Aktivis
Jaringan Rakyat Miskin Kota - Uplink Indonesia
Postingan
berikut ini dipetik dari hasil wawancara yang dimuat media online
Kabar Makassar.com edisi 11 oktober 2010. Sedikit diedit dan
penambahan kata oleh penulis. Judul asli Harus
Ada Solusi Nyata Atasi Kemiskinan
(buka http://www.kabarmakassar.com/
berita/30-opini-utama/530-harus-ada-solusi-nyata-atasi-kemiskinan.html).
Data
kemiskinan di kota Makassar adalah data versi BPS yang menggunakan
indikator nasional. Setahu penulis, pemkot belum pernah merilis data
dan angka kemiskinan versi sendiri berdasarkan survey dengan
indikator lokal. Kemungkinan besar berbeda dengan BPS, bisa lebih
besar, atau sebaliknya.
Kalau
KPRM dan Jaringan Rakyat Miskin Kota (Uplink Indonesia) Makassar,
lebih menfokuskan pada penurunan kualitas kemiskinan atau peningkatan
kesejahteraan. Ukuran umum yang digunakan adalah sembilan kebutuhan
dasar manusia (sembada), yakni kebutuhan subsistensi (sandang,
pangan, papan), proteksi (perlindungan dari bencana, kekerasan, hak
hidup), afeksi (pengakuan terhadap martabat dan sikap dasar),
pemahaman (informasi dan pendidikan), identitas (pengakuan pada
status sosial dan etnisitas), partisipasi, kreativitas, kebebasan dan
waktu luang. Sementara ukuran pemerintah terutama pada pemenuhan
kebutuhan subsistensi, misalnya asupan kalori pangan (sembako), dan
pendapatan/belanja.
Indikator
pokok kemiskinan versi pemerintah (BPS) adalah pemenuhan kebutuhan
subsistensi, terutama pangan atau Sembako dan pendapatan/belanja
(modal ekonomi). Jika angka pengangguran tinggi, maka indikator pokok
itu pasti goncang.
Dari
hasil riset evaluasi UPC dan Uplink Indonesia bekerjasama dengan
peneliti independen Awalil Rizky tahun 2008-2009, menyimpulkan bahwa
orientasi pengentasan kemiskinan masih pada penurunan angka, bukan
pada perubahan mendasar. Orientasi angka ini pun masih dipandang
pesimis pencapainnya. Sebagai perbandingan periode 2004-2009,
pemerintah SBY-Kalla waktu itu menargetkan penurunan angka kemiskinan
dari 16,6 persen menjadi 8,2 persen, berikut penurunan angka
pengangguran dari 9,9 persen menjadi 5,1 persen. Apa yang terjadi?
Selama tiga tahun menjabat (2004 – 2007), presentase penduduk
miskin masih fluktuatif dan hanya bertahan di level yang sama (16,6
persen). Salah satu faktor penyebab, yaitu proyek-proyek nasional
pengentasan kemiskinan dalam skema PNPM masih dinikmati oleh
mayoritas rakyat yang “hampir miskin” (near poor). Banyak juga
kasus proyek-proyek pengentasan kemiskinan dinikmati penduduk tidak
miskin atau pun yang disalahgunakan.
Walaupun
pada tahun ini dinyatakan angka kemiskinan menurun, belum tentu
kualitasnya. Masih banyak ditemukan kasus malnutrisi maupun gizi
buruk, bahkan kelaparan. Patologi sosial di mana-mana. Urbanisasi,
pengangguran, serta status tempat tinggal yang rentan dan tidak layak
huni adalah persoalan kemiskinan yang nyaris permanen.
Dalam
kurun waktu 2002 – 2008, program-program pengentasan kemiskinan di
Makassar masih mengekor pada program pemerintah pusat dibawah
berbagai macam skema seperti PNPM, Askeskin/Jamkesmas, BLT, BOS, KUR,
paving blok, dan semacamnya. Inisiatif dan inovasi lokal baru dimulai
beberapa tahun terakhir ini, dengan keterlibatan sejumlah LSM/mitra.
Contoh yang dianggap inovatif oleh berbagai kalangan di antaranya
lima program IASMO Bebas. Atau, yang spesifik dinilai berhasil adalah
program subsidi pendidikan dan asuransi kesehatan pemerintah
kabupaten Sinjai. Hanya saja, program-program seperti itu tidak cukup
memproteksi rakyat miskin dari kerentanan sosial akibat bencana dan
penggusuran.
Makanya,
Uplink Indonesia sedang merundingkan konsep penataan pemukiman
informal (upgrading kampung), yang memang direkomendasikan PBB (UN
Habitat, UNISDR, IFRC). Pendekatannya integrasi, keterpaduan aspek
sosial dan ekosistim untuk mengatasi kerentanan sosial dan resiko
bencana sebagai dampak pembangunan global dan perubahan iklim
(climate-chance).
Seharusnya
yang dikedepankan dalam mengatasi permasalahan ini adalah mengenali
betul masalah pokok orang miskin, kemudian paradigma atau pun
perspektif apa yang digunakan sebagai dasar menemukan solusi. Uplink
Indonesia memandang kemiskinan sebagai proses pemiskinan
(struktural), dimana orang-orang miskin terperangkap atau pun
dikonstruksi oleh proyek-proyek developmentalisme dan kapitalisasi
urusan publik. Akhirnya, sehari-hari orang miskin mengukur kemiskinan
sesuai ukuran penilaian atau pun standar pencapaian yang ditetapkan
pengelola proyek dan penentu kebijakan, baik itu pemerintah maupun
swasta. Sebaliknya, pengelola proyek juga terperangkap oleh
pendekatan dan bentuk intervensinya masing-masing. Miskin inovasi.
Orang
miskin dan pengelola proyek kemiskinan sama-sama masuk dalam
perangkap kemiskinan. Untuk membongkar perangkap ini, tidak bisa lagi
diandalkan pendekatan penurunan angka, tapi dengan pendekatan
pemenuhan kesejahteraan, di dalamnya pemenuhan rasa keadilan. Banyak
contoh di dunia yang sukses mempraktekkan pendekatan kesejahteraan
dengan pemenuhan hak-hak ekosob (Ecosoc Rights).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar