Reportase Ari
Ujianto*
Pada
pertemuan nasional tengah tahun 2007, Uplink Indonesia mengundang
seorang narasumber untuk berdiskusi dan berbagi pengalaman tentang
sistem pelayanan kesehatan di kota. Narasumber tersebut adalah Abdou
Maliq Simone, seorang urbanis, peneliti dan pengajar di Goldsmiths
College University of London. Berikut ini rangkuman dari proses
diskusi yang dipandu oleh Wardah Hafidz yang terasa masih relevan
sampai sekarang.
Sebagian besar
pemerintah kota di seluruh dunia mengalami persoalan berat dalam
mengelola dan menangani urusan kesehatan warganya. Bahkan sebagian
besar gagal total. Padahal pemerintah kota mempunyai hak untuk
mengatur kota sedemikian rupa agar warganya atau kotanya sehat.
Dengan hak memerintah dan mengatur tersebut mereka bisa menentukan
siapa yang berhak tinggal di kota, misalnya dengan memisahkan
golongan elit dan rakyat miskin. Dengan demikian pemaksaan dengan
didasarkan alasan kesehatan tersebut adalah sebuah cara kontrol
politis yang dilakukan pemerintah terhadap warganya. Walaupun
seolah-olah tidak seperti itu pernyataannya.
Karena
mengatur kesatuan mayoritas warga kota yang miskin dalam soal
kesehatan menjadi tindakan yang politis untuk mengontrol warga, maka
pegiat gerakan sosial revolusioner dalam menarik dukungan massa dan
menumbuhkan loyalitas juga dilakukan lewat menjaga dan memperbaiki
sistim kesejahteraan pengikutnya, khususnya melalui pelayanan
kesehatan dan kesejahteraan sosial yang terjangkau. Pemerintah di
Kuba, Mozambique, dan Afrika Selatan pun melakukan hal yang sama.
Fidel Castro cukup cerdik menggunakan cara ini dengan memberikan
pelayanan pendidikan dan kesehatan yang terbaik untuk mendapatkan
dukungan rakyat. Di Afrika Selatan lumayan berhasil, meskipun dalam
skala yang kecil. Semua itu dilakukan untuk mendapatkan dukungan dari
rakyat.
Sistem Kesehatan
Disandarkan pada Syariah
Yang
menjadi perhatian banyak pihak sekarang ini justru pada keberhasilan
sistem alternatif pelayanan kesehatan yang dikembangkan kelompok
gerakan sosial dan politik yang disandarkan pada sistem Syariah
Islam. Misalnya sistem pelayanan kesehatan Ihkwanul Muslimin (IM) di
Mesir, Hamas di Gaza Palestina, Hizbullah di Beirut. Mereka berhasil
menerapkan pelayanan kesehatan yang tebaik terhadap pengikutnya.
Meski dalam konteks yang berbeda, tapi semua mempunyai pengaruh kuat
terhadap warganya. Misalnya apa yang dilakukan Hizbullah Beirut
(Selatan), dimana hampir di semua tempat umum disediakan pelayanan
kesehatan. Tidak hanya di klinik atau rumah sakit, warga juga bisa
mendapatkan pelayanan kesehatan di masjid, madrasah, kantor walikota
dan supermarket. Di tempat tersebut anak-anak bisa mendapatkan
imunisasi, makanan tambahan bergizi, dan informasi tentang gizi.
Kemudian di
setiap kabupaten atau kotamadya mereka punya tim kesehatan yang
menjaga kualitas barang dan makanan yang masuk atau beredar di
supermarket. Mereka memberikan informasi apakah
barang yang beredar membahayakan kesehatan apa tidak. Dan selalu ada
perdebatan tentang ini, misalnya apakah susu kaleng yang beredar di
supermarket isinya baik atau berbahaya. Dengan demikian pemerintah
kota punya kesadaran pada kewajibannya untuk menjaga mutu atau
kualitas barang (makanan) yang beredar di supermarket, dan pada
gilirannya setiap warga kota paham apa yang masuk dalam tubuh mereka.
Sistemnya
juga diciptakan sendiri sedemikian rupa. Misalnya, penerapan zakat
mal atau penghasilan dijadikan salah satu bentuk kontribusi warga
terhadap komunitasnya. Seperti penguasa kota bisa meminta dokter
untuk membayar zakatnya dengan cara memberikan kontribusi waktu atau
tenaga, misalnya pada jam praktek di klinik selama beberapa waktu
dalam setahun. Juga mereka yang melayani tempat penitipan anak,
sehingga jam kerja di situ dihitung sebagai zakat.
Selain
tersedianya pelayanan kesehatan di semua tempat umum, fasilitas
sosial dasar seperti sekolah juga dibuka 24 jam, tidak hanya untuk
pelajaran tetapi untuk fungsi lain. Misalnya jika seseorang mengalami
depresi atau stress yang berasal dari relasi di keluarga yang tidak
harmonis atau karena bertengkar di rumah tangga, maka sekolah
tersebut bisa dijadikan tempat untuk mengambil jarak atau
menghilangkan stress. Jadi bangunan tidak hanya diperuntukkan seperti
fungsi awalnya. Di sekolah tersebut disediakan komputer, fasilitas
olahraga, dan lain-lain sebagai sarana menghilangkan stress.
Lalu
pertanyaannya, bagaimana semua itu didanai? Ini kembali ke sistem
syariah itu. Hizbullah bisa dapat akses internasional dengan
mengambil pajak dari warga Libanon yang bekerja dan tersebar di
negara lain. Misalnya ketika warga tersebut kembali ke Libanon dan
akan membuka usaha, maka mereka musti bayar pajak yang disetorkan ke
Hizbullah yang kemudian dana itu dipakai untuk pelayanan kesehatan
atau sosial warga. Hizbullah juga punya akses ke Bank Syariah
Internasional yang sekarang asetnya mencapai 28 Milyar US dollar.
Selain itu warga kampung juga bayar pajak yang didasarkan pada aturan
agama, bukan pajak sekuler yang ditaruh di bank. Pajak tersebut
dikumpulkan dan hanya berputar di komunitas tersebut, sehingga setiap
warga yang sakit dibayarkan oleh hasil pajak tersebut. Jadi artinya,
semua warga membiayai pelayanan kesehatan tersebut.
Apa
yang membuat semua ini berjalan? Bisa dicontohkan keberadaan IM di
Mesir. Walaupun mereka selalu ditangkapi atau diserang oleh
pemerintah, tetapi setelah era Hosni Mubarak, pemerintah sadar tidak
ada jalan lain kecuali yang dilakukan IM dalam mengurus persoalan
kesehatan atau kesejahteraan. Jadi yang dilakukan IM atau Hamas tidak
melakukan indoktrinasi dalam memperoleh dukungan warga, tapi yang
dilakukan lewat pelayanan kesehatan yang berjalan baik. Ini berhasil
karena semua orang berpikir untuk perubahan Islam atau untuk gerakan
revolusioner, tapi tanpa mengatakan itu. Dengan pelayanan kesehatan
yang baik tersebut sebenarnya telah sesuai dengan yang dicita-citakan
syariah. Jadi mereka menjadikan syariah sebagai alat atau simbol
pengikat yang dalam prakteknya adalah kerja sosial untuk
kesejahteraan warga. Dengan demikian mereka melakukan perubahan
sosial yang revolusioner melalui sistem alternatif pelayananan
kesehatan.
Upaya yang
dilakukan di beberapa negara tersebut juga telah mengubah pemahaman
bahwa urusan kesehatan adalah urusan domestik atau privat yang selama
ini dipahami. Mereka telah mengubahnya menjadi urusan publik, dan
setiap warga komunitas mempunyai tanggung jawab soal itu. Kalau
kesehatan cuma menjadi urusan domestik biasanya perempuan yang akan
memikul peran yang berat. Dengan dijadikan urusan publik, maka semua
kelompok mempunyai tanggung jawab terhadap urusan kesehatan ini.
Bagaimana
dengan Indonesia?
Banyak
eksperimen melalui sistem alternatif sudah dilakukan di dunia. Dan
sebenarnya tidak hanya di bidang kesehatan, tapi juga eksperimen
sistem ekonomi, seperti yang telah dilakukan terutama di
negara-negara utara untuk menerapkan Local
Currency Money, atau semua transaksi di
komunitas yang dilakukan dengan barter. Di negara-negara Utara
eksperimen tersebut hanya berhasil di kelas menengah, sedangkan untuk
yang miskin sulit terjadi karena mereka masih tergantung pada sistem
uang. Rakyat miskin masih dalam tingkatan menjual tenaga untuk
mendapatkan uang itu. Jadi, untuk menjalankan semua ini harus punya
visi politik yang kuat dan menonjol. Begitu juga dengan di
Indonesia. Dengan mengambil sistem syariah untuk pelayanan kesehatan
atau pendidikan, pasti nanti akan bertarung dengan sistem lain yang
punya dana dan kemampuan yang besar seperti sistem kapitalis atau
neoliberal. Yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana kita bertarung
dengan sistem yang lain.
Kita
tidak harus mulai dari membuat satu sistem yang komprehensif yang
lengkap tapi mulai dari hal yang bisa ditangani dulu. Ada contoh
menarik yang dilakukan kelompok asuransi kesehatan tukang ojek di
Kamerun. Anggota asuransi ini mempunyai pekerjaannya sama, sebagai
pengojek. Kelompok ini dalam menghidupi atau membuat asuransi bisa
berjalan tidak harus membayar semua kebutuhan yang ada. Misalnya
untuk tempat, meraka mencari klinik yang menganggur dari jam 21.00
sampai jam 06.00. Wakil kelompok datang ke pengelola klinik dan
meminta ijin untuk memanfaatkan klinik dari jam 21.00-06.00 ( saat
klinik sedang tidak dipakai). Mereka hanya meminjam bangunan saja,
sedang kebutuhan lainnya kelompok ojek yang sediakan ( misalnya obat
dan perlengkapan lainnya). Dengan demikian mereka jeli mencari
apa-apa yang mungkin bisa dimanfaatkan yang saat itu sedang tidak
dipakai. Di Indonesia sebenarnya banyak sekali bangunan yang bisa
dijadikan tempat beraktivitas. Kita juga bisa mencari tempat lain
untuk kebutuhan aktivitas kita, misalnya gedung kesehatan atau gedung
pemerintah. Kita perlu melakukan negosiasi untuk meminjam, apakah
diperbolehkan memakai tempat tersebut. Dengan dipakainya fasilitas
pemerintah oleh warga untuk kegiatan yang bermanfaat sebenarnya
pemerintah dapat nama baik. Ini adalah satu contoh di mana kita bisa
memulai dari satu hal yang mungkin dan mampu dilakukan.
Hal yang lain
adalah melakukan inventarisasi upaya-upaya alternatif yang telah
dilakukan kelompok-kelompok atau gerakan sosial lain yang ada di
Indonesia. Misalnya di Palu dan Surabaya juga sudah ada inisiatif
dari kelompok Islam yang mengelola zakat untuk kesejahteraan di
komunitas mereka sendiri. Dengan demikian kita punya banyak pilihan
kegiatan dalam melakukan perubahan sosial yang didasarkan pada
kebutuhan riil rakyat, dan juga didasarkan visi politik atau ideologi
yang jelas.
(*Ari
Ujianto, aktivis gerakan sosial alternatif, yang saat ini menjabat
direktur Desantara, tinggal di Jakarta, masih aktif melakukan kajian,
riset, dan penerbitan bacaan bermutu, di samping membantu tim
AO-UPC/Uplink. Tulisan-tulisan bung Ari dapat ditelusuri di blogspot
coretan kebun belakang,
klik http://gondez1.wordpress.com/).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar