Refleksi Hari Tani Nasional 2011
M. Nawir
Jaringan Rakyat Miskin Kota - Indonesia
Ribuan petani yang didukung nelayan, kaum
miskin kota, buruh, mahasiswa dan LSM beraksi di pusat-pusat kota dan
kabupaten. Mereka merayakan peristiwa bersejarah di republik ini,
suatu hari besar yang mereka namakan Hari Tani Nasional (HTN) setiap
24 September. Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, aksi hari tani
tahun ini lebih merata, massif dan terorganisasi. Ada spirit baru
gerakan rakyat di tengah-tengah turunnya kredibilitas pemerintahan
reformasi dan politisi parlemen akibat kasus-kasus korupsi.
Aksi massa yang berlangsung sejak 24 s.d 26
September 2011 seakan ingin menegaskan kebangkitan semangat kaum
petani menuntut hak atas tanah dan menentang perampasan tanah milik
maupun lahan garapannya atas nama kepentingan umum atau pun
investasi. Di balik tuntutan pokok itu, tersirat kesadaran rakyat
pada pentingnya tanah sebagai jaminan sosial, ekonomi dan budaya, di
samping kepastian hak atas tempat tinggal. Kepastian hak atas tanah
adalah prasyarat pengentasan kemiskinan.
Enam tuntutan pokok massa aksi hari tani
sebagaimana dikemukakan sekjen SPI (Serikat Petani Indonesia), Henry
Saragih (www.spi.or.id/?p=4179),
yaitu: (1)
Presiden
segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang reforma
agraria; (2) Menghentikan food
estate dan
pertanian berbasiskan korporasi; (3) Mengembangkan pertanian yang
ekologis dan ramah lingkungan; (4) menghentikan impor pangan; (5)
Mengembangkan koperasi petani dan mengembalikan fungsi BULOG, serta;
(6) Memberi peran yang besar bagi organisasi petani dalam pelaksanaan
program pertanian pemerintah.
Apa yang
terkesan dari keenam tuntutan tersebut? Pertama, reforma agraria,
sejak ditetapkannya UUPA pada 24 September 1960 hingga TAP MPR
IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan SDA masih menjadi
rujukan bersama yang dapat mempersatukan kekuatan rakyat tani,
nelayan, kaum miskin kota. Sudah 51 tahun rakyat belum juga menikmati
reforma agraria, tepatnya land-reform yang sejati. Kedua,
tradisi bercocok tanam, khususnya pertanian pangan yang beratus-ratus
tahun diwariskan oleh nenek-moyang petani, belum mendapatkan tempat
terbaik di negeri ini. Padahal amanat Konstitusi 1945 tidak berubah
meski diamandemen berkali-kali, yakni kekayaan agraria - bumi, air,
udara dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya - dikuasai
negara untuk kemakmuran rakyat.
Mengapa
pada jaman pergerakan kemerdekaan, reforma agraria medapatkan tempat
secara khusus sebagai strategi nasional yang akan menjamin keadilan
sosial dan kedaulatan negara? Semua kekuatan politik dan ormas pada
masa itu sepakat memilih reforma agraria, yang kemudian melahirkan
UUPA. Sebaliknya, pada masa pemerintahan Orba hingga kini,
pembaharuan agraria cenderung diabaikan, dan dengan demikian tradisi
bercocok tanam dianggap pekerjaan komplementer dari pembangunan
ekonomi dan industrialisasi SDA.
Penjelasan
atas hal tersebut dibahas oleh Noer Fauzi, pemikir sekaligus pejuang
reforma agraria dalam bukunya Petani dan Penguasa (1999). Dia
mengulas entitas hidup kaum tani di jaman feodalisme, kolonialisme.
Dalam sejarah itu, kaum tani, yang terorganisasi dalam Barisan Tani
Indonesia (BTI), PETANI (Persatuan Tani Nasional Indonesia), STII
(Serikat Tani Islam Indonesia), dan PERTANU (Persatuan Tani NU)
mencatatkan dirinya sebagai kekuatan revolusioner, yang melepaskan
rakyat dari jeratan hukum kolonial. Kaum tani menjadi penentu masih
ada atau sudah tidak ada kedaulatan republik. Terbukti, penangkapan
dan pembantaian kaum tani pasca G-30 S/PKI, memuluskan jalannya
kapitalisasi pertanian. Pemerintahan Orba nyaris sebagai agen
imperialisme gaya baru. Pertanian difokuskan pada swasembada pangan,
tetapi mengabaikan hak kepemilikan tanah. Petani pada masa itu
semata-mata objek bagi agen-agen pembangunan, yang memicu konflik agraria.
Sejak
tahun 80-an, sengketa agraria dan pengelolaan lingkungan hidup
meningkat tajam. Lahan-lahan pertanian dikonversi untuk korporasi,
tambang, perkebunan besar, serta perluasan kawasan pemukiman kota. Di
Sulawesi Selatan, yang sejak Orba hingga kini diklaim sebagai salah
satu lumbung pangan, tetapi semakin banyak petani kehilangan lahan,
yang pada gilirannya memicu gelombang urbanisasi/migrasi. Informasi
dinas pertanian dan tanaman pangan dalam FGD RUU Pangan dua tahun
lalu bahwa konversi lahan dalam lima tahun sekitar 27.000 hektar
dari potensi lahan pertanian Sulsel seluas 587.304 ha. Pada periode
yang sama di Makassar, konversi lahan pertanian sekitar 2000 hektar.
Padahal untuk mencetak lahan sawah baru dibutuhkan biaya sekitar Rp
127 juta perhektarnya. Informasi ini sebenarnya tidak nyambung dengan
klaim pemprov Sulsel yang menyatakan surplus beras 1,5 – 2 juta ton
pertahun. Atau, peningkatan urbanisasi ke kota Makassar, bisa diduga
akibat ketiadaan jaminan hidup jangka panjang petani dan buruh tani
di desa dari lahan pertanian.
Di
Makassar, dan beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta,
Lampung, Medan, Palembang, eskalasi sengketa hak atas tanah dan
tempat tinggal relatif tinggi pasca reformasi 1998. Ironisnya, proyek
nasional pertanahan, yang diplesetkan oleh para aktivis sebagai
“proyek bagi-bagi tanah” pemerintahan SBY, justru tidak menjawab
atau tidak menjadi mekanisme penyelesaian sengketa tanah. Sasaran
wilayah proyek diutamakan pada lahan-lahan yang tidak bermasalah,
bahkan lahan-lahan yang tidak produktif. Di Makassar, wilayah prona
di kecamatan Manggala, Biringkanaya dan Tamalanrea, tetapi tidak ada
prona di daerah rawan sengketa seperti di kecamatan Tamalate,
Rappocini, dan Bontoala. Situasi inilah yang dimaksud dengan
pembaharuan agraria setengah hati. Maksudnya, kebijakannya dari
pemerintah RI, dan dananya dari Bank Dunia.
UUPA
secara tegas mengamanatkan pemerintah untuk melakukan tiga hal;
konversi, pendaftaran tanah, dan land-reform, lengkap
dengan peraturan pelaksanaannya.
Selain itu, ada UU No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi
Hasil (UUPBH) yang mendampingi pelaksaanaan land-reform.
Sayangnya, UUPA yang sudah berusia 51 tahun ini bagai “anak ayam
ditinggal induknya”, seakan petani tidak bertuan lagi. Maka
tinggallah kaum tani, nelayan, masyarakat adat, buruh tani dan kaum
miskin kota dalam penantian panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar