21 Jun 2011

Hak-hak Individu dan Sosial di Indonesia

Mochtar Pabottinggi
Artikel Yayasan Paramadina
Dalam Spheres of Justice (1983), Michael Walzer dengan tepat menyatakan bahwa semua distribusi barang atau hak adalah adil atau tidak adil menurut makna sosial yang diberikan kepada barang/hak tersebut. Yang hendak ditekankan oleh Walzer di sini ialah kenyataan bahwa rasa, prinsip dan praktek keadilan berbeda-beda menurut sejarah, kebudayaan, atau kosmologi masing-masing masyarakat. Dengan demikian rasa, prinsip, dan praktek keadilan selamanya bersifat partikular dan karena itu juga plural.
Partikularitas dan pluralitas persepsi tentang keadilan telah dikemukakan lebih dahulu oleh Barrington Moore dalam dua studinya yang terkenal Social Origins of Disctatorship and Democracy (1966) dan Injustice: The Social Bases of Obedience and Revolt (1978). Menurut pandangan Moore, partikularitas lah yang membuat suatu pilihan atau tindakan individual/ sosial menyangkut keadilan berlaku atau tidak berlaku, bukan universalitasnya.
Sekedar untuk contoh, bisa kita kemukakan hak-hak dan kedudukan kaum wanita Asia Tenggara paling tidak sekitar abad kelimabelas hingga abad ketujuhbelas, yakni ketika di Eropa mereka masih dipandang sebagai "porselen" atau ketika di India dan Cina mereka masih diperlakukan tak lebih dari "barang" suami. Menurut penelitian komprehensif yang dilakukan oleh Anthony Reid, wanita Asia Tenggara dalam kurun itu sudah diakui sederajat dengan kaum pria. Sama dengan kaum prianya, wanita Asia Tenggara di masa itu adalah pcmangku hak-milik, pelaku merdeka dari kegiatan-kegiatan ekonomi, dan penuntut atau pembela di pengadilan. Wanita juga tampil sebagai duta-duta niaga dan politik ke negeri-negeri asing, mediator yang disegani dengan alam roh, dan penguasa atau srikandi-srikandi tangguh di medan perang. Tak kurang pentingnya, wanita adalah pasangan yang memiliki hak setara (kalau tidak bahkan lebih) dengan suaminya dalam hal hubungan intim suami-isteri. Yang membuat kedudukan wanita Asia Tenggara lebih tinggi dibanding dengan kaum wanita sezamannya bahkan di negara-negara yang ketika itu dipandang sebagai pelopor kemajuan peradaban memang tidak ditentukan oleh anggapan universalitas apa pun tentang pentingnya suatu masyarakat menghargai hak-hak wanitanya. Itu ditentukan oleh evolusi, suatu proses budaya yang unik yang telah berlangsung di kawasan tersebut selama beberapa abad sebelumnya. Diperkirakan juga adanya pengaruh kepercayaan-kepercayaan terdahulu yang filsafat hidupnya menyetarakan lingga dan yoni.
Bahkan di Inggris pada abad kesembilan belas, kaum majikan masih sangat kuat menganut apa yang disebut Ellen Jordan sebagai androsentrisme.
Tak ada tempat bagi wanita pada sebagian besar industri baru atau yang telah ditata kembali secara radikal … Pada industri-industri besar, yang dikelola secara terpusat dan sangat padat modal, telah dikembangkan tehnik-tehnik mutakhir yang tidak didasarkan pada tenaga kerja keluarga, sehingga kaum majikan, yang tidak terhambat oleh sistem pembagian kerja atas dasar jenis kelamin, hanya memperhitungkan kaum pria tatkala merinci tugas pekerjaan serta menambah angkatan kerjanya”.
Khusus mengenai negeri kita, partikularitas dan keragaman itu tergambar dalam urusan penguasaan atas harta benda. Orang Minang mengutamakan kaum wanitanya dalam soal pemilikan harta-pusaka dan satria-satria Bugis-Makasar mengadakan perjanjian terhormat dengan rajanya untuk saling menghormati hak masing-masiing dalam pemilikan harta benda. Bandingkan dengan apa yang disebut "konsep kekuasaan Jawa" (suatu penamaan keliru yang mengasumsikan Jawa sebagai tunggal) yang cenderung menghimpun segala kemegahan dan kekayaan di tangan raja, dari mana lahirlah ungkapan rakyat tentang harta bendanya sebagai "Nek awan duweke sang nata, nek wengi duweke dursila."
Memang cukup berdasar jika dikatakan bahwa besarnya efektivitas suatu rasa atau prinsip keadilan ditentukan oleh partikularitas mengandaikan adanya suatu resiprokalitas budaya yang tinggi di kalangan bangsa/masyarakat pendukungnya. Sebagaimana ditekankan oleh Walzer, "People who do share a common life have much stronger duties".
Tapi seperti keniscayaan yang sudah dialami oleh pusat-pusat pemerintahan pantai di Asia Tenggara pada masa kurun niaga dalam hal aturan perkawinan antar-bangsa, kini kita semakin gencar berhadapan dengan tuntutan akan perlunya rasa, prinsip, dan praktek keadilan yang makin lama makin bersifat inklusif. Maka, anggapan bahwa kekuatan suatu rasa atau prinsip keadilan terletak pada partikularitasnya sesungguhnya sudah puluhan tahun mendapat tandingan. Mungkin itu bermula dari The Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Wilson tentang hak setiap bangsa untuk mengatur pemerintahannya sendiri. Mungkin juga ini bermula dengan ditanggalkannya hak-hak feodal raja dan bangkitnya kiprah demokrasi parlementer di Inggris pada dekade-dekade awal abad kesembilan belas. Mungkin juga yang paling berperan adalah agama-agama dunia yang mencanangkan universalitas kebenaran dan karena itu juga universalitas keadilan.
Dengan perkembangan ini semakin banyak orang, terutama pada dekade keempat dan kelima abad ini, yang menyanggah pentingnya peranan partikularitas suatu sistem nilai tentang keadilan. Bangsa-bangsa terjajah semuanya meneriakkan keharusan dikuburkannya kaidah ganda yang didukung oleh dalih-dalih etnografis/orientalis dan menuntut hak serta perlakuan yang sama dengan bangsa-bangsa penjajah. Anggapan lama seolah dibalikkan sama sekali. Yang benar ialah semakin universal suatu sistem nilai, semakin kuat ia. Maka kemudian mencullah teori-teori atau gagasan-gagasan tentang keadilan yang dipandang dapat berlaku secara lintas bangsa dan lintas budaya. Untuk itulah John Rawls, misalnya, menulis A Theory of Justice (1971) yang banyak dirujuk tapi juga dikritik orang.
Tapi bangkitnya lusinan negara baru sekitar pertengahan abad keduapuluh itu di mana panji-panji universalitas keadilan dijunjung tinggi segera disusul oleh dekade kekecewaan (disillusionment) dan pengkhianatan terhadap citra universalitas keadilan itu. Ternyata besar sekali kesenjangan antara nilai-nilai universal dengan praktek-praktek partikular yang berlaku di negara-negara yang baru merdeka tersebut. Maka penghargaan atas nilai-nilai universal pun kembali surut. Studi-studi etnografis kembali memperoleh apresiasi yang tinggi. Di dalam telaah ilmu politik mengenai Indonesia, misalnya, kita dapati Harry Benda menyerang asumsi dasar Herbert Feith ketika yang terakhir ini bicara tentang demokrasi konstitusional di Indonesia. Pada hakikatnya Benda menyatakan demokrasi konsitusional bukanlah "barang" milik bersama, dan bahwa Indonesia punya ideal dan sistem politik partikularnya sendiri. Juga kita alami buku klasik George Kahin Nationalism and Revolution in Indonesia secara telak diatasi pamornya oleh rangkaian karya Clifford Geertz dan Benedict Anderson yang semuanya menekankan partikularitas kebudayaan dan politik.
Kembali universalitas menjadi pecundang dan partikularitas menjadi pedoman. Sekali lagi faktor-faktor kebudayaan mengambil tempat sentral dalam telaah-telaah politik dan ekonomi dimana juga terkandung telaah-telaah, implisit maupun eksplisit, mengenai keadilan. Dalam perspektif inilah kita harus menempatkan penilaian sementara kalangan intelektual bangsa kita terhadap Pancasila. Falsafah negara kita ini dipandang tak lebih dari penjajaran (juxtapositio) dari segenap nilai-nilai yang secara universal baik. Untuk mengutip ucapan seorang bekas tokoh mahasiswa, "Ideal Pancasila sama dengan perlunya memiliki satu kepala, dua tangan dan dua kaki". Tapi ini adalah suatu pemahaman yang sangat keliru. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila bukanlah semata-mata kumpulan nilai-nilai universal. Lebih dari universalitasnya justru tumbuh dari suatu pengalaman yang sangat partikular, yang menggiring bangsa kita kepada pengakuan akan luhur dan esensialnya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Kerinduan akan nilai-nilai yang terkandung didalamnya memang adalah suatu kerinduan universal. Tapi pengalaman eksploitasi dalam skala seperti yang dialami bangsa Indonesia, terutama di pulau Jawa, adalah sesuatu yang sangat partikular. Professor Gonggrip memberi kita suatu ilustrasi yang sangat hidup dari pengalaman eksploitasi yang amat partikular itu:
"Tak ada tanaman yang begitu banyak menimbulkan kesengsaraan dibanding dengan indigo. Ketika itu secara gegabah ditanam di Priangan tahun 1830, hanya malapetakalah yang terjadi. Rakyat dari sejumlah desa di kecamatan Simpur dipaksa bekerja di ladang-ladang indigo yang jauh dari rumah mereka selama tujuh bulan terus menerus, dengan keharusan menyediakan makanan mereka sendiri. Tatkala mereka pulang dijumpainya sawah-sawah mereka sudah dalam keadaan hancur sama sekali. Lima ribu orang dan tiga ribu ekor kerbau dipaksa mengolah tanah untuk memasok sebuah pabrik yang baru saja didirikan. Ketika kerja paksa itu rampung, bibit indigo (yang sedianya ditanam di situ) belum juga tiba. Dua bulan kemudian, ketika rerumputan dan ilalang kembali menutupi pesawahan mereka, barulah kapal-kapal tiba dari Batavõa. Lelaki, perempuan, dan anak-anak kembali dikerahkan buat menyiapkan tanah pesawahan itu lagi. Tidaklah aneh jika seseorang perempuan hamil melahirkan di situ selagi membanting tulang ..."
Ini barulah satu contoh. Tapi di situ sudah tergambar suatu apropriasi tujuhkali lipat atas hak-hak kaum tani di Jawa - suatu eksplotasi yang bahkan jauh melampaui eksploitasi pada kapitalisme primitif di Barat sendiri. Yang diapropriaskan adalah hak kaum tani atas lahan pertaniannya, hak kaum tani akan biaya reproduksi tenaganya, hak kaum tani akan produk tenaga dan tanahnya, hak kaum tani untuk memasarkan produknya secara yang lebih menguntungkan mereka, hak kaum tani atas penghasilan sah mereka sendiri yang ditelan begitu oleh berbagai cuke dan diensten yang tiada putus-putusnya diminta baik oleh Belanda maupun oleh kalangan penguasa Pribumi, serta hak kaum tani atas integritas kebudayaan mereka, yang didistorsikan guna memperlancar proses eksploitasi Belanda.
Daftar praktek ekaploitasi penjajahan di Indonesia terlalu panjang dan terlalu menyakitkan untuk diulang-ulang. Toh menyertai Soedjatmoko tetap perlu diingat bahwa, "Tanpa lebih mengenal ciri-ciri ekonomi kolonial sulit bagi kita untuk menghadapi persoalan-persoalan struktural dan sosial di dalam pembangunan kita". Pergerakan-pergerakan kemerdekaan kita yang paling representatif semuanya tak lain adalah respon terhadap struktur ekonomi dan politik kolonial Belanda. Itulah "ibu kandung" dari seluruh gagasan cemerlang dari para Bapak Bangsa kita. Pancasila tak lain dari kristalisasi dari respon bersejarah itu. Maka pada hakikatnya, Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah suatu ambang atau jendela lewat mana seluruh pengalaman eksploitasi terhadap dirinya selalu bisa terpampang dan terekam kembali seketika. Dengan kata lain, pada Pancasila bertemu dan leburlah dikotomi partikularitas dan universalitas itu. Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah partikularitas dan universalitas sekaligus. Ia adalah antitesa terhadap pengalaman kolonialisme cum feodalisme yang sangat panjang.
Rasa keadilan, pandangan tentang hak-hak individu dan sosial bangsa Indonesia otomatis terikat pada antitesa serta kenangan kolektif akan tesa yang berada di baliknya. Bangsa Indonesia selamanya peka terhadap setiap keadaan yang dapat mengingatkan mereka akan kenangan pahit itu. Katakanlah ada obsesi di situ. Obsesi tentu saja bisa buruk, namun bagaimana pun kenangan kolektif itu adalah sesuatu yang sah. Kita memang harus berusaha menghindari dampak negatif dari suatu obsesi, namun kenangan pahit akan eksploitasi puncak yang dialami oleh leluhur kita bertaut erat dengan jatidiri bangsa kita. Keabsahan kenangan kolektif tersebut lebih perlu ditekankan lagi mengingat kuatnya kecenderungan ke arah berulangnya proses sejarah yang mau tak mau akan mengingatkan mayoritas bangsa ini pada pengalaman pahit leluhur mereka.
Konglomerasi yang menimbulkan banyak suara kekhawatiran sejak beberapa tahun lalu sesungguhnya sulit diingkari sebagai perwujudan pola berpadunya kekuatan-kekuatan ekonomi yang sangat mirip dengan pola yang berlaku pada zaman penjajahan, yakni ketika pemerintah dan kalangan swasta Belanda bekerjasama demikian erat dengan golongan priyayi (birokrasi Pribumi) dan pengusaha Cina dalam melakukan eksploitasi besar-besaran atas rakyat dan tanah negeri kita. Tentu perlu diukur lebih jauh apakah identifikasi ini masih punya dasar sekarang. Tapi sebelum kita sampai pada jawaban pasti atasnya, kekhawatiran khalayak ramai di atas tetap perlu diindahkan.
Tiadanya kesadaran melihat Pancasila sebagai universalitas yang partikular cenderung membuat orang menyepelekan atau menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak bisa jalan (not workable) atau tidak relevan dalam era pembangunan ini. Ada saja rumusan-rumusan pemikiran, tentu secara tidak langsung dan tidak berterang-terangan, yang ujung-ujungnya akan berarti bahwa Pancasila hanya sekedar utopia. Tidak sedikit kasus menyangkut protes dan keresahan orang-orang kecil di tanah air yang mestinya dikaitkan dengan keniscayaan sejarah (historical imperative) dari Pancasila, anehnya justru dicap anti-Pancasila. Usaha Romo Mangun yang secara sangat menyentuh hati menunjukkan solidaritas kepada para petani Kedung Ombo yang menolak meninggalkan tanahnya sama sekali tidak dilihat dalam konteks ideal Pancasila. Begitu juga dengan usaha tokoh-tokoh LSM yang mengungkapkan kasus itu di gelanggang internasional. Mereka justru dipandang sebagai pengacau, sok pahlawan, atau tidak nasionalis. Suatu sebutan yang keliru sebab esensi nasionalisme Indonesia tak lain dari egalitarianisme.
Tidak diindahkannya keniscayaan sejarah itu juga tercermin pada bagaimana tantangan terhadap, gejala konglomerasi dikatakan sebagai ekspresi kecemburuan sosial. Tak ada yang lebih keliru dan agresif daripada penamaan seperti itu. Kalangan yang memandang dengan cemas gejala konglomerasi sesungguhnya bertolak dari persepsi tentang semakin dikukuhkannya kesenjangan-kesenjangan ekonomi yang berlaku di zaman kolonial, yang justru hendak dibalikkan dengan pendirian Republik. Harus segera disadari bahwa luasnya tantangan terhadap gejala konglomerasi bukanlah akibat kecemburuan sosial, melainkan berakar kuat pada sejarah berdirinya bangsa ini. Ada citra ideal yang terlanggar di situ.
Sebutan kecemburuan sosial bisa dipakai untuk menyerang rasa keadilan histroris bangsa kita untuk kemudian membatalkannya secara tidak sepatutnya. Itu adalah psikologisasi dan pembalikan privilese yang sangat mendasar. Kata "cemburu" mempunyai konotasi buruk pada orang yang dihinggapinya. Merekalah yang jadi "terdakwa" bukan konglomerasinya. Dalam konteks sebutan itu yang salah bukan yang dicemburui, melainkan yang cemburu. Di situ lenyaplah rasa atau prinsip keadilan historis yang sah. Kata "kecemburuan sosial" sesungguhuya bertolak dari obsesi tentang pertumbuhan serta keterbelakangan ekonomi kita. Tentu obsesi ini lahir dari suatu kecemasan yang sah. Tapi sisi sebaliknya yang bahkan lebih sah lagi justru dilupakan. Pertumbuhan ekonomi yang luar biasa juga menandai Nusantara katakanlah dari tahun 1930 hingga 1940. Tapi bukankah dengan tandas dan sah kita menolak pertumbuhan ekonomi luar biasa yang other-centered seperti itu?
Penyingkapan agresivitas dan pembalikan privilese ini menjadi jelas jika kita menukar sebutan tersebut dengan mengembalikan kata kesenjangan sosial. Pada ungkapan ini terkandung keabsahan historis, yakni menyangkut eksistensi dan ideal Republik kita. Beda dengan kata "kecemberuan sosial" di mana yang salah ialah mereka yang cemburu, yang salah pada kata "kesenjangan sosial" adalah mereka yang hendak mempertahankan dan meneruskan kesenjangan itu. Pada kata "kecemburuan sosial" tidak ada keabsahan historis. Sebaliknya dengan kata "kesenjangan sosial." Pergerakan kemerdekaan yang penuh pengorbanan dilakukan, kemerdekaan diproklamasikan, dan sebelumnya falsafah negara dirumuskan dan undang-undang dasar disusun para Bapak Bangsa justru menghilangkan kesenjangan itu agar manusia Indonesia dapat melangkah maju secara berharkat guna menyongsong masa depan yang penuh kebahagiaan. Dari keabsahan historis itulah terkandung unsur hak pada mayoritas bangsa-bangsa kita yang berada di sisi malang dari proses pembangunan, yakni hak agar kesenjangan itu - ekonomis dan politis - ditiadakan oleh Pemerintah atas dukungan rakyat. Unsur keabsahan atau hak historis itulah yang dinafikan pada sebutan "kecemburuan sosial" mengandung makna pengingkaran berat atas ideal tertinggi kita.
Soal istilah, sebutan atau ungkapan ini kita bicarakan dengan penuh kesungguhan mengingat bahwa belum pernah dalam sejarah bangsa kita pertandingan ideologis memasuki babak segenting sekarang. Pertandingan antara kaum komunis dan Islam di masa Sarekat Islam, pertandingan antara kaum kebangsaan dan Islam di masa Demokrasi Parlementer, dan antara unsur-unsur Nasakom di masa Demokrasi Terpimpin, termasuk antara PKI dengan Angkatan Darat, pada umumnya barulah pertentangan ideologis. Tak satu pun kontestan ideologis di dalamnya yang memiliki basis ekonomi yang cukup kuat untuk merealisasikan ideologinya. Apa yang berlaku sekarang sudah lain sama sekali. Yang sedang kita hadapi bersama ialah suatu pertandingan ideologis dimana sebagian kontestan memilki penguasaan yang cukup atas teknologi dan keahlian mutakhir, mempunyai jaringan nasional dan internasional, serta menguasai aset ekonomi yang nyata dan masif. Pertandingan ini adalah suatu pertandingan yang akan sangat jauh dan besar dampaknya. Dalam waktu singkat bisa terjadi transformasi besarbesaran dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Bersamanya akan terjadi perubahan-perubahan penting dalam hak-hak individu dan sosial. Itulah sebabnya mengapa semakin perlu kita mengawasi kata-kata yang berseliweran dalam media massa, sebab di situlah pertandingan yang sebenarnya sekarang berlangsung, bukan dalam DPR, juga antara partai-partai politik. Sasaran pertandingan di media massa itu adalah persuasi langsung kepada rakyat.
Dari persuasi kita akan beranjak kepada policy. Dari policy kita pun memasuki transformasi besar-besaran pada segenap bidang kehidupan. Transformasi besar-besaran ini adalah sesuatu yang einmalig. Maka kita harus pandai-pandai mengarahkan dari sekarang. Kita semua memang menginginkan adanya suatu transformasi besar di bidang ekonomi, politik, dan kebudayaan, tapi itu demi sebesar-sebesarnya kemajuan dan kebahagiaan buat mayoritas bangsa kita. Adalah tugas kita untuk menyoroti kata-kata, jargon atau bukan, yang sifatnya menipu dan mengelabui, terutama jika kata-kata itu laris di pasaran. Singkatnya, kita semua perlu berhati-hati dengan agresi diskursus yang masuk ke dalam benak kita sebagai sesuatu yang innocent tapi yang selanjutnya berfungsi merusak dasar-dasar mulia yang telah disepakati bersama. Kata-kata adalah gerilya, pasukan bertopeng yang tak hentinya menyerbu. Untuk itulah Michel Foucault mengingatkan; "We must conceive discourse as a violence we do to things..."
Maka perlu ditegaskan kembali bahwa Pancasila lahir dari rangkaian utuh dan panjang dari suatu peristiwa yang sangat nyata dan historis. Ia tidak turun atau diturunkan begitu saja dari langit. Jika sekarang falsafah negara kita ini dilihat sebagian orang sebagai tak lebih dari suatu wishful thinking, itu karena sejarah kembali berulang. Pola kolonial khas yang dialami bangsa kita (kolonialisme-cum-feodalisme) berlaku lagi katakanlah selama lima belas tahun pertama usia Orde Baru. Yang begitu kuat itu berulang. Akibatnya Pancasila pun tampak tidak lagi nyata, dan tidak lagi historis. Tapi pengulangan sejarah di atas tidak dengan sendirinya membatalkan keabsahan rasa keadilan historis yang hidup pada bangsa Indonesia. Sebabnya ialah karena rasa keadilan itu bukan hanya berakar dalam pada sejarah kita sebagai suatu bangsa, melainkan juga lantaran ia encoded. Ia resmi kita nobatkan jadi Weltanschauung yang mendasari konstitusi kita. Tidaklah mengherankan jika tiap pihak yang hendak berpraktek menyimpang dari pertama-tama harus mencari dalih pembenaran yang tidak secara langsung menolak pandangan hidup yang sekaligus merupakan falsafah negara kita itu. Disadari atau tidak, pihak-pihak tersebut telah melakukan rekayasa ideologis yang sedikit demi sedikit menggerogoti falsafah negara itu seringkali atas nama falsafah itu sendiri, hingga akhirnya nanti kita semua akan terperanjat bahwa ternyata dasar pokok (raison d'etre) dari kelahiran bangsa ini sudah lama terkubur.
Segenap hak-hak individu dan sosial yang luhur dari bangsa kita tersangkut di dalam falsafah negara kita. Untuk itulah kita semua perlu waspada. Tidak dengan menarik kembali garis hitam putih atau kawan-lawan model zaman Demokrasi Terpimpin. Alternatif demikian harus diletakkan paling akhir. Kewaspadaan bisa berlaku melalui usaha-usaha bersama dari kalangan intelektual, negarawan, dan pemuka masyarakat untuk kembali mengasah ke sasaran politik kita disertai sikap dewasa dan visi antisipatif. Dalam hal ini kita perlu kembali menyadari dari mana kita berasal dan arah mana yang mesti kita tuju. Kewaspdaan bisa diperoleh dengan terus menggalakkan kegairahan berdialog secara arif dan matang selidik (well-informed) di antara seluruh potensi akal budi bangsa kita. Ia juga diperoleh dengan kesediaan untuk terus-menerus bertanding melawan kekuatan-kekuatan materil yang senantiasa cenderung membuat kita terjebak dalam berhala-berhala baru.
Juga diperlukan sikap sabar dalam artinya yang tepat. Tanpa sikap ini kita tak ubahnya dengan golongan-golongan politik yang merasa, berpikir, dan bertindak seolah merekalah wakil-wakil resmi "Tuhan" - dari kalangan komunis, dari kalangan agama, maupun dari kalangan mereka yang visinya tertutup oleh obsesi tentang pembangunan. Sikap ini amat penting terutama jika kita menyadari bahwa prinsip Hegel yang digalakkan oleh Marx tentang tesa, antitesa, dan sintesa sesungguhnya bukanlah tiga arus yang susul-menyusul. Bisa saja sejarah bolak-balik antara tesa dan antitesa, dengan sintesa yang terus tertunda. Atau bisa juga ketiganya tak hentinya bertumpang tindih. Dengan perspektif itulah kita harus melihat perkembangan dahsyat di Eropa Timur sekarang.
Di atas semuanya, kedewasaan kita peroleh dengan menekankan sikap partikularitas dan universitas Pancasila yang ada bukan hanya hak-hak melainkan juga kewajiban-kewajiban individual/sosial. Bisa dikatakan bahwa partikularitas sejarah bangsa Indonesia lahir karena para pejuang kemerdekaan kita telah menunaikan kewajibannya menerjemahkan prinsip universitas itu dalam kondisi masyarakat bangsanya. Bisa juga dikatakan bahwa mereka telah mengangkat partikularitas pengalaman kolektif bangsa Indonesia yang tertindas kepada suatu tatanan yang lebih tinggi - suatu transendensi yang mencapai universalitas. Sudah kita ketahui bahwa hak dan kewajiban adalah dua hal yang saling membangkitkan. Tapi sesungguhnya alangkah rumitnya persoalan ini begitu kita berhadapan dengan masalah aktual yang telah, sedang, dan akan dihadapi bangsa kita, dan alangkah besar partisipasi akal budi yang diperlukan untuk menanggulanginya secara bertanggungjawab.
Pada tahun 1919 sejumlah petani dan seorang pemuka agama di suatu desa di Garut menolak keharusan menyerahkan padi dengan harga murah kepada Belanda. Sang haji beserta pengikut-pengikutnya tewas dalam mempertahankan apa yang mereka yakini sebagai haknya. Pada sore hari 10 Febuari 1924, Bapak Kajah memimpin puluhan orang berjubah putih lengkap dengan senjata-senjata tajam tradisional dan berselempang jimat-jimat sepanjang jalan Tangerang-Batavia. Tujuannya ialah menyerbu penjara yang baru didirikan di Tanah Tinggi sebagai tantangan terbuka terhadap kekuasaan Belanda demi menegakkan suatu kerajaan baru yang penuh keadilan. Bapak Kajah beserta segenap pasukannya tewas seketika di ujung senapan Belanda”.
Tahun 1973 terjadi huru-hara anti Cina di Bandung hingga nyaris mengulangi huru-hara yang sama di banyak bagian Jawa Barat sepuluh tahun sebelumnya. Pada 15 Januari 1974 meledak Peristiwa Malari di Jakarta dan Peristiwa Muncar di Jawa Timur yang melibatkan ribuan nelayan. Sebelumnya keributan yang sama telah terjadi di Bagansiapi-api. Tahun 1980 kembali meledak huru-hara anti Cina yang meluas di beberapa kota Jawa Tengah hingga mencapai Jawa Timur. Tahun 1984 pecah Peristiwa Priok yang menewaskan puluhan orang. Awal tahun 1989 menghentak kita dengan Protes Petani Kedunggombo, kekerasan di Lampung, dan politisasi "biskuit beracun."
Pola-pola apakah yang dapat tertangkap dari semua catatan di atas? Pelajaran-pelajaran apakah yang dapat ditarik? Kompleksitas apakah yang tergambar sehubungan dengan pembicaraan kita mengenai hak-hak individu dan sosial di Indonesia? Dan jalan keluar apakah yang sebaiknya kita tempuh agar rentetan pemberontakan kecil itu tidak lalu membola salju dan menghantam Republik kita dalam wujud malapetaka politik yang sama-sama tidak kita inginkan?
Dari rangkaian catatan di atas kita berhadapan dengan pola-pola tentang rasa dan praktek keadilan yang rancu dan kacau. Katakanlah di situ bergalau keadilan melenarian lawan keadilan rasional, keadilan lokal lawan keadilan pusat, keadilan primordial lawan keadilan nasional, keadilan ideologis lawan keadilan pragmatis, dan keadilan subsistensi lawan keadilan korporasi.
Adalah keliru jika kita langsung memandang masalah hak-hak individual sebagai suatu masalah politik, yakni sebagaimana yang umumnya tersirat dalam ungkapan "hak-hak azasi manusia." Sebelum menjadi masalah politik, hak-hak individual adalah suatu masalah kultural. Apa yang kita sebut "hak-hak individual" tak lain dari hasil suatu kontrak sosial. Dengan menyebutkan kontrak sosial, kita seolah-olah memang langsung memasuki dunia politik. Kesan ini lebih diperkuat oleh kenyataan bahwa para pemikir klasik tentang kontrak sosial itu (Thomas Hobbes, John Locke, Jean Jacques Rousseau) luput atau sedikit sekali menangkap sentralitas faktor kebudayaan dalam analisa mereka. Diskursus pengetahuan mereka umumnya masih monokultural dan sangat Eurosentris. Keseluruhan tradisi ilmu politik mereka belum sepenuhnya memperhitungkan adanya keragaman pengalaman budaya atau keragaman harapan-harapan sosial (social expectation) pada umat manusia.
Kontrak sosial mengandaikan adanya resiprokalitas atau saling pengertian budaya. Maka sinyalemen tentang adanya pengingkaran terhadap hak-hak individual pada masyarakat bangsa kita, misalnya, masih harus dihadapkan pada serangkaian pertanyaan. Apakah itu benar-benar merupakan pengingkaran (yaitu dengan asumsi bahwa sudah terdapat resiprokalitas sistem nilai dalam masyarakat bangsa kita)? Atau apakah itu disebabkan oleh adanya kesenjangan budaya, sehingga menghambat terjadinya resiprokalitas budaya? Atau apakah pengingkaran hak individual itu tidak justru lahir dari rasa keterancaman eksistensial pada pihak-pihak yang (dipandang) mengingkarinya? Dengan kata lain, pada kategori terakhir berlaku semacam antagonisme parah antara kelompok-kelompok masyarakat, sehingga tiap hak yang diperoleh suatu kelompok dipandang oleh kelompok lain sebagai ancaman.
Bangsa Indonesia mungkin termasuk di antara bangsa-bangsa dimana tingkat-tingkat kemajuan dan pencerahan antara kelompok masyarakat paling beragama sekaligus paling senjang di dunia. Dengan kebudayaan etnis yang berbeda-beda sudah dapat dipastikan bahwa harapan-harapan sosial di dalamnya pun berbeda-beda. Untunglah kita agak tertolong dengan kenyataan bahwa pulau Jawa tempat hidup enampuluh persen penduduk Indonesia merupakan pula yang ditandai dengan tingkat kehidupan dan pendidikan yang relatif lebih tinggi. Tapi memprihatinkan bahwa etnosentrisme yang masih berlaku hingga sekarang, bahkan mungkin tanpa disadari benar juga berlaku pada sebagian kalangan berpendidikan tinggi, membuat resiprokalitas budaya pada bangsa Indonesia rendah sekali.
Soedjatmoko pernah mensinyalir suatu perkembangan negatif di dunia perguruan tinggi kita merupakan ajang pertemuan putra-putra dari berbagai daerah Indonesia dan karena itu menjadi tempat terbinanya semangat kebangsaan yang kuat, kini perguruan-perguruan tinggi itu cenderung berubah menjadi cagar etnis, yakni dimana tiap perguruan tinggi berusaha sesedikit mungkin memasukkan mahasiswa maupun tenaga pengajar dari kelompok-kelompok etnis luar.
Dengan penjajahan Belanda yang sangat eksploitatif, kelompok-kelompok masyarakat pun dipenggal-penggal mengikuti suatu rekayasa politik dan kultural yang paling memudahkan dan memaksimalkan eksploitasi. Kalangan aristokrasi pribumi, terutama kalangan priyayi, direnggutkan integritasnya dengan rakyat banyak sehingga tidak lagi dimungkinkan munculnya suatu dinamik politik atau ekonomi yang autosentris seperti yang bisa berlaku di Inggris, Jepang, dan Muangthai. Kaum imigran sukarela atau yang didatangkan dari daratan Cina semenjak zaman Kompeni tidak diberi peluang untuk mengikuti jejak para pendahulunya untuk menyatu dengan masyarakat bumiputera. Skema kolonial segera saja mengukuhkan kedudukan mereka sebagai a nation apart. Proses kebangkitan kelas menengah yang kuat juga dibabat oleh Belanda dengan menutup segenap jalur lalulintas perdagangan internasional dan interinsular bumiputera yang semula begitu ramai dan istimewa. Politik bahasa pemerintah dan kaum kolonialis Belanda membuat bangsa Indonesia begitu lama menjadi katak dalam tempurung. Semua proses yang mematahkan gerak ke arah integrasi serta semua proses yang memenjarakan dinamika menuju emansipasi, politik dan ekonomi harus dibalikkan terlebih dahulu jika kita hendak bicara secara produktif tentang hak-hak individu dan sosial.
Keadaan yang juga seolah-olah menimpakan kutukan pada usaha untuk mengembangkan dan menyantuni hak-hak individual dan sosial ialah kenyataan bahwa tingkat permusuhan antara sesama kekuatan egaliter dalam arena politik di tanah air jauh melebihi tingkat permusuhan antara sesama kekuatan bukan egaliter. Bahkan kenyataan bahwa kekuatan-kekuatan bukan egaliter itu sanggup menjalin suatu kerjasama simbiosis yang panjang dan saling menguntungkan semakin memperbesar daya kutukan itu. Belanda, priyayi, dan imigran Cina (sesudah tahun 1619) yang kesemuanya merendahkan rakyat bumiputera bekerjasama demikian lancarnya katakanlah hingga awal abad duapuluh, yakni hingga Belanda tiba pada posisi yang membuat mereka merasa tidak lagi membutuhkan mediasi kedua kelompok ini di bidang politik dan ekonomi. Kecuali dengan "bulan madu" beberapa tahun antara faksi Islam dan faksi komunis di dalam Sarekat Islam atau "keakraban" kaum sosialis dan modernis Islam di masa Demokrasi Parlementer, boleh dikata kekuatan-kekuatan politik egaliter kita justru senantiasa bertanding atau memangsa satu sama lain.
Islam dan Kristen yang sesungguhnya sama-sama melancarkan proses emansipasi rakyat dari alam feodal dan takhyul animistis dan sama-sama melakukan pencerahan kultural-intelektual juga terus saling menatap sebagai lawan satu sama lain. Mereka nyaris tak saling menyapa. Jabang kelas menengah bumiputera senantiasa menempatkan kelas menengah Cina sebagai lawan di atas segala-galanya. Begitu juga sebaliknya. Alangkah besarnya kekuatan egaliter yang mendukung perjuangan menuju pelaksanaan hak-hak individual jika semua kekuatan-kekuatan ini dapat bersatu.
Perjuangan untuk menegakkan berlaku dan disantuninya hak-hak individual tidak bisa dilepaskan dari perjuangan untuk kembali menegaskan prinsip-prinsip universal. Kita harus mengakui bahwa masih terlalu banyak di antara kita yang pandangan hidupnya masih terpenjara pada kosmologi-kosmologi yang sempit. Tidakkah perlu dipertanyakan berapa banyak di antara kita yang ikut mengibarkan panji-panji keterbukaan dengan kosmologi yang tidak memadai dan karena itu mengibarkan secara percuma? Hak-hak individual, sama halnya dengan ideal keterbukaan, menuntut adanya ketegangan dalam universalitas. Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu Jamie Mackie sudah mengingatkan kita bahwa;
"One has to assess the relative significance of the radical discontinuities in Indonesian political and social life ... as well as the underlying discontinuities in Indonesian society, culture and history which equally deserve attention."
Maka berkaitan dengan analisa di atas ada dua pendekatan saling terkait yang hendak saya usulkan sebelum kita berbicara lebih jauh tentang hak-hak individual dan sosial di Indonesia. Pertama ialah apa yang saya sebut pendekatan geokultural. Pendekatan ini menghendaki agar tiap kelompok budaya pada bangsa kita dari sekarang mulai saling menyapa dan saling mengenal lebih jauh untuk kemudian saling memberi dan menerima. Secara intuitif saya cenderung menyatakan bahwa sekaranglah saatnya kita mengukuhkan persatuan tidak terbatas dalam konteks jual-beli atau tawar-menawar politik. Iklim politik seperti sekarang, dimana pemerintah sangat kuat dan dimana vokalitas tokoh-tokoh arif yang penuh integritas tidak terhambat, sesungguhnya adalah suatu iklim yang sangat baik untuk merekatkan jalinan-jalinan nasional kita. Pembangunan memerlukan suatu kondisi kehidupan budaya yang lebih hangat antara kita.
Dalam pidato pengukuhannya tahun lalu, Profesor Umar Kayam bicara tentang "serat-serat kebudayaan" di Nusantara. Hingga kini saya belum melihat pluralitas kebudayaan kita sebagai "serat-serat." Kata itu mengandung konotasi pluralitas yang saling memperkuat seperti serat-serat pada batang pohon nyiur atau benang-benang pada tenunan. Hingga kini saya masih melihat pluralitas sistem nilai etnis kita tak lebih dari "mosaik" yang indah dipandang. Terutama bagi para ahli antropologi asing, mosaik itu merupakan gudang yang tiada habis-habisnya bagi profesi mereka. Tapi mosaik itu sebagai mosaik sedikit sekali artinya bagi diri bangsa pemiliknya sendiri sebagai suatu bangsa.
Saya, misalnya, memimpikan bagaimana kelompok etnis Bugis-Makassar, yang menurut saya amat banyak tertinggal dalam perlombaan akal-budi, belajar dari kelompok etnis Jawa dan Minang. Dari sistem nilai Jawa, kami bisa mendewasakan prinsip Siri' agar tidak terkungkung pada masalah-masalah sempit kekeluargaan, melainkan menjangkau hal-hal yang lebih penting, mulia, dan lebih besar artinya bagi bangsa kita. Dari sistem nilai Jawa, orang Bugis Makassar dapat belajar lebih banyak tentang relativisme nilai-nilai dan tentang internalisasi serta preservasi kekuatan di dalam kalbu. Dengan demikian prinsip siri' (kehormatan) yang kesediaan berkorbannya luar biasa bisa dibebaskan dari tradisi aksi tanpa kontemplasi, dan bisa disalurkan pada hal-hal yang lebih bermanfaat bagi kehidupan bangsa kita dan yang sekaligus lebih memerlukan daya tahan yang lama.
Dari kelompok etnis Minang, orang Bugis-Makasar dapat belajar banyak tentang prinsip musyawarah. Kami terlalu terbiasa menyelesaikan persoalan secara kaku, lewat ancang-ancang yang patah berubah, sebab Siri' akan suatu pemenuhan seketika (instantaneous gratification). Rata-rata orang Bugis-Makasar merasa hanya merekalah yang memiliki Siri', orang lain tidak. Tidak mengherankan jika untuk menyelesaikan persoalan orang Bugis-Makassar amat sering menempuh jalan kekerasan yang banyak kali tragis. Mungkin kelompok etnis Jawa dan Minang pun dapat belajar dari sistem nilai Bugis-Makasar. Mereka mungkin dapat belajar darinya dalam hal penekanan kesetiaan pada kata (kana). Orang Bugis-Makassar tidak suka melebih-lebihkan atau memanipulasi kata. Sebagaimana pernah ditulis Profesor Noorduijn, ucapan akkanaka (“saya berkata”) mempunyai bobot yang sangat matter-of-fact dalam tradisi historiografi Bugis-Makasar. Itulah sebabnya mengapa peninggalan tertulis mereka punya kadar historisitas yang jauh lebih kuat, khususnya dibanding dengan babad-babad dari Tanah Jawa.
Alangkah besarnya manfaat yang bisa diperoleh jika pluralitas budaya kita sungguh menjadi serat-serat yang saling memperkuat. Dengan saling memberi dan menerima antar sistem nilai, dan di sini kita bicara juga dalam hubungan masalah Islam-Kristen dan Melayu-Cina, suatu resiprokalitas budaya yang sangat kaya akan tercipta. Dengan begitu kita bukan hanya akan hidup bersama secara lebih rukun dengan kepekaan akan hak/kewajiban individual-sosial yang lebih tinggi. Lebih dari itu, kita akan sanggup melaksanakan rencana-rencana pembangunan dengan sesedikit mungkin distorsi, saling curiga, dan kesalahan pengertian. Resiprokalitas mengandung predikatabilitas. Dan predikatabilitas sangat menentukan dalam setiap rencana pembangunan. Tidak masuk akal bila kita, misalnya, begitu getol belajar dari nilai-nilai positif yang ada pada bangsa kita sendiri. Pada konsolidasi dan mobilisasi nilai-nilai budaya positif kita sendirilah terdapat modal awal kita yang tidak dapat kita lewati begitu saja jika kita benar-benar bertekad untuk tumbuh sebagai suatu bangsa besar yang mandiri.
Untuk menunjang pendekatan geokultural ini, tentu dibutuhkan aktualisasi lebih nyata dari prinsip universalitas. Sesungguhnya, aktualisasi prinsip universalitas ini hanya konsekuensi logis dari semangat nasionalisme kita yang terbuka dan lapang.
Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi dunia dan riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka - nasionalis yang bukan chauvinis, tak boleh tidak, haruslah menolak segala faham pengecualian yang sempit budi... Baginya, maka rasa cinta bangsa itu adalah lebar dan luas ... sebagai lebar dan luasnya udara yang memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup”.
Juga dibutuhkan penegasan atau pengembangan lebih jauh dari nilai-nilai partikular milik khazanah kebudayaan etnis kita, yang sifat positifnya dapat diperluas hingga berlingkup nasional. Tiadanya androsentrisme pada kebudayaan-kebudayaan lama di Asia Tenggara akan sangat menunjang usaha mengangkat harkat kaum wanita kita dengan memberikan atau mengembalikan hak-hak mereka untuk lebih setara dengan kaum pria dalam mengatur, berpartisipasi, dan menentukan jalannya kehidupan masyarakat. Partikularitas budaya Minang- suatu kebudayaan yang luar biasa lapang dan terbukanya untuk dialog juga akan sangat membantu dalam usaha mengaktualisasikan ideal universalitas kita.
Seiring dengan pendekatan geokultural ini, kita juga perlu melancarkan pendekatan hak-hak dasar (basic rights) manusia secara lebih jelas dengan sasaran yang di satu pihak tidak terlalu muluk, dan di lain pihak tidak monokultural. Yang ada dalam benak saya ialah suatu paduan antara model yang dikemukakan Henry Shue dengan model Michael Walzer. Model hak-hak dasar yang dikembangkan oleh Henry Shue menekankan hak akan perlindungan dan hak subsistensi. Kedua hak ini bagi Shue merupakan sesuatu yang sangat mendasar dan tidak dapat ditawar karena yang satu tidak akan berlaku tanpa yang lainnya. Tidak ada subsistensi jika keamanan dan jiwa terancam, dan tidak ada artinya keamanan jika orang tak memiliki sandang, pangan dan papan minimal untuk hidup sebagai manusia.
Model Kebutuhan Dasar yang pernah dikembangkan oleh Soedjatmoko bisa amat berperan di sini, terutama dalam hal keakraban cendekiawan terkemuka ini dengan mekanisme politik dan ekonomi serta kompleksitas pembagian sumber-sumber daya di negara-negara berkembang. Kelebihan model Henry Shue ialah ketegasannya pada hak akan perlindungan yang disejajarkan dengan hak subsistensi. Pada model Soedjatmoko, hak akan perlindungan disubordinasikan pada hak akan subsistensi. Hak akan perlindungan dengan demikian diserahkan kepada kesadaran para pelaksana hukum di bawah pengarahan pemerintah. Pada model Shue hak atas perlindungan tidak ditampilkan sebagai pemberian melainkan sungguh-sungguh sebagai hak, yang harus disediakan oleh pemerintah tidak sebagai kebaikan melainkan sebagai kewajiban.
Beda dengan Shue, Walzer memberi kita suatu model yang lebih memberi ruang bagi perbedaan-perbedaan dalam sistem nilai dan tingkat kemajuan suatu atau antara kelompok masyarakat. Ideal Walzer ialah terciptanya suatu keadilan tanpa penindasan. Ia menyebut modelnya complex equality.
Tyranny is always specific in character: a particular boundary crossing, a particular violation of meaning. Complex equality requires the defense of boundaries; it works by dfflerentiating goods just ... as hierarchies works by differentiating people ... we can only talk of a regime of complex equality when there are many boundaries to defend; and ... the right number is cannot be specified. There is no right number. Simple equality is easier: one dominant good widely distributed makes an egalitarian society. But complexity is hard: harmony goods must be autonomously conceived before the relations they mediate can become the relations ... equal men and women? There is no certain answer … hence no ideal regime. But as soon as we start to distinguish meanings and mark out distributive spheres, we are launched on an egalitarian enterprise”.
Pendekatan kedua ini tentu saja perlu diteliti lebih jauh kesesuaiannya dengan kondisi kita. Tapi mengingat sifat huru-hara, keributan, dan pemberontakan yang kita gambarkan di atas maupun yang tidak sempat dipaparkan semua di sini, yakni sifat subsistensi dan keragaman sistem maknanya, saya kira pendekatan ini ada baiknya diperhatikan.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

mantap

Posting Komentar