Tidak
mudah mengenali perubahan sosial sebagai suatu dampak dari
neoliberalisme karena umumnya, gejala yang tampak adalah persoalan
sehari-hari yang serba praktis, efisien, cepat, dan instan. Tema-tema
pembangunan, pertumbuhan ekonomi, modernisasi maupun 'metropolisasi'
kota juga sesuatu yang lumrah diperdebatkan. Konflik dan sengketa
tata ruang seringkali dipandang sebagai impak dari kebijakan tata
kota saja. Maka untuk memahaminya secara politis-ideologis,
diperlukan pemetaan paradigma pemikiran di balik gejala-gejalan
harian itu berdasarkan ciri-ciri pokok dari
suatu perubahan sosial, ekonomi, dan politik.
Bagaimana
halnya dengan Istilah 'neoliberalisme'. Istilah ini pun memerlukan
penelusuran atas riwayat penggunaan dan makna di balik konsep
neoliberalisme. Tulisan Herry B. Priyono yang bertajuk
Neoliberalisme dan
Sifat Elusif Kebebasan
(www.unisosdem.org)
menelusuri riwayat neoliberalisme yang pada mulanya digunakan oleh
para pejuang prodemokrasi di Amerika Latin
untuk menggambarkan
watak ekstrim dan kolusif antara rezim kediktatoran dan ekonomi
pasar-bebas. Rezim neoliberal yang dimaksud adalah sistim
ekonomi-politik dikator Chili Augusto Pinochet (1973-1990). Ketika
kediktatoran mulai surut di benua itu, istilah ‘neo-liberalisme’
dipakai untuk menunjuk kinerja ekonomi pasar-bebas dalam coraknya
yang ekstrem, yakni mempreteli kedaulatan negara dengan cara
meminimalisasi campur tangan pemerintah atas pasar, dan
memaksimalisasi persaingan bebas. Lebih jauh, Herry mengklarifikasi
bahwa neo-liberalisme tidak identik dengan 'kebebasan' (baru), hanya
karena kata dasarnya ‘liberal’ (liber: bebas; libertas:
kebebasan); dan, dengan begitu para pengeritik neo-liberalisme tidak
berarti menjadi kaum yang anti-kebebasan (demokrasi).
Postingan berikut
ini saya petik dari artikel HIC – Habitat
International Coalition, salah
jaringan global, mitra UN Habitat yang secara progresif
mengkampanyekan pembelaan hak hidup kaum urban. Postingan ini adalah
terjemahan dari tulisan Kristin Schwierz; Mapping
Urban Conflicts: An interactive map illustrates the impacts of
neoliberal urban restructuring in Santiago de Chile as well as the
struggles against it. Bagi saya,
tulisan ini menarik sebagai informasi baru tentang persoalan aktual
perkotaan, khususnya di Chili pasca rezim diktator Pinochet. Selain
itu, model pemetaan konflik yang menjadi dasar penulisan artikel ini
menjadi relevan dengan model pemetaan konvensional tentang perubahan
sosial kota. Misalnya, UPC dan jaringan kotanya mengembangkan teknik
pemetaan partisipatif bersama dan oleh komunitas yang ditimba dari
PRA, ACHR, RAP-ACORN, Maliq Simone, dan lain-lain. Semua itu
ditujukan pada usaha mengenali betul entitas hidup kaum miskin kota
dan bagaimana mereka mempertahankan hak hidupnya dari penetrasi
globalisasi dan kapitalisi kota. Bedannya, model pemetaan yang
ditulis Kristin ini sudah sampai pada manajemen
database-online-interaktif, sehingga dimensinya mencakup luasan kota
(city wide). Versi asli di
http://www.hic-net.org/articles.php?pid=4044.
Pemetaan Konflik
Perkotaan
Sebuah peta
interaktif yang menggambarkan dampak neoliberalisme terhadap restrukturisasi
perkotaan di Santiago de Chile
Petumbuhan kota
Metropolis Santiago Chili, dengan tujuh juta penduduknya, menimbulkan
banyak konflik, meskipun tidak selalu terlihat pada pandangan
pertama. Sekilas, masalah utama Santiago adalah polusi udara (karena
terletak di lembah Andes), sehingga masalah sosial tidak sejelas di
kota-kota metropolitan umumnya di Amerika Latin. Di Santiago,
pemukiman kumuh (favelas) tidak sebesar di Sao Paolo Brazil, atau
tunawisma (“gepeng”) tidak begitu mencolok seperti di pusat kota
Buenos Aires Argentina. Semua itu harus dilihat dari belakang layar,
yakni dengan melihat lebih dekat dampak neoliberalisme terhadap
pembangunan perkotaan, kebijakan perumahan, dan gerakan sosial yang
menuntut hak atas kota (right to the city).
Lembaga Studi
Sosial dan Pendidikan (The Institute of Social
Studies and Education) – SUR
Corporacion – mengembangkan sebuah instrumen yang
memvisualisasikan fenomena tersebut: peta konflik perkotaan, sebuah
peta online (interaktif) Greater Santiago disertai penanda
(marker) yang menunjukkan lokasi konflik. Dengan mengklik
penanda, tersedia informasi yang cepat, dan lebih rinci lagi,
informasi dapat diperoleh dengan browsing melalui database. Tema yang
berbeda, masalah atau jenis konflik diklasifikasikan menurut
pertumbuhan kota, penggunaan dan apropriasi ruang perkotaan,
lingkungan, perumahan dan kerusakan akibat gempa.
Peta tersebut
memberikan gambaran konflik dan perjuangan di seluruh kota sehingga
seseorang dapat melihat sebarannya di hampir semua distrik di
Santiago. Seratus konflik telah terdaftar sejak peta itu dibuat pada
tahun 2007; kebanyakan berupa keprihatinan atas pertumbuhan kota (37
kasus), konflik perumahan (20 kasus), dan konflik lingkungan (18
kasus). Sebanyak 13 kasus mengacu pada konflik perebutan ruang, dan
12 masalah kerusakan akibat gempa.
"Gagasan itu
muncul sekitar tahun 2006 ketika kami melihat mulai bermunculan
asosiasi sosial baru, yang dibentuk untuk mempertahankan ruang hidup
penduduk," jelas Alejandra Sandoval, staf anggota SUR dan
co-developer peta. Versi pertama kali diterbitkan menjadi sumber
penting bagi diskusi publik tentang konflik perkotaan dan
kewarganegaraan, sehingga tim memutuskan untuk mengubahnya menjadi
sebuah peta online interaktif.
Lebih dari 50%
konflik yang terdaftar terletak di pusat kota serta di daerah
periferi dan pinggiran barat kota, terutama di distrik PeƱalolen.
Tetapi ada perbedaan antar lokasi konflik. Konflik yang dipicu oleh
pertumbuhan perkotaan lebih terkonsentrasi di sekitar pusat kota,
sedangkan titik fokus dari konflik perumahan terletak di barat laut
dan bagian barat, serta di pinggiran selatan dan barat kota. Fakta
bahwa masalah perumahan terkonsentrasi di pinggiran distrik
(kabupaten) tertentu telah banyak dilakukan dengan pemisahan tinggi
dari kota [1] – digambarkan hubungannya dalam peta ini.
Database memberikan
kemungkinan untuk mengikuti sejarah konflik dari awal, situasi saat
ini, dan pada saat yang sama memungkinkan identifikasi konflik baru
yang terkait dengan dampak neoliberalisme pembangunan perkotaan.
Database ini juga menampilkan kerja organisasi dan perjuangan
kelompok warga negara menentang model pembangunan yang mengabaikan
hak atas kota. Lebih dari sebuah proyek ilmiah, instrumen ini
mendukung gerakan sosial. Oleh karena itu diciptakan melalui
kerjasama dengan organisasi dan inisiatif warga, serta "Red
Observatorio de Vivienda y Ciudad" (Observatorium untuk
Perumahan dan Jaringan Kota).
