5 Agu 2011

Rumah, Mobil, Korupsi, dan Ilegalitas di Kota

Oleh M. Nawir
Judul postingan di atas diinspirasi oleh tulisan Leonardo Padura Fuentes dalam versi bahasa Inggris yang berjudul Cuba: Cars, Houses, Corruption, Illegality, yang saya petik dari website “Other News” asuhan Roberto Savio, edisi Kamis 28 Juli 2011. Leonardo Padura Fuentes adalah seorang penulis dan wartawan Kuba, yang novelnya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari lima belas bahasa. Karyanya yang terbaru adalah The Man Who Loved Dogs, yang menggambarkan Leon Trotsky dan pembunuhnya Ramon Merc ader sebagai karakter tokoh sentralnya (silahkan berselancar di http://www.other-net.info/index.php).
Judul tulisan tersebut akan lebih kontekstual jika dikaji dari trend pertumbuhan kota-kota besar di Indonesia, tidak terkecuali di Makassar. Pertumbuhan kota yang ditandai dengan membengkaknya kepadatan penduduk akibat urbanisasi seakan berkejaran dengan tingkat kepadatan pemukiman, dan kepadatan kendaraan bermotor di jalan raya pada satu sisi; serta, praktik-praktik ilegalitas seperti korupsi di level elit politik , dan kriminalitas warga kota, pada sisi yang bersamaan.
Kita seringkali bertanya “bagaimana mengendalikan pemukiman kumuh?” atau “bagaimana mengatasi kemacetan kendaraan di jalan raya?”. Penjelasan terhadap kedua pertanyaan tersebut menjadi teramat kompleks. Jika seorang birokrat-teknokrat yang ditanya, maka kemungkinan besar mereka menjawabnya dengan membangun rumah susun atau perumahan sederhana. Jawaban yang kurang lebih sama maksudnya adalah memperluas ruas jalan raya, membangun busway atau pun monorail. Kata kunci dari kedua jawaban tersebut adalah pengadaaan. Jadi, pengadaan yang membutuhkan pengadaan baru, dan terus begitu mengikuti teori dasar pertumbuhan ekonomi konsumtif. Ibarat pengadaaan alat-alat kantor setiap tahun dianggarkan untuk peralatan yang sama maupun baru. Lama kelamaan ruangan kantor menjadi sempit dan nyaris menjadi gudang berbagai peralatan.
Jarang sekali kita bertanya “mengapa pemukiman penduduk kian padat, bahkan kumuh”, dan “mengapa kemacetan tidak bisa diatasi dengan perluasan ruas jalan”. Jawaban atas problematika ini tercermin pada judul tulisan Leonardo, yakni ada korelasi positif atas kebebasan memiliki dan menjual barang mewah dengan perilaku korup dan ilegalitas masyarakatnya. Pemerintah Indonesia, terutama sejak Orde Baru tidak lagi mengenal pembatasan kepemilikan tanah, rumah dan kendaraan bermotor. Dalam hal pengadaan barang seperti ini, orang indonesia sudah pantas disebut “liberal-materialistis”.
Tingginya kasus korupsi, yang oleh para ahli menyebut perilaku itu yang bersifat sistemik, menunjukkan adanya penumpukan kekayaan pada sekelompok kecil orang tertentu. Ada semacam “nilai lebih” dari para majikan, yang saya pelintir menjadi orang-orang yang “kelebihan uang”. Korupsi dan kejahatan yang semacam ini jelas modus awalnya adalah memperkaya diri. Dengan “uang lebih”, semua bisa dibeli atau diadakan. Para pencuri dan perampok pun membayangkan pendapatan yang lebih daripada sekedar upah buruh pabrik atau keuntungan berdagang di kaki lima.
Pembiakan pemukiman kumuh tentu dapat dijelaskan dari sisi bisnis properti yang mengutamakan kelas masyarakat tertentu, di samping ketiadaan akses orang miskin pada pengelolaan perumahan rakyat. Sementara kemacetan harus dipandang dari sisi pengadaan kendaraan bermotor tanpa batas, yang tidak bisa lagi dipandang dari sisi kegagalan manajemen transportasi. Artinya, pada titik tertentu diperlukan sebuah pemerintahan yang secara tegas membatasi kebebasan setiap orang melakukan pengadaaan untuk kepentingan yang lebih mendasar, yakni ketertiban dan keadilan sosial. Pada saat yang sama, sebuah ketegasan yang sama diperlukan dalam mencegah dan memberantas pelaku tindak pidana yang merugikan negara dan masyarakatnya. Soal yang begini kita perlu belajar dari negeri lain, misalnya Kuba.
Tidak banyak negara seperti Kuba di dunia ini, yang selama setengah abad berhasil mempertahankan kebijakan pembatasan kepemilikan mobil dan rumah untuk pribadi, yang dikenal dengan kebijakan egaliter (egalitarian policies) “satu rumah satu mobil” (one home and one car). Hanya mobil yang diproduksi sebelum 1959 bisa bebas dan legal dijual ke negeri Kuba. Namun, dalam lima belas tahun terakhir, sejak krisis ekonomi tahun 1990-an, bagi orang-orang tertentu memungkinkan pembelian mobil baru atau pun mobil bekas.
Aturan yang relatif sama diberlakukan untuk real estate. Larangan dan pembatasan penjualan terhadap bisnis perumahan – yang dikenal dengan "permutas" – dimaksudkan untuk mencegah pihak-pihak yang terlibat menangguk keuntungan dari membeli atau menjual rumah mereka secara bebas. Setidaknya terdapat 6 peraturan eksekutif yang bersifat perintah, 2 keputusan yang bersifat pedoman, dan 180 peraturan lain yang serupa, telah diperkenalkan oleh Depeartemen Perumahan Nasional, Departemen Kehakiman, dan organisasi lainnya. Demikian halnya dengan mobil. Ada "40 larangan atau batasan yang berkaitan dengan pengalihan aset". Namun, tidak bisa dipungkiri, pembatasan tersebut menimbulkan pasar gelap (black market), khususnya di bidang properti.
Pemerintah sosialis Kuba melalui presiden Raul castro memprakarsai "pembaruan model ekonomi" dengan mengendurkan kontrol pada pembelian dan penjualan mobil dan rumah. Pengumuman perubahan ini tidak termasuk penjualan rumah atau pun mobil baru (yang merupakan monopoli negara), dengan aturan ketat dan dan pajak tinggi yang dikenakan pada penjualan, pemilikan maupun pewarisannya.
Dari contoh kecil pengalaman Kuba itu, kita dapat memetik pelajaran tentang peran negara dalam mengontrol kepemilikan privat untuk menjamin pemerataan keadilan sosial. Dalam konteks Kuba, kebijakan tersebut berimplikasi positif pada penataan transportasi kota. Kontrol ketat terhadap kepemilikan kendaraan bermotor bisnis automotif dapat dilihat hasilnya di jalan-jalan raya yang minim kemacetan. Demikian halnya di sektor perumahan. Pada saat yang sama, tanpa menjadi jargon pun, jika kebijakan yang sosialistik dijalankan secara konsisten, sebenarnya semua itu efektif untuk mencegah tindak korupsi sejak dini; yang artinya mencegah setiap orang memperkaya diri, memperbanyak rumah dan kendaraan bermotor secara tanpa batas.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Elit politik dan pemegang kekuasaan tidak bisa lepas dari yang namanya praktek ilegalitas. Kebutuhan untuk dapat memenuhi keinginan diri sendiri dan keluarga. Korupsi tanpa disadari adalah perilaku keji yang berdampak terhadap jutaan orang miskin yang membutuhkan kesetaraan dan pencapaian kesejahteraan yang maksimal. Sy setuju korupsi diberangus dengan cara yang kejam pula, sanksi dalam UU Tipikor dimasukkan hukuman mati pelaku korupsi di atas 150 juta, tanpa proses banding. Kecuali kawan2 meunggu sejahtera 100 tahun yang akan datang atau tdk sama sekali hingga kiamat.

Anonim mengatakan...

koropsi d birokrasi-politisi-polisi sdh kronis. suap di jln2 sdh lumrah. masy pun anggapx bkn lg perbuatan keji. jd, siapa lg yg hrs memberantasnya?

Anonim mengatakan...

kecenderungan masyt. jd permisif pd perilaku korup atau koruptor. sbnarx krn mrk msh menyimpan budaya ms lalu, yakni menghargai pimpinan atau org yg disegani. nah, koruptor itu pd umumx orang2 tsb.

Posting Komentar