30 Sep 2010

Mereka Mencita-citakan Kampung Masa Depan (2)

Mitos Penyakit Kulit
Bagian Kedua
Banyak “peristiwa-imajiner” maupun kejadian nyata di masa lalu yang tersimpan dalam bawah sadar manusia, dan dituturkan dari generasi ke generasi. Sebagian kisah itu menjadi mitos, yakni genre cerita sastra yang diapresiasi masyarakat sebagai rujukan tentang keyakinan, moralitas, asal muasal suatu tempat, bahkan penanda suatu kejadian atau perubahan sosial. Tokoh di dalam cerita mitos itu adalah tokoh-tokoh “supranatural” yang hidup pada suatu masa dengan problematika sosialnya.
Cerita mitos tentang penyakit dapat ditelusuri pada problematik tokoh-tokoh supranatural di dalam teks-teks klasik seperti kitab-kitab suci maupun lontarak. Cerita tentang nabi Ayyub di negeri Arab, Lazarus di daratan Eropa, serta cerita putri raja Luwu We Taddampalik di Tana Wajo, dan putri bangsawan Parepare Andi Tenri Uleng hingga kini diapresiasi sebagai mitos tentang pewabahan penyakit kulit. Yang menarik bahwa alur cerita mitos tentang penyakit itu bertolak dari situasi kekacauan (penderitaan), transisi (pengasingan) dan berakhir dengan kedamaian (“mu’jizat” penyembuhan).
Kisah nabi Ayyub tertuang di dalam Alqur’an surat al-Anbiyā’ (21): 83-84. Nabi Ayyub as adalah tokoh yang menderita penyakit kulit, bahkan lebih parah dari kusta. Oleh isterinya, Rahimah binti Afrayim binti Yusuf binti Ya’kub as, sang nabi diasingkan ke sebuah gubuk yang jauh dari pemukiman manusia. Keduanya hidup tanpa sanak saudara dalam pengasingan selama 80 tahun. Dengan kesabaran dan ketekunannya, sang isteri mengobati dan merawat suaminya hingga sembuh. Dalam kisah ini juga disebutkan bahwa sang istri nabi tidak terjangkit kusta (lih. Kusta dalam Perspektif Islam). Peradaban negeri Arab kemudian mencatat nabi Ayyub dan isterinya sebagai pasangan hidup manusia yang paling tabah menghadapi penderitaan dan cobaan Tuhan.
Dalam Alkitab (Yohanes bab 11 dan 12) dikenal kisah atau tamsil tentang Lazarus dan Orang Kaya. Lazarus adalah seorang pengemis, badannya penuh borok, yang berbaring dekat pintu rumah orang kaya mengharap sisa makanan untuk menghilangkan laparnya. Sang tokoh miskin ini kemudian meninggal. Berkat kemuliaan saudara perempuannya Marta, Lazarus dihidupkan kembali oleh Yesus setelah empat hari di dalam kubur. Kebangkitan Lazarus ini juga berkaitan dengan penderitaan si Orang Kaya di dalam kuburnya, dan berharap kemuliaan Lazarus (dikutip dari situs Christian Churches of God). Peradaban bangsa Eropa kemudian mencatat tokoh Lazarus sebagai manusia suci. Bahkan kata “lazarus” menjadi akar kata dari “lazaretto” atau “lazaret” atau pun “lazar house” yang artinya tempat pengasingan dan perawatan penderita penyakit kulit lepra di daratan Eropa Barat.
Masyarakat Bugis Makassar mengenal setidaknya dua mitos tentang riwayat pewabahan penyakit kulit, yakni cerita We Taddampalik dan Andi Tenri Uleng. Kedua cerita ini ada kemiripan, terutama dalam hal perlakuan keluarga dan “mu’jizat” penyembuhannya.
We Taddampalik adalah putri raja Luwu yang ketahuan berpenyakit kulit. Untuk menghindari kekacauan di dalam kerajaan, sang putri diasingkan dengan cara dialirkan ke sungai. Dalam pembuangannya, sang putri terdampar di sebuah daratan yang subur. Bersama pembantunya, sang putri membangun daerah itu menjadi kampung dengan bercocok tanam. Mu’jizat dialaminya ketika seekor kerbau belang menjilati sekujur tubuhnya setiap pagi, hingga kulitnya bersih dari penyakit kulit. Singkat cerita, sang putri berjumpa dengan seorang pangeran yang sedang berburu, yang kemudian menikahinya. Daerah tempat penyembuhan sang putri itu kemudian diyakini adalah To Sora, pusat kerajaan Wajo, dan pernikahan mereka menjadi cikal bakal keturunan raja-raja Wajo (M.B. Rahimsyah dalam Cerita Rakyat Sulawesi Selatan).
Cerita yang mirip dapat dijumpai pada mitos “asal-usul suatu tempat” di kecamatan Soreang Parepare (lih. www.pareparekota.co.id). Andi Tenri Uleng, putri bangsawan Bacukiki juga ketahuan berpenyakit kulit. Untuk penyembuhannya, maka sang putri diasingkan ke kampung Cempae bersama seorang laki-laki peramal bernama Sanrebo alias Ahmad Patujuh. Selama pengasingan itu, setiap hari sang putri menjaga padi, hingga pada suatu pagi seekor kerbau belang menjilati tubuhnya. Setelah itu Sanrebo memandikan sang putri dengan air sumur di tepi laut selama 40 hari 40 malam, hingga kulitnya bersih bersinar. Akhir kisah, sang putri dinikahkan dengan Sanrebo. Adapun tempat penyembuhan sang putri itu sekarang berada di lokasi komplek kusta Lauleng, dan permandiannya menjadi daerah “wisata sumur jodoh”.
Cerita mitologis tentang pewabahan penyakit kusta memberikan gambaran dogmatis suatu penyakit kulit, yakni sebagai cobaan Tuhan kepada manusia. Semua usaha penyembuhan terhadap penderita dilakukan dengan “pemindahan ruang”, yang bermakna bahwa penyakit itu berpotensi menimbulkan kekacauan “di dalam ruang asal”. Tindakan pengasingan dimaknai sebagai cara menghambat eskalasi potensi kekacauan itu. Masa pengasingan di “ruang baru” dimaknai sebagai masa transisi menuju “dunia baru” yang ditandai dengan pembentukan wilayah baru dan stabilitas baru. Penting dicatat bahwa cerita mitos tersebut memperlihatkan pentingnya perlakuan khusus terhadap penderita, yang mencakup ritual perawatan hingga proses penyembuhannya. Mu’jizat yang ditandai dengan kekuatan supranatural, misalnya “kerbau belang”, menegaskan pentingnya kekuatan itu dalam membentuk ketentraman (ketertiban sosial).
Gambaran tentang bagaimana tokoh cerita dalam mitos menangani pewabahan penyakit kulit menular bila disandingkan dengan cerita dituturkan oleh para mantan penderita kusta akan memperlihatkan pola umum yang sama. Ada kesamaan pada modusnya, yakni pengasingan untuk penyembuhan. Hal ini menguatkan pandangan bahwa kusta adalah penyakit menular yang nyata, dan bisa diobati atau disembuhkan. Usaha mengobati dan merawat penderita hingga sembuh itulah mu’jizat, hasil dari suatu usaha. Hal ini bertentangan dengan penilaian dogmatis yang menyatakan kusta adalah penyakit kutukan Tuhan yang tidak ada obatnya dan tidak bisa disembuhkan. Pertanyaannya kemudian bagaimana problem-problem psiko-sosial dan historis penderita kusta selama ini? Bagaimana penderita kusta memaknai tempat pengasingan itu sebagai rumah baru mereka? Apa sebenarnya yang menjadi harapan masa depan mereka?
Tulisan ini tidak akan menjawab pertanyaan di atas satu persatu. Saya berharap pembaca bisa membangun perspektif sosial terhadap pewabahan penyakit kusta, dan memperoleh gambaran tentang krisis-krisis luar biasa yang mendorong suatu perubahan sosial.
Pewabahan Kusta di Eropa
Penjajahan, perang, kemiskinan dan pewabahan penyakit menular adalah situasi nyata yang memicu terjadinya perubahan sosial suatu bangsa. Di balik Kematian Hitam (The Black Death), ada catatan peristiwa penderitaan manusia di daratan Eropa, yang disebabkan krisis peradaban yang parah. Catatan sejarah Kematian Hitam tersebar di pusat peradaban Eropa seperti Inggris, Jerman, Italia, Perancis, dan Spanyol. Di Perancis, situasi-situasi krisis tersebut menjadi pra-kondisi sosial atas pembentukan kelas borjuasi kota, yang kemudian melahirkan sistim kesehatan publik dan tatanan ekonomi politik baru di Eropa pada abad ke-18. Uraian tentang hal ini dapat dibaca di dalam buku Tubuh yang Rasis (Seno Joko Ruyono, 2002:210-219).
Pada pertengahan abad-15 hingga berakhirnya perang salib, hampir di seluruh bagian Eropa terdapat rumah-rumah lepra dan dihuni orang-orang lepra yang teregistrasi secara resmi. Pada pertengahan abad-17, masih tercatat sekitar 19.000 jiwa penderita lepra di kalangan umat kristiani di Perancis. Ketika epidemi itu berakhir di penghujung abad-17, rumah-rumah lepra diubah menjadi tempat pengurungan orang-orang miskin. Pada masa krisis itu, orang-orang miskin, pengemis, kaum gelandangan, ditangkapi secara massal dan brutal untuk mengisi rumah-rumah lepra yang sudah kosong. Dengan kata lain, terjadi pengalihfungsian rumah-rumah lepra menjadi “rumah-rumah koreksi” atau Hopital General. Sistim rumah koreksi itu tersebar juga di Jerman, Belanda, Spanyol, Skotlandia, dan Italia. Bahkan di Inggris ditemukan pamflet-pamflet resmi bertahun 1662 yang menyerukan agar orang-orang miskin dibuang ke India Timur dan Barat.
Fase berikutnya adalah menjadikan rumah-rumah koreksi itu sebagai tempat rehabiltasi mental dan moralitas orang-orang miskin. Mereka dididik sesuai kebutuhan spesifikasinya menjadi pekerja-pekerja dengan upah murah untuk melayani industri (cheaps man power). Sistim “kerja paksa” dan “upah rendah” itu adalah bagian dari kepentingan negara (monarki) mengatasi krisis ekonomi. Hopital General ini menurut foucault lebih merupakan suatu tempat semi-yuridis di mana kekuasaan raja secara aneh bekerja quasi-absolut di antara hukum dan polisi-polisi. Ia menemukan Hopital General menjadi semacam pilar ketiga opresivitas di samping hukum dan polisi di zaman monarkial untuk menciptakan ketertiban sosial (Seno, 2002:213). Dengan menangkapi dan merehabilitasi moralitas orang-orang miskin itu, kaum borjuis mempersiapkan tatanan kota yang teratur, bersih dan sehat sesuai cita rasa dan moralitas mereka. Terjadi reformasi dasar ilmu-ilmu sosial dan kesehatan publik modern. Tatanan baru inilah yang menjadi dasar perkembangan dan pertumbuhan kapitalisme dan kelas sosial baru di Eropa.
Perubahan sosial yang terjadi di Eropa berdampak pada penanganan wabah kusta di Indonesia. Misalnya, pada tahun 1865, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Surat Keputusan yang menganggap penderita kusta tidak menular, sehingga tidak perlu dipaksa masuk leprozerie atau “rumah lepra”. Namun, setelah Kongres Lepra pertama di Berlin Jerman tahun 1897, peraturan pengasingan paksa diterapkan kembali. Kongres tersebut menyatakan bahwa lepra adalah penyakit menular. Atas dasar itu, Pemerintah Hindia Belanda kembali membangun leprozerie bagi penderita kusta di nusantara. Barulah tahun 1932, Dr. J.B. Sitanala, yang saat itu Kepala Dinas Pemberantasan Kusta, menghapus peraturan pengasingan paksa. Dia bertindak berdasarkan referensi pemberantasan penyakit kusta di Norwegia, serta kelemahan penerapan sistim rumah lepra di Filipina dan Hindia Barat. Dr. J. B. Sitanala menerapkan sistim ”tiga langkah”, yaitu ekplorasi, pengobatan, dan pemisahan. Prinsip yang ditekankan oleh dokter Sitinala bahwa penderita kusta harus membaur dengan masyarakat, tidak harus diasingkan.
Pewabahan Kusta di Indonesia
Prevalensi penyakit menular kusta di indonesia mengalami peningkatan dalam kurun waktu antara tahun 1954 – 1974. Pada masa pemerintahan Orde Lama (1954) dilaporkan sebanyak 22.000 penderita kusta dari 79.025.881 jiwa penduduk Indonesia. Sekitar 12% atau sebanyak 3.095 penderita kusta ada di Sulawesi dari total penduduk 5.930.251 jiwa. Dua puluh tahun kemudian, masa pemerintahan Orde Baru (1974), jumlah penderita kusta di Indonesia sebanyak 93.395 orang dari jumlah penduduk 129.083.000 jiwa (Dali Amiruddin, April 2001). Prevalensi baru bisa diturunkan jumlahnya setelah diperkenalkan pegobatan dengan Multidrug Therapy (MDT) pada tahun 1982.
Pada awal tahun 1990-an, penderita kusta di Indonesia masih berkisar 60.000 orang. Meskipun angka pastinya simpang siur, pemerintah meyakini penurunan drastis terjadi dalam kurun waktu 1994 – 2004, yakni 16.000 penderita. Sebanyak 14.554 penderita kusta ada di Indonesia Timur (detikNews, 01/12/2005). Namun, pada tahun 2005 terjadi kenaikan menjadi 19.695 penderita kusta (Kompas, 11/08/2008). Pada tahun 2008, diperkirakan penderita kusta 22.000 orang berdasarkan proporsi penduduk sekitar 220 juta jiwa. Angka ini sama besarnya dengan penderita kusta pada masa Orde Lama tahun 1954.
Secara sosiologis, para ahli meyakini bahwa pewabahan penyakit kusta disebabkan oleh krisis sosial dan kemiskinan. Ketiadaan akses pada pengobatan medis modern turut memperparah pewabahan kusta. Akibatnya, banyak penderita kusta yang dibakar hidup-hidup, ditembak atau ditenggelamkan karena tanpa pengobatan medis akan mengakibatkan cacat yang mengerikan (Modus Aceh, 2 April 2009). Direktur WHO untuk Asia Tenggara, Jai Narain, menegaskan bahwa penyakit tropis merupakan masalah besar bagi masyarakat yang miskin, marjinal, dan masyarakat pedesaan. Masalah utamanya adalah sanitasi lingkungan dan gizi yang buruk, diskriminasi dan stigmatisasi dari lingkungan sosial penderita kusta (Tempointeraktif, 15/02/2007). “Semakin minimnya pasokan gizi, semakin mudah orang yang sering berinteraksi dengan penderita kusta menjadi tertular. Sebaliknya jika pasokan gizi baik, kemungkinan penularan tidak terjadi”,kata Mohammad Wahyu Surya Putra (Kompas, 11/08/2008).
Uraian berikut ini adalah telaah terhadap konteks sosial atau pun situasi darurat (krisis) yang membawa bencana bagi penduduk sipil di nusantara, khususnya di Sulawesi Selatan. Situasi-situasi krisis itu dipicu oleh penjajahan, perang, dengan berbagai bentuk penderitaan yang ditimbulkannya. Pembantaian terhadap penduduk sipil, kemiskinan, kelaparan, dan terbatasnya akses pengobatan dipandang berkorelasi positif dengan pewabahan penyakit. Sayangnya, infomasi tertulis yang secara tersurat bisa menjelaskan pewabahan penyakit menular seperti kusta dalam konteks kemiskinan itu di Sulawesi Selatan, sangat terbatas. Sehingga telaah mengenai hal tersebut bertumpu pada penuturan para mantan penderita kusta, terutama pada periode pendirian pemukiman atau komplek-komplek kusta, yakni pra-kemerdekaan 1930-an dan pasca kemerdekaan antara tahun 1950 – 1960-an. Meskipun demikian, penting juga dipaparkan mengenai situasi perang masa pendudukan Jepang dan pemberlakuan darurat sipil di seluruh wilayah Sulawesi Selatan pasca terbentuknya republik.
Secara historis, ada tiga situasi darurat yang melingkupi kehidupan penderita kusta dan masyarakat di Sulsel umumnya, yakni masa pendudukan Jepang (1942 – 1945); peristiwa pembantaian penduduk sipil oleh tentara Westerling (1946-1947), sampai berakhirnya pemberontakan DI/TII Kahar Muzakkar (1950 – 1957). Kesaksian Syambas, mantan penderita kusta di komplek kusta Lauleng Parepare bahwa: Tahun 1943-1945 masyarakat Lauleng amat merasakan penderitaan bahkan terjadi kematian pada saat Jepang menduduki Indonesia, hal ini disebabkan kurang perhatian dari penjajah. Tahun 1957 – 1967 yang banyak memberikan perhatian penuh adalah Rumah Sakit Fatimah karena pengawas Rumah Sakit Kusta silih berganti (pastor dan biarawati).
Sejarah mencatat kekejaman militer Jepang yang melakukan kerja paksa (romusha). Banyak laki-laki diambil dipekerjakan, bahkan dikirim ke Burma. Dalam kondisi yang sangat buruk, ribuan orang mati atau hilang. Tentara-tentara Jepang juga mengambil paksa, makanan, pakaian dan berbagai pasokan lainnya milik penduduk sipil, tanpa memberikan ganti rugi. Hal ini menyebabkan kelaparan dan penderitaan semasa perang (sumber: Wikipedia).
Pasca pendudukan Jepang, krisis dan peperangan di Sulsel belum berakhir. Masih terjadi pembantaian penduduk sipil yang pro-republik (kemerdekaan) yang dilakukan oleh kapten Raymond Westerling di Makassar hingga Parepare. Penangkapan dan pembunuhan terhadap penduduk sipil terjadi mulai dari pesisir utara, di tenggara hingga ke timur kota Makassar (Gowa). Jongaya adalah salah satu kampung yang menjadi target operasi tentara Westerling. Di luar Makassar, tentara Westerling melakukan pembantaian penduduk sipil dan pendukung republik di Takalar, di Parepare, sampai ke Majene- Mandar. Diperkirakan 40.000 ribu penduduk sipil korban pembantaian serdadu NICA Belanda atas tuduhan mendukung republik merdeka tanpa proses peradilan. Pramoedya Ananta Toer dalam suatu diskusi peluncuran bukunya Jalan Raya Pos, menyebut aksi Westerling salah satu bentuk kekejaman (genocide) di Indonesia, selain kebijakan kerja paksa (rodi) gubernur jendral Daendels yang memimpin pembangunan jalan poros Anyer-Panarukan, serta pembantaian massa PKI (sumber: Wikipedia).
Para mantan penderita kusta yang menjadi narasumber utama buku ini adalah orang-orang pedesaan yang berasal dari beberapa kabupaten yang dahulu dikenal sebagai daerah darurat sipil seperti Bone, Wajo, Parepare, Polewali, dan Gowa atau Takalar. Umumnya mereka terjangkit bakteri kusta pada usia kanak dan remaja, antara tahun 1950-an dan 1960-an (kecuali Indo Masse, yang terjangkit kusta pada masa perang kemerdekaan). Situasi darurat politik yang dirasakan langsung oleh para mantan penderita kusta waktu itu adalah pemberontakan DI/TII, yang mereka istilahkan dengan “masa gerombolan”. Pada masa ini, konflik bersenjata berlangsung di wilayah pedesaan, yang merupakan basis utama pasukan Kahar Muzakkar.
Salah seorang korban-saksi mata adalah Yusuf. Sebelum menetap di Landi Pokki, dia tinggal di Teppo Barat. Ketika terjadi pemberangusan oleh para gerombolan, dia dan penderita lainnya mengungsi secara bergerombol ke kampung Taka Barane Majene. Enam kali dia berpindah tempat pengungsian. Sampai akhirnya, dengan pengawalan aparat keamanan, Yusuf dan teman-teman menetap di Landi Pokki. Pemerintah kemudian berjanji bahwa tidak akan ada lagi yang mengusik kehidupan mereka.
Pengambilan paksa sumber-sumber logistik petani, serta pembakaran rumah penduduk, bersamaan dengan krisis pangan karena kegagalan musim tanam dan musim panen. Akibatnya, terjadi migrasi atau pun perantauan besar-besaran penduduk desa ke Makassar dan kota-kota di luar Sulsel. Orang-orang desa menyingkir dari kampungnya untuk menghindari ketidakamanan dan ketidakjelasan bersamaan dengan perluasan operasi militer TNI dan “gerombolan”. Jika tahun 1930 penduduk kota Makassar sekitar 84.000 jiwa, maka pada 1961 sudah mencapai angka 384.000 jiwa (Dias dalam Kota Lama Kota Baru, 2005:263). Di antara kaum migran (urban) itu adalah mantan penderita kusta yang saat ini menjadi warga komplek Jongaya dan komplek depan gereja Kare Tamalanrea. Sekitar tahun 1957 banyak “gerombolan” yang sering masuk kampung mengganggu warga. Seringkali ternak peliharaan saya diambil sama gerombolan, bahkan beberapa rumah di kampung kami juga dibakar oleh mereka. Hal itu pulalah yang menguatkan keinginan saya untuk menjual ternak saya sebagai ongkos perjalanan ke kota dan sisanya untuk biaya pengobatan” (Daeng Buang).
Dapat disimpulkan bahwa perang dan penjajahan membawa penderitaan panjang bagi rakyat di pedesaan. Kemiskinan, kelaparan, dan pewabahan penyakit merupakan kondisi nyata yang menginspirasi pejuang-pejuang republik untuk melawan penjajahan dan menuntut kemerdekaan.
Arti Penting Komplek Kusta
Pembangunan komplek penampungan dan rehabilitasi penderita kusta di Sulsel adalah kebijakan menyeluruh pemerintah Hindia Belanda. Proyek itu sebenarnya kelanjutan dari kebijakan kolonial di tanah Jawa, Bali, dan Sumatra. Proyek leprosarium (leprozerie) pertama dibangun pemerintah kolonial pada tahun 1665, tepatnya di Kepulauan Seribu (Teluk Jakarta), sebagai tempat penampungan para penderita kusta. Tiga orang di antaranya adalah penderita kusta. Pada tahun 1770, Belanda menerapkan sistim penanganan darurat kusta di Eropa untuk wilayah jajahannya, yakni peraturan yang mengharuskan pengasingan orang-orang berpenyakit kusta (lih. Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia, Direktorat PP & PL DEPKES RI 2007). Baru lah pada pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20, pemerintah Hindia Belanda membangun rumah sakit kusta dan leprosarium di Ambon, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara (Kompas, 27 Januari 2006).
Bisa diduga bahwa penyakit kusta di Sulawesi Selatan adalah rentetan pewabahan penyakit menular se-nusantara dalam situasi penjajahan, kerja paksa, kemiskinan, mungkin juga perbudakan. Bisa dibayangkan orang-orang pribumi yang terjangkit kusta sudah banyak tersebar, mendahului pendirian rumah-rumah kusta (leprosarium). Misalnya, para penghuni komplek kusta Liposos Totinco di Sengkang adalah generasi ketiga dan keempat dari keluarga penderita kusta. Indo Masse’ adalah generasi kedua (?) penghuni komplek kusta Bola Geme’e sebelum dipindahkan ke Liposos. Dia terjangkit kusta pada usia remaja, dan menjadi penghuni komplek pada masa pendudukan Jepang. Sementara di komplek kusta Jongaya yang terdiri beberapa petak ruangan, di antaranya sebuah bangsal berpintu besi, bekas penjara bagi penderita kusta, serta 25 unit rumah yang dibangun orang Belanda pada tahun 1935 (BKM, 08 Juli 2008).
Dewasa ini para mantan penderita kusta meletakkan arti penting komplek pemukiman kusta sebagai rumah masa depan anak-cucu mereka. Komplek kusta adalah “hidup-mati” bagi keluarga penderita kusta. Mereka merasa memiliki dan aman tinggal komplek pemukiman kusta. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan mereka yang cenderung menegasi rumah keluarga dan kampung asal. Mustari Lotong, M. Arif, Andi Amin, yang menetap di komplek Jongaya sejak tahun 60-an dan 70-an adalah contoh mantan penderita kusta yang sudah puluhan tahun meninggalkan keluarga dan kampung asal. Bagi mereka, rumah keluarga dan kampung asal adalah masa lalu yang buram.
Faktot eksternal, yakni tekanan dari luar diri sangat mempengaruhi terbentuknya kesadaran kolektif keluarga penderita kusta di dalam kawasan komplek. Mereka menyadari status sosialnya sebagai warga negara, atau penduduk kampung, yang berhak atas tempat tinggal yang sekian lama dirintisnya. Sementara faktor internal, yakni gambaran dogmatis diri sebagai si penderita kusta, sejauh yang mereka tuturkan, adalah sebuah pengorbanan. Perasaan “malu” berkorelasi positif dengan status sosial keluarga. Para mantan penderita kusta yang berasal dari keluarga terpandang secara kultural maupun ekonomi-politik memilih pergi menjauh dari rumah demi menjaga nama baik atau nama besar keluarganya di mata publik.
Kondisi-kondisi sosial yang membentuk kesadaran kolektif mantan penderita kusta adalah:
Pertama, sikap masyarakat yang merendahkan dan menolak integrasi penderita kusta di tengah-tengah masyarakat. Semua mantan penderita kusta pernah mengalami kondisi ini, dan karena itu mereka memilih tinggal di komplek kusta layaknya kampung halaman sendiri. Perjalanan panjang dilalui keluarga M. Yusuf, yang sedikitnya enam kali pindah tempat pengungsian, bahkan dengan pengawalan aparat keamanan, hingga mereka menetap di Landi Pokki.
Kedua, adanya pergeseran persepsi masyarakat tentang penularan penyakit kusta yang semakin baik pada dekade tahun 1990-an. Hal ini didukung dengan intensitas pelayanan kesehatan, terbentuknya struktur organisasi sendiri di dalam komplek, serta terjadinya pembauran. Banyak contoh perkawinan antara mantan penderita kusta dengan warga di luar komplek. Misalnya, Nurtini, eks penderita kusta yang bersuamikan lelaki normal, dan Rabiyah yang punya suami eks penderita kusta. Sementara Labbang dan isterinya adalah pasangan yang menikah tanpa restu kedua orang tua mereka, kemudian memilih tinggal di komplek Jongaya pada tahun 1987 (BKM, 07 Juli 2008).
Ketiga, perasaan senasib dan sependeritaan antar-sesama penderita kusta, terutama terbentuk oleh ancaman terhadap keberadaan mereka di komplek-komplek kusta. Peristiwa heroik terjadi ketika keluarga penderita kusta dan warga sekitar komplek bersatu menolak relokasi dan alihfungsi lahan rumah sakit kusta. “Jadi terus terang yang membuat kami bersatu adalah permasalahan yang menimpa kami, karena andai kata tidak ada masalah bersama agak sulit mungkin kami bisa menyatu, dan itu pula yang terjadi di sini. Selebihnya kalau toh kelak ada keinginan untuk memindahkan kami, lantas persoalan yang akan segera menghadang adalah kami mau disimpan dimana”. Selain itu, catatan sejarah yang menegaskan status lahan komplek kusta adalah tanah hibah (wakaf) menjadi dasar perjuangan Arif dkk. Warga komplek Jongaya meyakini tanah yang mereka tinggali adalah hibah dari keturunan raja Gowa pada masa gubernur Andi Pangerang Pettarani: mereka ingin hidup dan matinya tetap di kompleks yang didirikan oleh Bestuur Vereeniging tahun 1936. Lokasi yang mereka huni saat ini adalah tanah wakaf milik seorang bangsawan Kerajaan Gowa, yakni Karaeng Bonto Biraeng (BKM, 08 Juli 2008). Dengan begitu, entitas hidup keluarga mantan penderita kusta dan pewabahan penyakit kusta dewasa ini bukan semata-mata bagaimana mengatasi leprofobia. Ada persoalan kemiskinan struktural, terutama ketidakjelasan status sosial mereka di komplek kusta dan ketiadaan jaminan atas tempat tinggal.
Persoalan Akses dan Kontrol
Sejak awal pemerintah Hindia Belanda telah mengkondisikan para penderita kusta sebagai penghuni sekaligus pasien rumah sakit kusta. Prinsip sukarela dan pengobatan berbasis keluarga yang dikembangkan oleh Dr. Sitanala tidak didukung dengan aksesibilitas dan intensitas pelayanan medis di rumah maupun di kampung-kampung. Aksesibilitas dan intensitas pelayanan hanya dimungkinkan apabila pasien penderita kusta dikomplekkan atau pun dirumahsakitkan. Pengkondisian seperti inilah yang dilakukan pemerintah di negara-negara Eropa dan Hindia Belanda di Indonesia, kemudian diteruskan oleh pemerintah daerah.
Perkembangan lebih jauh pada tahun 1990-an, ketika komplek-komplek kusta itu menjadi perkampungan baru, yang terbuka untuk umum. Misalnya, Nuriyah, perempuan kelahiran Limbung Gowa tahun 1933, mengaku pertama kali menginjakkan kaki di komplek Jongaya pada tahun 1972 setelah dicampakkan suaminya lantaran dia ketahuan terjangkit kusta. Bahkan mayoritas penghuni areal yang luasnya 7 hektar ini adalah pendatang dari luar kota. Pembauran ini pun berdampak pada kehidupan sehari-hari warga eks penderita kusta. Banyak di antara mereka yang sudah membangun keluarga dengan pendatang ataupun warga sekitar (BKM, 07 Juli 2008).
Kondisi pemukiman kusta dari waktu ke waktu pun semakin padat. Jumlah penghuninya sudah tidak seimbang dengan luas lahan perumahan. Komplek Jongaya pada tahun 2008 dihuni oleh 409 KK atau sekitar 2000 jiwa. Terjadi penyempitan lahan pada tahun 1992, dari 11 hektar tersisa 7 hektar. Pemerintah daerah mengalihfungsikan rumah sakit kusta menjadi Rumah Sakit Umum Haji. Bagi Arif dkk, proyek pengalihfungsian Rumah Sakit Kusta merupakan awal dari sebuah rencana besar dari pemerintah kota untuk merelokasi warga Jongaya ke Kampili di kabupaten Gowa. “Karena kami merasa tidak ada jalan lain, maka kami bersama-sama menghadap ke kontraktor dan mengatakan bahwa kalau masih ada pembangunan di sini maka besok akan terjadi perang”. Rencana relokasi itu pun gagal karena selain terjadi perlawanan keras dari semua warga, sejak semula masyarakat Kampili sudah menolak rencana komplek penderita kusta. Pada akhirnya proyek pembangunan RSU Haji tetap dilanjutkan dengan kesepakatan komplek kusta tetap berada di Jongaya.
Peristiwa yang sama terjadi di komplek kusta Bola Geme’e Sengkang. Semula luas lahan komplek 8 hektar, cukup untuk perumahan dan lahan berkebun. Pada tahun 1985, pemda Wajo merelokasi penderita kusta ke Liposos Totinco, jauh dari pusat kota. Pemda Wajo hanya menyedikan lahan 4 hektar dengan fasilitas rumah 75 unit. Saat ini, komplek Totinco sudah dihuni 300 jiwa. “Ketika proses perpindahan kami dulu dari Bola Geme’e ke Liposos Totinco tidak ada ganti-rugi atau apa pun, langsung disuruh angkat barang, padahal kami di sana sudah tanam kelapa, dan kebun kami juga banyak tanamannya”. Menurut Indo Masse, di atas bekas lahan komplek Bola Geme’e adalah bangunan Rumah Sakit Daerah Sengkang lengkap dengan perumahan dokter. Hal yang aneh baginya adalah separuh lahan di sebelah selatan rumah sakit telah dimiliki oleh perorangan. Padahal dia tahu persis bahwa lahan komplek Bola Geme’e bukan milik perorangan.
Penyempitan lahan komplek kusta adalah gambaran conflict of interst yang melibatkan banyak pihak. Di komplek kusta depan Gereja Kare, lahan yang tersisa bagi warga sekitar 1 hektar dari awalnya sepuluh hektar. Menurut Dg Buang, pada tahun 1992, sebagian lahan dibanguni rumah sakit Madina. Sampai suatu waktu ada proyek sertifikasi tanah. Masyarakat ikut mengukur dan membayar tiga ratus ribu untuk mendapatkan sertifikat hak milik perorangan. “Iya karena Camat, Lurah, Rukun Kampung dan Rukun Tetangga bersekongkol. Sehingga banyak penderita kusta kini tidak lagi punya tanah, dia hanya mengontrak sama penderita lainnya”. Lahan satu hektar yang tersisa saat ini pun tidak jelas lagi status kepemilikannya. Surat bukti kepemilikan itu pernah diambil seorang Mantri, yang sudah meninggal pula.
Ketidakjelasan surat bukti kepemilikan lahan akibat konflik kepentingan terjadi di semua komplek kusta. Tanah di komplek kusta Lauleng Parepare, yang semula seluas sekitar 10 ha adalah milik A. Cokeng, seorang keturunan bangsawan. Pemerintah Hindia Belanda membeli tanah tersebut untuk menampung penderita kusta, sambil mengembangkan penelitian, pengobatan, dan pengawasan agar tidak terjadi penularan. Belakangan dinas kesehatan melalui pembangunan RS Kusta Lauleng, kemudian mengklaim kawasan komplek tersebut adalah milik Pemda Parepare. Masalahnya kemudian, sekitar 800 warga komplek Lauleng tidak pernah melihat dan tidak tahu pihak pemegang surat-surat bukti kepemilikan tanah. Mereka hanya tahu bahwa tanah komplek Lauleng adalah tanah hibah yang diperuntukkan khusus bagi penderita kusta berdasarkan catatan sejarah.
Apa yang dikeluhkan oleh para mantan penderita kusta di atas sesungguhnya adalah cermin dari ketidakberdayaan mereka berhadapan dengan kebijakan negara, dalam hal ini pemerintah kota/daerah yang cenderung mengabaikan hak-hak ekosob penderita kusta. Semakin jelas dimensi penderitaan penderita kusta dewasa ini semakin kompleks.
“Jadi hingga kini kami tinggal di sini masih berupa hak pakai saja, tidak ada satu pun yang berupa hak milik. Tetapi jujur, saya kurang tahu persis siapa yang menyimpan dokumen surat kepemilikan lahan di sini, apakah ada di kantor daerah atau di rumah sakit” (A.Syamsul, Teppo Barat).
Seingatnya, dia pernah disuruh mengukur luas lahan di kampung Landi Pokki oleh Mantri Sayuti, petugas kesehatan. Namun, sekitar dua puluh hari setelah pengukuran, mendadak ada warga Landi Pokki yang sakit keras. Mantri Sayuti lalu ke Polewali mengurus obat-obatan. Nasib naas menimpa mantri Sayuti. Ia tabrakan dan meninggal dalam perjalanan pulang dari Polewali menuju Landi Pokki. Pada saat itu, keinginan untuk memperjelas status tanah Landi Pokki menemui jalan buntu (M. Yusuf, Landi Pokki).
“Kami hanya pasrah, kalau memang kami nanti akan digusur, karena tanah ini memang bukan tanah kami, tapi milik pemerintah, seperti dulu di Bola Geme`e yang merupakan tanah pemberian dari pemerintah Belanda, di sini pun begitu, karena sudah tidak ada Belanda, maka status tanah ini milik pemerintah Indonesia” (Najib, Liposos Totinco).
Agenda Bersama: Hak Ekosob
Sejauh informasi yang tercatat, warga penghuni komplek kusta secara pribadi maupun kolektif telah berusaha menuntut pemenuhan hak-hak ekosob tersebut. Usaha-usaha kolektif yang pernah dilakukan antara lainAksi menolak diskriminasi pelayanan kesehatan dan sekolah, dan menuntut penganggaran yang adil bagi keluarga penderita kusta, bertepatan dengan Hari Kusta Sedunia 2005. Aksi ini diikuti oleh 50-an penderita kusta dibawah organ aksi Forum Masyarakat Kusta (FMK) di kantor DPRD propinsi Sulsel (detikNews, 25 Januari 2005).
  • Aksi menuntut pengadaan kartu Jamkesmas bagi penderita kusta di kantor PT ASKES Cabang Makassar. Aksi ini adalah usaha yang kedua kalinya, setelah aksi sebelumnya tidak direspon cepat oleh pihak ASKES.
  • Aksi yang mencekam adalah aksi menolak relokasi dan pengalihfungsian rumah sakit kusta menjadi rumah sakit umum (haji) pada tahun 1992. Aksi ini disiapkan secara terorganisasi, mulai dari pembentukan Tim Delapan, lobby, pengaturan barisan aksi sampai pada penghentian dan perusakan bangunan serta kendaraan aparat pengamanan. Meskipun aksi ini berhasil menggagalkan rencana pemerintah merelokasi komplek kusta, tetapi sebenarnya pemerintah berhasil menguasai sebagian lahan dan menndirikan rumah sakit umum.
  • Tindakan perorangan seperti mempertanyakan status dan bukti kepemilikan, serta melakukan pengukuran tanah komplek dilakukan oleh hampir semua mantan penderita kusta. Usaha seperti ini yang membuat warga nyaris pasrah dan menganggap tidak mungkin pemerintah mengakui atau memenuhi permintaan warga.
Sesungguhnya, problem yang dialami warga penghuni komplek kurang lebih sama dengan persoalan yang di hadapi warga miskin pada umumnya. Persoalan pemenuhan hak-hak dasar dan ketidakpastian status tanah tempat tinggal rakyat miskin merupakan agenda perjuangan (advokasi) bersama dalam jangka panjang. Basis argumensi dan advokasinya adalah Konvensi Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi oleh pemerintah RI, Undang-undang HAM, serta UUD 1945 hasil amandemen. Beberapa pasal penting dari konvensi dan perundangan-undangan itu secara tegas mengikat negara, dalam hal pemerintah untuk segera merealisasikan hak-hak universal Ekosob.
Hak-hak Ekosob mencakup semua kualitas hidup terbaikyang dibutuhkan setiap warga negara, di antaranya adalah hak atas pekerjaan, hak mendirikan organisasi atau serikat pekerja; hak atas jaminan sosial; hak atas tempat tinggal dan kehidupan yang layak; hak atas pendidikan; hak atas pengembangan dan perolehan manfaat dari ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya (Elsam, Kemudian, Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 H hasil Amandemen juga disebutkan bahwa:
1. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
2. Setiap orang berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
3. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
4. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
Secara khusus, kovenan Hak Ekosob di dalam Komentar Umum No. 4 merinci beberapa aspek berkaitan dengan hak atas perumahan (Lembar Informasi KPRM, 2009). Aspek-aspek ini sangat relevan dengan problematika yang dialami warga penghuni komplek dan harapan-harapan ideal mereka pada perumahan yang layak dewasa ini. Aspek-aspek yang dimaksud adalah:
1. Kepastian hukum kepemilikan, termasuk perumahan darurat dan pemukiman informal maupun pendudukan tanah atau properti. Setiap orang harus memiliki tingkat kepastian kepemilikan yang menjamin perlindungan hukum terhadap penggusuran paksa, pelecehan dan ancaman lainnya
2. Ketersediaan layanan, bahan dan prasarana. Semua penerima hak memiliki akses atas sumberdaya alam dan fasilitas umum yang berkelanjutan seperti air bersih, penerangan, sanitasi, pengelolaan sampah, drainase dan layanan darurat.
3. Biaya yang terjangkau. Negara (pemerintah) berkewajiban untuk memastikan prosentase biaya berkaitan dengan pengadaan perumahan yang sepadan dengan tingkat pendapatan.
4. Habitabilitas, dalam hal ini pemberian ruang yang cukup kepada penghuni dan perlindungan mereka dari bahaya, seperti cuaca buruk, ancaman struktural, dan pewabahan penyakit.
5. Aksesibilitas bagi kelompok masyarakat yang berhak dan tidak mampu seperti orang tua, anak-anak, cacat fisik, sakit parah, sakit mental, korban bencana alam, dan kelompok lainnya, harus diprioritaskan dalam kebijakan pemerintah
6. Lokasi perumahan, yang memungkinkan akses penghuni ke tempat kerja, layanan kesehatan, sekolah, dan fasilitas sosial lainnya.
7. Kecukupan budaya, maksudnya desain atau rancangan perumahan disesuaikan dengan kebiasaan, pengetahuan dan kreasi warga setempat.
Kewajiban negara penandatangan kovenan Hak Ekosob adalah melakukan sendiri maupun bekerjasama dengan pihak internasional untuk memastikan adanya informasi rinci tentang kelompok masyarakat rentan dan yang dirugikan, khususnya orang-orang dari keluarga tunawisma, orang-orang tanpa akses pada fasilitas-fasilitas pokok, orang-orang yang tinggal di pemukiman ‘illegal’, serta korban penggusuran paksa dan kelompok berpenghasilan rendah. (Lembar Informasi KPRM, 2009).
Sehubungan dengan hal tersebut, berikut ini informasi rinci yang berkaitan dengan situasi kerentanan warga penghuni komplek-komplek kusta, dalam hal ini keluarga para (mantan) penderita kusta, seperti berikut ini: Keterbatasan informasi yang benar tentang hak-hak mereka atas tempat tinggal atau perumahan. Hal ini berkaitan dengan kurangnya perhatian dari pihak-pihak yang berkompeten seperti LSM, Ormas, pemerintah, apalagi dengan kondisi keterbatasan fisik, kesehatan dan tingkat pendidikan (keterbacaan) para penderita kusta yang umumnya rendah. Agenda advokasi yang diperlukan adalah pendidikan kewargaan untuk membuka wawasan dan kecakapan warga penghuni komplek dalam mengatasi hambatan pemenuhan hak-hak dasar mereka – secara perorangan maupun kolektif. Penguatan kapasitas kepemimpinan dan organisasi termasuk dalam agenda advokasi ini.
1, Keterbatasan akses ekonomi mereka, terutama sulitnya lapangan kerja yang cocok, apalagi pemerintah dan pengusaha tidak memiliki kebijakan (political will) yang sungguh-sungguh berkelanjutan untuk mengakomodasi kepentingan serta keahlian para penderita kusta, setidaknya menfasilitasi mereka menciptakan lapangan kerja. Isu advokasi yang penting dikedepankan adalah persamaan hak untuk memperoleh kesempatan kerja yang sesuai dengan keahlian dan pengetahuan yang mereka miliki tanpa memandang status atau riwayat kekustaannya. Pada banyak kasus, riwayat penyakit atau kekustaan seseorang menjadi alasan penolakan penyedia tenaga kerja, khususnya pengusaha. Salah satu penyebab banyaknya warga penghuni komplek kusta menjadi pengemis karena tidak ada pekerjaan yang cocok dan mampu mereka kerjakan. Agenda advokasi yang relevan adalah mendorong pemerintah mengutamakan perlindungan bagi warga penghuni komplek kusta yang bekerja di sektor informal. Khusus di pedesaan, pemerintah seharusnya menyediakan lahan-lahan garapan bagi warga penghuni kusta untuk berkebun dan bercocok tanam.
2, Ketiadaan jaminan legal dari pemerintah atas status lahan tempat tinggal warga penghuni komplek kusta. Pemerintah terkesan sengaja menyembunyikan hal tersebut untuk kepentingan institusi sendiri bahkan kepentingan perorangan. Perilaku seperti itu adalah ancaman serius bagi warga, yang selalu was-was akan digusur pemerintah atas nama penataan atau pun pengembangan wilayah kota. Sasaran pokok advokasi adalah melakukan pendataan status kepemilikan tanah dan riwayat kependudukan penghuni komplek dengan tujuan memastikan bahwa lahan pemukiman mereka tidak bisa dimiliki (disertifikasi) secara perorangan. Apabila pemerintah berkepentingan dalam pengelolaan lahan komplek, maka pemerintah berkewajiban mematuhi kovenan hak-hak Ekosob tentang partisipasi atau pelibatan secara penuh warga dalam pengambilan keputusan. Aksi kolektif yang mendesak adalah menyusun usulan atau konsep-tandingan tentang legalisasi status hak kepemilikan lahan secara kolektif kepada pemerintah daerah/kota berdasarkan riwayat tanah komplek.
Setiap tindakan sepihak-monokausal, dalam kasus ini: begitu saja menggusur berdasarkan argumentasi legalistik dan pertimbangan “murah”, secara prinsip tidak sah, jadi harus ditolak dan diakhiri kalau sudah dijalankan. Sesuatu seraksasa seperti memindahkan ratusan ribu masyarakat miskin memerlukan persiapan terpadu yang matang, kalau tidak, perbuatan itu sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan.Jadi penggusuran itu hanya dapat dibenarkan kalau dipersiapkan secara matang, oleh semua pihak bersangkutan, dengan memastikan bahwa orang miskin yang akan dipindahkan, tidak dibikin lebih miskin lagi (Franz Magnis-Suseno SJ dalam PAT – UPC/Uplink Indonesia, Jogjakarta, 31 Oktober 2003).
Pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya sudah saatnya mengubah cara pandang terhadap kaum marjinal dan orang miskin. Tidak sepantasnya lagi meletakkan posisi mereka sebagai beban negara, tetapi menjadikan mereka sebagai salah satu stake-holder dalam pemecahan masalah hak-hak Ekosob. Kebutuhan akan pelayanan kesehatan, pekerjaan, pendidikan, air bersih, maupun subsidi sembako, hanya bisa dipenuhi apabila ada pengakuan dan kepastian atas hak hidup mereka di komplek-komplek kusta. Tanpa itu, kampanye eliminasi penyakit kusta tidak bermakna sebagai peningkatan harkat kemanusiaan.
Pengakuan Getir dari Sudut yang Pengap para mantan penderita kusta bukan sekadar cerita. Pengakuan mereka sudah menjadi fakta dalam sejarah sosial pewabahan kusta di Indonesia. Oleh karena itu, menurut saya, mulai 2010, perlu dikampanyekan lagi pemenuhan hak-hak dasar setiap warga penghuni komplek kusta, khususnya hak atas tanah dan pemukiman yang layak.
Makassar, 22 Desember 2009
---------------------------
Bacaan/Referensi:
Arali. Kantong Penularan Kusta di Polewali, dalam @rali.blogspot,18 Mei 2009
Bara R. Hutagalung. Pembantaian Westerling I, Massaker di Sulawesi Selatan Desember 1946 Februari 1947 dalam http://batarahutagalung.blogspot.com/2006
detikNews. Tolak Diskriminasi, Penderita Kusta Datangi DPRD Sulsel, Selasa, 25 Januari/2005
detikSurabaya. Indonesia Ranking 3 dalam Hal Kusta, Kamis, 06 Desember 2007
Dian Kartika Sari. Hak Atas Perumahan yang Layak, dalam Lembar Informasi KPRM, 2009
Dias Pradadimara. Penduduk Kota, Warga Kota, dan Sejarah Kota: Kisah Makassar, dalam Kota Lama Kota Baru,Ombak, Jogjakarta 2005
Direktorat PP&PL DEPKES RI. Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia, 2007
Elok Dyah Messwati dan Reny Sri Ayu. Kusta: Masih Ada Diskriminasi dan Stigmatisasi dalam Kompas, 27 dan 28 Januari 2006
Franz Magnis Suseno JD. Sekitar Kebijakan terhadap Perumahan Rakyat Miskin di Tanah Negara, Makalah Pertemuan Akhir Tahun UPC/Uplink Indonesia, Jogjakarta, 31 Oktober 2003
Haikin Rahmat. Penderita Kusta Tidak Perlu Dikucilkan, Artikel Edisi 359, 27 Jan 2003
Harian Berita Kota Makassar (BKM). Melirik Aktivitas Penyandang Kusta di Komplek Jongaya, 7 dan 8 Juli 2008
Harian Fajar. Penyandang Kusta Minta Jamkesmas, Selasa, 02 Desember 2008

1 komentar:

Anonim mengatakan...

sangat berkesan dgn liku2 hdp org kusta

Posting Komentar