Oleh M. Nawir
Judul postingan di atas diinspirasi oleh tulisan
Leonardo Padura Fuentes dalam versi bahasa Inggris yang berjudul
Cuba: Cars, Houses, Corruption, Illegality, yang saya petik
dari website “Other News” asuhan Roberto Savio, edisi Kamis 28
Juli 2011. Leonardo
Padura Fuentes adalah seorang penulis dan wartawan Kuba, yang
novelnya
telah diterjemahkan ke dalam lebih dari lima belas bahasa. Karyanya
yang terbaru adalah The
Man Who Loved Dogs,
yang
menggambarkan
Leon
Trotsky dan pembunuhnya Ramon Merc ader sebagai karakter
tokoh
sentralnya
(silahkan
berselancar di
http://www.other-net.info/index.php).
Judul
tulisan tersebut akan
lebih kontekstual jika dikaji dari trend pertumbuhan kota-kota besar
di Indonesia, tidak terkecuali di Makassar. Pertumbuhan kota yang
ditandai dengan membengkaknya kepadatan penduduk akibat urbanisasi
seakan berkejaran dengan tingkat kepadatan pemukiman, dan kepadatan
kendaraan bermotor di jalan
raya pada satu
sisi; serta, praktik-praktik
ilegalitas seperti
korupsi di
level elit politik , dan kriminalitas warga kota, pada sisi yang
bersamaan.
Kita
seringkali bertanya “bagaimana mengendalikan pemukiman kumuh?”
atau “bagaimana mengatasi
kemacetan
kendaraan di jalan raya?”. Penjelasan terhadap kedua pertanyaan
tersebut menjadi teramat kompleks. Jika
seorang birokrat-teknokrat yang ditanya, maka kemungkinan besar
mereka menjawabnya dengan membangun
rumah susun atau perumahan sederhana. Jawaban yang kurang lebih sama
maksudnya adalah memperluas ruas jalan raya, membangun busway
atau pun monorail.
Kata kunci dari kedua jawaban tersebut adalah pengadaaan. Jadi,
pengadaan yang membutuhkan pengadaan baru, dan terus begitu mengikuti
teori dasar pertumbuhan ekonomi konsumtif. Ibarat
pengadaaan alat-alat kantor setiap tahun dianggarkan untuk peralatan
yang sama maupun baru. Lama kelamaan ruangan kantor menjadi sempit
dan nyaris menjadi gudang berbagai
peralatan.
Jarang
sekali kita
bertanya
“mengapa pemukiman penduduk kian padat, bahkan kumuh”, dan
“mengapa kemacetan tidak bisa diatasi dengan perluasan ruas jalan”.
Jawaban
atas problematika ini tercermin pada judul tulisan Leonardo, yakni
ada korelasi positif atas kebebasan memiliki dan menjual barang
mewah dengan
perilaku korup dan ilegalitas masyarakatnya.
Pemerintah Indonesia, terutama sejak Orde
Baru
tidak lagi mengenal pembatasan kepemilikan tanah, rumah dan kendaraan
bermotor. Dalam hal pengadaan barang seperti ini, orang indonesia
sudah pantas disebut “liberal-materialistis”.
Tingginya
kasus korupsi, yang oleh para ahli menyebut perilaku itu
yang bersifat sistemik, menunjukkan adanya penumpukan kekayaan pada
sekelompok kecil orang
tertentu.
Ada
semacam “nilai
lebih” dari para majikan, yang saya pelintir menjadi orang-orang
yang “kelebihan uang”. Korupsi
dan kejahatan yang semacam ini jelas modus awalnya adalah memperkaya
diri. Dengan “uang lebih”, semua bisa dibeli atau
diadakan.
Para pencuri dan perampok pun membayangkan pendapatan yang
lebih
daripada sekedar
upah
buruh
pabrik atau
keuntungan
berdagang di kaki
lima.
Pembiakan
pemukiman kumuh tentu dapat dijelaskan dari sisi bisnis properti yang
mengutamakan kelas masyarakat tertentu, di samping ketiadaan akses
orang miskin pada pengelolaan perumahan rakyat. Sementara kemacetan
harus dipandang dari sisi
pengadaan
kendaraan bermotor
tanpa
batas,
yang
tidak
bisa lagi dipandang dari sisi kegagalan
manajemen
transportasi. Artinya,
pada titik tertentu diperlukan
sebuah pemerintahan yang secara tegas membatasi kebebasan setiap
orang melakukan pengadaaan untuk kepentingan yang lebih mendasar,
yakni ketertiban dan keadilan sosial. Pada
saat yang sama, sebuah ketegasan yang sama diperlukan dalam mencegah
dan memberantas pelaku tindak pidana yang merugikan negara dan
masyarakatnya. Soal
yang begini kita perlu belajar dari negeri lain, misalnya Kuba.
Tidak
banyak negara seperti Kuba di dunia ini, yang selama setengah abad
berhasil mempertahankan kebijakan pembatasan kepemilikan mobil dan
rumah untuk pribadi, yang
dikenal dengan kebijakan egaliter (egalitarian
policies)
“satu rumah satu mobil” (one
home and one car).
Hanya
mobil yang
diproduksi
sebelum 1959 bisa bebas dan legal dijual ke negeri
Kuba. Namun,
dalam lima belas tahun terakhir, sejak
krisis ekonomi tahun 1990-an, bagi orang-orang tertentu memungkinkan
pembelian mobil baru atau
pun mobil bekas.
Aturan
yang relatif sama diberlakukan
untuk real
estate. Larangan
dan pembatasan penjualan
terhadap bisnis perumahan
– yang dikenal
dengan "permutas"
– dimaksudkan
untuk mencegah pihak-pihak
yang terlibat menangguk keuntungan
dari membeli atau menjual rumah mereka secara
bebas. Setidaknya
terdapat 6 peraturan
eksekutif yang bersifat perintah,
2 keputusan
yang bersifat pedoman,
dan 180 peraturan lain yang serupa, telah
diperkenalkan oleh Depeartemen
Perumahan Nasional,
Departemen Kehakiman, dan organisasi lainnya. Demikian
halnya dengan mobil. Ada
"40 larangan atau batasan yang
berkaitan dengan pengalihan
aset". Namun,
tidak bisa dipungkiri,
pembatasan tersebut menimbulkan pasar gelap (black
market), khususnya di bidang properti.
Pemerintah
sosialis Kuba melalui presiden Raul castro memprakarsai "pembaruan
model ekonomi" dengan mengendurkan kontrol pada pembelian dan
penjualan mobil dan rumah. Pengumuman perubahan ini tidak termasuk
penjualan rumah atau pun mobil baru (yang merupakan monopoli negara),
dengan aturan ketat dan dan pajak tinggi yang dikenakan pada
penjualan, pemilikan maupun pewarisannya.
Dari
contoh kecil pengalaman Kuba itu, kita dapat memetik pelajaran
tentang peran negara dalam mengontrol kepemilikan
privat untuk menjamin pemerataan keadilan
sosial. Dalam
konteks Kuba, kebijakan tersebut berimplikasi positif pada penataan
transportasi kota. Kontrol ketat terhadap kepemilikan kendaraan
bermotor bisnis automotif dapat dilihat hasilnya di jalan-jalan raya
yang minim kemacetan. Demikian halnya di sektor perumahan. Pada saat
yang sama, tanpa menjadi jargon pun, jika kebijakan yang sosialistik
dijalankan secara konsisten, sebenarnya semua itu efektif untuk
mencegah tindak korupsi sejak dini; yang artinya mencegah setiap
orang memperkaya diri, memperbanyak rumah dan kendaraan bermotor
secara tanpa batas.
3 komentar:
Elit politik dan pemegang kekuasaan tidak bisa lepas dari yang namanya praktek ilegalitas. Kebutuhan untuk dapat memenuhi keinginan diri sendiri dan keluarga. Korupsi tanpa disadari adalah perilaku keji yang berdampak terhadap jutaan orang miskin yang membutuhkan kesetaraan dan pencapaian kesejahteraan yang maksimal. Sy setuju korupsi diberangus dengan cara yang kejam pula, sanksi dalam UU Tipikor dimasukkan hukuman mati pelaku korupsi di atas 150 juta, tanpa proses banding. Kecuali kawan2 meunggu sejahtera 100 tahun yang akan datang atau tdk sama sekali hingga kiamat.
koropsi d birokrasi-politisi-polisi sdh kronis. suap di jln2 sdh lumrah. masy pun anggapx bkn lg perbuatan keji. jd, siapa lg yg hrs memberantasnya?
kecenderungan masyt. jd permisif pd perilaku korup atau koruptor. sbnarx krn mrk msh menyimpan budaya ms lalu, yakni menghargai pimpinan atau org yg disegani. nah, koruptor itu pd umumx orang2 tsb.
Posting Komentar