Pepatah
Melayu lama: Harimau mati meninggalkan belang, Gajah mati meninggalkan
gading – dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti orang yang
berjasa akan selalu disebut-sebut oleh orang (hidup) walaupun telah pergi
selamanya. Orang hidup lazim mengenang orang mati itu dalam sebutan almarhum
atau almarhumah, “orang yang dirahmati Allah SWT”.
Mappinawang,
pergi meninggalkan nama baik beserta kebaikannya. Secara moral, segala
keburukan almarhum semasa hidup telah terhapus karena hal itu merupakan
kewajiban kita untuk melupakannya. Baik kelebihan maupun kekurangan almarhum
lebur dalam makna pembelajaran (hikmah), teladan kebaikan. Inilah yang dimaksud
peribahasa di atas, “jasa baik” almarhum patut dikenang sepanjang masa.
Tulisan ini bermaksud mengawetkan nilai budaya aktivisme dari rekonstruksi pengalaman pribadi untuk memetik hikmah dari suatu konteks peristiwa dan aktor masa lampau. Pada prinsipnya, transmisi budaya merupakan proses keberlanjutan makna dari masa lalu ke masa kini. Oleh karena itu, penulis memaknai pengalaman lampau itu sebagai metode penerusan nilai dan pengetahuan dari senior kepada yunior.
Sebagaimana
namanya, Mappinawang berakar dari kata dalam Bahasa Makassar “minawang”,
berarti “mengikut”. Minawang itu sendiri adalah konsep kepengikutan dalam kebudayaan
Bugis-Makassar. Minawang merupakan cetak dasar pola relasi “patron-klien” masyarakat
Sulawesi Selatan[1].
Sehingga dapatlah dikatakan kata “mappinawang” bermakna “orang yang patut
diikuti atau panutan”.
Saya
mengenal dan berinteraksi dengan almarhum Mappinawang pada dekade 1990-an
semasa dia menjabat direktur LBH Makassar jelang Reformasi 1998. Sebelumnya,
saya mengenal LBH Makassar melalui almarhumah Zohra Andi Baso, Ketua YLK Sulsel
semasa kepemimpinan almarhum Andi Rudyanto Asapa, SH (1992), kemudian Nasiruddin
Pasigai, SH (1993-1996). Semasa kepemimpinan Mappinawang inilah saya sering
bekerjasama dalam kegiatan advokasi.
Bersama
mendiang Hasbi Abdullah, SH, direktur LBH Makassar 2004-2007, saya terlibat
dalam Tim Advokasi “Proyek Reklamasi Pantai Losari/Tanjung Bunga”. Mappinawang menjadi
koordinator, dan saya diminta kawan-kawan LBH menjadi sekretaris atau lebih
pasnya notulis lantaran rajin menulis siaran pers. Kami menyebutnya reklamasi
pantai Losari karena pemerintah kota Makassar memberikan izin
investor/pengembang PT GMTDC (Gowa Makassar Tourism Development Corporation)[2]
membangun jalan penghubung Losari – Barombong sejauh 2 kilometer, yang kini
kita kenal Jalan Metro Tanjung Bunga.
Advokasi
kasus reklamasi pantai Losari reda bukan oleh represi, tetapi akibat kerusuhan
rasial[3]
yang dipicu pembunuhan oleh pengidap gangguan jiwa terhadap bocah berusia 9
tahun sepulang mengaji di sekitaran jalan Kumala. Tidak lama berselang, para
senior dan aktivis organisasi masyarakat sipil diundang rapat oleh Pangdam
Kodam VII Wirabuana Jenderal Agum Gumelar untuk berdialog dengan Pemerintah Daerah
dan Pengembang Lippo Group mewakili PT GMTDC.
Ringkas
cerita, momen kerja advokasi itu membuat saya semakin mengenal kepribadian
almarhum Mappinawang, dan para senior lainnya. Beberapa memori kolektif yang
bagi saya sangat berkesan antara lain:
Pertama,
Kepada Yth. Andi Mappinawang, SH Direktur LBH Makassar di Tempat. Saya
seringkali menyebut atau menulis surat dari YLK Sulsel kepada almarhum seperti
itu. Tetapi, almarhum tidak pernah juga mengoreksi sebutan saya itu secara
pribadi maupun dalam pertemuan diskusi. Yang saya ingat, almarhum diam atau
senyum simpul saja ketika saya menyebutnya “andi”. Saya mengakui, selain
pengaruh senioritas berlatar feudal masa itu, saya sungguh menghormati penampilan
almarhum di berbagai forum. Penampilannya semi-formal, berbahasa minus
hiperbola atau pun sarkastis, dan sering mengambil keputusan secara bijak.
Kedua,
Pak Mappi dan Kak Mappi. Demikian saya sering menyapa almarhum
Mappinawang. Bagi kolega Lembaga Bantuan Hukum dan aktivis lazim menyapa
almarhum Mappi dan Kak Mappi. Penyebutan ini menegaskan sifat dasar kesesamaan
sosial (egalitarian), yang bertolak belakang dengan keberbedaan posisi seperti
dalam pola relasi majikan-buruh atau ajjoareng-joa. Suatu ciri relasi patronase[4]
dalam aktivisme sosial hingga kini.
Ketiga,
Orang Selayar. Lama juga saya baru tahu ternyata Mappinawang orang
Selayar. Saya hanya mengira-ngira Mappinawang orang Bugis. Hal ini menjadi
kelaziman dalam relasi aktivisme. Dalam interaksi di antara para aktivis,
seringkali tidak mempertanyakan identitas kedaerahan atau pun asal-usul etnisitas.
Umumya identitas seperti ini hanya dikenali dari logat dan dialek bahasa,
kemudian diterima begitu saja. Lebih sering mereka memandang sesama sebagai
teman diskusi, dan terutama pada peran-peran aktivisme seperti latar belakang
organisasi, dan ideologi perjuangannya, tidak pada posisi dan jabatan.
Keempat,
Alumni Unhas. Latar dan strata pendidikan juga bukan merupakan identitas
yang diutamakan dalam relasi akrivisme. Satu pengecualian bagi aktivis bantuan
hukum atau pengacara seperti Mappinawang, SH sebagai persyaratan tugas-tugas
profesional. Umumnya aktivis tidak menuliskan gelar akademik di depan atau
belakang nama. Bahkan saya baru tahu dari Pahir Halim, SH mantan Ketua KPID
Sulsel bahwa Mappinawang adalah alumni Fakultas Hukum Unhas Angkatan 1982,
seletting dengan Prof. Aswanto, SH.MH.
Kelima,
Mappinawang dan Adnan Buyung Nasution. Dari Pahir Halim pula saya
mengenal karakter dasar almarhum yang rendah hati. Suatu masa pasca menjabat
direktur LBH Makassar, Mappinawang diminta oleh Adnan Buyung Nasution ke
Jakarta untuk memimpin YLBHI. Namun, tidak lebih dari dua tahun, Mappinawang
kembali ke Makassar. Hal ini yang membuat Adnan Buyung penasaran karena
Mappinawang terkesan tidak menghargai permintaan seniornya itu. Konon Adnan
Buyung menilai Mappinawang cocok memimpin YLBHI karena dinilai berkarakter dan
berintegritas pada profesi pembela keadilan di level nasional. Seperti yang
diceritakan Pahir, kabarnya Mappinawang tidak betah kerja di Jakarta. Mungkin di
benak almarhum, geopolitik Jakarta terlalu kejam bagi para pembela HAM. Dengan
kesederhanaan pikiran itu, dia meninggalkan Jakarta dan mendirikan Mappinawang
& Partners.
Keenam,
Pejuang Perlindungan Anak. Almarhum Mappinawang adalah Dewan Pembina
Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan. Di tengah kesibukannya
sebagai komisioner KPUD Sulsel, Mappinawang hadir, duduk bersilah, dan berorasi
di tengah ratusan anak dari keluarga miskin dalam Perayaan Hari Anak Nasional
2007 di depan Monumen Mandala. Almarhum memberikan semangat kepada keluarga
miskin yang tergabung dalam Komite Perjuangan Rakyat Miskin (KPRM) untuk
menuntut Hak Anak mendapatkan pendidikan gratis.
Hikmah dari rekonstruksi pengalaman lampau adalah pentingnya mentransmisikan nilai-nilai kebaikan dan keteladanan dari orang-orang yang dirahmati Allah SWT (almarhum): Pertama, mempertautkan pengalaman lampau dalam kehidupan masa kini semakin terasa dibutuhkan untuk merawat nilai dasar aktivisme sosial; Kedua, menarasikan kembali sepak terjang para pendahulu hanyalah satu sisi – lebih dari sekadar mengaktualkan ketokohan adalah cara kita merawat memori kolektif tentang kesetiaan pada misi perjuangan membela kaum tertindas; Ketiga, Mappinawang dan deretan nama sahabat yang telah mendahului kita memberikan pesan bahwa surplus demografi “usia muda” berarti pula defisit “usia tua”.
Makassar,
24 Pebruari 2025
*Penulis
adalah alumni FIB Unhas (1987-1994), Pengurus YLK Sulsel (1994–sekarang), Dewan
Nasional Walhi Sulsel (1996-1999), Fasilitator KPRM (2002–2014).
[1] Minawang:
Hubungan Patron Klien di Sulawesi Selatan, Heddy Shri Ahimsa-Putra, 1988
[2]
Didirikan pada tahun 1991. Sejak 1994 Lippo Group merupakan investor utama. Menyambut
tren global “Water Front City” (Kota Pantai), pemerintah kota Makassar
melakukan pembebasan lahan untuk proyek Tanjung Bunga. Sesuai dengan dokumen
AMDAL (1996), pembangunan proyek Tanjung Bunga mencakup wilayah Makassar dan
Gowa seluas 5000 Ha. Pemprov Sulsel dan Pemkot Makassar kemudian turut menjadi
pemegang saham. https://www.tanjungbunga.com/tentang-kami/,
https://www.idnfinancials.com/id/GMTD/PT-Gowa-Makassar-Tourism-Development-Tbk
[3] https://sulsel.idntimes.com/news/sulsel/abdurrahman/sebelum-jakarta-kerusuhan-rasial-pecah-di-makassar-pada
[4] James Scott (1983) dalam Ahimsa (1988), merinci relasi patronase adalah hubungan normatif yang berbeda dengan hubungan kekerabatan. Norma yang mengatur hubungan patronase bersifat umum, mengandung unsur nilai bahwa seharusnya seseorang menghormati orang yang membantunya, tidak mencederainya. Bahwa hubungan patron klien tidak dimunculkan secara sepihak, melainkan diciptakan bersama sebagai pedoman bekerjasama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar