28 Sep 2011

UUPA - 51 Tahun dalam Penantian

Refleksi Hari Tani Nasional 2011
M. Nawir 
Jaringan Rakyat Miskin Kota - Indonesia
Ribuan petani yang didukung nelayan, kaum miskin kota, buruh, mahasiswa dan LSM beraksi di pusat-pusat kota dan kabupaten. Mereka merayakan peristiwa bersejarah di republik ini, suatu hari besar yang mereka namakan Hari Tani Nasional (HTN) setiap 24 September. Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, aksi hari tani tahun ini lebih merata, massif dan terorganisasi. Ada spirit baru gerakan rakyat di tengah-tengah turunnya kredibilitas pemerintahan reformasi dan politisi parlemen akibat kasus-kasus korupsi.
Aksi massa yang berlangsung sejak 24 s.d 26 September 2011 seakan ingin menegaskan kebangkitan semangat kaum petani menuntut hak atas tanah dan menentang perampasan tanah milik maupun lahan garapannya atas nama kepentingan umum atau pun investasi. Di balik tuntutan pokok itu, tersirat kesadaran rakyat pada pentingnya tanah sebagai jaminan sosial, ekonomi dan budaya, di samping kepastian hak atas tempat tinggal. Kepastian hak atas tanah adalah prasyarat pengentasan kemiskinan.
Enam tuntutan pokok massa aksi hari tani sebagaimana dikemukakan sekjen SPI (Serikat Petani Indonesia), Henry Saragih (www.spi.or.id/?p=4179), yaitu: (1) Presiden segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang reforma agraria; (2) Menghentikan food estate dan pertanian berbasiskan korporasi; (3) Mengembangkan pertanian yang ekologis dan ramah lingkungan; (4) menghentikan impor pangan; (5) Mengembangkan koperasi petani dan mengembalikan fungsi BULOG, serta; (6) Memberi peran yang besar bagi organisasi petani dalam pelaksanaan program pertanian pemerintah.
Apa yang terkesan dari keenam tuntutan tersebut? Pertama, reforma agraria, sejak ditetapkannya UUPA pada 24 September 1960 hingga TAP MPR IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan SDA masih menjadi rujukan bersama yang dapat mempersatukan kekuatan rakyat tani, nelayan, kaum miskin kota. Sudah 51 tahun rakyat belum juga menikmati reforma agraria, tepatnya land-reform yang sejati. Kedua, tradisi bercocok tanam, khususnya pertanian pangan yang beratus-ratus tahun diwariskan oleh nenek-moyang petani, belum mendapatkan tempat terbaik di negeri ini. Padahal amanat Konstitusi 1945 tidak berubah meski diamandemen berkali-kali, yakni kekayaan agraria - bumi, air, udara dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya - dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat.
Mengapa pada jaman pergerakan kemerdekaan, reforma agraria medapatkan tempat secara khusus sebagai strategi nasional yang akan menjamin keadilan sosial dan kedaulatan negara? Semua kekuatan politik dan ormas pada masa itu sepakat memilih reforma agraria, yang kemudian melahirkan UUPA. Sebaliknya, pada masa pemerintahan Orba hingga kini, pembaharuan agraria cenderung diabaikan, dan dengan demikian tradisi bercocok tanam dianggap pekerjaan komplementer dari pembangunan ekonomi dan industrialisasi SDA.
Penjelasan atas hal tersebut dibahas oleh Noer Fauzi, pemikir sekaligus pejuang reforma agraria dalam bukunya Petani dan Penguasa (1999). Dia mengulas entitas hidup kaum tani di jaman feodalisme, kolonialisme. Dalam sejarah itu, kaum tani, yang terorganisasi dalam Barisan Tani Indonesia (BTI), PETANI (Persatuan Tani Nasional Indonesia), STII (Serikat Tani Islam Indonesia), dan PERTANU (Persatuan Tani NU) mencatatkan dirinya sebagai kekuatan revolusioner, yang melepaskan rakyat dari jeratan hukum kolonial. Kaum tani menjadi penentu masih ada atau sudah tidak ada kedaulatan republik. Terbukti, penangkapan dan pembantaian kaum tani pasca G-30 S/PKI, memuluskan jalannya kapitalisasi pertanian. Pemerintahan Orba nyaris sebagai agen imperialisme gaya baru. Pertanian difokuskan pada swasembada pangan, tetapi mengabaikan hak kepemilikan tanah. Petani pada masa itu semata-mata objek bagi agen-agen pembangunan, yang memicu konflik agraria.
Sejak tahun 80-an, sengketa agraria dan pengelolaan lingkungan hidup meningkat tajam. Lahan-lahan pertanian dikonversi untuk korporasi, tambang, perkebunan besar, serta perluasan kawasan pemukiman kota. Di Sulawesi Selatan, yang sejak Orba hingga kini diklaim sebagai salah satu lumbung pangan, tetapi semakin banyak petani kehilangan lahan, yang pada gilirannya memicu gelombang urbanisasi/migrasi. Informasi dinas pertanian dan tanaman pangan dalam FGD RUU Pangan dua tahun lalu bahwa konversi lahan dalam lima tahun sekitar 27.000 hektar dari potensi lahan pertanian Sulsel seluas 587.304 ha. Pada periode yang sama di Makassar, konversi lahan pertanian sekitar 2000 hektar. Padahal untuk mencetak lahan sawah baru dibutuhkan biaya sekitar Rp 127 juta perhektarnya. Informasi ini sebenarnya tidak nyambung dengan klaim pemprov Sulsel yang menyatakan surplus beras 1,5 – 2 juta ton pertahun. Atau, peningkatan urbanisasi ke kota Makassar, bisa diduga akibat ketiadaan jaminan hidup jangka panjang petani dan buruh tani di desa dari lahan pertanian.
Di Makassar, dan beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Lampung, Medan, Palembang, eskalasi sengketa hak atas tanah dan tempat tinggal relatif tinggi pasca reformasi 1998. Ironisnya, proyek nasional pertanahan, yang diplesetkan oleh para aktivis sebagai “proyek bagi-bagi tanah” pemerintahan SBY, justru tidak menjawab atau tidak menjadi mekanisme penyelesaian sengketa tanah. Sasaran wilayah proyek diutamakan pada lahan-lahan yang tidak bermasalah, bahkan lahan-lahan yang tidak produktif. Di Makassar, wilayah prona di kecamatan Manggala, Biringkanaya dan Tamalanrea, tetapi tidak ada prona di daerah rawan sengketa seperti di kecamatan Tamalate, Rappocini, dan Bontoala. Situasi inilah yang dimaksud dengan pembaharuan agraria setengah hati. Maksudnya, kebijakannya dari pemerintah RI, dan dananya dari Bank Dunia.
UUPA secara tegas mengamanatkan pemerintah untuk melakukan tiga hal; konversi, pendaftaran tanah, dan land-reform, lengkap dengan peraturan pelaksanaannya. Selain itu, ada UU No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) yang mendampingi pelaksaanaan land-reform. Sayangnya, UUPA yang sudah berusia 51 tahun ini bagai “anak ayam ditinggal induknya”, seakan petani tidak bertuan lagi. Maka tinggallah kaum tani, nelayan, masyarakat adat, buruh tani dan kaum miskin kota dalam penantian panjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar