Jaringan Rakyat
Kota Makassar melakukan aksi di kantor Dinas Catatan Sipil Kota Makassar, 25
Mei 2004. Mereka menuntut realisasi SK Walikota No. 690/2002 tentang akte
gratis bagi warga yang tidak mampu. Seratusan warga miskin dari kampung Maccini
Sombala, Andi Tonro, Bontoduri, Mangasa, Pattunuang-Antang, Pampang, Karuwisi
berorasi dan berdialog langsung dengan Kadis Catatan Sipil, Maruhum Sinaga. Beberapa
aktivis LSM pemerhati anak, Yayasan JATI, WWL, dan Plan Makassar turut mengawal
aksi.
Gagasan aksi ini
bermula dari pertemuan kelompok-kelompok tabungan warga miskin di beberapa
kelurahan. Selain menghitung jumlah uang anggota kelompok tabungan, juga
mengidentifikasi permasalahan sehari-hari. Salah satu persoalan yang mengemuka,
yakni persyaratan identitas akte kelahiran yang menghambat anak-anak untuk masuk
sekolah. Kendala ini merata dikeluhkan ibu-ibu pada semua kelompok. Sehingga
pendamping dan ibu-ibu tabungan sepakat mengadukan persoalan akte kelahiran
dengan cara mendatangi kantor Dinas Capil pada hari dan jam yang sama.
Di kantor Capil,
perwakilan warga diterima oleh Wakadis Capil. Namun, jawaban Wakadis tidak
memuaskan, hanya bersedia menampung tuntutan warga. Perwakilan warga walk-out
dan terus berorasi di pintu masuk kantor Capil hingga Kadis hadir dan bersedia
berdialiog di tengah kerumunan warga.
Dalam orasinya.
perwakilan rakyat miskin kota memprotes ketidakjelasan realisasi SK Walikota
dan banyaknya pungutan liar baik di catatan sipil maupun kantor kelurahan.
Salah seorang orator menyebut pungutan Rp 1.500-5.000. Belum termasuk biaya
pengurusan surat keterangan kelahiran, keterangan nikah dan keterangan tidak
mampu di kelurahan. Urus keterangan nikah, imam kelurahan minta biaya Rp 50.000
sampai Rp 100.000; keterangan lahir dan tidak mampu masing-masing Rp 5.000 –
10.000. Bahkan staf kelurahan seringkali mempersulit warga dengan permintaan
bukti lunas PBB, yang tidak ada hubungannya dengan akte kelahiran.
Akte Kelahiran
merupakan hak anak, bukan untuk orang tuanya sebagaimana yang disebutkan dalam
SK Walikota Makassar No. 690/Kep/474.I/2002 tentang pembebasan biaya penerbitan
akte kelahiran bagi masyarakat yang tidak mampu. Oleh karena itu para orang tua
anak mendesak agar jalur birokrasi surat-surat keterangan itu langsung ke
kantor catatan sipil untuk menghindari pungli. Warga menginginkan persyaratan
administrasi berupasurat keterangan nikah, kelahiran dan keterangan tidak mampu
dapat diterbitkan oleh tokoh masyarakat, tokoh agama, dukun maupun organisasi
masyarakat setempat.
Keberhasilan
Tuntutan rakyat
miskin kota yang diakomodir oleh Kadis Capil ditindaklanjuti dengan melakukan
pengorganisasian kelompok. Pada awalnya, terjadi perbedaan pendapat di antara
warga sendiri. Ada warga yang sanggup mengurus akte melalui kelurahan asalkan
bebas biaya atau pungutan. Sebagian warga yang ngotot menghindari birokrasi
kelurahan bergabung dalam KPRM (Komite Pembebasan Rakyat Miskin). Kedua cara ini
pun diakui dan sepakati oleh Kadis Capil. Ada poin kesepakatan yang
ditandatangani Kadis Caipil, yaitu: (1) Persyaratan surat nikah bisa
dikeluarkan oleh organisasi non-pemerintah (LSM) seperti KPRM, disertai saksi
dan tanda tangan RT/RW; (2) Persyaratan surat kelahiran dapat keluarkan oleh
dukun, disertai saksi dan diketahui RT/RW; (3) Bagi warga yang tidak memiliki
kartu JPS/Raskin akan memperoleh surat keterangan dari KPRM.
Sebagai bentuk
komitmen, Dinas Capil menerbitkan 50 lembar akte kelahiran bagi anggota KPRM,
dan 5 buku besar (blangko) untuk diisi oleh warga dibawah pendampingan KPRM dan
LSM.
Pembelajaran
Kemenangan kecil
merupakan titik tolak pengorganisasian warga miskin kota dalam satu organisasi
perjuangan. Pasca aksi, KPRM menindaklanjuti memo kesepakatan Kadis Capil
dengan: Pertama, membentuk Tim Kerja di setiap kampung untuk melakukan
pendataan, penulisan atau pengisian buku besar, dan pengurusan di kantor Capil.
Kedua, menyediakan surat keterangan nikah, kelahiran dan tidak mampu bagi anggota
kelompok tabungan. Ketiga, melibatkan RT/RW dalam penerbitan surat keterangan
tersebut sebagai legitimasi formal. Keempat, sebagai konsekuensi anggota
kelompok tabungan mengongkosi seluruh biaya perjalanan Tim Kerja seperti biaya
foto copy, alat tulis, transportasi, konsumsi, dan sumbangan untuk RT/RW. Dalam
pertemuan kelompok, anggota menyepakati biaya operasional sebesar Rp 5.000
per-lembar akte kelahiran dengan rincian; Rp 1.000/akte untuk Tim Kerja, 2.500 kas
tabungan; Rp 1.000 kas KPRM; Rp 500 RT/RW.
Dalam tempo dua
bulan, terjadi penambahan anggota kelompok tabungan KPRM dari 10 kelompok di 7
kelurahan menjadi 15 kelompok 10 kelurahan. Aktivitas organisasi terfokus pada
urusan akte kelahiran dari sekretariat ke kantor Capil. Tim Kerja sibuk melakukan
pertemuan, pendataan, dan penulisan. Demikian halnya petugas Capil pun
kewalahan melayani sekitar 3.000 warga yang bermohon akte kelahiran gratis.
Dengan alasan ini, petugas Capil membatasi pemberian buku isian, dan
menyediakan ruang bagi Tim KPRM untuk mengisi sendiri buku besar akte
kelahiran.
Kelancaran mengurus
akte kelahiran gratis hanya berlangsung sekitar dua bulan. Pasca pertemuan
Evaluasi PBB dan Retribusi di Ruang Pola Balaikota, yang dihadiri seluruh
Camat, Lurah dan dinas-dinas terkait, petugas Capil tidak kooperatif lagi.
Dengan alasan permohonan sudah menumpuk dan untuk menghindari diskriminasi di
antara warga miskin, penulisan berkas anggota KPRM distop.
Setiap
warga miskin tidak terkecuali anggota KPRM diharuskan mengikuti prosedur dari kelurahan.
Kadis Capil pun menerbitkan surat edaran yang menjamin setiap warga akan
dilayani dan tidak dipungut biaya administrasi di kantor kelurahan. Sejauh
pantauan pendamping KPRM, pengurusan administrasi di kelurahan cukup lancar dan
tanpa pungutan lagi. Total akte kelahiran yang diperoleh anggota KPRM selama
dua bulan sebanyak 241 lembar dari 500 lembar akte kelahiran gratis. (Diolah
dari Siaran Pers dan Catatan A. Safrullah, 25 Mei – 25 Juli 2004)