.
Air dalam tradisi berrtambak merupakan
penentu hidup-mati petambak. Kegagalan melakukan pengamatan dan membaca
pergerakan air dalam lingkungan tambak akan berakibat fatal. Kemampuan
mengamati pergerakan air dipahami sebagai akar pengetahuan petambak Bugis di
tanah rantau. Pengetahuan itu menguat sebagai upaya mengadaptasi situasi
geografis sungai dan lahan gambut. Salah satu akar pengetahuan yang dimaksud
adalah manajemen pasang-surut yang diungkapkan dalam konsep Air Mati.
Dari perspektif transformasi
budaya-ekologis, perubahan lingkungan akan membangkitkan variasi budaya sebagai
bentuk kemampuan adaptif manusia untuk sintas. Manusia memiliki mekanisme
penyesuaian psikologis dalam mempelajari dan memperoleh varian budaya, sehingga
dapat meningkatkan kemampuannya dalam merespons kondisi ekologis tertentu (Gangestad dkk., 2006:78).[8] Pengetahuan
yang mengakar itu ibarat “jukebox” sudah terprogram untuk memainkan bermacam
lagu tergantung pada input. Demikian halnya variasi budaya dibangkitkan (evoked culture) sebagai respon terhadap perubahan
lingkungannya.
Dalam konsep Air Mati memuat pengetahuan
teknis seperti “menceng”, air bergeser naik hingga delapan tahapan (guris);
“soddo ni wae”, ketika air melewati pasang atau surut; “perbani”, keadaan air tidak mengalami pasang maupun
surut. Situasi dimana air sungai/laut fluktuatif disebut sebagai “air
gila-gila”. Perangkat pengetahuan sederhana ini menjadi panduan (tools)
pengamatan petambak sebagai variasi budaya Bugis rantau.
Masalahnya, persoalan air hari ini bukan
lagi terletak pada sifat alamiahnya, melainkan kualitasnya. Pada banyak tempat,
air sudah mati betulan, dalam arti tidak lagi menjamin keselamatan dan kemajuan
petambak akibat pencemaran lingkungan sekitar tambak dan deforestasi bakau.
Sebaliknya mengakibatkan kemunduran dan kegagalan. Terhadap situasi ini,
varian-varian budaya lokal seperti pada konsep Air Mati haruslah diterima
sebagai upaya merekonstruksi pengetahuan budi daya, membangkitkannya agar petambak
terlepas dari beban produktivitas dan instrumen teknis proyek.
Hikmah yang dapat dipetik bahwa pemertahanan
budaya dan pengetahuan lokal tidaklah berarti pelepasan ilmu dan teknologi dari
desain proyek. Seperti yang diupayakan Idham, vitalisasi pengetahuan lokal
justru hendak mengokohkan pondasi proyek pada komunitas yang apatis dan di
ambang kemunduran. Diperlukan mentalitas kreatif daripada pengetahuan
instrumental.
[1] Petikan kalimat Daoed
Yoesoef, tokoh pendidikan nasional dalam Pendidikan
yang Berkebudayaan: Histori, Konsepsi, dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif
(Yudi Latief, 2018:361).
[2] Istilah “arus balik”
merujuk pada karya novelis legendaris Pramoedya A. Toer, Arus Balik (1995), berkisah tentang keruntuhan budaya politik maritim
di Jawa (Tuban) oleh kolonialisme Portugis Abad XVI. Istilah inipun dijabarkan
oleh Hilmar Farid dalam Pidato Kebudayaan DKJ (2014), Arus Balik Kebudayaan: Sejarah sebagai Kritik untuk merevitalisasi
spirit pembangunan masyarakat maritim yang sekian lama “memunggungi laut”.
[3] Popper menyatakan bahwa
kebenaran suatu ilmu bukan ditentukan melalui pembenaran (verifikasi),
melainkan melalui upaya penyangkalan terhadap proposisi yang dibangun oleh ilmu
itu sendiri (falsifikasi): https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JFI/article/download/36536/19934. Metodologi falsifikasi Popper memahami permasalahan
pada otoritas kebenaran, sebagai patokan untuk menilai kebenaran-kebenaran dan
teori terdahulu (Riski dalam Teori
Falsifikasi Karl Raymond Poper, 2014).
[4] Frase ini negasi dari
petikan dialog tokoh Minke dan Jean Marais dalam Bumi Manusia (1975:77): “Seorang terpelajar harus juga belajar
berlaku adil sudah sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan. Itulah memang
arti terpelajar itu."
[5] Udang Windu alias “udang loreng”
diklaim sebagai benih asli Indonesia (Asia), sementara udang Vannamei merupakan
udang introduksi, habitat aslinya dari perairan Pantai Pasifik Barat Amerika
Latin; (https://ternakpedia.com/423/asal-usul-udang-vaname-indonesia/)
[6] Konsep Paulo Freire dalam Pendidikan Popular (Fakih, 1999)
mengenai “penyadaran”, suatu proses penumbuhan kesadaran kritis dalam kelompok
untuk merangsang pencarian pemecahan masalah berbasis pengetahuan yang mereka
miliki (lokal).
[7] Dalam Pemberdayaan Petambak dari Perspektif Perikiri (2021) penulis
memahami pendekatan transformasi budaya akan membantu petambak untuk merevitalisasi
pengetahuan tradisionalnya, menyambung kembali simpul kekerabatan dan tradisi
gotong royong, menegakkan kesepakatan untuk menjaga kelestarian ekosistem
tambak. Dalam hal ini Idham meyakini pendekatan budaya merupakan jalan
alternatif dalam meneguhkan kembali entitas budaya petambak sebagai masyarakat
pesisir.
[8] Evolutionary Foundations of Cultural Variation: Evoked Culture and Mate
Preferences https://www.researchgate.net/publication/242665531
Tidak ada komentar:
Posting Komentar