10 Sep 2011

Gerakan Sosial dan Sistem Alternatif Pelayanan Kesehatan di Kota

(Pelajaran Berharga dari Abdou Maliq Simone)
Reportase Ari Ujianto*
Pada pertemuan nasional tengah tahun 2007, Uplink Indonesia mengundang seorang narasumber untuk berdiskusi dan berbagi pengalaman tentang sistem pelayanan kesehatan di kota. Narasumber tersebut adalah Abdou Maliq Simone, seorang urbanis, peneliti dan pengajar di Goldsmiths College University of London. Berikut ini rangkuman dari proses diskusi yang dipandu oleh Wardah Hafidz yang terasa masih relevan sampai sekarang.
Sebagian besar pemerintah kota di seluruh dunia mengalami persoalan berat dalam mengelola dan menangani urusan kesehatan warganya. Bahkan sebagian besar gagal total. Padahal pemerintah kota mempunyai hak untuk mengatur kota sedemikian rupa agar warganya atau kotanya sehat. Dengan hak memerintah dan mengatur tersebut mereka bisa menentukan siapa yang berhak tinggal di kota, misalnya dengan memisahkan golongan elit dan rakyat miskin. Dengan demikian pemaksaan dengan didasarkan alasan kesehatan tersebut adalah sebuah cara kontrol politis yang dilakukan pemerintah terhadap warganya. Walaupun seolah-olah tidak seperti itu pernyataannya.
Karena mengatur kesatuan mayoritas warga kota yang miskin dalam soal kesehatan menjadi tindakan yang politis untuk mengontrol warga, maka pegiat gerakan sosial revolusioner dalam menarik dukungan massa dan menumbuhkan loyalitas juga dilakukan lewat menjaga dan memperbaiki sistim kesejahteraan pengikutnya, khususnya melalui pelayanan kesehatan dan kesejahteraan sosial yang terjangkau. Pemerintah di Kuba, Mozambique, dan Afrika Selatan pun melakukan hal yang sama. Fidel Castro cukup cerdik menggunakan cara ini dengan memberikan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang terbaik untuk mendapatkan dukungan rakyat. Di Afrika Selatan lumayan berhasil, meskipun dalam skala yang kecil. Semua itu dilakukan untuk mendapatkan dukungan dari rakyat.
Sistem Kesehatan Disandarkan pada Syariah
Yang menjadi perhatian banyak pihak sekarang ini justru pada keberhasilan sistem alternatif pelayanan kesehatan yang dikembangkan kelompok gerakan sosial dan politik yang disandarkan pada sistem Syariah Islam. Misalnya sistem pelayanan kesehatan Ihkwanul Muslimin (IM) di Mesir, Hamas di Gaza Palestina, Hizbullah di Beirut. Mereka berhasil menerapkan pelayanan kesehatan yang tebaik terhadap pengikutnya. Meski dalam konteks yang berbeda, tapi semua mempunyai pengaruh kuat terhadap warganya. Misalnya apa yang dilakukan Hizbullah Beirut (Selatan), dimana hampir di semua tempat umum disediakan pelayanan kesehatan. Tidak hanya di klinik atau rumah sakit, warga juga bisa mendapatkan pelayanan kesehatan di masjid, madrasah, kantor walikota dan supermarket. Di tempat tersebut anak-anak bisa mendapatkan imunisasi, makanan tambahan bergizi, dan informasi tentang gizi.
Kemudian di setiap kabupaten atau kotamadya mereka punya tim kesehatan yang menjaga kualitas barang dan makanan yang masuk atau beredar di supermarket. Mereka memberikan informasi apakah barang yang beredar membahayakan kesehatan apa tidak. Dan selalu ada perdebatan tentang ini, misalnya apakah susu kaleng yang beredar di supermarket isinya baik atau berbahaya. Dengan demikian pemerintah kota punya kesadaran pada kewajibannya untuk menjaga mutu atau kualitas barang (makanan) yang beredar di supermarket, dan pada gilirannya setiap warga kota paham apa yang masuk dalam tubuh mereka.
Sistemnya juga diciptakan sendiri sedemikian rupa. Misalnya, penerapan zakat mal atau penghasilan dijadikan salah satu bentuk kontribusi warga terhadap komunitasnya. Seperti penguasa kota bisa meminta dokter untuk membayar zakatnya dengan cara memberikan kontribusi waktu atau tenaga, misalnya pada jam praktek di klinik selama beberapa waktu dalam setahun. Juga mereka yang melayani tempat penitipan anak, sehingga jam kerja di situ dihitung sebagai zakat.
Selain tersedianya pelayanan kesehatan di semua tempat umum, fasilitas sosial dasar seperti sekolah juga dibuka 24 jam, tidak hanya untuk pelajaran tetapi untuk fungsi lain. Misalnya jika seseorang mengalami depresi atau stress yang berasal dari relasi di keluarga yang tidak harmonis atau karena bertengkar di rumah tangga, maka sekolah tersebut bisa dijadikan tempat untuk mengambil jarak atau menghilangkan stress. Jadi bangunan tidak hanya diperuntukkan seperti fungsi awalnya. Di sekolah tersebut disediakan komputer, fasilitas olahraga, dan lain-lain sebagai sarana menghilangkan stress.
Lalu pertanyaannya, bagaimana semua itu didanai? Ini kembali ke sistem syariah itu. Hizbullah bisa dapat akses internasional dengan mengambil pajak dari warga Libanon yang bekerja dan tersebar di negara lain. Misalnya ketika warga tersebut kembali ke Libanon dan akan membuka usaha, maka mereka musti bayar pajak yang disetorkan ke Hizbullah yang kemudian dana itu dipakai untuk pelayanan kesehatan atau sosial warga. Hizbullah juga punya akses ke Bank Syariah Internasional yang sekarang asetnya mencapai 28 Milyar US dollar. Selain itu warga kampung juga bayar pajak yang didasarkan pada aturan agama, bukan pajak sekuler yang ditaruh di bank. Pajak tersebut dikumpulkan dan hanya berputar di komunitas tersebut, sehingga setiap warga yang sakit dibayarkan oleh hasil pajak tersebut. Jadi artinya, semua warga membiayai pelayanan kesehatan tersebut.
Apa yang membuat semua ini berjalan? Bisa dicontohkan keberadaan IM di Mesir. Walaupun mereka selalu ditangkapi atau diserang oleh pemerintah, tetapi setelah era Hosni Mubarak, pemerintah sadar tidak ada jalan lain kecuali yang dilakukan IM dalam mengurus persoalan kesehatan atau kesejahteraan. Jadi yang dilakukan IM atau Hamas tidak melakukan indoktrinasi dalam memperoleh dukungan warga, tapi yang dilakukan lewat pelayanan kesehatan yang berjalan baik. Ini berhasil karena semua orang berpikir untuk perubahan Islam atau untuk gerakan revolusioner, tapi tanpa mengatakan itu. Dengan pelayanan kesehatan yang baik tersebut sebenarnya telah sesuai dengan yang dicita-citakan syariah. Jadi mereka menjadikan syariah sebagai alat atau simbol pengikat yang dalam prakteknya adalah kerja sosial untuk kesejahteraan warga. Dengan demikian mereka melakukan perubahan sosial yang revolusioner melalui sistem alternatif pelayananan kesehatan.
Upaya yang dilakukan di beberapa negara tersebut juga telah mengubah pemahaman bahwa urusan kesehatan adalah urusan domestik atau privat yang selama ini dipahami. Mereka telah mengubahnya menjadi urusan publik, dan setiap warga komunitas mempunyai tanggung jawab soal itu. Kalau kesehatan cuma menjadi urusan domestik biasanya perempuan yang akan memikul peran yang berat. Dengan dijadikan urusan publik, maka semua kelompok mempunyai tanggung jawab terhadap urusan kesehatan ini.
Bagaimana dengan Indonesia?
Banyak eksperimen melalui sistem alternatif sudah dilakukan di dunia. Dan sebenarnya tidak hanya di bidang kesehatan, tapi juga eksperimen sistem ekonomi, seperti yang telah dilakukan terutama di negara-negara utara untuk menerapkan Local Currency Money, atau semua transaksi di komunitas yang dilakukan dengan barter. Di negara-negara Utara eksperimen tersebut hanya berhasil di kelas menengah, sedangkan untuk yang miskin sulit terjadi karena mereka masih tergantung pada sistem uang. Rakyat miskin masih dalam tingkatan menjual tenaga untuk mendapatkan uang itu. Jadi, untuk menjalankan semua ini harus punya visi politik yang kuat dan menonjol. Begitu juga dengan di Indonesia. Dengan mengambil sistem syariah untuk pelayanan kesehatan atau pendidikan, pasti nanti akan bertarung dengan sistem lain yang punya dana dan kemampuan yang besar seperti sistem kapitalis atau neoliberal. Yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana kita bertarung dengan sistem yang lain.
Kita tidak harus mulai dari membuat satu sistem yang komprehensif yang lengkap tapi mulai dari hal yang bisa ditangani dulu. Ada contoh menarik yang dilakukan kelompok asuransi kesehatan tukang ojek di Kamerun. Anggota asuransi ini mempunyai pekerjaannya sama, sebagai pengojek. Kelompok ini dalam menghidupi atau membuat asuransi bisa berjalan tidak harus membayar semua kebutuhan yang ada. Misalnya untuk tempat, meraka mencari klinik yang menganggur dari jam 21.00 sampai jam 06.00. Wakil kelompok datang ke pengelola klinik dan meminta ijin untuk memanfaatkan klinik dari jam 21.00-06.00 ( saat klinik sedang tidak dipakai). Mereka hanya meminjam bangunan saja, sedang kebutuhan lainnya kelompok ojek yang sediakan ( misalnya obat dan perlengkapan lainnya). Dengan demikian mereka jeli mencari apa-apa yang mungkin bisa dimanfaatkan yang saat itu sedang tidak dipakai. Di Indonesia sebenarnya banyak sekali bangunan yang bisa dijadikan tempat beraktivitas. Kita juga bisa mencari tempat lain untuk kebutuhan aktivitas kita, misalnya gedung kesehatan atau gedung pemerintah. Kita perlu melakukan negosiasi untuk meminjam, apakah diperbolehkan memakai tempat tersebut. Dengan dipakainya fasilitas pemerintah oleh warga untuk kegiatan yang bermanfaat sebenarnya pemerintah dapat nama baik. Ini adalah satu contoh di mana kita bisa memulai dari satu hal yang mungkin dan mampu dilakukan.
Hal yang lain adalah melakukan inventarisasi upaya-upaya alternatif yang telah dilakukan kelompok-kelompok atau gerakan sosial lain yang ada di Indonesia. Misalnya di Palu dan Surabaya juga sudah ada inisiatif dari kelompok Islam yang mengelola zakat untuk kesejahteraan di komunitas mereka sendiri. Dengan demikian kita punya banyak pilihan kegiatan dalam melakukan perubahan sosial yang didasarkan pada kebutuhan riil rakyat, dan juga didasarkan visi politik atau ideologi yang jelas.
(*Ari Ujianto, aktivis gerakan sosial alternatif, yang saat ini menjabat direktur Desantara, tinggal di Jakarta, masih aktif melakukan kajian, riset, dan penerbitan bacaan bermutu, di samping membantu tim AO-UPC/Uplink. Tulisan-tulisan bung Ari dapat ditelusuri di blogspot coretan kebun belakang, klik http://gondez1.wordpress.com/).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar