26 Des 2011

Gampong Loen Sayang


Menyebut "gampong loen sayang". mengingat Aceh pasca gempa dan tsunami tujuh tahun lalu - mengenang spirit kebangkitan para survivor dari penderitaan dan kehampaan, menghormati arwah mereka yang hilang, tewas, syahid.
Gampong Loen Sayang pertama kali adalah ungkapan yang mendalam survivor kepada tanah, air, adat-tradisi dan lingkungan hidup mereka pasca bencana tsunami. Selanjutnya konsep gampong loen sayang ini menjadi langkah bersama untuk membangun kembali kehidupan secara berjaringan antar-kampung dengan prinsip-prinsip yang tertuang dalam Deklarasi Jaringan Udeep Beusaree (JUB), yakni: Kebersamaan, Kemandirian, Saling Percaya, Kejujuran, dan Bekerjasama dengan pihak lain.
Eco-village
Gampong Loen Sayang sebagai suatu spirit rekonstruksi dijabarkan oleh UPC-Uplink Indonesia ke dalam konsep eco-village.
Konsep Eco-village atau Gampong Loen Sayang adalah suatu rancang bangun kampung urban atau pun rural yang berupaya mengintegrasikan lingkungan sosial dengan cara hidup yang berdampak negatif rendah terhadap lingkungan sosial dan ekosistim. Masyarakat di dalamnya mengintegrasikan berbagai aspek ekologis, bangunan fisik yang ekologis, produk-produk hijau, energi alternatif, dan praktek-praktek pengorganisasian masyarakat.
Konsep ini mempunyai tiga dimensi; komunitas, ekologis dan cultural-spiritual yang saling berkait dan mendukung satu sama lain.
Dimensi Komunitas
Dalam Gampong Loen Sayang orang merasa didukung oleh dan bertanggungjawab terhadap tanah, air dan lingkungan sekitar mereka. Mereka mempunyai rasa memiliki yang tinggi sebagai kelompok. Jumlah mereka tidak terlalu besar sehingga setiap orang merasa nyaman, berdaya, saling kenal dan didengar suara dan pendapatnya. Dengan demikian orang dapat berpartisipasi secara terbuka dan bebas dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka dan kampungnya.
Dimensi komunitas di dalam kawasan JUB dapat dikenali dalam rangkaian proses rekonstruksi. Para survivor secara sadar merencanakan dan melaksanakan seluruh tahapan rekonstruksi. Dimulai dengan kelompok kecil warga yang menyatukan tekad kembali ke kampong (Woe u Gampong). Mereka saling menghargai, dan terbuka bekerja sama dengan pihak-pihak yang sejalan dengan misi rekonstruksi, yakni tekad kembali membangun tanah leluhur, menolak relokasi dan menolak pembatasan membangun 2 km dari pinggir pantai. Pernyataan ini dikenal dikenal dengan Ikrar Lam Isek, 7 Maret 2005 yang ditandatangani Geuchik dan koordinator posko dari 14 kampung.
Mereka membagi peran dan secara suka rela berusaha memenuhi kebutuhan dasar selama membangun kampong. Rumah-rumah sementara (temporary shelters) dibangun dari material yang dikumpul bersama, dan sisanya diusahakan dari pihak lain seperti seng dan peralatan kerja. Tercatat 456 unit rumah sementara yang dibangun warga di 20 kampung. Pada saat yang sama kaum perempuan yang ada mengorganisir dapur umum. Dari sinilah spirit Rekonstruksi Dipimpin Rakyat (peoples driven reconstruction) dipublikasikan.
Proses pembangunan pemukiman dipimpin langsung oleh warga sebagai pemilik rumah. Mereka mengorganisasikan kerja ke dalam Tim Pembangunan Kampung (TPK), kelompok pemilik rumah maupun secara perorangan. Mereka membangun, menyediakan material dan mengawasi pembangunan rumah sampai siap. Mereka yang tidak berpartisipasi langsung dalam proses itu akan tertinggal, akibatnya pembangunan lambat, rumah tidak kunjung selesai sesuai dengan kontrak.
Rumah dengan konstruksi tahan gempa – cakar ayam (foot-plat), pondasi 70 cm, dinding 25 cm dengan pembesian (band) empat susun yang saling mengikat satu sama lain – menjamin rasa aman bagi penghuninya. Ketebalan dinding membuat suasana ruangan tidak mudah gerah atau pun panas. Bahkan dengan standar konstruksi yang ada, warga mulai menginternalisasinya sebagai pengetahuan dan keterampilan baru dan menjadikannya sebagai acuan perbandingan dengan rumah-rumah yang lain.
Dimensi komunitas juga tampak dalam relasi sosial antarkampung. Pertemuan-pertemuan intensif menumbuhkan kesesamaan dan kebersamaan hidup (udeep beusaree). Tidak saja saling kenal sesudah tsunami tetapi juga saling mengunjungi kampong yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan. Mereka mengidentifikasi diri dalam warga Jaringan Udeep Beusaree (JUB), perkumpulan wakil-wakil dari 23 kampung di tiga kecamatan (Peukan Bada Aceh Besar, kecamatan Meuraxa dan Jaya Baru Banda Aceh).
Dimensi Ekologis
Gampong Loen Sayang memberikan kemungkinan orang untuk bisa mengalami dan merasakan hubungan langsung dirinya dengan bumi dan alam. Orang menikmati interaksi dengan tanah, air, angin, tanaman, dan binatang dalam kehidupan kesehariannya. Dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehariannya – makanan, pakaian, perumahan – mereka menghormati siklus alam. Dimensi ekologis berarti:
  • Menanam tanaman pangan sesuai bio-region komunitas 
  • Mendukung produksi makanan organik 
  • Membangun rumah menggunakan material yang tersedia secara lokal 
  • Menggunakan sistim energi terbaharui yang tersedia di lingkungan desa 
  • Melindungi keragaman hayati (biodiversity) 
  • Mengembangkan prinsip-prinsip bisnis yang ekologis 
  • Menilai siklus hidup semua produk yang digunakan dari sudut pandang sosial, spiritual dan ekologis 
  • Menjaga agar tanah, air dan udara tetap bersih melalui manajemen pengolahan energi dan limbah yang tepat 
  • Membuat media perlindungan bagi alam dan wilayah-wilayah terbuka liar.
Dimensi ekologis di dalam kawasan JUB dapat dikenali pada beberapa produk teknologi dan material yang digunakan warga, antara lain:
  • Re-use atau memanfaatkan kembali material bekas tsunami seperti kayu semantok dan batang kelapa yang berserakan. Kayu-kayu itu dikumpul kembali dan dipakai untuk membangun rumah sementara dan sebagian lagi diproduksi menjadi kosen pintu dan kosen jendela rumah. 
  • Memproduksi “bata press” (soil-block) model India (Gujharat) tanpa pembakaran, yang menghemat kayu bakar. Sebiji bata press menghemat kayu bakar 10 batang atau sekitar 3000 batang untuk 1 unit rumah tipe 36. 
  • Penggunaan septic-tank Biofil mengurangi resiko pencemaran air tanah/sumur. Biofil diprioritaskan pada daerah yang beresiko banjir. Sebanyak 900 unit biofil dipasang di 7 kampung JUB, yakni Ulee Lheueu, Gampong Pie, Asonanggroe, Lamteh, Kampung Baru, Lam Awee dan Lam Guron. 
  • Pertanian organik meminimalisasi input kimia pada tanah dan tanaman. Lanskap “pantai-sawah-kebun-bukit” di Peukanbada dengan luasan terbatas sangat ideal untuk pengembangan pertanian organik. 
  • Pemanfaatan energi matahari untuk penerangan sistim solar-cell. Sistim ini masih terbatas untuk penerangan jalan di Lam Awee dan penerangan meunasah di Lampageu. 
  • Penghijauan kampong mengutamakan tanaman asli seperti bakau, kelapa, cemara laut, pinang, mahoni, jati, dan tanaman hortikultura di antaranya mangga, rambutan, nangka.
Dimensi Kultural-Spiritual
Gampong Loen Sayang mendukung kekayaan ekspresi kultural dan artistik dan keragaman ekspresi spiritual. Vitalitas kultural dan spiritual berarti:
  • Adanya kreativitas, ekspresi artistik, kegiatan kultural, ritual dan perayaan 
  • Adanya ikatan komunitas dan saling memiliki dan mendukung antar warganya 
  • Penghargaan terhadap spiritualitas yang terwujud dalam berbagai bentuk dan cara 
  • Adanya kesamaan visi dan kesepakatan yang menunjukkan komitmen, warisan kultural dan keunikan setiap komunitas 
  • Adanya kelenturan/fleksibilitas dan kemampuan memecahkan masalah bersama 
  • Penciptaan dunia yang damai, saling menyayangi, dan berkelanjutan. 
  • Dimensi kultural-spiritual dalam pembangunan kawasan JUB dapat dikenali pada berbagai bentuk ekspresi warga, antara lain: 
  • Kenduri dilakukan warga pada hampir semua momen penting seperti kenduri 40 hari, 60 hari dan 100 hari mengenang dan berdoa bagi mereka yang tewas dan hilang oleh bencana tsunami. Kenduri juga dilakukan di tingkat keluarga inti di rumah dan kenduri bersama (umum) di meunasah. 
  • Peuseujuk menjadi tradisi warga untuk memulai maupun mengakhiri suatu pekerjaan. 
  • Peringatan hari-hari besar Islam seperti Maulid Nabi dan Israq Miqraj masih kental dilakukan warga, di samping perayaan hari nasional dan lokal Aceh. 
  • Shalawat dilakukan mengiringi doa penutup pertemuan-pertemuan. 
  • Dalail Khairat dilakukan pada malam Jumat di mesjid maupun meunasah. 
  • Kesenian Rapa’i Daboh didukung oleh sekelompok warga di kampong Lam Isek, Gurah dan Lam Ujong kecamatan Peukanbada. 
  • Kesenian Ranup Lampuan dikembangkan oleh anak-anak di kampong Payatieng dan Lambaro Neujid kecamatan Peukanbada. 
  • Perhatian warga pada situs sejarah ditampakkan melalui pembangunan makam keluarga Cut Nyak Dien dan Ikrar Lamteh, makam korban konflik di Lambadeuk, dan perlindungan terhadap pohon besar yang menjadi saksi dahsyat tsunami di Lam Awee dan Lampageu. 
  • Sikap menyantuni anak yatim dan para janda adalah sikap dasar warga kepada mereka yang lemah (dhuafa). 
  • Tradisi musyawarah adat ditumbuhkan kembali oleh warga dalam penyelesaian sengketa antarwarga sampai terjadi perdamaian. 
  • Sikap pro-perdamaian dari mayoritas rakyat Aceh adalah salah satu faktor pendorong terjadinya MOU antara TNI dengan GAM.

2 komentar:

anwarhalim mengatakan...

perlu belajar dari pengalaman 'bangkit dari musibahm bagaimana warga Aceh membangun kembali lingkungan dan masyarakatnya

AWI MN mengatakan...

org2 yg selamat (survivor), mrk org2 perkasa

Posting Komentar