23 Des 2011

Reportase Forum GFDRR - Jakarta 14-15 Nop 2011

Oleh Awi MN
Huairou Commission berpartisipasi dalam forum GFDRR – Global Facility Disaster Reduction and Recovery – dengan menghadirkan representasi perempuan grass root dari Indonesia, Pilipina dan Nepal. Representasi Indonesia adalah UPC-KPRM yang diwakili Awi dan Lina; Pilipina diwakili Jo Castillo (DAMPA), dan dari Nepal diwakili Pusp Joshi (Lumanti). Dari wakil pemerintah adalah Ismounandar (BPBD Makassar), Sagar Mishra (BPBD Nepal), dan Chricell (Barangai Captain/Kades Bagong Silangan Pilipina). Partisipasi ini merupakan bagian dari strategi advokasi jaringan HC sebagai mitra UN-ISDR.
GFDRR merupakan forum konsultasi kebijakan Bank Dunia untuk pengurangan resiko bencana bagi para mitranya, yakni lembaga donor, pemerintah dan LSM dari 20-an negara, terutama dari Asia dan Africa. Forum ini merupakan bagian dari kampanye global PBB untuk Pengurangan Resiko Bencana – UNISDR. Adapun HC sebagai salah satu jaringan kampanye UNISDR mengambil peran sebagai penghubung di antara kepentingan PBB, WB, dan lembaga donor dengan Ormas perempuan/LSM lokal.
Berikut ini reportase dari sesi grup panel Community driven Demand for Pro-Poor Disaster Resilience Programs:
Grup panel Indonesia-Pilipina-Nepal difasilitasi oleh HC berlangsung tanggal 14 Nopember dari jam 12.30-13.30. Presentasi grup ini ditujukan untuk mempengaruhi (advokasi) kebijakan WB dan mitranya agar sungguh-sungguh mendengarkan dan menyerap model pengurangan resiko bencana yang berbasis komunitas akar rumput. LSM Indonesia yang juga hadir sebagai panelis di sesi lainnya antara lain YEU (Yakkum Emergency Unit) Yogya dan IBU Foundation. Selebihnya, panel-panel diskusi didominasi oleh lembaga donor multilateral, dan badan-badan pemerintah nasional untuk penanggulangan bencana dari berbagai Negara seperti Belanda, Laos, Yaman, Malawi, India.
Tim Indonesia membawakan pengalaman KPRM mengorganisir aliansi SIAGA dalam merespon isu-isu perubahan iklim di Makassar dan respon jaringan Siaga terhadap bencana banjir bandang di Pangkep dan letusan gunung merapi di Yogya. KPRM dinilai mantap dalam menggerakkan kelompok perempuan akar rumput, menggalang solidaritas kaum muda, serta melibatkan pemerintah kota dalam kampanye Kota Siaga (Cities Resilient). Panelis Indonesia, Nurlina (koord KPRM) didampingi wardah hafidz (penerjemah) mendapat kesempatan lima belas menit pertama. Wakil pemerintah kota Makassar hanya menambahkan materi presentasi KPRM. Kemudian disusul panelis dari Pilipina yang diwakili Jocas yang mempresentasikan pengalaman DAMPA, LSM yang bekerjasama dengan kepala desa menanggulangi bencana angin topan. Kegiatan-kegiatannya terutama emergency response, misalnya pemenuhan kebutuhan dasar (livelihood) korban bencana. Panelis Filipina menceritakan kerjasama LSM dengan tokoh masyarakat (kepada desa) dalam merespon bencana banjir dan angin taupan. Sedangkan panelis Nepal yang diwakili Sagar Mishra dari badan penanggulangan bencana pemerintah Nepal lebih menfokuskan pada kerjasama pemeritah dan Lumanti (LSM) dalam membangun ketahanan masyarakat melalui program air bersih dan infrastruktur.
Tanggapan audiens lumayan juga. Ada 4 penanggap yang mengajukan komentar dan pertanyaan kepada ketiga panelis. Panelis Indonesia mendapat pertanyaan tentang sistim ketahanan bencana berbasis masyarakat – semacam early warning system – yang dijawab oleh wardah. Satu lagi pertanyaan tentang mekanisme kerjasama KPRM-SIAGA dengan pemerintah. Ada juga pujian kepada panelis Indonesia.
Tanggal 15 Nopember adalah Dialog tentang Perencanaan untuk Pemulihan dan Rekonstruksi Bencana. Pada hari ini sesi panel diskusi didominasi perwakilan Negara dan lembaga donor mitra bank dunia. Sebelum panel, ada key note speaker Kuntoro Mangkusubroto, mantan kepala BRR Aceh pasca gempa tsunami. Dia merefleksi pengalaman 5 tahun (2005 – 2009) mengelola lembaga Negara untuk rekonstruksi pasca bencana. Salah satu ungkapannya tentang peran lembaga donor dalam rekonstruksi Aceh kira-kira begini “setahun pertama, lembaga-lembaga donor sibuk bangun rumah, tahun kedua mulai kewalahan dan merevisi proposal sesuai permintaan, tahun ketiga bank dunia benar-benar menjadi bank”. Dia menggambarkan bagaimana lembaga-lembaga donor beramai-ramai mengajukan dana dan menyalurkan dana rekonstruksi, seperti laiknya nasabah bank.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar