Promosi pemanfaatan bambu (bamboo) sebagai bahan baku perumahan
rakyat semakin gencar. Para pegiat
pembangunan yang ramah lingkungan (sustainable
development) terus melakukan uji coba konstruksi rumah bambu (bamboo-house construction) berbasis komunitas.
Bukanlah hal yang baru, tetapi
pemanfaatkan bambu sebagai bahan baku perumahan menarik untuk dikembangkan.
Bambu menjadi alternatif dari penggunaan material yang tak terbarukan pada
konstruksi perumahan modern. Selain mudah ditanam, bambu merupakan budidaya
komunitas kampung yang mudah diperoleh. Bambu bisa ditanam ulang secara padat
karya, dibanding semen dan besi yang tidak bisa ditanam dan bersifat padat
modal.
Bangsa Asia adalah pemilik sah
dari tradisi budidaya dan pemanfaatan bambu. Pengetahuan lokal mereka mengenai budidaya
dan pemanfaatan bambu untuk berbagai produk sehari-hari adalah berlangsung
berabad-abad lamanya. Hingga kini pengetahuan dan tradisi itu masih dapat
ditemukan di berbagai komunitas. Dan karena itu sangat potensial untuk
dikembangkan dan disandingkan dengan pengetahuan baru tentang konstruksi
perumahan.
Tentu terdapat sisi kekurangan
dalam konstruksi rumah berbahand dasar bambu. Pada berbagai komunitas perkotaan
(urban), konstruksi bambu dipandang tidak cocok dengan tuntutan zaman. Selain
pengetahuan lokal mereka yang kikis terkikis, dominasi kontraktor bangunan
beton dan serba logam berkembang pesat seiring dengan pertumbuhan kota-kota
baru. Kebijakan pemerintah pun turut
mengikis kearifan lokal konstruksi bambu. Misalnya, sejak Pembangunanisme
(developmentalism) Orde Baru dicanangkan, pemerintah mengklasifikasi bangunan
non-permanen seperti berdinding bambu/kayu, beratap rumbia dan berlantai tanah
adalah indikator kemiskinan. Dari kebijakan inilah proses pemiskinan berlangsung
secara hegemonik, dan mengkonstruksi cara pandang masyarakat bahwa rumah bambu
adalah rumah orang miskin atau setidaknya cermin dari kemiskinan komunitas.
Uniknya, kelas menengah terdidik
yang membangun rumah bambu dengan desain interior dan eksteriornya yang ‘posmo’
turut membentuk pandangan bahwa rumah bambu itu mahal. Rakyat miskin kemudian
disuguhi rumah-rumah murah (RSS dan RS) dalam proyek perumahan nasional maupun
rumah susun. Hal ini berkembang pesat sejak era-80an dengan pendekatan kredit
(KPR). Bahkan bahan baku batu bata diganti dengan batako, campuran pasir dan
semen yang dianggap paling murah. Tetapi yang terjadi kemudian, rumah-rumah
sederhana dan murah itu kualitasnya buruk. Dan, kebanyakan fasilitas kredit
pemerintah disabotase oleh pegawai dan karyawan berpendapatan menengah ke
bawah. Orang-orang miskin yang tidak memiliki akses pada kredit perbankan
akhirnya membangun perumahan sendiri di lahan-lahan tidak bertuan, yang
kemudian berpotensi konflik.
Konstruksi rumah bambu atau
bervarian bambu semakin penting untuk dikembangkan bersama komunitas yang
terorganisasi. Hal ini didasari kenyataan bahwa umumnya komunitas urban hanya
memanfaatkan bambu sebagai aspek elementer dalam pembangunan rumah – selain memproduksi
barang kerajinan yang bernilai ekonomis. Masyarakat perlu disuguhkan contoh
baik (best practices) dari pemanfaatan rumah yang murah dan tahan lama.
UN ESCAP – Komite Sosial Ekonomi PBB
untuk Asia dan Pasifik merekomendasikan pemanfaatan bambu untuk konstruksi
perumahan rakyat. Melalui program Green
and Resilient Housing, UN ESCAP bekerjasama dengan HILTI Foundation
menginisiasi teknologi pemanfaatan bambu untuk pembangunan rumah yang terjangkau
masyarakat miskin perkotaan. Program dimulai dengan riset berbagai aspek
pemanfaatan dan pengawetan bambu untuk pemukiman. Tentu saja melibatkan para
ahli dan praktisi yang pro-pelestarian sumberdaya alam, khusunya bambu.
Salah satu program percontohan (pilot project) konstruksi rumah untuk
rakyat di San Isidro Ilo-ilo City Philipine. Sebuah pemukiman berpenduduk
kurang lebih 500 jiwa pindahan dari bantaran sungai Ilo-ilo. Relokasi pemukiman
ini disediakan dan dibangunkan oleh pemerintah kota. Sebagai alternatifnya, HILTI
Foundation bekerjasama dengan Federasi Rakyat Miskin Pilipina (Homeless People Federation of Philipine)
memperkenalkan konstruksi rumah bambu kepada pemerintah kota. Dalam hal ini,
peran pokok LSM sebagai berikut:
(1) Menggali pengetahuan lokal bersama komunitas pemilik rumah. Menggali pengetahuan lokal (local wisdom), dan mendiskusikan praktik pemanfaatan bambu sehari-hari akan menentukan langkah berikutnya, yakni pengorganisasian komunitas untuk memulai kerja sama. Masyarakat memiliki pengalaman panjang dalam memanfaatkan bambu sebagai ekspresi dari cita rasa kebudayaannya. Ornamen, berbagai motif dan warna yang artistik menghiasi jendela, pintu, pagar, dan teras rumah mereka.
(2) Memberdayakan
tukang dan pekerja bangunan lokal. Masyarakat memiliki banyak ahli bangunan yang berpengalaman membangun bahkan mendesain berbagai bentuk rumah. Tukang kayu, tukang kayu, dan mandor adalah contoh organisasi kerja dalam sebuah pembangunan. Teknik mengukur, menghitung, menggambar, memproyeksi dan mengawasi pekerjaan ditempa setiap hari dari pekerjaannya. Mereka adalah arsitek komunitas. Para arsitek sekolahan bisa saling bertukar pengetahuan dan menemukan formulasi kerja sama yang saling melengkapi. Terutama dalam pemanfaatan teknologi dan perkembangan informasi arsitek.
(3) Membuat
workshop teknologi pengelolaan material bambu. Arsitek sekolahan dan arsitek kampung saling transfer pengetahuan dan keahlian dalam ruang kerjasama. Mengisntalasi pengetahuan baru bukan pekerjaan instan, sebaliknya berintegrasi dengan komunitas bukan hal sepele. Relasinya bukan guru dengan murid. Interaksi yang sebenarnya adalah saling berbagi untuk menguatkan kelebihan sekaligus melengkapi kekurangan. Fokusnya adalah memproduksi pengetahuan alternatif yang mencerahkan masing-masing. Pengadaan peralatan kerja akan membantu para tukang mengembangkan keahliannya. Bahkan menjadi sumer lapangan kerja baru bagi para pekerja bangunan.
(4) Melakukan
riset pengawetan bambu yang praktis dan ramah terhadap lingkungan. Agar konstruksi rumah bambu terjamin kualitasnya, diperlukan sistim pengawetan. Perkembangan ilmu pengetahuan menghasilkan sistim pengawetan bambu dengan menggunakan bahan kimia. Cara sederhana juga dilakukan masyarakat tradisional secara non-kimia. Dibutuhkan inovasi sistim pengawetan bambu. Masyarakat memilki banyak bahan baku pengawet organis, yang jika diolah dengan pendekatan baru, menghasilkan produk yang ramah lingkungan. Inovasi ini akan mengurangi ketergantungan masyarakat pada produk pabrikan, di samping mencegah dampak buruk penggunaan bahan kimia.
(5) Mengembangkan
desain rumah dan asistensi teknis pembangunannya. Cara pandang alternatif akan mencegah terjadinya penyeragaman desain seperti yang umumnya dilakukan pemerintah. Para desainer komunitas harus meyakini hal ini sebagai sikap dasar memulai kerjasama. Terkadang pekerja komunitas tergoda untuk bersikap praktis dan terima beres. Demikian halnya pemilik rumah. Dalam soal ini, organizer berperan penting dalam membangun kesepahaman pada tujuan dasar program. Dan pada saat yang sama pendampingan dan asistensi teknis akan memandu para pekerja dan komunitas untuk terlibat dalam setiap tahapan pembangunan. Intensitas pendampingan terutama pada saat pembangunan rumah pertama (contoh). Standar sosial dan teknis yang optimal menjadi tolak ukur pembangunan selanjutnya.
(6) Mengadvokasi
kebijakan dinas perumahan, pekerjaan umum dan dinas lingkungan hidup. Keberhasilan program percontohan rumah bambu ini pun tidak terlepas dari dukungan kebijakan dinas-dinas pemerintah yang terkait. Sebagai contoh peranan CODI dalam penataan pemukiman kumuh dan kredit perumahan bagi penduduk miskin di Bangkok. Peranan CODI sebagai fasilitator, mediator, dan kolaborator sangat efektif. Program menjadi massif ketika CODI mendapat kepercayaan pihak pemerintah nasional, lokal dan lembaga donor dalam memediasi konflik sekaligus menfasilitasi teknis pembangunan perumahan rakyat. Model CODI banyak direplikasi oleh LSM di Kamboja, Vietnam, juga Myanmar. Demikian halnya di HPFPI yang sukses meyakinkan pemerintah lokal, LSM internasional dan PBB dalam pengembangan perumahan murah, ramah lingkungan dengan konstruksi bambu.
Di Indonesia, penataan pemukiman berbasis komunitas sudah dimulai sejak lama seperti yang dikembangkan Romo Mangunwijaya di Kali Code. Sayangnya keberhasilan kerja para arsitek komunitas belum sepenuhnya diadopsi dalam kebihjakan perumahan nasional. Model penataan pemukiman yang diakui pemerintah nasional selama ini adalah KIP (Kampung Improvement Project) di Jakarta dan Surabaya pada tahun 70-an dan PNPM pada dekade tahun 2000-an. Dua proyek tersebut dinilai berhasil berkat sokongan pemerintah dan Bank Dunia. Sementara program inovatif yang dikembangkan UPC bekerja sama dnegan Arsitek Komunitas seperti di Strenkali Surabaya dan Banda Aceh pasca Tsunami masih membutuhkan kerja advokasi, di samping promosi dan inovasi.
Dari kunjungan singkat di lokasi percontohan konstruksi rumah bambu Ilo-ilo City, penulis mencatat beberapa poin pembelajaran yang relevan.
Pertama. Pemanfaatan bambu untuk konstruksi perumahan rakyat dapat dipromosikan untuk memenuhi kebutuhan rumah yang terjangkaui baik biaya maupun sumberdaya materialnya.
Kedua. Teknologi pemanfaatan bambu sebagai bahan dasar konstruksi perumahan cukup visibel untuk diadaptasi sesuai dengan kemampuan teknis dan ekonomis masyarakat miskin.
Ketiga. Aspek legalitas lahan pemukiman rakyat miskin merupakan faktor penghambat, dan karena itu keberhasilan advokasi (perundingan) sangat menentukan langkag selanjutnya.
Keempat. Diperlukan program percontohan sebagau titik tolak melakukan advokasi.
Makassar, 1 Juli 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar