1 Feb 2017

Catatan Seminggu di Solo (Bagian 2)

Relaksasi: “Ikan Tongkol” atawa “Ikan Phallus”
Sejak dahulu kota Solo identik dengan kota sungai Bengawan Solo dan Kali Pepe. Tidak ada laut yang membatasinya. Itulah sebabnya makanan jajanan khas Solo pada umumnya diolah sumber daya pertanian dan peternakan seperti daging ayam, kambing, sapi, dan jenis ikan sungai seperti gurame, mujair, di samping sayur-sayuran dengan bumbu yang pedis-manis. Jadi, jangan terlalu berangan-angan bisa menikmati makanan jajanan (warungan) ikan bakar, ikan masak seperti di kota Makassar. Tidak ikan tongkol bakar di Solo. Menu ikan bakar terutama disajikan di restoran china.  Kuliner yang khas seperti Soto Timlo, Gudeg Ceker, Nasi Liwet, Sate dan Tengkleng, Bakso dan Mie Ayam. Juga tersedia makanan khas lainnya seperti sea food ala Restoran Cantoni. Keberagaman kuliner ini merupakan ciri keberagaman budaya-agama masyarakat kota Solo.
Yang berkesan bagi saya ketika makan malam bersama kawan-kawan Arkom di warung Sate Pak Manto. Lebih dari sekedar menikmati lezatnya masakan khas Solo, warung ini mengingatkan saya kepada almarhum Sumanto, yang biasa dipanggil Pak Manto. Pernah bekerja bareng di Aceh pasca Tsunami 2005–2007, kemudian bergabung dengan Arkom Jogja sebagai community organizer (CO) pasca Erupsi Gunung Merapi. Semasa hidupnya di Tangerang, pak Manto berperan besar dalam mengorganisasikan tukang becak yang kemudian tergabung dalam Sebaja, Serikat Becak Jakarta. Bersama aktivis UPC (Urban Poor Consortium), pak Manto menggerakan tukang becak dan kaum miskin kota menentang penggusuran/penggarukan becak. Selama bekerja untuk Arkom, dia bersama Jalil membidani terbentuknya Paguyuban Warga Kali Jawi. Pak Manto meninggal dunia pada tahun 2013 di Jakarta dalam usia 61 tahun. Panjang umur perjuangan!
“Ikan Tongkol” Homo Erectus
Rangkaian kegiatan Arkom Nyemplung Kampung diakhiri dengan berwisata, berkunjung ke Museum Sangiran dan Candi Sukuh. Suatu perjalanan yang mengasyikkan seperti melepas ketegangan. Layar TV bus pariwisata menyajikan live penyanyi dangdut Koplo yang erotis. Suasana terasa hangat dalam ruangan ber-AC. Yuli dan Lintang tertawa ngakak sambil menyebut “Ikan Tongkol”. Rupanya, video You Tube menyajikan percakapan Presiden Jokowi dengan murid SD yang berulang-ulang salah menyebut ikan tongkol. Video ini dengan cepat menyebar di dalam grup Arkom yang membuat perjalanan semakin hangat.
Memasuki halaman parkir museum Sangiran, mata pengunjung tertuju pada patung berukuran raksasa manusia purba Homo Erectus. Patung itu memperlihatkan detil penampakan tubuh manusia purba. Banyak pengunjung laki-laki yang suka berfoto bersama patung itu. Pengaruh video “ikan tongkol” yang mendorong saya ikutan berfoto. Ukuran “ikan tongkol” patung ini sekira “abangnya kuda”, yang membuat anak muda di samping saya terbahak-bahak.
Sambil berjalan dari ruang ke ruang pameran, saya masih memperhatikan bentuk dan ukuran manusia purba yang disebut oleh para arkeolog Manusia Jawa Homo Erectus. Kata homo pertama kali digunakan pada sekira tahun 1991. Berasal kata dari bahasa Latin Homos, yang berarti “sama” (same). Dalam Urban Dictionary kata homo bisa berarti perilaku seksual antarsesama (homo-sexual). Kata Erectus dari bahasa latin juga, yang berarti pula ereksi (erect). Para arkeolog-antropolog meminjam kata homo dan erectus untuk menjelaskan kesesuaian ciri manusia modern (sejarah) dengan manusia purba (pra-sejarah) Homo Erectus, yaitu evolusi manusia dari tidak tegak seperti kera menjadi tegak atau berdiri (erection). Adam P. Van Arsdale (Homo Erectus: Bigger, Faster and Smarter, 2013) menyebut spesies Homo Erectus ini lebih besar, lebih cepat, dan memiliki kemampuan (pintar) bertahan hidup dengan cara mengatasi (occupy) tantangan alam dibandingkan dengan makhluk jenis manusia purba sebelumnya.
Adalah 50% temuan fosil manusia purba di dunia ditemukan dalam situs Sangiran. Juga ditemukan sekumpulan fosil binatang purba yang sangat lengkap yang pernah ada di dunia seperti gajah, kerbau, babi, banteng, badak. rusa, domba, kura-kura, kuda laut, harimau, serta fosil jenis ikan, kepiting dan kerang. Jadi bisa dibanyangkan, pada masa pleistosen, sekira 2 juta sampai 500.000 tahun lalu, lembah sungai Bengawan Solo menjadi pusat peradaban manusia purba. Dukungan kondisi alam dan ketersedian berbagai jenis hewan memungkinkan manusia purba homo erectus berkembang biak.
Begitulah ciri pokok manusia. Makhluk hidup yang memiliki kemampuan beradaptasi terbaik daripada makhluk lainnya. Itulah sebabnya, perbedaan budaya, bahasa, dan agama bukanlah masalah dalam pergaulan sehari-hari. Anggap saja perbedaan itu adalah “takdir kebudayaan”. Sehingga perbedaan budaya dan bahasa bukanlah hambatan dalam berinteraksi dengan suatu komunitas. Justru sebaliknya dapat menjadi sumber pertukaran informasi dan nilai-nilai luhur antarbudaya. Seorang pegiat CO yang “homo-erectus” seyogyanya mampu berintegrasi dengan komunitas manapun, kapanpun.
“Ikan Phallus” Manusia Jawa
Sejenak melupakan guyonan Manusia Jawa Homo Erectus di Sangiran, Sragen, rombongan menuju situs Candi Sukuh di desa Berjo Ngargoyoso, Karanganyar. Di dalam bus yang menanjak pelan, masih juga tersisa ungkapan ‘ikan tongkol” dan “ikan pa’us”. Hujan di daerah ketinggian sekira 1000 meter dari permukaan laut tidak menghalangi hasrat anak-anak muda untuk berjumpa dengan situs masa lalunya.
Manusia Jawa memang kaya dan maju peradabannya. Situs Candi Sukuh yang dibangun pada abad 12-13 Masehi memperlihatkan keahlian mereka memahat dan mengukir batu secara detil; mengilustrasikan sistim dan struktur sosial masa kerajaan Majapahit. Juga kemampuan menata ruang dan bangunan simbolik (komposisi) dalam suatu kawasan. Di candi ini pun ditemukan beberapa relief binatang yang sejenis dengan binatang purba Sangiran seperti gajah, babi, kura-kura, kerbau. Relief rumah jawa (joglo), pohon lontar, kelapa pun sudah terukir detil pada beberapa struktur bangunan candi. Menariknya lagi, ukiran batu bergambar phallus tersebar di beberapa tempat secara vulgar. Phallus sendiri merupakan simbol dari penis yang ereksi. Pengertian ini melengkapi guyonan saya tentang “ikan tongkol” sama dengan “ikan phallus”.
Memasuki trap kedua Candi Sukuh, pengunjung dihadapkan pada sebuah bangunan berbentuk piramid. Di dalam bangunan ini terdapat relief Lingga Yoni. Wahh, keren ini. Spontan saya bereaksi. Lingga melambangkan phallus alias penis dan Yoni perlambang vagina. Relief ini melambagkan hubungan asmara antara dewa dengan istrinya, dalam hal ini pasangan Syiwa dan Parwati. Namun, makna Lingga-Yoni yang sesungguhnya adalah citra kesuburan, perwujudan kekuasaan raja, dan lebih dari itu adalah pertemuan yang harmonis langit dengan bumi. Bagi anak muda masa kini, ekspresi budaya simbolik manusia masa lalu itu sudah familiar, bahkan yang lebih erotis pun mudah diakses. Kemajuan teknologi informasi menjadikan hal-hal yang sakral menjadi profan, yang tersembunyi menjadi terbuka. Dengan mengunjungi situs sejarah dan arkeologi, anak-anak muda kini dapat berdialog secara imajiner dengan leluhur kebudayaannya, mengasah kepekaannya pada estetika, etika dan rasa kebangsaan secara sungguh-sungguh.
Siasat Pengorganisasian Rakyat
Rangkaian kegiatan Nyemplung Kampung Kali Pepe dan wisata arkeologi mencerahkan pikiran saya mengenai pengorganisasian komunitas. Apa yang telah dikerjakan atau dicapai oleh Arkom serta sekian banyak organisasi masyarakat sipil lainnya didasari oleh nalar berkebudayaan. Bagi saya, berbagai upaya sadar dan terorganisasi untuk mencerahkan, memajukan, memberdayakan, dan membebaskan manusia dari penistaan terhadap martabat kemanusiaannya adalah kerja kebudayaan. Lebih tepatnya, meminjam istilah Karlina Supeli, siasat berkebudayaan. Sebagai pedoman, saya meringkas delapan siasat kebudayaan tersebut.
Pertama, pada ranah praktik, tugas kebudayaan para intelektual dan budayawan adalah menghidupkan kembali kebiasaan berpikir dan bekerja sungguh-sungguh yang membedakannya dengan komentar-komentar acak dan pemikiran yang dangkal.
Kedua, pada ranah pemikiran, mentransformasikan konsep ekonomi dari urusan pasar ke mata pencaharian warga biasa dan bukan jual beli uang itu sendiri. Seiring dengan ini, transfer teknologi perlu sungguh-sungguh mendapat perhatian sampai ke tahap inovasi untuk memproduksi barang kebutuhan sehari-hari dan infrastruktur pendukungnya.
Ketiga, mentransformasikan sikap yang senantiasa mendewakan rasionalitas ilmu dengan mengakui bahwa ada kebenaran dari sumber pengetahuan lainnya.
Keempat, mentransformasikan politik untuk menciptakan kepemimpinan sebagai etos tanggung jawab dan bukan kekuasaan semata.
Kelima, mengubah kebiasaan konsumtif, dalam arti melatih kebiasaan berbelanja karena disadari dan didasari oleh kebutuhan, bukan karena hasrat atau keinginan semata. Kebiasaan mendidik hasrat akan menumbuhkan pemahaman mengenai tanggung jawab individu sebagai konsumen dan sebagai warga negara, antara kenyamanan pribadi dan manfaat bersama.
Keenam, membangun integritas dan kebiasaan seluas bangsa untuk menilai bahwa korupsi, kebiasaan mencontek, plagiarisme lebih dari sekedar kriminalitas adalah sikap yang anti-kebudayaan.
Ketujuh, revitalisasi makna  “profesi” dari asalnya professio (Latin), yang berarti “janji publik”. Seseorang dikatakan profesional karena dia memiliki otoritas dan keahlian tertentu, tetapi karena dia mengucapkan janji kepada publik, dan dengan kepakarannya itu dia menyumbang pada kebaikan bersama masyarakat.
Kedelapan, membiasakan diri setia kepada komitmen bukan karena suka atau tidak suka.
Makassar, 1 Pebruari 2017

2 komentar:

PANJI JARMIKO mengatakan...

Keren

PANJI JARMIKO mengatakan...

8 mata angin penutup yg tajam. Mantap

Posting Komentar