lappo alias benno - pop corn kampungan |
M, Nawir
Pada mulanya, kerja atau bekerja diyakini sebagai suatu pemujaan dan kegiatan ritus. Dalam perkembanganya, kerja dipandang sebagai mekanisme kontrol dan represi. Hal ini terjadi ketika terjadi akumulasi kapital di tangan segelintir maupun sekelompok pemodal. Di pedesaan dikenal dengan juragan atau punggawa, sedangkan di perkotaan disebut majikan atau bos perusahaan. Istilah yang keren belakangan ini pemilik modal dinamakan kapitalis-borjuis.
Pada mulanya, kerja atau bekerja diyakini sebagai suatu pemujaan dan kegiatan ritus. Dalam perkembanganya, kerja dipandang sebagai mekanisme kontrol dan represi. Hal ini terjadi ketika terjadi akumulasi kapital di tangan segelintir maupun sekelompok pemodal. Di pedesaan dikenal dengan juragan atau punggawa, sedangkan di perkotaan disebut majikan atau bos perusahaan. Istilah yang keren belakangan ini pemilik modal dinamakan kapitalis-borjuis.
Sedikit berbeda
dengan kerja di sektor formal. Di sektor ini, pekerja relatif tidak dikontrol
oleh sebuah sistim kerja maupun kepentingan represif dari pemilik modal. Mereka
memiliki kebebasan dalam menentukan jenis usaha, mengelola dan memasarkan
barang dan jasa, tanpa harus mengikuti keinginan pemilik modal. Namun, dalam
perkembangannya, kerja di sektor informal sangat dipengaruhi oleh trend ekonomi
perkotaan, yang kemudian memposisikan mereka sebagai pengecer produk pasar
bebas. Meskipun demikian, mereka dapat
bertahan di tengah goncangan krisis ekonomi nasional dan global dengan kemampuan dan
siasatnya.
Sektor informal
terutama tumbuh pesat di perkotaan. Moda produksi ekonominya sangat dipengaruhi
oleh cara hidup kaum miskin kota, yakni informalitas dan keberagaman. Berdasarkan
pengalaman penulis, ciri-ciri yang
melekat pada ekonomi informal sebagai berikut:
Pertama, mampu mengadaptasi kepentingannya dengan kecenderungan atau tuntutan
sosial-ekonomi sekitar. Mereka dengan mudah mereplikasi suatu cara (modus)
maupun jenis usaha, bahkan mengubah bentuk usahanya agar tetap survive.
Kedua, mampu menyiasati locus usaha sebagai taktik
(motivasi) membuka pasar (konsumen). Rumus sederhananya “dimana banyak
jejak kaki, di situ banyak rejeki”.
Ketiga, kebebasan memilih jenis dan bentuk
usaha. Dengan segala keterbatasannya, rakyat miskin lebih bebas memilih sektor informal
sebagai basis usaha.
Keempat, pendapatan harian yang tidak
menentu merupakan kondisi yang umumnya tidak disadari sebagai potensi untuk
mengatur belanja sambil menabung harian. Kebiasaan “berapa dapat hari ini
bersimetri dengan berapa belanja hari ini”.
Kelima, informalitas sebagai ciri dominan
yang tampak pada cara hidup orang miskin perkotaan memungkinkan relasi personal
yang intens, saling memudahkan dalam transaksi, serta saling menguji
kepercayaan dan tanggung jawab masing-masing.
Keenam, jenis usaha sebagai sarana
produksi, yang pada umumnya adalah barang konsumsi sembako, memungkinkan usaha
tersebut berfungsi sebagai pemenuh kebutuhan subsisten atau stok
pangan. Barang sembako yang tidak habis terjual, dikonsumsi oleh penjual dan keluarganya.
Ketujuh, sektor informal secara nyata
membuka lapangan kerja. Hal ini dimungkinkan oleh sifat berusaha orang miskin
yang saling mengisi peluang. Sebuah lokasi usaha yang berhasil biasanya menjadi
tempat sekumpulan pedagang lainnya.
Kedelapan, ada kepercayaan personal di
kalangan pedagang kecil bahwa setiap orang memiliki rejeki yang berbeda-beda.
Oleh karenanya, persaingan individual di antara mereka dalam satu locus usaha diterima secara sehat.
Kesembilan, mengorganisasikan orang
miskin perkotaan bukanlah perkara mudah, dan karena itu penguatan kohesi sosial
menjadi sangat relevan. Isu-isu perlindungan atas lapangan kerja, akses di
tingkat distributor dan jaringan pasar menjadi tugas pokok organisasi yang
menaungi mereka.
Sejak pemerintahan Orde Baru, pembangunan daerah dan kota di Indonesia
digerakkan oleh konglomerasi investor swasta nasional dan asing. Pembangunan
pusat-pusat perdagangan dan jasa, diringi dengan proyek perluasan
infrastruktur. Kota sebagai ‘locus’ ekonomi menjadi arena kepentingan bersama
para kapitalis dan pejabat. Dua sisi mata uang “pusat perdagangan-infrastruktur” itu terus
berlanjut di era reformasi. Bahkan lebih gencar lagi: mall, hipermarket,
kawasan real-estate, hotel dan tempat hiburan menjadi indikator pertumbuhan
ekonomi kota metropolitan. Pemerintah pun memprioritaskannya dalam kebijakan tata ruang wilayah.
Kebijakan penataan ruang ekonomi dewasa ini mendapat reaksi yang keras dari kalangan pengusaha kecil dan
pekerja sektor informal. Mereka beranggapan bahwa pemerintah lebih melindungi
keberadaan para kapitalis (investor) daripada pengusaha kecil dan sektor
informal. Hal ini dapat dibuktikan dari besarnya kredit perbankan yang diserap
oleh para investor. Pada saat bersamaan, formalisasi pasar tradisional, serta
penertiban dan penggusuran PKL, Pengamen, Asongan, Tukang Becak dilakukan oleh
pemerintah dengan alasan tidak sesuai dengan perkembangan jaman modern. Bahkan,
pekerja sektor informal dan pasar-pasar tradisional dianggap sumber kejorokan,
penyebab kemacetan, dan kerawanan sosial.
Pemerintah selama ini menutup mata bahwa sektor informal dan
pasar-pasar tradisional penopang ekonomi nasional dari krisis perbankan dunia.
Justru usaha di sektor formal seperti pabrik, mall, hotel, dan lain-lain itulah
yang lebih duluan ambruk akibat ketergantungan pada pinjaman perbankan. Akibat
lebih jauh adalah dengan mudahnya pengusaha menetapkan upah minimum dan
melakukan PHK. Bahkan, pengusaha dewasa ini lebih cerdik lagi memanfaatkan
sistim outsourcing yang diatur
undang-udang. Artinya, sektor ekonomi formal juga berpotensi menciptakan
pengangguran. Pada tahun 2005 angka pengangguran meningkat dari 5,18 juta orang
tahun 1997 menjadi 10,9 juta orang. Jika setengah penganggur (mereka yang
bekerja kurang dari 35 jam seminggu) dimasukkan, angka pengangguran saat ini
mencapai 40,1 juta orang atau sekitar 37 persen dari total angkatan kerja
(106,9 juta orang).
Situasi yang berbeda dengan usaha di sektor informal yang
menyerap sebagian pesar pencari kerja di Indonesia. Sepanjang waktu bertambah
secara fluktuatif mengikuti tren pertumbuhan kota. Peningkatannya pun dipicu
oleh tuntutan ekonomi keluarga miskin. Usaha-usaha rumahan menjamur terutama kawasan
pertumbuhan baru dan di lorong-lorong pemukiman padat. Di sektor ini pula tumbuh berbagai inisiatif jenis
usaha dan produksi dengan modal kecil secara mandiri. Menurut data Badan Pusat statistik (BPS),
sektor informal menyerap 70 persen angkatan kerja yang bekerja dewasa ini,
sementara sektor formal hanya 30 persen. Sektor informal yang diwakili usaha
mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menyumbang 55,8 persen produk domestik bruto
(PDB) tahun 2005 atau 19 persen dari total ekspor. Data ini belum termasuk
kontribusi PKL, tukang becak, pemulung, dan berbagai usaha konsumsi rumahan
yang umumnya digerakkan oleh kaum perempuan.
Dengan
kenyataan ini, maka tidak ada alasan bagi
pemerintah dan pengusaha untuk mengurangi apalagi menghabisi pekerja sektor
informal. Seharusnya. pemerintah
melindungi dan mengelola sektor
informal sebagai aset perekonomian kota dan nasional. (25/01/12)
Sumber:
Informasi dan data diolah dari berbagai
sumber media cetak dan elektronik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar