9 Mei 2025

Mappinawang: Memori Kolektif Aktivis

 
Dalam Jejak dan Kenangan Keluarga dan Sahabat (2025: 229-234)
 
M. Nawir*

Pepatah Melayu lama: Harimau mati meninggalkan belang, Gajah mati meninggalkan gading – dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti orang yang berjasa akan selalu disebut-sebut oleh orang (hidup) walaupun telah pergi selamanya. Orang hidup lazim mengenang orang mati itu dalam sebutan almarhum atau almarhumah, “orang yang dirahmati Allah SWT”.

Mappinawang, pergi meninggalkan nama baik beserta kebaikannya. Secara moral, segala keburukan almarhum semasa hidup telah terhapus karena hal itu merupakan kewajiban kita untuk melupakannya. Baik kelebihan maupun kekurangan almarhum lebur dalam makna pembelajaran (hikmah), teladan kebaikan. Inilah yang dimaksud peribahasa di atas, “jasa baik” almarhum patut dikenang sepanjang masa.

Tulisan ini bermaksud mengawetkan nilai budaya aktivisme dari rekonstruksi pengalaman pribadi untuk memetik hikmah dari suatu konteks peristiwa dan aktor masa lampau. Pada prinsipnya, transmisi budaya merupakan proses keberlanjutan makna dari masa lalu ke masa kini. Oleh karena itu, penulis memaknai pengalaman lampau itu sebagai metode penerusan nilai dan pengetahuan dari senior kepada yunior.

Sebagaimana namanya, Mappinawang berakar dari kata dalam Bahasa Makassar “minawang”, berarti “mengikut”. Minawang itu sendiri adalah konsep kepengikutan dalam kebudayaan Bugis-Makassar. Minawang merupakan cetak dasar pola relasi “patron-klien” masyarakat Sulawesi Selatan[1]. Sehingga dapatlah dikatakan kata “mappinawang” bermakna “orang yang patut diikuti atau panutan”.

Saya mengenal dan berinteraksi dengan almarhum Mappinawang pada dekade 1990-an semasa dia menjabat direktur LBH Makassar jelang Reformasi 1998. Sebelumnya, saya mengenal LBH Makassar melalui almarhumah Zohra Andi Baso, Ketua YLK Sulsel semasa kepemimpinan almarhum Andi Rudyanto Asapa, SH (1992), kemudian Nasiruddin Pasigai, SH (1993-1996). Semasa kepemimpinan Mappinawang inilah saya sering bekerjasama dalam kegiatan advokasi.

Bersama mendiang Hasbi Abdullah, SH, direktur LBH Makassar 2004-2007, saya terlibat dalam Tim Advokasi “Proyek Reklamasi Pantai Losari/Tanjung Bunga”. Mappinawang menjadi koordinator, dan saya diminta kawan-kawan LBH menjadi sekretaris atau lebih pasnya notulis lantaran rajin menulis siaran pers. Kami menyebutnya reklamasi pantai Losari karena pemerintah kota Makassar memberikan izin investor/pengembang PT GMTDC (Gowa Makassar Tourism Development Corporation)[2] membangun jalan penghubung Losari – Barombong sejauh 2 kilometer, yang kini kita kenal Jalan Metro Tanjung Bunga.

Advokasi kasus reklamasi pantai Losari reda bukan oleh represi, tetapi akibat kerusuhan rasial[3] yang dipicu pembunuhan oleh pengidap gangguan jiwa terhadap bocah berusia 9 tahun sepulang mengaji di sekitaran jalan Kumala. Tidak lama berselang, para senior dan aktivis organisasi masyarakat sipil diundang rapat oleh Pangdam Kodam VII Wirabuana Jenderal Agum Gumelar untuk berdialog dengan Pemerintah Daerah dan Pengembang Lippo Group mewakili PT GMTDC.

Ringkas cerita, momen kerja advokasi itu membuat saya semakin mengenal kepribadian almarhum Mappinawang, dan para senior lainnya. Beberapa memori kolektif yang bagi saya sangat berkesan antara lain:

Pertama, Kepada Yth. Andi Mappinawang, SH Direktur LBH Makassar di Tempat. Saya seringkali menyebut atau menulis surat dari YLK Sulsel kepada almarhum seperti itu. Tetapi, almarhum tidak pernah juga mengoreksi sebutan saya itu secara pribadi maupun dalam pertemuan diskusi. Yang saya ingat, almarhum diam atau senyum simpul saja ketika saya menyebutnya “andi”. Saya mengakui, selain pengaruh senioritas berlatar feudal masa itu, saya sungguh menghormati penampilan almarhum di berbagai forum. Penampilannya semi-formal, berbahasa minus hiperbola atau pun sarkastis, dan sering mengambil keputusan secara bijak.

Kedua, Pak Mappi dan Kak Mappi. Demikian saya sering menyapa almarhum Mappinawang. Bagi kolega Lembaga Bantuan Hukum dan aktivis lazim menyapa almarhum Mappi dan Kak Mappi. Penyebutan ini menegaskan sifat dasar kesesamaan sosial (egalitarian), yang bertolak belakang dengan keberbedaan posisi seperti dalam pola relasi majikan-buruh atau ajjoareng-joa. Suatu ciri relasi patronase[4] dalam aktivisme sosial hingga kini.   

Ketiga, Orang Selayar. Lama juga saya baru tahu ternyata Mappinawang orang Selayar. Saya hanya mengira-ngira Mappinawang orang Bugis. Hal ini menjadi kelaziman dalam relasi aktivisme. Dalam interaksi di antara para aktivis, seringkali tidak mempertanyakan identitas kedaerahan atau pun asal-usul etnisitas. Umumya identitas seperti ini hanya dikenali dari logat dan dialek bahasa, kemudian diterima begitu saja. Lebih sering mereka memandang sesama sebagai teman diskusi, dan terutama pada peran-peran aktivisme seperti latar belakang organisasi, dan ideologi perjuangannya, tidak pada posisi dan jabatan.

Keempat, Alumni Unhas. Latar dan strata pendidikan juga bukan merupakan identitas yang diutamakan dalam relasi akrivisme. Satu pengecualian bagi aktivis bantuan hukum atau pengacara seperti Mappinawang, SH sebagai persyaratan tugas-tugas profesional. Umumnya aktivis tidak menuliskan gelar akademik di depan atau belakang nama. Bahkan saya baru tahu dari Pahir Halim, SH mantan Ketua KPID Sulsel bahwa Mappinawang adalah alumni Fakultas Hukum Unhas Angkatan 1982, seletting dengan Prof. Aswanto, SH.MH.

Kelima, Mappinawang dan Adnan Buyung Nasution. Dari Pahir Halim pula saya mengenal karakter dasar almarhum yang rendah hati. Suatu masa pasca menjabat direktur LBH Makassar, Mappinawang diminta oleh Adnan Buyung Nasution ke Jakarta untuk memimpin YLBHI. Namun, tidak lebih dari dua tahun, Mappinawang kembali ke Makassar. Hal ini yang membuat Adnan Buyung penasaran karena Mappinawang terkesan tidak menghargai permintaan seniornya itu. Konon Adnan Buyung menilai Mappinawang cocok memimpin YLBHI karena dinilai berkarakter dan berintegritas pada profesi pembela keadilan di level nasional. Seperti yang diceritakan Pahir, kabarnya Mappinawang tidak betah kerja di Jakarta. Mungkin di benak almarhum, geopolitik Jakarta terlalu kejam bagi para pembela HAM. Dengan kesederhanaan pikiran itu, dia meninggalkan Jakarta dan mendirikan Mappinawang & Partners.

Keenam, Pejuang Perlindungan Anak. Almarhum Mappinawang adalah Dewan Pembina Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan. Di tengah kesibukannya sebagai komisioner KPUD Sulsel, Mappinawang hadir, duduk bersilah, dan berorasi di tengah ratusan anak dari keluarga miskin dalam Perayaan Hari Anak Nasional 2007 di depan Monumen Mandala. Almarhum memberikan semangat kepada keluarga miskin yang tergabung dalam Komite Perjuangan Rakyat Miskin (KPRM) untuk menuntut Hak Anak mendapatkan pendidikan gratis.

Hikmah dari rekonstruksi pengalaman lampau adalah pentingnya mentransmisikan nilai-nilai kebaikan dan keteladanan dari orang-orang yang dirahmati Allah SWT (almarhum): Pertama, mempertautkan pengalaman lampau dalam kehidupan masa kini semakin terasa dibutuhkan untuk merawat nilai dasar aktivisme sosial; Kedua, menarasikan kembali sepak terjang para pendahulu hanyalah satu sisi – lebih dari sekadar mengaktualkan ketokohan adalah cara kita merawat memori kolektif tentang kesetiaan pada misi perjuangan membela kaum tertindas; Ketiga, Mappinawang dan deretan nama sahabat yang telah mendahului kita memberikan pesan bahwa surplus demografi “usia muda” berarti pula defisit “usia tua”.

Makassar, 24 Pebruari 2025

*Penulis adalah alumni FIB Unhas (1987-1994), Pengurus YLK Sulsel (1994–sekarang), Dewan Nasional Walhi Sulsel (1996-1999), Fasilitator KPRM (2002–2014).



[1] Minawang: Hubungan Patron Klien di Sulawesi Selatan, Heddy Shri Ahimsa-Putra, 1988

[2] Didirikan pada tahun 1991. Sejak 1994 Lippo Group merupakan investor utama. Menyambut tren global “Water Front City” (Kota Pantai), pemerintah kota Makassar melakukan pembebasan lahan untuk proyek Tanjung Bunga. Sesuai dengan dokumen AMDAL (1996), pembangunan proyek Tanjung Bunga mencakup wilayah Makassar dan Gowa seluas 5000 Ha. Pemprov Sulsel dan Pemkot Makassar kemudian turut menjadi pemegang saham. https://www.tanjungbunga.com/tentang-kami/, https://www.idnfinancials.com/id/GMTD/PT-Gowa-Makassar-Tourism-Development-Tbk

[4] James Scott (1983) dalam Ahimsa (1988), merinci relasi patronase adalah hubungan normatif yang berbeda dengan hubungan kekerabatan. Norma yang mengatur hubungan patronase bersifat umum, mengandung unsur nilai bahwa seharusnya seseorang menghormati orang yang membantunya, tidak mencederainya. Bahwa hubungan patron klien tidak dimunculkan secara sepihak, melainkan diciptakan bersama sebagai pedoman bekerjasama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar