Buku Seri 2: Pengalaman Partisipatoris Masyarakat
Arkom Makassar dan Litbang PUPR Provinsi Sulsel
M. Nawir
Prolog
Sejak kapankah kita terbiasa menggunakan kata partisipasi? Seorang aktivis
LSM[1]
menjawab pertanyaan ini dengan kisah pengalamannya mengkampanyekan agenda
pembangunan berkelanjutan (sustainable
development)[2]. Sedangkan seorang arsitek
muda mengenal istilah partisipasi dari seniornya yang mengajarkan pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA)[3].
Pengalaman pertama memahami partisipasi sebagai salah satu prasyarat dalam
perencanaan pembangunan. Tanpa partisipasi, suatu produk perencananaan
pembangunan dinilai cacat prosedural. Misalnya, keputusan hasil Musrenbang
mensyaratkan persetujuan peserta, dibuktikan dengan kehadiran, dan berita acara.
Sementara kualitas kehadiran diukur dari intensitas keterlibatan warga dalam diskusi
membahas dan memecahkan masalah, mengambil keputusan hingga menentukan skala prioritas kegiatan.
Pengalaman kedua memahami partisipasi dalam praktik perencanaan berbasis masyarakat. Selain mensyaratkan partisipasi warga pada semua tahapan pembangunan, diperlukan teknik penggalian informasi yang tepat. Metode PRA menyediakan teknik pelibatan warga dalam pembahasan dan pengambilan keputusan terhadap masalah maupun potensi yang dialami dan dimiliki warga sendiri. Kapasitas warga adalah narasumber sekaligus pelaku utama perencanaan. Sementara pihak lain sebagai narahubung dan fasilitator, yang berperan melancarkan alur dan merumuskan hasil-hasil diskusi. Demikian etika dalam perencanaan partisipatoris.
Konsep dan Konteks PartisipasiPengalaman kedua memahami partisipasi dalam praktik perencanaan berbasis masyarakat. Selain mensyaratkan partisipasi warga pada semua tahapan pembangunan, diperlukan teknik penggalian informasi yang tepat. Metode PRA menyediakan teknik pelibatan warga dalam pembahasan dan pengambilan keputusan terhadap masalah maupun potensi yang dialami dan dimiliki warga sendiri. Kapasitas warga adalah narasumber sekaligus pelaku utama perencanaan. Sementara pihak lain sebagai narahubung dan fasilitator, yang berperan melancarkan alur dan merumuskan hasil-hasil diskusi. Demikian etika dalam perencanaan partisipatoris.
Sebagaimana asal katanya, “participation” berakar dari bahasa Latin participare dalam arti “to take part in”, “share in”, “give part in”, “impart”. Bahasa Indonesia menyerap dan menyodorkan padanan kata ini dengan “peran-serta” atau pun keterlibatan. Pada kata partisipasi mengandung makna kemauan (kesadaran, motivasi) dan kemampuan (daya, kapasitas) untuk menjadi bagian sekaligus mengambil tanggung jawab untuk berperan serta dalam suatu proses sosial (komunikasi, pertemuan, diskusi).
Bagaimanakah sesungguhnya konsep dan praktik partisipasi masyarakat Indonesia? Seorang budayawan memberikan contoh gotong royong dan musyawarah dalam sistem pemerintahan desa. Tradisi ini telah berlangsung lama jauh sebelum Republik Indonesia diproklamasikan. Asas kekerabatan yang melandasi tradisi gotong royong diterima warga sebagai “perintah kebudayaan” (cultural imperative)[4]. Pada konteks ini, gotong royong bersifat organik, yaitu kesadaran atas tanggung jawab individu untuk berswadaya dalam urusan publik (public domain). Bukan karena “perintah pimpinan” sehingga warga bergotong royong. Demikian halnya dalam musyawarah, warga menyadari dirinya merepresentasi sejumlah kerabat, kelompok, bukan karena diposisikan pihak lain.
Sehubungan dengan pertanyaan di atas, seorang mahasiswa jurusan arkeologi[5] bersikap kritis. Apakah tradisi gotong royong dan musyawarah desa masa kini masih didasari etos budaya[6], kemandirian dan keswadayaan? Dalam catatan sejarah republik, bukankah semua itu mengalami keretakan akibat penjajahan dan sentralisasi kekuasaan antara tahun 1960-1970an? Yumiko M. Prijono[7] mengkaji hal itu disebabkan oleh: (1) ketimpangan dalam kepemilikan lahan menggerus komunalisme; (2) kepala desa bermental birokrat, lebih berfungsi administratif (3) penetrasi kekuatan politik partisan mengubah struktur kepemimpinan desa. Puncaknya dengan pemberlakuan Undang-Undang Pemerintahan Desa No. 5/1979 yang menyeragamkan struktur dan sistem pemerintahan desa. Bersamaan dengan itu, modernisasi dan stabilitas politik menekan watak kemandirian dan keswadayaan ke dalam bawah sadar warga desa. Mentalitas yang tampil, misalnya selalu merasa miskin merupakan hasil manipulasi kesadaran atas tawaran pihak lain dan dirasa menguntungkan secara material.
Duapuluh tahun kemudian, yaitu pembentukan Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999 menandai terjadinya perbaikan tata kelola pemerintahan desa. Bersamaan dengan euforia reformasi, masyarakat menemukan kembali kebebasannya, dan bersikap kritis terhadap pemerintah desa. Prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas pejabat publik menjadi ‘trending topic’. Tuntutan akan terwujudnya pemerintahan bersih bebas korupsi menjadi agenda advokasi organisasi masyarakat sipil pasca reformasi.
Namun, kebijakan otonomi daerah tidak membawa perubahan yang signifikan bagi penguatan ekonomi dan kelembagaan masyarakat perdesaan. Kebijakan otonomi lebih menguatkan posisi elit politik di tingkat kabupaten, yang disebut oleh para pengamat dengan istilah “raja-raja kecil”. Di tingkat masyarakat, euforia kebebasan seringkali memicu terjadinya konflik oleh perbedaan kepentingan dalam mengelola sumberdaya alam dan keuangan. Bahkan, potensi meluasnya konflik sosial diantisipasi dengan pemekaran wilayah kekuasaan.
Lima belas tahun berselang, terjadi arus balik dengan pemberlakuan Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014. Corak kewargaan desa masa kini direvitalisasi dengan prinsip rekognisi[8] dan subsidiaritas[9]. Vitalitas budaya, politik dan ekonomi desa dipulihkan dari suatu kehendak politik (political will) negara. Pemerintah republik mentransformasikan entitas desa sebagai satuan masyarakat dan wilayah pemerintahan yang otonom, termasuk nilai-nilai religiusitas, etos kemandirian, gotong royong, dan tata kelola desa adat.
Sampai di sini, kita boleh mengartikan berpartisipasi adalah tindakan yang didasari oleh motivasi, yaitu dorongan dari dalam maupun dari luar diri seseorang untuk terlibat. Mengenai hal ini Karlina Supeli dalam pidatonya mengutip pendapat Nussbaum[10] bahwa motivasi seseorang untuk mengubah tindakannya didorong oleh pertimbangan akal sehat dan emosi. Sehingga rasionalisasi terhadap budaya material dan petuah moral, mesti dibarengi dengan penyadaran untuk mengendalikan hasrat (naluri dan emosi) agar berirama dan terukur. Dengan demikian agar bisa terlibat, seseorang memerlukan; (1) pemahaman yang sama atas tujuan (isu). (2) kekuatan pendorong (motivator, fasilitator).
Etos Keswadayaan
Idealnya, partisipasi bersifat organik apabila bertolak dari etos keswadayaan atau pun kemandirian. Sebagaimana pandangan deterministik menyatakan bahwa nilai keswadayaan dan kemandirian bersifat melekat dan bertahan hidup dalam situasi perubahan. Etos ini merupakan kekuatan bawah sadar (memori) pendukung suatu kebudayaan, yang dapat dibangkitkan ketika berhadapan dengan tantangan maupun ancaman.
Sehubungan dengan pandangan di atas, Darmawan Salman[11] dalam ulasannya mengenai paradigma pembangunan berbasis teori endogen, mengutip istilah autonomous power, yaitu daya kritis sekelompok orang atau pun orang-orang lokal yang menyadari kekuatan otonom (di luar negara dan pasar) dalam menentukan tujuan yang hendak dicapainya. Kekuatan otonom pada diri orang-orang lokal itu bersifat endogenik, yang meyakini nilai-nilai kemanusiaan, misalnya sipakatau[12] dapat ditegakkan melalui kegiatan yang sungguh menghormatinya sebagai manusia (humanization of man).
Menurut Salman[13], prinsip pembangunan dalam paradigma endogen adalah partisipasi, kerja sama (kolaborasi), harmoni dan interkoneksitas berlokus lokal. Unit pembangunan yang ideal adalah lokalitas, yakni masyarakat atau komunitas lokal. Paradigma ini menspesifikasi tujuan pembangunan pada “pembentukan sistem sosial baru yang berwajah manusiawi” serta “harmonisasi antara pertumbuhan ekonomi dengan pelestarian lingkungan”.
Secara konseptual, paradigma tersebut memandu para pihak untuk menguatkan dan mengembangkan “kekuatan dari dalam” (endogenous), dalam hal ini warisan budaya suatu komunitas lokal (indigenous people) seperti pengetahuan lokal (indigenous knowledge), etos keswadayaan, kemandirian dan gotong royong. Secara empiris, pendekatan tersebut dipraktikkan oleh sejumlah NGO, di antaranya Arkom Makassar.
Dalam tiga tahun terakhir, arsitek muda Arkom berkolaborasi dengan akademisi, organisasi warga, dan pemerintah daerah dalam program penyadaran masyarakat, dan pengembangan teknologi tepat guna, khususnya di kawasan permukiman informal kampung Karabba dan Lakkang kecamatan Tallo kota Makassar, serta desa Tanete kecamatan Simbang kabupaten Maros. Narasi pengalaman dari ketiga lokus program tersebut cukup menarik sebagai rujukan studi dan pengembangan model perencanaan partisipatif, kolaboratif, khususnya bagi arsitek muda di kota Makassar. Pertanyaannya, bagaimana aktivis Arkom mempraktikkan pendekatan pengorganisasian komunitas di tiga lokasi program tersebut? Sejauhmana pengetahuan arsitektur (teknologi, material) berkontribusi dalam pemecahan masalah hunian warga? Perubahan apa yang dapat dijadikan pembelajaran bersama?
Idealnya, partisipasi bersifat organik apabila bertolak dari etos keswadayaan atau pun kemandirian. Sebagaimana pandangan deterministik menyatakan bahwa nilai keswadayaan dan kemandirian bersifat melekat dan bertahan hidup dalam situasi perubahan. Etos ini merupakan kekuatan bawah sadar (memori) pendukung suatu kebudayaan, yang dapat dibangkitkan ketika berhadapan dengan tantangan maupun ancaman.
Sehubungan dengan pandangan di atas, Darmawan Salman[11] dalam ulasannya mengenai paradigma pembangunan berbasis teori endogen, mengutip istilah autonomous power, yaitu daya kritis sekelompok orang atau pun orang-orang lokal yang menyadari kekuatan otonom (di luar negara dan pasar) dalam menentukan tujuan yang hendak dicapainya. Kekuatan otonom pada diri orang-orang lokal itu bersifat endogenik, yang meyakini nilai-nilai kemanusiaan, misalnya sipakatau[12] dapat ditegakkan melalui kegiatan yang sungguh menghormatinya sebagai manusia (humanization of man).
Menurut Salman[13], prinsip pembangunan dalam paradigma endogen adalah partisipasi, kerja sama (kolaborasi), harmoni dan interkoneksitas berlokus lokal. Unit pembangunan yang ideal adalah lokalitas, yakni masyarakat atau komunitas lokal. Paradigma ini menspesifikasi tujuan pembangunan pada “pembentukan sistem sosial baru yang berwajah manusiawi” serta “harmonisasi antara pertumbuhan ekonomi dengan pelestarian lingkungan”.
Secara konseptual, paradigma tersebut memandu para pihak untuk menguatkan dan mengembangkan “kekuatan dari dalam” (endogenous), dalam hal ini warisan budaya suatu komunitas lokal (indigenous people) seperti pengetahuan lokal (indigenous knowledge), etos keswadayaan, kemandirian dan gotong royong. Secara empiris, pendekatan tersebut dipraktikkan oleh sejumlah NGO, di antaranya Arkom Makassar.
Dalam tiga tahun terakhir, arsitek muda Arkom berkolaborasi dengan akademisi, organisasi warga, dan pemerintah daerah dalam program penyadaran masyarakat, dan pengembangan teknologi tepat guna, khususnya di kawasan permukiman informal kampung Karabba dan Lakkang kecamatan Tallo kota Makassar, serta desa Tanete kecamatan Simbang kabupaten Maros. Narasi pengalaman dari ketiga lokus program tersebut cukup menarik sebagai rujukan studi dan pengembangan model perencanaan partisipatif, kolaboratif, khususnya bagi arsitek muda di kota Makassar. Pertanyaannya, bagaimana aktivis Arkom mempraktikkan pendekatan pengorganisasian komunitas di tiga lokasi program tersebut? Sejauhmana pengetahuan arsitektur (teknologi, material) berkontribusi dalam pemecahan masalah hunian warga? Perubahan apa yang dapat dijadikan pembelajaran bersama?
[1] Berdasarkan percakapan penulis
dengan aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan tahun
1990-an di Makassar.
[2] Konsep ini merujuk pada visi pembangunan global yang menjadi platform pembangunan negara-negara anggota PBB penandatangan KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro Brazil 1992. Visi pembangunan berkelanjutan merupakan kritik atas kegagalan model pembangunan yang mengutamakan investasi dan pertumbuhan ekonomi daripada keselamatan umat manusia dan kelestarian lingkungannya. Pembangunan yang berbasis industri semakin kapitalistik, sebaliknya menciptakan jurang kemiskinan, kerusakan ekosistim, bahkan bencana ekologis. Kondisi ini melahirkan gerakan LSM dan aktivis lingkungan mengadvokasi kebijakan pemerintah dan swasta, khususnya pada proses penentuan kebijakan dengan memastikan hak masyarakat lokai untuk berpartisipasi pada semua tahapan pembangunan.
[3] Berdasarkan percakapan penulis dengan aktivis Arsitek Komunitas (Arkom) dalam suatu workshop tahun 2008 di kampus Teknik Unhas.
[4] Pandangan determinisme kebudayaan dari Richard D. Lewis dalam Cultural Imperatives: A Global Trends in the 21st Century (2003) bahwa budaya suatu bangsa bersifat bawaan alamiah (“cetak biru”) untuk bertahan hidup dan maju, mencakup pola pandangan hidup, termasuk sistim nilai, tatanan sosial dan agenda masa depan yang diwariskan antargenerasi.
[5] Berdasarkan percakapan penulis dengan mahasiswa setahun terakhir di Kantin Kolong FIB Unhas
[6] Karlina Supeli dalam Paradigma Baru Stratgei Kebudayaan (2014) menyebutnya sebagai transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas, semangat dan moralitas yang menjelma ke dalam perilaku dan tindakan. Etos ini menyangkut semua bidang kehidupan ekonomi, politik, sains-teknologi, seni dan agama. Sehingga kebudayaan menjalankan fungsi pedagogis untuk membangun perilaku warga negara searah dengan motif politik yang dominan.
[7] Dalam buku Modul Pelatihan Pratugas Pendampingan Desa, 2015.
[8] Rekognisi (recognition) berarti pengakuan atau pun penghormatan eksistensial terhadap hak asal-usul desa yang beragam baik. Keberagaman desa mencakup identitas, bentuk, nama, susunan pemerintahan, adat istiadat, maupun nilai sejarahnya. Istilah ini dilembagakan dalam UU Desa No. 4/2014 yang bersifat kontekstual, konstitusional, merupakan hasil negosiasi politik antara pemerintah, DPR, DPD, dan masyarakat desa (Modul Pelatihan Penyegaran Pendampingan Desa Kementerian Desa dan PDTT, 2015).
[9] Subsiadiritas (subsidiarity) merupakan konsekuensi dari rekognisi, yakni tanggung jawab negara pemberi pengakuan untuk mengayomi dan memberikan subsidi sebagaimana eksistensi hak atas asal-usul desa (Modul Pelatihan Penyegaran Pendampingan Desa Kementerian Desa dan PDTT, 2015).
[10] Dalam Naskah Pidato: Kebudayaan dan Kegagapan Kita, 2014:13).
[11] Dalam Paradigma dan Teori Pembangunan: Antara Pergeseran dan Pengkompleksan. Bahan bacaan untuk mata kuliah Teori dan Paradigma Pembangunan, Program Studi PPW, Konsentrasi Manajemen Perencanaan Pembangunan Daerah, PPs Unhas, 2015.
[12] Merujuk pada beberapa nilai-nilai luhur kearifan (sulesana) masyarakat Bugis-Makassar seperti sitinaja (kepantasan), sipakalebbi (saling menghormati), maliq siparappe (tolong-menolong).
[13] Ibid (Salman, 2015).
[2] Konsep ini merujuk pada visi pembangunan global yang menjadi platform pembangunan negara-negara anggota PBB penandatangan KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro Brazil 1992. Visi pembangunan berkelanjutan merupakan kritik atas kegagalan model pembangunan yang mengutamakan investasi dan pertumbuhan ekonomi daripada keselamatan umat manusia dan kelestarian lingkungannya. Pembangunan yang berbasis industri semakin kapitalistik, sebaliknya menciptakan jurang kemiskinan, kerusakan ekosistim, bahkan bencana ekologis. Kondisi ini melahirkan gerakan LSM dan aktivis lingkungan mengadvokasi kebijakan pemerintah dan swasta, khususnya pada proses penentuan kebijakan dengan memastikan hak masyarakat lokai untuk berpartisipasi pada semua tahapan pembangunan.
[3] Berdasarkan percakapan penulis dengan aktivis Arsitek Komunitas (Arkom) dalam suatu workshop tahun 2008 di kampus Teknik Unhas.
[4] Pandangan determinisme kebudayaan dari Richard D. Lewis dalam Cultural Imperatives: A Global Trends in the 21st Century (2003) bahwa budaya suatu bangsa bersifat bawaan alamiah (“cetak biru”) untuk bertahan hidup dan maju, mencakup pola pandangan hidup, termasuk sistim nilai, tatanan sosial dan agenda masa depan yang diwariskan antargenerasi.
[5] Berdasarkan percakapan penulis dengan mahasiswa setahun terakhir di Kantin Kolong FIB Unhas
[6] Karlina Supeli dalam Paradigma Baru Stratgei Kebudayaan (2014) menyebutnya sebagai transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas, semangat dan moralitas yang menjelma ke dalam perilaku dan tindakan. Etos ini menyangkut semua bidang kehidupan ekonomi, politik, sains-teknologi, seni dan agama. Sehingga kebudayaan menjalankan fungsi pedagogis untuk membangun perilaku warga negara searah dengan motif politik yang dominan.
[7] Dalam buku Modul Pelatihan Pratugas Pendampingan Desa, 2015.
[8] Rekognisi (recognition) berarti pengakuan atau pun penghormatan eksistensial terhadap hak asal-usul desa yang beragam baik. Keberagaman desa mencakup identitas, bentuk, nama, susunan pemerintahan, adat istiadat, maupun nilai sejarahnya. Istilah ini dilembagakan dalam UU Desa No. 4/2014 yang bersifat kontekstual, konstitusional, merupakan hasil negosiasi politik antara pemerintah, DPR, DPD, dan masyarakat desa (Modul Pelatihan Penyegaran Pendampingan Desa Kementerian Desa dan PDTT, 2015).
[9] Subsiadiritas (subsidiarity) merupakan konsekuensi dari rekognisi, yakni tanggung jawab negara pemberi pengakuan untuk mengayomi dan memberikan subsidi sebagaimana eksistensi hak atas asal-usul desa (Modul Pelatihan Penyegaran Pendampingan Desa Kementerian Desa dan PDTT, 2015).
[10] Dalam Naskah Pidato: Kebudayaan dan Kegagapan Kita, 2014:13).
[11] Dalam Paradigma dan Teori Pembangunan: Antara Pergeseran dan Pengkompleksan. Bahan bacaan untuk mata kuliah Teori dan Paradigma Pembangunan, Program Studi PPW, Konsentrasi Manajemen Perencanaan Pembangunan Daerah, PPs Unhas, 2015.
[12] Merujuk pada beberapa nilai-nilai luhur kearifan (sulesana) masyarakat Bugis-Makassar seperti sitinaja (kepantasan), sipakalebbi (saling menghormati), maliq siparappe (tolong-menolong).
[13] Ibid (Salman, 2015).
1 komentar:
Terima kasih telah mengizinkan saya untuk berkomentar di sini.
ARTIKEL ANDA SANGAT BAGUS !!
Semoga sukses selalu
ayo bos main poker online di sini link cepat permainan beragam daftar deposit mainkan dan semoga menang
daftar link poker
www.bandarpoker.store
18dewa
18dewa
18dewa
18dewa
18dewapoker
18dewapoker
18dewapoker
18dewapoker
bigpoker88
big88
bandar389
bandar 389
poker88
poker88
poker online
poker online
poker online
poker online
dewapoker
dewapoker
dewapoker
rekanpoker
LINK POKER TERBAIK DAN TERPERCAYA
www.bandarpoker.store
www.18dewapoke.asia
www.18dewapoker.store
www.bigpoker88.store
www.18dewa.id
bandar389.blogspot.com
poker88.poker.my.id
www.bandarpoker.store
Posting Komentar