11 Sep 2011

Model Pemetaan Konflik Perkotaan di Chili

Pengantar M. Nawir
Tidak mudah mengenali perubahan sosial sebagai suatu dampak dari neoliberalisme karena umumnya, gejala yang tampak adalah persoalan sehari-hari yang serba praktis, efisien, cepat, dan instan. Tema-tema pembangunan, pertumbuhan ekonomi, modernisasi maupun 'metropolisasi' kota juga sesuatu yang lumrah diperdebatkan. Konflik dan sengketa tata ruang seringkali dipandang sebagai impak dari kebijakan tata kota saja. Maka untuk memahaminya secara politis-ideologis, diperlukan pemetaan paradigma pemikiran di balik gejala-gejalan harian itu berdasarkan ciri-ciri pokok dari suatu perubahan sosial, ekonomi, dan politik.
Bagaimana halnya dengan Istilah 'neoliberalisme'. Istilah ini pun memerlukan penelusuran atas riwayat penggunaan dan makna di balik konsep neoliberalisme. Tulisan Herry B. Priyono yang bertajuk Neoliberalisme dan Sifat Elusif Kebebasan (www.unisosdem.org) menelusuri riwayat neoliberalisme yang pada mulanya digunakan oleh para pejuang prodemokrasi di Amerika Latin untuk menggambarkan watak ekstrim dan kolusif antara rezim kediktatoran dan ekonomi pasar-bebas. Rezim neoliberal yang dimaksud adalah sistim ekonomi-politik dikator Chili Augusto Pinochet (1973-1990). Ketika kediktatoran mulai surut di benua itu, istilah ‘neo-liberalisme’ dipakai untuk menunjuk kinerja ekonomi pasar-bebas dalam coraknya yang ekstrem, yakni mempreteli kedaulatan negara dengan cara meminimalisasi campur tangan pemerintah atas pasar, dan memaksimalisasi persaingan bebas. Lebih jauh, Herry mengklarifikasi bahwa neo-liberalisme tidak identik dengan 'kebebasan' (baru), hanya karena kata dasarnya ‘liberal’ (liber: bebas; libertas: kebebasan); dan, dengan begitu para pengeritik neo-liberalisme tidak berarti menjadi kaum yang anti-kebebasan (demokrasi).
Postingan berikut ini saya petik dari artikel HIC – Habitat International Coalition, salah jaringan global, mitra UN Habitat yang secara progresif mengkampanyekan pembelaan hak hidup kaum urban. Postingan ini adalah terjemahan dari tulisan Kristin Schwierz; Mapping Urban Conflicts: An interactive map illustrates the impacts of neoliberal urban restructuring in Santiago de Chile as well as the struggles against it. Bagi saya, tulisan ini menarik sebagai informasi baru tentang persoalan aktual perkotaan, khususnya di Chili pasca rezim diktator Pinochet. Selain itu, model pemetaan konflik yang menjadi dasar penulisan artikel ini menjadi relevan dengan model pemetaan konvensional tentang perubahan sosial kota. Misalnya, UPC dan jaringan kotanya mengembangkan teknik pemetaan partisipatif bersama dan oleh komunitas yang ditimba dari PRA, ACHR, RAP-ACORN, Maliq Simone, dan lain-lain. Semua itu ditujukan pada usaha mengenali betul entitas hidup kaum miskin kota dan bagaimana mereka mempertahankan hak hidupnya dari penetrasi globalisasi dan kapitalisi kota. Bedannya, model pemetaan yang ditulis Kristin ini sudah sampai pada manajemen database-online-interaktif, sehingga dimensinya mencakup luasan kota (city wide). Versi asli di http://www.hic-net.org/articles.php?pid=4044.
Pemetaan Konflik Perkotaan
Sebuah peta interaktif yang menggambarkan dampak neoliberalisme terhadap restrukturisasi perkotaan di Santiago de Chile
Petumbuhan kota Metropolis Santiago Chili, dengan tujuh juta penduduknya, menimbulkan banyak konflik, meskipun tidak selalu terlihat pada pandangan pertama. Sekilas, masalah utama Santiago adalah polusi udara (karena terletak di lembah Andes), sehingga masalah sosial tidak sejelas di kota-kota metropolitan umumnya di Amerika Latin. Di Santiago, pemukiman kumuh (favelas) tidak sebesar di Sao Paolo Brazil, atau tunawisma (“gepeng”) tidak begitu mencolok seperti di pusat kota Buenos Aires Argentina. Semua itu harus dilihat dari belakang layar, yakni dengan melihat lebih dekat dampak neoliberalisme terhadap pembangunan perkotaan, kebijakan perumahan, dan gerakan sosial yang menuntut hak atas kota (right to the city).
Lembaga Studi Sosial dan Pendidikan (The Institute of Social Studies and Education) – SUR Corporacion – mengembangkan sebuah instrumen yang memvisualisasikan fenomena tersebut: peta konflik perkotaan, sebuah peta online (interaktif) Greater Santiago disertai penanda (marker) yang menunjukkan lokasi konflik. Dengan mengklik penanda, tersedia informasi yang cepat, dan lebih rinci lagi, informasi dapat diperoleh dengan browsing melalui database. Tema yang berbeda, masalah atau jenis konflik diklasifikasikan menurut pertumbuhan kota, penggunaan dan apropriasi ruang perkotaan, lingkungan, perumahan dan kerusakan akibat gempa.
Peta tersebut memberikan gambaran konflik dan perjuangan di seluruh kota sehingga seseorang dapat melihat sebarannya di hampir semua distrik di Santiago. Seratus konflik telah terdaftar sejak peta itu dibuat pada tahun 2007; kebanyakan berupa keprihatinan atas pertumbuhan kota (37 kasus), konflik perumahan (20 kasus), dan konflik lingkungan (18 kasus). Sebanyak 13 kasus mengacu pada konflik perebutan ruang, dan 12 masalah kerusakan akibat gempa.
"Gagasan itu muncul sekitar tahun 2006 ketika kami melihat mulai bermunculan asosiasi sosial baru, yang dibentuk untuk mempertahankan ruang hidup penduduk," jelas Alejandra Sandoval, staf anggota SUR dan co-developer peta. Versi pertama kali diterbitkan menjadi sumber penting bagi diskusi publik tentang konflik perkotaan dan kewarganegaraan, sehingga tim memutuskan untuk mengubahnya menjadi sebuah peta online interaktif.
Lebih dari 50% konflik yang terdaftar terletak di pusat kota serta di daerah periferi dan pinggiran barat kota, terutama di distrik PeƱalolen. Tetapi ada perbedaan antar lokasi konflik. Konflik yang dipicu oleh pertumbuhan perkotaan lebih terkonsentrasi di sekitar pusat kota, sedangkan titik fokus dari konflik perumahan terletak di barat laut dan bagian barat, serta di pinggiran selatan dan barat kota. Fakta bahwa masalah perumahan terkonsentrasi di pinggiran distrik (kabupaten) tertentu telah banyak dilakukan dengan pemisahan tinggi dari kota [1] – digambarkan hubungannya dalam peta ini.
Database memberikan kemungkinan untuk mengikuti sejarah konflik dari awal, situasi saat ini, dan pada saat yang sama memungkinkan identifikasi konflik baru yang terkait dengan dampak neoliberalisme pembangunan perkotaan. Database ini juga menampilkan kerja organisasi dan perjuangan kelompok warga negara menentang model pembangunan yang mengabaikan hak atas kota. Lebih dari sebuah proyek ilmiah, instrumen ini mendukung gerakan sosial. Oleh karena itu diciptakan melalui kerjasama dengan organisasi dan inisiatif warga, serta "Red Observatorio de Vivienda y Ciudad" (Observatorium untuk Perumahan dan Jaringan Kota).
"Sampel yang Representatif": Kasus-kasus yang Terdokumentasi
Berbagai kasus digolongkan di bawah satu kata kunci meskipun karakteristiknya berbeda, dan para aktor sosial yang terlibat berdasar cara di mana konflik dikembangkan. Ringkasan berikut ini adalah beberapa contoh kasus beserta penjelasannya.
Di bawah kata kunci 'perumahan' (housing), bisa diketahui kasus-kasus keluarga yang tinggal dalam kondisi yang sangat rentan tanpa hak kepemilikan atas tanah; menyewa kamar atau flat secara informal (tanpa kontrak) dari pemilik rumah; keluarga yang berbagi rumah atau tanah dengan kerabat mereka, dalam kondisi penuh sesak/berjejal – yang disebut Allegados. Mereka terorganisir dalam suatu perkumpulan dan, pada tingkat yang lebih tinggi, mereka terorganisasi dalam gerakan yang tidak hanya menuntut solusi aktual masalah perumahan, namun menuntut perubahan mendasar dari subsidi berbasis kebijakan perumahan. Mayoritas kasus menggambarkan asosiasi debitur yang tinggal di rumah-rumah yang dibiayai dari subsidi negara dan kredit tanpa jaminan hipotek. Utang telah benar-benar diprivatisasi dan, karena suku bunga riba, debitur membayar dua atau tiga dari nilai rumah. Mobilisasi seperti ini dimulai pada 2004 di seluruh Chili, terorganisir dalam gerakan dan organisasi yang berbeda.
Masalah perumahan juga mencakup kasus perebutan tanah dalam skala luas - yang disebut Toma – seperti di distrik PeƱalolen yang melibatkan 1600 keluarga pada tahun 1999 dan masih tersisa 400 keluarga yang menunggu solusi perumahan. Konflik pertanahan ini melambangkan peristiwa tahun enam puluhan dan tujuh puluhan ketika perampasan tanah (land seizures) menjadi gerakan massa, atau seperti pada tahun delapan puluhan ketika mereka menjadi bagian penting dari gerakan melawan kediktatoran. Para Pobladores [2] pada tahun 1999 memberontak terhadap kebijakan perumahan dan menuntut ruang perumahan yang bermartabat di distrik mereka. Dari penyitaan lahan tertentu muncul gerakan yang berhasil, yakni Movimiento de Pobladores en Lucha atau “Gerakan Perjuangan para Penghuni”, yang kemudian mengorganisir pelaksanaan proyek-proyek perumahan bagi keluarga miskin berdasarkan manajemen keswadayaan. Secara umum, gerakan perjuangan itu merupakan perlawanan atas kebijakan perumahan yang berorientasi melayani pasar dan yang hanya menyederhanakan warga sebagai penerima manfaat subsidi.
Dalam salah satu distrik termiskin di Santiago, La Pintana, “Gerakan Rakyat tanpa Atap” (Movimiento Pueblo sin Techo) juga berjuang melawan kebijakan perumahan neoliberal yang berdampak pada proyek-proyek sosial lainnya. Kelompok ini mengadakan protes terbuka, misalnya demonstrasi dan aksi simbolis perebutan tanah. Selain itu, mereka menekan Kementerian Perumahan, di samping mengembangkan dialog.
Sifat pertumbuhan kota adalah perluasan wilayah ke arah pinggiran, serta densifikasi dan restrukturisasi di pusat dan distrik sekitarnya. Sebagai contoh boom real estate dengan bangunan bertingkat tinggi, konstruksi mega-proyek seperti mal, penghancuran bangunan tua dan pembangunan jalan raya – telah memicu konflik, terutama dengan orang-orang yang secara langsung peduli – dalam banyak kasus – mereka memobilisasi kelompok warga dan organisasi rumah tangga untuk menentang restrukturisasi tersebut. Mereka juga menolak rencana zonasi komunal ("Plano Regulador Comunal") yang mendefinisikan hal-hal apa saja yang boleh dibangun, ketinggian, kerapatan dan rencana pengembangannya sesuai kepentingan ekonomi, dan bukan kepentingan warga negara. Di distrik terkaya Santiago Vitacura, untuk pertama kali di Chili, warga berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dengan cara plebisit, berhasil mencegah pembangunan tiga bangunan tinggi.
Dampak pembangunan proyek-proyek perkotaan terhadap lingkungan merupakan sumber ketidakpuasan para ekologis. Dalam beberapa kasus, kelompok yang berbeda berjuang melawan langkah-langkah restrukturisasi kota dengan cara membentuk aliansi.
Konflik ruang perkotaan berkaitan dengan kepentingan warga terhadap rumah, taman, dan jalan raya. Perkumpulan warga berjuang melindungi 'barrio' ("kampung asli dalam kota" - pen) mereka dari proyek-proyek real estate terutama gedung bertingkat tinggi, dan mempertahankan warisan budaya dan sosial; inisiatif sosial untuk mengembalikan bangunan tua menjadi pusat-pusat budaya [3], serta klaim atas ruang terbuka.
Sebuah contoh sukses dari perlawanan warga adalah Barrio Yungay, di mana warga memobilisasi dan mengorganisir diri untuk menghentikan pembangunan gedung bertingkat tinggi dan mempertahankan warisan sejarah dan arsitektur kawasan terhadap ancaman proyek-proyek real estate. Sejak itu, warga yang terorganisasi dalam suatu perkumpulan Neighborhood Assembly in Defense of Barrio Yungay, berpartisipasi secara komunal dalam perencanaan perkotaan dan melindungi warisan “barrio” itu. Perkumpulan warga membuat status 'Zona Tipica', sebagai bentuk perlawanan terhadap pembangunan gedung bertingkat tinggi dan penghancuran bangunan tua. Pengorganisasian warga ini tidak hanya ditujukan agar identitas barrio terhindar dari kecenderungan destruktif pembangunan perkotaan yang neolib, melainkan sebagai bentuk campur tangan mereka dalam perencanaan agar kota lebih inklusif dan partisipatif.
Masalah ekologi di Santiago meningkat akibat pembangunan perkotaan: Proyek pengembangan wilayah, infrastruktur lalu lintas, masalah limbah/sampah, pasokan energi dan lain-lain berdampak besar terhadap kualitas lingkungan hidup. Sebagian besar kasus mengenai perlindungan lingkungan hidup – tanaman penghijauan, kawasan hijau, taman dan kebun masyarakat – di dalam suatu distrik atau pemukiman berhadapan dengan ekspansi proyek perkotaan, real estate, jalur khusus bus umum dan proyek konstruksi lainnya. Tapi kelompok warga juga mengatur diri terhadap pembuangan limbah, gas buangan dan antena yang mempengaruhi kesehatan dan kualitas hidup.
Tahun lalu, peta masalah perkotaan ditingkatkan dengan munculnya masalah baru, yakni gempa bumi pada bulan Februari 2010 yang mengakibatkan kerusakan berat di beberapa bagian kota Santiago. Dampaknya menimbulkan konflik serius karena banyak penduduk yang kehilangan tempat tinggal. Beberapa bangunan bertingkat tinggi mengalami kerusakan secara signifikan, sehingga dinyatakan tidak layak huni lagi. Penghuni dan pemilik bangunan ada yang mengklaim kembali dana investasinya, ada yang minta perbaikan langsung atau mendapatkan kompensasi dari developer dan perusahaan. Perkumpulan warga memperjuangkan subsidi untuk rumah-rumah yang tidak layak huni dan menuntut rencana rekonstruksi dari Kementerian Perumahan. Siswa dan guru juga memprotes rekonstruksi sekolah mereka.
Sebuah contoh perjuangan untuk rekonstruksi adalah Villa Olimpica, yang dibangun pada tahun 1961, terdiri dari 82 bangunan dan 3000 flat. Hampir semua rumah rusak oleh gempa; enam belas bangunan rusak berat dan tujuh di antaranya dinyatakan tidak layak huni. Warga segera mengorganisir ke dalam suatu perkumpulan yang kemudian menuntut rekonstruksi. Mereka mengorganisir demonstrasi, kampanye dan kegiatan lain untuk meningkatkan kesadaran publik dan menekan Kementerian Perumahan. Mereka menuntut jenis lain dari subsidi, yakni manfaat rekonstruksi yang sama bagi semua warga korban tanpa perbedaan. Selanjutnya, perkumpulan warga bekerja menilai sendiri kerusakan dan proses rekonstruksi, dan melaporkan penyimpangan alokasi subsidi. Mereka berpartisipasi dalam demonstrasi pada peringatan setahun gempa dan menjadi bagian dari 'Gerakan Nasional Hanya untuk Rekonstruksi'. Lebih dari satu tahun pasca gempa, perkumpulan warga telah mengalami kemajuan, dimana satu sisi rekonstruksi pemukiman dibiayai melalui subsidi negara dan, di sisi lain, partisipasi para warga dalam proses rekonstruksi dalam bentuk dialog intensif dengan Kementerian Perumahan.
Peta ini mengungkapkan dampak konfliktif selama hampir 40 tahun kebijakan neoliberal, serta akumulasi masalah pertumbuhan kota metropolis: "Peta ini tidak mengklaim daftar semua konflik, tetapi sampel yang representatif, yang memungkinkan pandangan umum yang komprehensif tentang fenomena tersebut," jelas Alejandra, menunjuk ke salah satu objek dari peta. Dengan cara itu, kita dapat memahami bahwa perjuangan parsiap, tetapi harus struktural dengan merespon model pembangunan neoliberal yang memproduksi kota, dan menumbuhkan kekuatan rakyat dalam memutuskan ruang hidup mereka hari ini dan akan datang".
[1] Keluarga miskin secara sistematis didorong ke pinggiran oleh kebijakan perumahan berbasis subsidi selama 40 tahun terakhir. Konflik perumahan di daerah pinggiran terutama bersumber dari kebijakan tersebut.
[2] Poblador/ra bisa diterjemahkan dengan "penghuni". Tapi pengertiannya lebih dari seorang penduduk dari suatu 'Poblacion', atau pemukiman miskin, karena entitasnya bersifat historis. Mereka menjadi aktor yang sangat penting dalam kehidupan sosial dan mobilisasi politik perampasan tanah di tahun 60an dan 70an ketika 'Pobladores' dibangun sebagai bagian dari kota. "Poblador 'dalam pengertian ini memiliki lebih dari makna politik dan mengacu pada perjuangan kolektif untuk hak atas perumahan dan hak atas kota.
[3] Pada tahun 2009, semua 'pemukiman liar' digusur oleh sebuah kebijakan zero-toleransi terhadap gerakan penghuni liar setelah dua (dari empat) bom meledak di tempat yang berbeda Santiago de Chile – yang lebih dikenal sebagai "Caso Bombas". Pejabat menuduh sebuah "kelompok anarkis" bertanggung jawab atas bom tersebut. Kasus ini belum pernah terungkap dengan jelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar