Belajar, Berorganisasi, Berjuang untuk Sejahtera
Oleh
M. Nawir[1]
Tulisan
ini merupakan refleksi atas perjuangan kelompok, komunitas warga, serta
organisasi masyarakat sipil, khususnya di kota Makassar dalam dua dekade
terakhir. Salah satu organisasi komunitas yang dapat dijadikan rujukan adalah
KPRM- Komite Perjuangan Rakyat Miskin.
KPRM
adalah organisasi warga miskin perkotaan yang dideklarasikan pada September
2002 di Kota Makassar dalam suatu kegiatan Temu Kota yang diinisiasi oleh aktivis
Ornop. Momen deklarasi KPRM dihadiri oleh beberapa kelompok dari kota Makassar,
Gowa, Bulukumba, Pangkep, dan Sengkang. Para deklarator terdiri dari tujuh
perwakilan komunitas warga, yakni: KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat), PKL
(Pedagang Kaki Lima), Pengemudi Becak, Kelompok Janda Maccini Sombala, dan
Pemulung. Dalam momen ini pula terjadi dialog warga dengan anggota DPRD Kota
Makassar, dan Pemerintah Kota.
Sejak
pendeklarasiannya, KPRM menjadi wadah pendidikan dan pengentasan kemiskinan, khususnya
di sekor layanan publik seperti pemenuhan hak atas pangan (sembako), kesehatan
(BPJS/PKH), pendidikan (KIP/Beasiswa), identitas (Akte/KTP), dan Bansos. Berdasarkan
pengalaman ini, KPRM mencetuskan motto “Belajar, Beroganisasi, Berjuang untuk
Sejahtera”.
Pada
dekade 2004-2014, KPRM bersama Jaringan Rakyat Miskin Kota (Uplink Indonesia)
mengadvokasi hak atas perumahan bagi warga yang terancam penggusuran seperti
kampung Lette, kampung Pisang Maccini Sombala, Bontoduri, Kassi-Kassi, dan Buloa.
Kampung-kampung kota ini hanya beberapa dari sekian banyak pemukiman warga
miskin yang sintas dari penggusuran. Beberapa perkampungan lainnya mengalami
penggusuran secara paksa (force eviction)
akibat ketiadaan solusi dalam konflik pertanahan antara warga versus kelompok
kepentingan ekonomi dan politik dominan.
Seiring
dengan banyaknya sengketa pertanahan yang rumit, mengancam dan mengorbankan
petani dan warga miskin perkotaan, Pemerintah RI melalui Perpres 62/2023
tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria menata ulang kebijakan
pertanahan dalam rangka mengatasi potensi dan manifestasi konflik agraria,
termasuk di perkotaan. Percepatan pelaksanaan Reforma Agraria (RA) dilaksanakan
melalui strategi: (1) Legalisasi aset; (2) Redistribusi tanah; (3) Pemberdayaan
ekonomi Subjek RA; (4) Kelembagaan RA; dan 5) Partisipasi masyarakat. Kelima
strategi ini menjadi rujukan instruksional bagi Pemda/Pemkot untuk memasukkan
program RA dalam perencanaan pembangunan daerah dan mengalokasikan anggaran
pendapatan belanja daerah (APBD). Konsekuensinya, capaian pelaksanaan RA merupakan
indikator kinerja Pemda sebagaimana bunyi Pasal 3 ayat (2): “Kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri menetapkan pelaksanaan RA di
daerah sebagai salah satu indikator penilaian kinerja Pemda.”
Penulis
memaknai refleksi atas KPRM adalah perjuangan warga menuntut hak-hak
konstitusional atas kota, yang merupakan tanggung jawab pemerintah untuk
mewujudkannya. Hak atas kota (right of
the city) sebagaimana dimaksud para ahli adalah Hak Asasi Manusia dalam kepemilikan
pribadi maupun kolektif. Secara konstitusional hak atas kota sangat jelas
dijabarkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yakni hak atas
informasi yang transparan, hak atas kecukupan pangan, hak atas pendidikan yang
terjangkau, hak atas layanan kesehatan berkualitas, hak atas perumahan layak
huni, dan tentu saja kepastian hukum atas tanah tempat tinggal dan berusaha.
Persoalannya, seringkali aspirasi warga kota terabaikan, dan secara sepihak
pemerintah lebih mengedepankan aspirasi kelompok kepentingan dominan seperti
pengembang, mafia tanah, termasuk kebijakan pembangunan untuk kepentingan umum.
Padahal sejarah kota Makassar adalah sejarah pembentukan ruang hidup bersama
warga setempat, pendatang, dan tentunya aparat birokrasi pemerintah. Tidak
mungkin kota ini dibangun hanya oleh pengembang atau pun pemerintah. Kota
Makassar adalah produk warga Makassar dari manapun asalnya (common space) sejak
zaman kolonial hingga era globalisasi.
Tidak cukup dengan kebijakan afirmatif pemerintah kota dalam memberikan layanan dan memenuhi kebutuhan dasar warga. Ada hak fundamental karena itu bersifat universal yang harus dipenuhi pemerintah, yakni kesetaraan hak dalam perencanaan pembanguna kota. Partisipasi warga dalam Musrenbang hanya satu mekanisme. Namun, partisipasi yang sesungguhnya adalah pelibatan warga dalam pembangunan berdasarkan pengalaman hidup mereka sehari-hari agar tepat sasaran, berdaya dan berhasil guna. Agar hasil pembangunan tidak mubasir, pemerintah sudah seharusnya melembagakan “apa maunya warga”, “bagaimana cara memenuhinya”, dan “bagaimana mengatasi keterbatasan yang ada” dengan kebijakan efisiensi belakangan ini.
Pengalaman dua puluh tiga tahun KPRM memberikan pemahaman: pertama, mereka merepresentasi pandangan dunia, cara hidup, dan kelembagaan warga sehari-hari hasil dari dinamika sosial, politik, dan sejarah kota. Budaya urban warga miskin perkotaan adalah hasil dari perjuangan mereka untuk bertahan (adaptasi, resistensi, kompromi) dalam kondisi yang sulit. Kedua, sebagai komunitas budaya, mereka memproduksi pengetahuan tentang bagaimana berbagi lahan (land-sharing) dan menata pemukiman (upgrading) sebagai solusi keterbatasan ruang hunian. Ketiga, mereka terorganisasi dalam kegiatan arisan, tabungan, gade-gade, warung kopi, koperasi, urban farming, dan berbagai hiburan maupun seni kampungan. Keempat, mereka adalah orang-orang kosmopolitan, dan menjadi bagian penting dari gerakan masyarakat sipil dan masyarakat politik. Dalam skala tertentu, mereka berkontribusi membangun Makassar “kota kuliner enak”, “kota inklusif”, dan “kota dunia”. Kelima, tidak cukup dengan pelayanan, pemerintah kota harus menjamin kepastian dan keamanan bermukim karena hal ini merupakan prasyarat bagi warga untuk hidup layak dan produktif bagi masa depan keluarga, anak-anak dan cucu mereka. (dimuat Tribun Timur.com 10/05/2025: Membaca Ulang KPRM 2002 - 2025: Belajar, Berorganisasi, Berjuang untuk Sejahtera - Tribun-timur.com)
[1] Ketua
Dewan Pengawas Koperasi Konsumen KPRM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar