23 Agu 2011

Refleksi Gerakan Penolakan Kenaikan BBM 2008

Catatan Subhan Usman - ForKATA
Pernah ada ForKATA - Forum Kajian Kota di kota ini. Sebuah perkumpulan aktivis mahasiswa Unhas yang menginisiasi kajian perubahan sosial perkotaan. Mereka adalah alumni Sekolah Sore, suatu kelompok studi terbatas yang difasilitasi Alwy Rachman cs. ForKATA juga menerbitkan jurnal SUARA KOTA (7 edisi), hingga mandek. Kini, para aktivis perkumpulan ini bekerja profesional di beberapa kota di Indonesia.
Di tengah gonjang-ganjing penolakan kenaikan harga BBM tahun 2008, persisnya 26 Mei, ForKATA menggelar forum kajian di pendopo Kampus STMIK Dipanegara. 30-an mahasiswa dan masyarakat mengikuti acara itu hingga usai. Menghadirkan pembicara dari aktivis mahasiswa dan perwakilan rakyat miskin kota. Hasilnya adalah catatan reflektif tentang kontroversi kebijakan pemerintah RI dan aksi-reaksi dari mahasiswa dan masyarakat atas kenaikan harga BBM. Catatan ForKATA ini tentu saja akan tetap relevan hingga kini lantaran pemerintah belum pernah merancang kebijakan penurunan harga BBM (Bahan Bakar Minyak).
Catatan ini menjadi menarik ketika ForKATA mencoba mengulas aksi-reaksi mahasiswa dari waktu ke waktu berkaitan dengan penolakan kenaikan BBM. isu seputar independensi organ aksi, fragmentasi isu, dan polarisasi gerakan mahasiswa terungkap dalam forum ini. ForKATA terkesan mengambil jarak dari dinamika aksi. Adalah Subhan Usman alias Uya, yang sempat mengkordinasi ForKATA, merangkum hasil diskusi  hari itu. Berikut catatannya.
Naiknya harga BBM, tak ayal adalah kenyataan yang meresahkan. Di tengah daya beli warga yang tidak mendukung, harga BBM dinaikkan. Keputusan ini telah melahirkan justifikasi dan keyakinan warga bahwasanya pemerintah tidak memihak kepada rakyat .
Naiknya harga minyak di pasaran dunia adalah sebuah kondisi imperatif (menyeru, memaksa) yang memaksa pemerintah untuk menyesuaikan harga minyak dalam negeri. Dan “menyesuaikan”, bukan lain berarti “’harus’ menaikkan”. Konsekuensi dari tidak dinaikkannya harga BBM adalah negara akan menanggung beban kenaikan angka subsidi. Dan penambahan subsidi, berarti ancaman bagi kesetimbangan APBN. APBN kita “jebol”--istilah simbolis yang kemudian populer bagi situasi itu. Harga BBM harus naik. Kata kuncinya: tidak ada pilihan lain.
Di pihak lain muncul pandangan lain. Utamanya dari kalangan intelektual, LSM dan mahasiswa, keputusan untuk menaikkan harga BBM adalah putusan yang salah, olehnya harus ditolak. Oleh mereka keputusan itu menunjukkan beberapa hal sebagai berikut.
  1. Lemahnya kedaulatan ekonomi negara (NKRI). Sebagai perbandingan adalah republik sosialis Venezuela. Stasiun televisi Metro TV melaporkan bahwa Republik Venezuela tetap mensubsidi harga BBM untuk rakyatnya. Harga setiap liter bahan bakar premium di negeri itu tetap bertahan pada harga Rp 400,-. Soalnya bukan pada naik-tidaknya harga minyak dunia, tapi pada berdaulat-tidaknya negara menentukan arah ekonominya sendiri.
  2. Masih terkait poin di atas, kelemahan itu kian jelas berdasarkan fakta bahwa kenaikan harga minyak dunia lebih dikarenakan ulah para spekulan, bukan oleh situasi kelangkaan (misal: terjadi situasi force majeure, atau pun habisnya cadangan minyak dunia). Terkait hal ini, sebuah acara diskusi di stasiun televisi SCTV yang menghadirkan pembicara dari unsur partai dan akademisi beberapa waktu yang lalu menyampaikan bahwa 60% perubahan harga minyak dunia ditentukan oleh para spekulan, bukan oleh negara-negara eksportir minyak.
  3. Solusi yang diajukan oleh pemerintah untuk menanggulangi kenaikan harga BBM dengan program BLT (Bantuan Langsung Tunai) bukanlah pemecahan masalah. BLT adalah (3.1) model pendekatan karitatif (charity), dan sebagaimana diketahui, model pendekatan karitatif tidak didaktif terhadap mental ekonomi warga. Model pendekatan karitatif justru mengafirmasi mental malas warga. Terlepas dari karakter BLT yang karitatif itu; (3.2) nilai BLT sebesar Rp 100 ribu tidak sepadan dengan melonjaknya harga-harga yang timbul sebagai konsekuensi dari naiknya harga BBM. Di lain pihak, mengikut sejumlah ekonom, pengucuran dana BLT akan menimbulkan dampak membesarnya angka inflasi.
  4. Keputusan pemerintah menaikkan harga BBM menunjukkan terbatasnya gagasan alternatif. Sangar sedikit alternatif yang dapat ditempuh untuk mengelakkan negara dari ‘situasi terpaksa’ yang timbul dari naiknya harga minyak dunia. Solusi alternatif yang dimaksud antara lain: 
    (4.1) Efisiensi anggaran penyelenggara negara. Dengan skema ini, terhitung trilyunan dana per tahun yang dapat dihemat untuk menopang APBN.
    (4.2) Penjadwalan ulang (rescheduling) utang luar negeri. Argentina bahkan memutihkan utang luar negerinya.
    (4.3) Pemberlakuan pajak progresif. Terutama buat perusahaan-perusahaan transnasional di dalam negeri. Dengan kata lain, optimalisasi aset negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana amanat UUD. 
    (4.4) Penyitaan harta kekayaan koruptor. Terutama terhadap kasus BLBI yang belum tuntas sampai, langkah tegas pemerintah untuk menyelesaikan masalah tersebut — bukan dengan memberi kelunakan berupa Release and Discharge­ seperti yang pernah ditempuh di masa pemerintahan sebelumnya — dapat menjadi sumber dana yang lebih dari cukup untuk mengamankan neraca APBN.
  1. Bentuk penolakan terhadap kenaikan harga BBM yang berangkat dari pandangan-pandangan di atas kemudian muncul dalam dua bentuk. Pertama, penolakan yang dengan kecenderungan ideologis; penolakan dengan tuntutan kepada pemerintah untuk menentukan sikap politik dan ekonominya secara tegas di dunia internasional. Dan, Kedua, penolakan tanpa menantang arus pasar dunia dengan menuntut dilakukannya manajemen aset nasional agar pemerintah tidak perlu melimpahkan beban ekonomi negara kepada warga.
  2. Pro-kontra pandangan ini tidak hanya selesai di tingkat wacana. Sikap penolakan kemudian memanifestasi dalam berbagai dan berkali-kali aksi unjuk rasa yang terutama dilakukan oleh kelompok mahasiswa. Berbeda dengan keputusan penaikan harga BBM pada masa-masa sebelumnya, aksi unjuk rasa tahun ini berlangsung sampai pasca pengumuman keputusan  kenaikan harga BBM.
  3. Di lain pihak, pemerintah menunjukkan konsistensi pada keputusannya. Konsistensi tersebut memanifestasi lewat langkah aparat keamanan untuk meredam setiap aksi massa yang dianggap telah menganggu ketertiban.
Mahasiswa BBM vs Masyarakat BLT
Kendati diarahkan untuk menelaah isu yang cukup sederhana; menyangkut dampak kenaikan harga BBM terhadap warga kota (olehnya maka elemen masyarakat dihadirkan), peserta diskusi rupanya melahirkan banyak pandangan menyangkut kenaikan harga BBM di luar arahan itu.
Arahan diskusi akhirnya disesuaikan dengan kecenderungan yang muncul dari peserta. Peserta diskusi yang terdiri dari belasan mahasiswa dari berbagai kelompok dan organisasi, sejumlah perwakilan LSM dan warga ini, terutama menginginkan telaah ulang terhadap keputusan pemerintah menaikan harga BBM. Selain kembali menelaah skenario keputusan pemerintah tersebut, diskusi ini berisikan pula refleksi terhadap aksi demonstrasi mahasiswa, dan berbagai hal lainnya. Berikut adalah ringkasannya.
  1. Mahasiswa: Kenaikan Harga BBM Tidak Perlu Terjadi
Oleh mahasiswa, dengan sejumlah argumentasi yang mirip dengan uraian di awal, kenaikan BBM adalah sesuatu yang tidak perlu. Banyak alternatif yang bisa ditempuh, namun alternatif itu sama sekali tidak pernah dipilih. “Pikiran saya mungkin sederhana saja,” ungkap salah seorang mahasiswa, “negeri kita negeri kaya. Hutan kita luas, laut apa lagi. Emas dan minyak kita banyak, tapi kenapa urusan BBM saja tidak mampu disubsidi? Kemana semua kekayaan itu? Ini sudah terjadi berkali-kali. SBY saja sudah menaikkannya dua kali”.
Seperti tidak puas dengan aksi-aksi unjuk rasanya kemarin-kemarin, pada umumnya mahasiswa berbicara dengan mengutip sejumlah poin-poin isu yang mereka angkat pada aksi-aksi unjuk rasa yang mereka lakukan. Mahasiswa berbicara tentang efesiensi anggaran kinerja pemerintahan, penjadwalan ulang pembayaran utang luar negeri (juga dengan Argentina sebagai contoh). Beberapa di antaranya mengajukan gagasan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, utamanya perusahaan  pertambangan.
Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ikut pula disinggung. Kata mereka, dana BLBI cukup untuk mengamankan negara dari kewajibannya membayar utang untuk tempo pembayaran beberapa kali, tapi skenario itu tidak pernah ditempuh serius. Para pengemplang utang tidak pernah jelas statusnya. Pemerintahan yang sudah berganti empat kali sejak Reformasi 1998 tidak pernah menunjukkan keseriusan untuk menuntaskan kasus ini. “Mereka tidak pernah punya political will” ungkap seorang mahasiswa.
  1. Gerakan Mahasiswa, Mengutamakan Bendera Menomorkesekiankan Tujuan
Di Makassar, tidak menyatunya gerakan mahasiswa tampak dengan jelas sejak gelombang pertama aksi. Sebelum kenaikan harga BBM diputuskan, ketidakmenyatuan itu sudah tampak tatkala sejumlah BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) berunjukrasa dengan bendera dan jas almamater masing-masing. Demikian pula dengan organisasi-organisasi ekstra kampus. Ketidakpaduan itu memuncak pada saat aksi di gedung DPR Sulawesi Selatan pada tanggal 21 Mei lalu. Setiap organisasi datang sendiri-sendiri dan menggerombol di titik yang berbeda. “Dengan jas almamater yang aneka warna, aksi unjuk rasa itu kelihatan mirip karnaval” ungkap pembicara yang mewakili mahasiswa.
Menyangkut hal ini para mahasiswa banyak menunjukkan kebingungan. “Iya, itu kenyataan”..., “Dan saya juga bingung, kenapa pecah begitu.” Ungkap pembicara yang mewakili mahasiswa.
Tambahnya lagi, jika perpecahan itu harus ditafsir sebagai perbedaan cara pandang, maka itu agak ironis karena perbedaan itu tidak pernah selesai dikomunikasikan. Usaha itu selalu berujung pada kegagalan. Setiap kelompok mahasiswa akhirnya berunjukrasa dengan bendera masing-masing, dengan barisan aksi masing-masing. Padahal, tujuan demonstrasi mahasiswa, sama.
Ya, betul membingungkan. Kalau mahasiswa turun atas nama rakyat, kenapa mereka terpecah-pecah? Atas nama ideologi? Saya justru curiga kalau aksi-aksi unjuk rasa mahasiswa sudah ada yang menunggangi.” Tanggap salah seorang mahasiswa dari STMIK Dipanegara.
Perpecahan dalam tubuh gerakan mahasiswa memang merupakan salah satu isu yang menarik untuk ditelaah. “Perpecahan itu mungkin memang sukar dipahami jikalau mahasiswa tidak berpikir kritis merefleksi gerakannya sendiri” ungkap pembicara yang mewakili mahasiswa. Menurutnya, perpecahan itu karena berbagai alasan. Pertama, mahasiswa lebih banyak mengedepankan kepentingan eksistensi lembaganya ketimbang sungguh-sungguh mengajukan protes atas nama nasib warga. Mahasiswa seringkali turun ke jalan dengan niat aktualisasi diri saja. Aktualisasi diri itu bisa terpecah atas berbagai motif. Bisa karena narsis saja, dan bisa pula karena alasan politis — cari muka ke para pejabat. Yang terakhir bukan sekadar asumsi. Kisah tentang sejumlah aktivis mahasiswa di masa lalu menunjukkan hal tersebut valid.
Kedua, lanjutnya, soal tungang-menunggangi tidak bisa dinafikan. Jika misalnya kita mengaitkan demonstrasi penolakan kenaikan harga BBM dengan dekatnya momentum Pemilu 2009, skema itu bisa saja terjadi.
Kritik terhadap gerakan mahasiswa datang pula dari warga kota. Pembicara dari KPRM mengatakan bahwa mahasiswa bergerak tanpa melibatkan warga. Padahal, pihak yang pertama-tama dan paling merasakan kenaikan harga BBM adalah warga. Terutama warga perkotaan. Dan ditambahkannya pula bahwa subsidi langsung dalam bentuk pemberian BLT tidak menyelesaikan masalah yang tengah mereka hadapi. Terlepas dari skema kenaikan harga BBM, program BLT punya banyak masalah.
  1. Program BLT, Bermasalah
Program BLT, selain memiliki masalah pada dirinya, juga menimbulkan masalah baru. Uraian berikut bukan hasil analisa teoritis dari seorang akademisi, tapi mungkin lebih sebagai semacam hasil riset; sebuah laporan yang lahir dari pengalaman seorang warga dari kelompok akar rumput.
Pertama (hasil parafrase terhadap apa yang dikemukakan oleh pembicara yang mewakili elemen warga), besaran BLT tidak bisa diberlakukan seragam kepada seluruh warga. Tiap keluarga tentu memiliki jumlah anggota yang berbeda-beda. Olehnya maka besarnya nilai subsidi mestinya dihitung dengan prinsip komutatif, bukan distributif. Kedua, sangat kuat gejala low take up rate dalam pemberlakuan subsidi. Gejala ini terungkap dari pengalaman sejumlah warga pada program subsidi langsung sebelumnya. Warga khawatir hal tersebut akan terulang pada program subsidi kali ini; banyak di antara warga yang berhak untuk menerima subsidi, namun tidak mendapatkannya; subsidi justru jatuh kepada pihak yang sebenarnya tidak berhak. Keempat, program BLT berpotensi memicu konflik di kalangan warga. Hal ini terkait erat dengan gejala low take up rate yang dikemukakan sebelumnya.
Selain itu, terangkat pula isu tentang aksi represi yang dilakukan oleh aparat keamanan. “Sikap represif itu adalah petanda ditutupnya ruang-ruang demokrasi,” Ungkap salah seorang mahasiswa dari Unhas. “Berbagai tindakan represif aparat sudah berlebihan. Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar diserbu aparat. Kampus Universitas Nasional (Unas) Jakarta yang juga mendapat serbuan serupa. Kemarin kami di Pintu I (Kampus Unhas—pen) terpaksa melawan represi mereka dengan lemparan batu. Kalau sudah begitu, media-media massa menuduh mahasiswa bertindak anarkis. Padahal, aparat-aparat itulah yang memulai. Tidak lucu kalau negara menggaji aparat untuk mementungi warganya.” Tandasnya.
 
Makassar, 26 Mei 2008
 
UYA - ForKATA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar