19 Agu 2011

Solusi Paradigmatik Atasi Kemiskinan

M. Nawir
Aktivis Jaringan Rakyat Miskin Kota - Uplink Indonesia
Postingan berikut ini dipetik dari hasil wawancara yang dimuat media online Kabar Makassar.com edisi 11 oktober 2010. Sedikit diedit dan penambahan kata oleh penulis. Judul asli Harus Ada Solusi Nyata Atasi Kemiskinan (buka http://www.kabarmakassar.com/ berita/30-opini-utama/530-harus-ada-solusi-nyata-atasi-kemiskinan.html).
Data kemiskinan di kota Makassar adalah data versi BPS yang menggunakan indikator nasional. Setahu penulis, pemkot belum pernah merilis data dan angka kemiskinan versi sendiri berdasarkan survey dengan indikator lokal. Kemungkinan besar berbeda dengan BPS, bisa lebih besar, atau sebaliknya.
Kalau KPRM dan Jaringan Rakyat Miskin Kota (Uplink Indonesia) Makassar, lebih menfokuskan pada penurunan kualitas kemiskinan atau peningkatan kesejahteraan. Ukuran umum yang digunakan adalah sembilan kebutuhan dasar manusia (sembada), yakni kebutuhan subsistensi (sandang, pangan, papan), proteksi (perlindungan dari bencana, kekerasan, hak hidup), afeksi (pengakuan terhadap martabat dan sikap dasar), pemahaman (informasi dan pendidikan), identitas (pengakuan pada status sosial dan etnisitas), partisipasi, kreativitas, kebebasan dan waktu luang. Sementara ukuran pemerintah terutama pada pemenuhan kebutuhan subsistensi, misalnya asupan kalori pangan (sembako), dan pendapatan/belanja.
Indikator pokok kemiskinan versi pemerintah (BPS) adalah pemenuhan kebutuhan subsistensi, terutama pangan atau Sembako dan pendapatan/belanja (modal ekonomi). Jika angka pengangguran tinggi, maka indikator pokok itu pasti goncang.
Dari hasil riset evaluasi UPC dan Uplink Indonesia bekerjasama dengan peneliti independen Awalil Rizky tahun 2008-2009, menyimpulkan bahwa orientasi pengentasan kemiskinan masih pada penurunan angka, bukan pada perubahan mendasar. Orientasi angka ini pun masih dipandang pesimis pencapainnya. Sebagai perbandingan periode 2004-2009, pemerintah SBY-Kalla waktu itu menargetkan penurunan angka kemiskinan dari 16,6 persen menjadi 8,2 persen, berikut penurunan angka pengangguran dari 9,9 persen menjadi 5,1 persen. Apa yang terjadi? Selama tiga tahun menjabat (2004 – 2007), presentase penduduk miskin masih fluktuatif dan hanya bertahan di level yang sama (16,6 persen). Salah satu faktor penyebab, yaitu proyek-proyek nasional pengentasan kemiskinan dalam skema PNPM masih dinikmati oleh mayoritas rakyat yang “hampir miskin” (near poor). Banyak juga kasus proyek-proyek pengentasan kemiskinan dinikmati penduduk tidak miskin atau pun yang disalahgunakan.
Walaupun pada tahun ini dinyatakan angka kemiskinan menurun, belum tentu kualitasnya. Masih banyak ditemukan kasus malnutrisi maupun gizi buruk, bahkan kelaparan. Patologi sosial di mana-mana. Urbanisasi, pengangguran, serta status tempat tinggal yang rentan dan tidak layak huni adalah persoalan kemiskinan yang nyaris permanen.
Dalam kurun waktu 2002 – 2008, program-program pengentasan kemiskinan di Makassar masih mengekor pada program pemerintah pusat dibawah berbagai macam skema seperti PNPM, Askeskin/Jamkesmas, BLT, BOS, KUR, paving blok, dan semacamnya. Inisiatif dan inovasi lokal baru dimulai beberapa tahun terakhir ini, dengan keterlibatan sejumlah LSM/mitra. Contoh yang dianggap inovatif oleh berbagai kalangan di antaranya lima program IASMO Bebas. Atau, yang spesifik dinilai berhasil adalah program subsidi pendidikan dan asuransi kesehatan pemerintah kabupaten Sinjai. Hanya saja, program-program seperti itu tidak cukup memproteksi rakyat miskin dari kerentanan sosial akibat bencana dan penggusuran.
Makanya, Uplink Indonesia sedang merundingkan konsep penataan pemukiman informal (upgrading kampung), yang memang direkomendasikan PBB (UN Habitat, UNISDR, IFRC). Pendekatannya integrasi, keterpaduan aspek sosial dan ekosistim untuk mengatasi kerentanan sosial dan resiko bencana sebagai dampak pembangunan global dan perubahan iklim (climate-chance).
Seharusnya yang dikedepankan dalam mengatasi permasalahan ini adalah mengenali betul masalah pokok orang miskin, kemudian paradigma atau pun perspektif apa yang digunakan sebagai dasar menemukan solusi. Uplink Indonesia memandang kemiskinan sebagai proses pemiskinan (struktural), dimana orang-orang miskin terperangkap atau pun dikonstruksi oleh proyek-proyek developmentalisme dan kapitalisasi urusan publik. Akhirnya, sehari-hari orang miskin mengukur kemiskinan sesuai ukuran penilaian atau pun standar pencapaian yang ditetapkan pengelola proyek dan penentu kebijakan, baik itu pemerintah maupun swasta. Sebaliknya, pengelola proyek juga terperangkap oleh pendekatan dan bentuk intervensinya masing-masing. Miskin inovasi.
Orang miskin dan pengelola proyek kemiskinan sama-sama masuk dalam perangkap kemiskinan. Untuk membongkar perangkap ini, tidak bisa lagi diandalkan pendekatan penurunan angka, tapi dengan pendekatan pemenuhan kesejahteraan, di dalamnya pemenuhan rasa keadilan. Banyak contoh di dunia yang sukses mempraktekkan pendekatan kesejahteraan dengan pemenuhan hak-hak ekosob (Ecosoc Rights).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar