Relaksasi:
“Ikan Tongkol” atawa “Ikan Phallus”
Sejak dahulu kota Solo identik dengan
kota sungai Bengawan Solo dan Kali Pepe. Tidak ada laut yang membatasinya.
Itulah sebabnya makanan jajanan khas Solo pada umumnya diolah sumber daya
pertanian dan peternakan seperti daging ayam, kambing, sapi, dan jenis ikan
sungai seperti gurame, mujair, di samping sayur-sayuran dengan bumbu yang
pedis-manis. Jadi, jangan terlalu berangan-angan bisa menikmati makanan jajanan
(warungan) ikan bakar, ikan masak seperti di kota Makassar. Tidak ikan tongkol bakar di Solo. Menu ikan bakar
terutama disajikan di restoran china. Kuliner
yang khas seperti Soto Timlo, Gudeg Ceker, Nasi Liwet, Sate dan Tengkleng,
Bakso dan Mie Ayam. Juga tersedia makanan khas lainnya seperti sea food ala Restoran Cantoni. Keberagaman kuliner ini merupakan ciri keberagaman budaya-agama
masyarakat kota Solo.
Yang berkesan bagi saya ketika makan
malam bersama kawan-kawan Arkom di warung Sate
Pak Manto. Lebih dari sekedar menikmati lezatnya masakan khas Solo, warung
ini mengingatkan saya kepada almarhum Sumanto, yang biasa dipanggil Pak Manto. Pernah
bekerja bareng di Aceh pasca Tsunami 2005–2007, kemudian bergabung dengan Arkom
Jogja sebagai community organizer
(CO) pasca Erupsi Gunung Merapi. Semasa hidupnya di Tangerang, pak Manto berperan
besar dalam mengorganisasikan tukang becak yang kemudian tergabung dalam Sebaja, Serikat Becak Jakarta. Bersama
aktivis UPC (Urban Poor Consortium), pak
Manto menggerakan tukang becak dan kaum miskin kota menentang penggusuran/penggarukan
becak. Selama bekerja untuk Arkom, dia bersama Jalil membidani terbentuknya
Paguyuban Warga Kali Jawi. Pak Manto meninggal dunia pada tahun 2013 di Jakarta
dalam usia 61 tahun. Panjang umur perjuangan!
Rangkaian kegiatan Arkom Nyemplung Kampung diakhiri dengan berwisata,
berkunjung ke Museum Sangiran dan Candi Sukuh. Suatu perjalanan yang
mengasyikkan seperti melepas ketegangan. Layar TV bus pariwisata menyajikan
live penyanyi dangdut Koplo yang erotis. Suasana terasa hangat dalam ruangan
ber-AC. Yuli dan Lintang tertawa ngakak sambil menyebut “Ikan Tongkol”.
Rupanya, video You Tube menyajikan
percakapan Presiden Jokowi dengan murid SD yang berulang-ulang salah menyebut ikan tongkol. Video ini dengan cepat menyebar di dalam grup Arkom yang
membuat perjalanan semakin hangat.
Memasuki halaman parkir museum Sangiran,
mata pengunjung tertuju pada patung berukuran raksasa manusia purba Homo Erectus. Patung itu memperlihatkan
detil penampakan tubuh manusia purba. Banyak pengunjung laki-laki yang suka berfoto
bersama patung itu. Pengaruh video “ikan tongkol” yang mendorong saya ikutan
berfoto. Ukuran “ikan tongkol” patung ini sekira “abangnya kuda”, yang membuat
anak muda di samping saya terbahak-bahak.
Sambil berjalan dari ruang ke ruang
pameran, saya masih memperhatikan bentuk dan ukuran manusia purba yang disebut
oleh para arkeolog Manusia Jawa Homo
Erectus. Kata homo pertama kali
digunakan pada sekira tahun 1991. Berasal kata dari bahasa Latin Homos, yang berarti “sama” (same). Dalam Urban Dictionary kata homo bisa berarti perilaku seksual
antarsesama (homo-sexual). Kata Erectus dari bahasa latin juga, yang
berarti pula ereksi (erect). Para
arkeolog-antropolog meminjam kata homo
dan erectus untuk menjelaskan
kesesuaian ciri manusia modern (sejarah) dengan manusia purba (pra-sejarah) Homo Erectus, yaitu evolusi manusia dari
tidak tegak seperti kera menjadi tegak atau berdiri (erection). Adam P. Van Arsdale (Homo
Erectus: Bigger, Faster and Smarter, 2013) menyebut
spesies Homo Erectus ini lebih besar,
lebih cepat, dan memiliki kemampuan (pintar) bertahan hidup dengan cara
mengatasi (occupy) tantangan alam
dibandingkan dengan makhluk jenis manusia purba sebelumnya.
Adalah 50% temuan fosil manusia purba di
dunia ditemukan dalam situs Sangiran. Juga ditemukan sekumpulan fosil binatang
purba yang sangat lengkap yang pernah ada di dunia seperti gajah, kerbau, babi,
banteng, badak. rusa, domba, kura-kura, kuda laut, harimau, serta fosil jenis
ikan, kepiting dan kerang. Jadi bisa dibanyangkan, pada masa pleistosen, sekira
2 juta sampai 500.000 tahun lalu, lembah sungai Bengawan Solo menjadi pusat
peradaban manusia purba. Dukungan kondisi alam dan ketersedian berbagai jenis
hewan memungkinkan manusia purba homo erectus
berkembang biak.
Begitulah ciri pokok manusia. Makhluk
hidup yang memiliki kemampuan beradaptasi terbaik daripada makhluk lainnya. Itulah
sebabnya, perbedaan budaya, bahasa, dan agama bukanlah masalah dalam pergaulan
sehari-hari. Anggap saja perbedaan itu adalah “takdir kebudayaan”. Sehingga
perbedaan budaya dan bahasa bukanlah hambatan dalam berinteraksi dengan suatu
komunitas. Justru sebaliknya dapat menjadi sumber pertukaran informasi dan
nilai-nilai luhur antarbudaya. Seorang pegiat CO yang “homo-erectus” seyogyanya
mampu berintegrasi dengan komunitas manapun, kapanpun.
Sejenak melupakan guyonan Manusia Jawa Homo Erectus di Sangiran, Sragen, rombongan menuju situs Candi Sukuh di desa Berjo Ngargoyoso,
Karanganyar. Di dalam bus yang menanjak pelan, masih juga tersisa ungkapan
‘ikan tongkol” dan “ikan pa’us”. Hujan di daerah ketinggian sekira 1000 meter
dari permukaan laut tidak menghalangi hasrat anak-anak muda untuk berjumpa
dengan situs masa lalunya.
Manusia Jawa memang kaya dan maju
peradabannya. Situs Candi Sukuh yang dibangun pada abad 12-13 Masehi memperlihatkan
keahlian mereka memahat dan mengukir batu secara detil; mengilustrasikan sistim
dan struktur sosial masa kerajaan Majapahit. Juga kemampuan menata ruang dan
bangunan simbolik (komposisi) dalam suatu kawasan. Di candi ini pun ditemukan beberapa
relief binatang yang sejenis dengan binatang purba Sangiran seperti gajah,
babi, kura-kura, kerbau. Relief rumah jawa (joglo), pohon lontar, kelapa pun
sudah terukir detil pada beberapa struktur bangunan candi. Menariknya lagi,
ukiran batu bergambar phallus tersebar
di beberapa tempat secara vulgar. Phallus
sendiri merupakan simbol dari penis yang ereksi. Pengertian ini melengkapi
guyonan saya tentang “ikan tongkol” sama dengan “ikan phallus”.
Memasuki trap kedua Candi Sukuh,
pengunjung dihadapkan pada sebuah bangunan berbentuk piramid. Di dalam bangunan
ini terdapat relief Lingga Yoni.
Wahh, keren ini. Spontan saya bereaksi. Lingga
melambangkan phallus alias penis dan Yoni perlambang vagina. Relief ini melambagkan
hubungan asmara antara dewa dengan istrinya, dalam hal ini pasangan Syiwa dan
Parwati. Namun, makna Lingga-Yoni
yang sesungguhnya adalah citra kesuburan, perwujudan kekuasaan raja, dan lebih
dari itu adalah pertemuan yang harmonis langit dengan bumi. Bagi anak muda masa
kini, ekspresi budaya simbolik manusia masa lalu itu sudah familiar, bahkan yang
lebih erotis pun mudah diakses. Kemajuan teknologi informasi menjadikan hal-hal
yang sakral menjadi profan, yang tersembunyi menjadi terbuka. Dengan
mengunjungi situs sejarah dan arkeologi, anak-anak muda kini dapat berdialog
secara imajiner dengan leluhur kebudayaannya, mengasah kepekaannya pada estetika,
etika dan rasa kebangsaan secara sungguh-sungguh.
Rangkaian kegiatan Nyemplung Kampung Kali Pepe dan wisata arkeologi mencerahkan pikiran saya mengenai pengorganisasian komunitas. Apa yang telah
dikerjakan atau dicapai oleh Arkom serta sekian banyak organisasi masyarakat sipil
lainnya didasari oleh nalar berkebudayaan. Bagi saya, berbagai upaya sadar dan
terorganisasi untuk mencerahkan, memajukan, memberdayakan, dan membebaskan
manusia dari penistaan terhadap martabat kemanusiaannya adalah kerja
kebudayaan. Lebih tepatnya, meminjam istilah Karlina Supeli, siasat
berkebudayaan. Sebagai pedoman, saya meringkas delapan siasat kebudayaan
tersebut.
Pertama,
pada ranah praktik, tugas kebudayaan para intelektual dan budayawan adalah menghidupkan
kembali kebiasaan berpikir dan bekerja sungguh-sungguh yang membedakannya
dengan komentar-komentar acak dan pemikiran yang dangkal.
Kedua,
pada ranah pemikiran, mentransformasikan konsep ekonomi dari urusan pasar ke
mata pencaharian warga biasa dan bukan jual beli uang itu sendiri. Seiring
dengan ini, transfer teknologi perlu sungguh-sungguh mendapat perhatian sampai
ke tahap inovasi untuk memproduksi barang kebutuhan sehari-hari dan
infrastruktur pendukungnya.
Ketiga,
mentransformasikan sikap yang senantiasa mendewakan rasionalitas ilmu dengan
mengakui bahwa ada kebenaran dari sumber pengetahuan lainnya.
Keempat,
mentransformasikan politik untuk menciptakan kepemimpinan sebagai etos tanggung
jawab dan bukan kekuasaan semata.
Kelima,
mengubah kebiasaan konsumtif, dalam arti melatih kebiasaan berbelanja karena
disadari dan didasari oleh kebutuhan, bukan karena hasrat atau keinginan
semata. Kebiasaan mendidik hasrat akan menumbuhkan pemahaman mengenai tanggung
jawab individu sebagai konsumen dan sebagai warga negara, antara kenyamanan
pribadi dan manfaat bersama.
Keenam,
membangun integritas dan kebiasaan seluas bangsa untuk menilai bahwa korupsi,
kebiasaan mencontek, plagiarisme lebih dari sekedar kriminalitas adalah sikap yang
anti-kebudayaan.
Ketujuh,
revitalisasi makna “profesi” dari asalnya professio (Latin),
yang berarti “janji publik”. Seseorang dikatakan profesional karena dia
memiliki otoritas dan keahlian tertentu, tetapi karena dia mengucapkan janji
kepada publik, dan dengan kepakarannya itu dia menyumbang pada kebaikan bersama
masyarakat.
Kedelapan,
membiasakan diri setia kepada komitmen bukan karena suka atau tidak suka.
Makassar, 1 Pebruari
2017
2 komentar:
Keren
8 mata angin penutup yg tajam. Mantap
Posting Komentar