"Sampel yang
Representatif": Kasus-kasus yang Terdokumentasi
Berbagai kasus
digolongkan di bawah satu kata kunci meskipun karakteristiknya
berbeda, dan para aktor sosial yang terlibat berdasar cara di mana
konflik dikembangkan. Ringkasan berikut ini adalah beberapa contoh
kasus beserta penjelasannya.
Di bawah kata kunci
'perumahan' (housing), bisa diketahui kasus-kasus keluarga yang
tinggal dalam kondisi yang sangat rentan tanpa hak kepemilikan atas
tanah; menyewa kamar atau flat secara informal (tanpa kontrak) dari
pemilik rumah; keluarga yang berbagi rumah atau tanah dengan kerabat
mereka, dalam kondisi penuh sesak/berjejal – yang disebut
Allegados. Mereka terorganisir dalam suatu perkumpulan dan,
pada tingkat yang lebih tinggi, mereka terorganisasi dalam gerakan
yang tidak hanya menuntut solusi aktual masalah perumahan, namun
menuntut perubahan mendasar dari subsidi berbasis kebijakan
perumahan. Mayoritas kasus menggambarkan asosiasi debitur yang
tinggal di rumah-rumah yang dibiayai dari subsidi negara dan kredit
tanpa jaminan hipotek. Utang telah benar-benar diprivatisasi dan,
karena suku bunga riba, debitur membayar dua atau tiga dari nilai
rumah. Mobilisasi seperti ini dimulai pada 2004 di seluruh Chili,
terorganisir dalam gerakan dan organisasi yang berbeda.
Masalah perumahan
juga mencakup kasus perebutan tanah dalam skala luas - yang disebut
Toma – seperti di distrik PeƱalolen yang melibatkan 1600
keluarga pada tahun 1999 dan masih tersisa 400 keluarga yang menunggu
solusi perumahan. Konflik pertanahan ini melambangkan peristiwa tahun
enam puluhan dan tujuh puluhan ketika perampasan tanah (land
seizures) menjadi gerakan massa, atau seperti pada tahun delapan
puluhan ketika mereka menjadi bagian penting dari gerakan melawan
kediktatoran. Para Pobladores [2] pada tahun 1999 memberontak
terhadap kebijakan perumahan dan menuntut ruang perumahan yang
bermartabat di distrik mereka. Dari penyitaan lahan tertentu muncul
gerakan yang berhasil, yakni Movimiento de Pobladores en Lucha
atau “Gerakan Perjuangan para Penghuni”, yang kemudian
mengorganisir pelaksanaan proyek-proyek perumahan bagi keluarga
miskin berdasarkan manajemen keswadayaan. Secara umum, gerakan
perjuangan itu merupakan perlawanan atas kebijakan perumahan yang
berorientasi melayani pasar dan yang hanya menyederhanakan warga
sebagai penerima manfaat subsidi.
Dalam salah satu
distrik termiskin di Santiago, La Pintana, “Gerakan Rakyat tanpa
Atap” (Movimiento Pueblo sin Techo) juga berjuang melawan
kebijakan perumahan neoliberal yang berdampak pada proyek-proyek
sosial lainnya. Kelompok ini mengadakan protes terbuka, misalnya
demonstrasi dan aksi simbolis perebutan tanah. Selain itu, mereka
menekan Kementerian Perumahan, di samping mengembangkan dialog.
Sifat pertumbuhan
kota adalah perluasan wilayah ke arah pinggiran, serta densifikasi
dan restrukturisasi di pusat dan distrik sekitarnya. Sebagai contoh
boom real estate dengan bangunan bertingkat tinggi, konstruksi
mega-proyek seperti mal, penghancuran bangunan tua dan
pembangunan jalan raya – telah memicu konflik, terutama dengan
orang-orang yang secara langsung peduli – dalam banyak kasus –
mereka memobilisasi kelompok warga dan organisasi rumah tangga untuk
menentang restrukturisasi tersebut. Mereka juga menolak rencana
zonasi komunal ("Plano Regulador Comunal") yang
mendefinisikan hal-hal apa saja yang boleh dibangun, ketinggian,
kerapatan dan rencana pengembangannya sesuai kepentingan ekonomi, dan
bukan kepentingan warga negara. Di distrik terkaya Santiago Vitacura,
untuk pertama kali di Chili, warga berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan dengan cara plebisit, berhasil mencegah
pembangunan tiga bangunan tinggi.
Dampak pembangunan
proyek-proyek perkotaan terhadap lingkungan merupakan sumber
ketidakpuasan para ekologis. Dalam beberapa kasus, kelompok yang
berbeda berjuang melawan langkah-langkah restrukturisasi kota dengan
cara membentuk aliansi.
Konflik ruang
perkotaan berkaitan dengan kepentingan warga terhadap rumah, taman,
dan jalan raya. Perkumpulan warga berjuang melindungi 'barrio'
("kampung asli dalam kota" - pen) mereka dari proyek-proyek
real estate terutama gedung bertingkat tinggi, dan mempertahankan
warisan budaya dan sosial; inisiatif sosial untuk mengembalikan
bangunan tua menjadi pusat-pusat budaya [3], serta klaim atas ruang
terbuka.
Sebuah contoh
sukses dari perlawanan warga adalah Barrio Yungay, di mana warga
memobilisasi dan mengorganisir diri untuk menghentikan pembangunan
gedung bertingkat tinggi dan mempertahankan warisan sejarah dan
arsitektur kawasan terhadap ancaman proyek-proyek real estate. Sejak
itu, warga yang terorganisasi dalam suatu perkumpulan Neighborhood
Assembly in Defense of Barrio Yungay,
berpartisipasi secara komunal dalam perencanaan perkotaan dan
melindungi warisan “barrio” itu. Perkumpulan warga membuat status
'Zona Tipica', sebagai bentuk perlawanan terhadap pembangunan gedung
bertingkat tinggi dan penghancuran bangunan tua. Pengorganisasian
warga ini tidak hanya ditujukan agar identitas barrio
terhindar dari kecenderungan destruktif pembangunan perkotaan yang
neolib, melainkan sebagai bentuk campur tangan mereka dalam
perencanaan agar kota lebih inklusif dan partisipatif.
Masalah ekologi di
Santiago meningkat akibat pembangunan perkotaan: Proyek pengembangan wilayah, infrastruktur lalu lintas, masalah
limbah/sampah, pasokan energi dan lain-lain berdampak besar terhadap
kualitas lingkungan hidup. Sebagian besar kasus mengenai perlindungan
lingkungan hidup – tanaman penghijauan, kawasan hijau, taman dan
kebun masyarakat – di dalam suatu distrik atau pemukiman berhadapan
dengan ekspansi proyek perkotaan, real estate, jalur khusus bus umum
dan proyek konstruksi lainnya. Tapi kelompok warga juga mengatur diri
terhadap pembuangan limbah, gas buangan dan antena yang mempengaruhi
kesehatan dan kualitas hidup.
Tahun lalu, peta
masalah perkotaan ditingkatkan dengan munculnya masalah baru, yakni
gempa bumi pada bulan Februari 2010 yang mengakibatkan kerusakan
berat di beberapa bagian kota Santiago. Dampaknya menimbulkan konflik
serius karena banyak penduduk yang kehilangan tempat tinggal.
Beberapa bangunan bertingkat tinggi mengalami kerusakan secara
signifikan, sehingga dinyatakan tidak layak huni lagi. Penghuni dan
pemilik bangunan ada yang mengklaim kembali dana investasinya, ada
yang minta perbaikan langsung atau mendapatkan kompensasi dari
developer dan perusahaan. Perkumpulan warga memperjuangkan subsidi
untuk rumah-rumah yang tidak layak huni dan menuntut rencana
rekonstruksi dari Kementerian Perumahan. Siswa dan guru juga
memprotes rekonstruksi sekolah mereka.
Sebuah contoh
perjuangan untuk rekonstruksi adalah Villa Olimpica, yang dibangun
pada tahun 1961, terdiri dari 82 bangunan dan 3000 flat. Hampir semua
rumah rusak oleh gempa; enam belas bangunan rusak berat dan tujuh di
antaranya dinyatakan tidak layak huni. Warga segera mengorganisir ke
dalam suatu perkumpulan yang kemudian menuntut rekonstruksi. Mereka
mengorganisir demonstrasi, kampanye dan kegiatan lain untuk
meningkatkan kesadaran publik dan menekan Kementerian Perumahan.
Mereka menuntut jenis lain dari subsidi, yakni manfaat rekonstruksi
yang sama bagi semua warga korban tanpa perbedaan. Selanjutnya,
perkumpulan warga bekerja menilai sendiri kerusakan dan proses
rekonstruksi, dan melaporkan penyimpangan alokasi subsidi. Mereka
berpartisipasi dalam demonstrasi pada peringatan setahun gempa dan
menjadi bagian dari 'Gerakan Nasional Hanya untuk Rekonstruksi'.
Lebih dari satu tahun pasca gempa, perkumpulan warga telah mengalami
kemajuan, dimana satu sisi rekonstruksi pemukiman dibiayai melalui
subsidi negara dan, di sisi lain, partisipasi para warga dalam proses
rekonstruksi dalam bentuk dialog intensif dengan Kementerian
Perumahan.
Peta ini
mengungkapkan dampak konfliktif selama hampir 40 tahun kebijakan
neoliberal, serta akumulasi masalah pertumbuhan kota metropolis: "Peta ini tidak mengklaim daftar semua
konflik, tetapi sampel yang representatif, yang memungkinkan
pandangan umum yang komprehensif tentang fenomena tersebut,"
jelas Alejandra, menunjuk ke salah satu objek dari peta. Dengan cara
itu, kita dapat memahami bahwa perjuangan parsiap, tetapi harus
struktural dengan merespon model pembangunan neoliberal yang
memproduksi kota, dan menumbuhkan kekuatan rakyat dalam memutuskan
ruang hidup mereka hari ini dan akan datang".
[1] Keluarga miskin
secara sistematis didorong ke pinggiran oleh kebijakan perumahan
berbasis subsidi selama 40 tahun terakhir. Konflik perumahan di
daerah pinggiran terutama bersumber dari kebijakan tersebut.
[2]
Poblador/ra bisa diterjemahkan dengan
"penghuni". Tapi pengertiannya lebih dari seorang penduduk
dari suatu 'Poblacion', atau pemukiman miskin, karena entitasnya
bersifat historis. Mereka menjadi aktor yang sangat penting dalam
kehidupan sosial dan mobilisasi politik perampasan tanah di tahun
60an dan 70an ketika 'Pobladores' dibangun sebagai bagian dari kota.
"Poblador 'dalam pengertian ini memiliki lebih dari makna
politik dan mengacu pada perjuangan kolektif untuk hak atas perumahan
dan hak atas kota.
[3]
Pada tahun 2009, semua 'pemukiman liar'
digusur oleh sebuah kebijakan zero-toleransi
terhadap gerakan penghuni liar setelah dua (dari empat) bom meledak
di tempat yang berbeda Santiago de Chile – yang lebih dikenal
sebagai "Caso Bombas". Pejabat menuduh sebuah "kelompok
anarkis" bertanggung jawab atas bom tersebut. Kasus ini belum
pernah terungkap dengan jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar