16 Des 2011

Catatan dari Pertemuan Akhir Tahun ACHR


Program for Documentation and ACCA Meeting

13-16 Desember 2011, Hotel Ibis – Bangkok

Pertemuan akhir tahun ACHR sekaligus evaluasi tiga tahun program ACCA. Pertemuan ini dimulai tanggal 13 Desember jam 1 siang sampai 16 Desember jam 1 siang. Agendanya terbagi tiga: (1) Sub-regional meeting tgl 13 siang sampai sore; (2) Documentation meeting tgl 14-15; (3) ACCA Committee meeting tgl 16 pagi sampai siang. Saya tidak ikut agenda (1) dan (3). Saya telat tiba di hotel sekitar jam 6 sore tgl 13 desember, dan cepat pulang sekitar jam 10 tinggalkan hotel.

(catatan pinggir: malam pertama, peserta cari makan malam sendiri. Saya makan nasi goreng di trotoar jalan raya nakhon charoen, dekat dari hotel. Usai makan malam jumpa George ansorena di lobby hotel. Saya mempekenalkan diri. Kebetulan Ake titip film dokumenternya buat dia. Sempat ngobrol, dia tanya-tanya soal kegiatan Ake di Indonesia, dan kegiatan akhir tahun upc). 

Pertemuan ini diikuti mitra-mitra ACHR-ACCA dari sepuluh negara;Thailand, Pilipina, Kamboja, Laos, Vietnam, Korea`Selatan, Mongolia, Myanmar, Sri Lanka, Nepal dan Indonesia. Perwakilan yang hadir adalah pelaksana/penanggungjawab program ACCA dan CL. Dari Indonesia, selain saya, ada Marco. Hadir juga Cak-cak sebagai tim arsitek program ACCA di Pilipina. Selain mitra/perwakilan LSM/OR, hadir juga George Ansorena (Jepang), Norberto (Pilipina). Keduanya biasa dipanggil “father george” dan “father bob”.

Saya hanya aktif mengikuti agenda (2) documentation meeting tgl 14-15, dimana setiap mitra pelaksana program ACCA diberi kesempatan presentasi selama 10-15 menit. Sesi pagi sebelum presentasi, ada prosesi pengembalian dana angsuran program ACCA dari Vietnam dan penyerahan sumbangan bagi komunitas korban banjir dari perwakilan Mongolia. Salah seorang penerima sumbangan adalah ibu rumah tangga yang kehilangan anaknya akibat banjir.

Hari Kedua tanggal 14: Presentasi dokumentasi ACCA difasilitasi oleh Somsuuk dan Tom. Sebagai pembahas/penanggapnya adalah Diana dari IED (International Economic Development?) Inggris. Menurut Marco, IED ini semacam lembaga riset/donor yang didirikan oleh Bill Gates (penguasa Microsoft). Lembaga ini tertarik pada studi mengenai dampak pembangunan terhadap lingkungan hidup di perkotaan.

Somsuuk dalam pengantarnya, memandu presenter untuk menjawab tiga pertanyaan kunci; (1) hasil dan dampak perubahan dari program ACCA terhadap masyarakat luas, serta kebijakan dan kontribusi pemerintah dalam proyek tersebut; (2) kisah menarik dari proses transformasi proyek pada penguatan komunitas dan kemitraannya; (3) Pembelajaran penting dari proses pelaksanaan proyek ACCA.

Prsentasi dibagi tiga region berlangsung sehari penuh. Dimulai region Asia Selatan, Nepal, Srilanka sampai makan siang. Kemudian region Asia Timur, Mongolia, Korea Selatan. Asia Tenggara, Vietnam, Laos, Kamboja, Pilipina, dan terakhir Indonesia. Saya tertarik pada presentasi dari Korea yang dibawakan Boram Kim, arsitek yang mendampingi RMK di pemukiman illegal/vinyl house tiga lokasi di Korea. Dia dari Asian Bridge, LSM yang dibentuk Na. Beberapa pembelajaran menarik dari Korea adalah:

Dibanding presenter lain yang umumnya menyebut ada kemitraan/kontribusi pemerintah dalam proyek ACCA, presentasi Korea ini terkesan menghindari kerjasama dengan pemerintah.

Sebelum program ACCA, pendekatan yang dilakukan RMK Korea adalah berjuang (fighting) menentang penggusuran, yang kemudian membuat RMK jadi frustasi dan kelelahan (fatique)

Setelah program ACCA, pendekatannya lebih fleksibel, kongkrit, RMK percaya diri, dan proyek mencakup wilayah lebih luas, tanpa bergantung pada dana pemerintah. RMK juga mampu membel tanah sendiri untuk bangun rumah.

Saya menanyakan “seperti apa proyek perumahan pemerintah Korea, mengapa LSM tidak menggunakannya?” Menurutnya, dana pemerintah cukup besar, tapi digunakan untuk membangun rumah sewa, dan pengerjaanya dikerjakan oleh pihak lain, bukan rakyat.

Hal ini berbeda dengan terobosan UPC saat ini. Setelah program ACCA, selain bermitra dengan pemerintah kota dan pusat (kemensos), UPC juga mulai memanfaatkan dana pemerintah untuk mengadvokasi kebijakan penataan kotanya.

Giliran presentasi Indonesia, saya menekankan tiga hal: pertama, laporan lengkap tiga tahun program ACCA sementara dirampungkan oleh Wardah, dan saya mewakili presentasinya. Kedua, saya menekankan arti program ACCA dengan komunitas 5 gunung di magelang pasca letusan gunung Merapi. Ketiga, launching city wide upgrading di kendari bekerjasama dengan Kemensos. Pada bagian penutup saya menekankan tujuan bekerjasama dengan Kemensos yakni strategi mengarusutamakan (mainstreaming) program city wide upgrading menjadi kebijakan nasional (policy of national wide upgrading).

Setelah presentasi pesertanya agak kikuk, mungkin karena saya selalu bilang “silahkan lihat foto dan baca keterangan detail di slide, cukup jelas”. Ada 3 komentar/pertanyaan peserta.

Dari Pilipina menanyakan perkembangan kasus Kampung Pisang. Penjelasannya, masih dalam negosiasi pemerintah kota dengan pengusaha/pemilik tanah.

Dari Korea tanggapi soal peranana pemerintah dalam proyek ACCA di strenkali. Penjelasannya, sudah ada perda penataan strenkali, dan warga mulai merenovasi rumahnya.

Satu lagi komentar soal relevansi kerjasama ACCA dengan seniman (Somsuuk, Diana?). Penjelasannya, proyek ACCA menguatkan kekuatan budaya simbolik (cultural and symbolic power) masyarakat pasca letusan merapi.

(catatan: sore setelah break coffee, saya dan marco diajak cak-cak diskusi dengan dua arsitek muda Thailand. Ini berkaitan dengan rencana mereka bikin worskshop jaringan arsitek komunitas asia di Jogja akhir Januari 2012. Disepakati waktunya 27-30 Januari. Saya diminta beri masukan tematik. Usul saya, mengadaptasi materi kampanye UNISDR tentang cities resilient. Mereka mau ajak saya jadi pembicara di workshop nanti. Malamnya, jamuan makan malam IED di atas kapal pesiar Yok Yor Marina. Sambil petik nyanyi sama cak-cak dan boram kim, saya sempat ngobrol sama Maurice tentang film dokumentasinya di Aceh. Di film itu ada lagu Here Come the Sun (The Beatles). Tapi, dia tidak bisa lupa sama Afrizal Malna dengan video artnya. Maurice sedang memproduksi film dokumentasi ACCA di Kamboja dan Vietnam).

Hari Ketiga tanggal 15: Pengantar diskusi kelompok oleh Diana. Dia menjelaskan materi sebuah buku yang berjudul Economic and Development, yang di dalamnya ada bahasan tentang urbanisasi dan persoalan lingkungan hidup dewasa ini. Dia berharap dalam diskusi kelompok, persoalan tersebut menjadi salah satu referensi tematik.

Peserta dibagi tiga grup. Saya segrup dengan peserta dari Pilipina, Korea, Nepal, dan Mongolia. Grup ini dipandu oleh Diana. Umumnya pandangan peserta relative sama menabung (savings), mapping, kemitraan dengan pemerintah local, dan peran arsitek. Saya mengusulkan pembahasn tentang social vulnerability berkaitan dengan perubahan iklim, dan pentingnya transformasi pengetahuan arsitek kampung (indigenous). Kebetulan dari lima anggota grup/LSM, ada tiga peserta (Mongolia, Korea, Nepal) latarbelakangnya arsitek. Hasil disko yang diresume oleh Diana sebagai berikut:

Menabung sebagai alat (tools) untuk memperkuat komunitas

Berjaringan, komunitas dengan pemerintah dan sector private/profesional

Fleksibilitas proyek ACCA (pengalaman Korea)

Responsibilitas pelaksnaaan proyek

Sesi terakhir hari ketiga adalah diskusi pleno, semacam overview terhadap laporan masing-masing Negara. Sesi ini dipandu oleh Somsuuk. Saya kurang perhatikan seluruh rangkaian diskusi karena terlibat diskusi swasta dengan Marco tentang program ACCA-UPC ke depan dan peran tim arsitek. Selain itu, ada urusan administrasi keuangan dengan chai (achr). Selain penggantian ongkos tiket, peserta juga dapat biaya hidup 2500 baht.

Masing-masing perwakilan Negara diminta menyampaikan hal-hal penting berkaitan dengan program ACCA ke depan. Saya selalu kena giliran terakhir ditanya sama Somsuuk, bagaimana Indonesia? Jawabanku asal nyambung saja. UPC belum punya usulan baru program ACCA tahun depan. Program yang ada saat ini difokuskan pada pencapaian target advokasi city-wide upgrading dengan memanfaatkan dana Kemensos. Salah satu tindaklanjutnya adalah UPC akan membawa tim Kemensos berkunjung ke Bangkok. Tentu saja jawaban ini tidak memuaskan Somsuuk, tapi dia juga tidak tahu mau tanya lagi. Sebelum sesi berakhir, Tom menambahkan materi bagaimana mengemas media publikasi. Dia menyarakan  peserta untuk mempublikasi laporannya dalam berbagai kemasan media cetak/penerbitan. Bisa dalam bentuk jurnal, poster, kalender yang berisi gambar dan narasi kegiatan.

Sore sampai malam, saya dan Marco jalan kaki melintasi jalan layang menghubungkan sungai Chaopraya. Terus menelusuri kawasan Bang Rak sampai Silom Road. Lihat-lihat pasar, pedagang kaki lima dan penjual makanan, buah yang memadati trotoar jalan. Rasanya 90% barang jualan itu ada di Indonesia, bahkan pisang epe dan pakaian Cakar pun ada.

(catatan: malam hari saya dikunjungi Jeff Wong. Dia datang ambil titipan Ake, sepasang baju Toraja buat anaknya. Kami sempat ngobrol sekitar 30 menit mengenai rencana pertemuan Locoa awal Pebruari 2012 di Bangkok. Dia juga tanya-tanya kegiatan Ake selama mengikuti PAT UPC di Kendari. Dia sempat bilang, ada peserta dari Kamboja yang mau berkunjung ke basis FRSN karena ACHR tidak mengagendakan kunjungan lapang. Sebenarnya, Jef bermaksud undang farher George diskusi dengan FRSN, tapi pihak ACHR menyatakan father George tidak sempat atau tidak hadir (?). Dia kaget juga waktu kubilang, ada father George dan Na di pertemuan ini).

Hari Keempat tanggal 16: Saya tidak ikut agenda (3) committee meeting. Jam 9 saya sudah berkemas. Ruang meeting sudah banyak orang. Jam 9.30 ketemu Marco. Dia juga tidak bersemangat ikut pertemuan itu karena ikut UPC. tidak usulan baru untuk tahun depan. Jam 10 tinggalkan hotel, tidak pamit sama panitia/ACHR. Sempat mampir di kawasan Bang Rak, beli souvenir, oleh-oleh buat keluarga dan teman-teman KPRM. Jam 11 ke bandara Suvharnabumi.

Makassar, 19 Desember 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar