23 Nov 2011

SEMBADA

tujuan ekonomi adalah untuk melayani manusia, bukan manusia melayani ekonomi.”
Tulisan ini adalah salah satu bacaan pemerkaya para pegiat gerakan sosial, terutama yang menfokuskan perhatiannya pada penyadaran rakyat. Materinya disari dari sebuah buku yang sangat populer di Amerika Latin, hasil riset yang panjang atas situasi ekosob sejak tahun 1985, yang dilakukan secara multidisiplin. Buku tersebut berjudul Human Scale Development: Conception, Application, and Further Reflections (The Apex Press, 1991), ditulis oleh Manfred A. Max-Neef. Di dalamnya dibahas tentang Sembilan Kebutuhan Dasar Manusiawi (SEMBADA). Di Indonesia dikenal Sembilan Kebutuhan Pokok (SEMBAKO) menurut SK Menteri. Kedua konsep tersebut sangat berbeda.
Konsepsi tentang kemiskinan sangat berbeda dengan konsepsi yang umumnya digunakan di Indonesia. Misalnya, perdebatan tentang 14 indikator dan variabel kemiskinan versi BPS sebenarnya dideterminasi oleh teori pertumbuhan ekonomi konvensional (modernitas). Variabel yang dikedepankan adalah kebutuhan subsistensi dan penampakan material orang yang dianggap miskin. Padahal jika variabel tersebut dipakai pada kehidupan suku Asmat di Papua, atau masyarakat adat di Kajang Dalam Bulukumba akan terasa ganjil, bahkan terkesan melecehkan. Aspek sosialbudaya sangat diabaikan.
Di Makassar mulai digagas kembali wacana tentang indikator dan variabel kemiskinan yang kontekstual dengan perkembangan ekosob warga kota, khususnya yang dikelompokkan sebagai kaum miskin kota. Misalnya, variabel rumah dinding papan, lantai tanah, atap rumbia, tidak cocok (tidak konteks) dengan ciri pemukiman masyarakat urban. Demikian halnya dengan kebutuhan layanan dasar IASMO Bebas, tidak berarti apa-apa jika tidak terjadi perbaikan mentalitas aparat penyedia layanan. Karena, meminjam konsep Max Neef, program IASMO Bebas seperti sekolah, puskesmas, sembako, air bersih, itu bukanlah kebutuhan yang sesungguhnya, tetapi semua itu hanyalah sarana untuk memenuhi kebutuhan yang sejati, yakni hak untuk hidup yang layak, hak atas perlindungan, partisipasi, dan penghormatan atas harga diri.
Postingan berikut ini saya petik dari materi pelatihan CO yang diselenggarakan UPC Jakarta.
Pendekatan terhadap Kebutuhan Dasar Manusiawi
Pendidikan formal telah menyebabkan banyak orang tercabut dari akar budaya di desanya dan kemampuan untuk bisa sungguh-sungguh memahami manifestasi kemiskinan dalam bentuk kesehariannya. Upaya yang kita lakukan untuk menangani masalah kemiskinan sering kali tidak memadai, bahkan tidak tepat. Sebagaimana diutarakan Paulo Freire dalam bukunya Education for Critical Consciousness, bantuan, pelayanan atau pendampingan yang kita lakukan bisa-bisa bahkan menjadi pemaksaan dan penjajahan kultural. Kepercayaan dan nilai-nilai yang kita paksakan pada rakyat atau kelompok dampingan kita kemungkinan bertentangan dengan nilai-nilai kultural mereka.
Kode-kode berikut berkait dengan permasalahan dasar dalam upaya membantu rakyat memberdayakan dirinya: bagaimana kita dapat sungguh-sungguh mendengarkan suara rakyat?
Roda Kebutuhan Dasar Manusiawi
Pemberdayaan adalah satu proses di mana satu komunitas atau kelompok orang berjuang agar setiap dan semua anggotanya terpenuhi kebutuhan dasar kemanusiaannya dan meningkat kualitas hidup mereka. Pemberdayaan berfokus pada manusia dan jalan serta cara hidupnya, bukan tentang obyek, benda dan sarana serta prasarana yang kita berikan kepada mereka. Tidak seorang pun dapat memberdayakan orang lain; hanya orang itu sendiri atau kelompok/komunitas itu sendiri yang dapat melakukan untuk dirinya. Energi dan nilai-nilai berasal dari dalam diri atau kelompok dan memanifes dalam tindakan sehari-hari, dan dalam rencana konkret tindakan pemberdayaan. Namun, kita dapat memfasilitasi proses pemberdayaan dalam komunitas agar orang dapat mulai:
  • saling mendengarkan dan membantu satu sama lain
  • mengidentifikasi permasalahan dan kebutuhan yang belum terpenuhi
  • memahami hambatan yang membuat kebutuhan tersebut tidak terpenuhi
  • mengenali cara-cara pemenuhan kebutuhan yang tidak memecahkan masalah (pemenuhan palsu misalnya, alkohol, narkotik, senjata, dsb.)
  • menyepakati cara-cara pemenuhan kebutuhan yang sungguh-sungguh dapat memecahkan masalah
  • merencakan kegiatan bersama yang menjadikan hidup lebih bermakna.
Kebutuhan subsistensi harus dipenuhi, karenanya penanganan masalah ekonomi penting. Namun, tanpa kebutuhan dasar manusiawi lainnya sebagaimana tergambar dalam roda kebutuhan di atas tidak dipenuhi, orang atau komunitas tidak akan bisa memenuhi kebutuhan subsistensinya tersebut.
Ketika dalam satu kelompok atau komunitas kebutuhan dasar manusiawi tidak terpenuhi, yang akan muncul adalah patologi kolektif, misalnya sikap apatis, fatalistik, penyalahgunaan narkoba, kejahatan dan kekerasan. Permasalahan ini hanya akan bisa dipecahkan lewat pendekatan holistik yang bertujuan merajut kembali anyaman sosial komunitas dengan cara memenuhi semua kebutuhan dasar manusiawi orang.
Kerangka Kebutuhan Dasar Manusiawi
Roda kebutuhan dasar manusia dapat menjadi kerangka yang berguna untuk banyak hal. Kerangka ini dapat digunakan di berbagai tingkatan, dari tingkat akar rumput sampai tingkat kebijakan nasional, juga untuk kebutuhan peningkatan kesadaran dan pengembangan visi bersama (mimpi kolektif) tentang bentuk ideal komunitas. Kerangka ini juga menunjukkan bahwa satu masalah sesungguhnya saling berkait berkelindan, dan tidak ada masalah yang pemecahannya bisa dilakukan lewat satu cara, satu arah atau satu jalan saja. Visi atau mimpi kolektif ini sangat penting jika kita mencoba menghimpun energi komunitas, membantu komunitas melakukan proses proaktif untuk pemberdayaan, tidak sekedar membuat respons reaktif dari satu masalah ke lainnya.
Kerangka Kebutuhan Dasar Manusiawi memaksa kelompok atau pun komunitas untuk mengenali permasalahan-permasalahan dasar dan secara aktif mencari pemecahan-pemecahan kreatif dalam menangani masalah. Pemahaman bahwa masalah saling terkait dan tidak berdiri sendiri, dan pemahaman tentang kerangka ini akan memberikan landasan kokoh untuk komunitas dapat memulai perencanaan program pemberdayaan yang holistik dan integratif.
Roda Kebutuhan ini juga dapat digunakan untuk mengenali kebutuhan-kebutuhan paling mendesak dari komunitas atau masyarakat luas. Kerangka ini juga dapat mendeteksi cara-cara yang mungkin justru akan merusak dalam upaya memenuhi satu kebutuhan tertentu tetapi justru menutup kemungkinan terpenuhinya kebutuhan lain. Kerangka ini juga dapat menjadi alat yang kuat untuk melakukan survei tema-tema generatif dalam komunitas, sebelum kita memulai kegiatan pendidikan dan pemberdayaan rakyat.
Pengalaman Amerika Selatan
Roda Kebutuhan Dasar Manusiawi diadaptasi dari satu tulisan berjudul “Human Scale Development” oleh Manfred MaxNeef dalam Development Dialogue (1989:1). Ia merangkum hasil kerja satu tim peneliti dari lima negara di Amerika Selatan pada 1985-1986 yang terdiri atas ahli ekonom, psikolog, filsuf, ahli ilmu politik, antropolog, ahli geografi, insinyur dan ahli hukum. Mereka semua melihat dengan tajam kegagalan model pembangunan yang dominan dianut masa itu untuk meningkatkan kehidupan mayoritas rakyat miskin dunia. Pada kenyataannya, walaupun GNP nasional banyak negara meningkat, kemiskinan dan kepedihan yang dialami rakyat miskin untuk dapat bertahan hidup semakin parah. Timbul keputusasaan yang meluas karena berbagai langkah dan cara yang diterapkan selalu gagal menghasilkan perubahan mendasar. Mereka menyebut keputusasaan meluas itu dengan istilah “krisis Utopia”, karena orang bahkan telah kehilangan kemampuan dan keberanian untuk bermimpi, untuk mencitakan satu bentuk dan model masyarakat alternatif.
Pendekatan Alternatif terhadap Pembangunan
Para tim ahli di atas mencari pendekatan baru terhadap pembangunan yang menghimpun kembali energi dan kreativitas kelompok-kelompok lokal, dan juga mendorong pemerintah untuk meninjau secara kritis dan menyusun kembali prioritas-prioritas dan kebijakan mereka. Sejak hasil penelitian ini diterbitkan dalam bahasa Spanyol pada 1989, banyak pihak sangat tertarik. Banyak studi dan program pembangunan yang dilakukan di banyak wilayah di Amerika Selatan yang didasarkan pada hasil penelitian ini. Ketika kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris pada 1989, banyak kegiatan pemberdayaan komunitas yang diilhami oleh konsep ini di berbagai wilayah dunia. Salah satu alasan mengapa ide ini menarik adalah karena gagasan ini menekankan peran penting kreativitas manusia dalam pembangunan, dan penekanan bahwa kita harus benar-benar menyadari “tujuan ekonomi adalah untuk melayani manusia, bukan manusia melayani ekonomi.”
Subsistensi dan Analisis Psiko-sosial
Proses penelitian dimulai dengan analisis tentang kebutuhan manusia. Kebutuhan dasar untuk bertahan hidup, untuk subsistensi, tentulah merupakan kebutuhan dasar. Namun masih terdapat sejumlah kebutuhan dasar lainnya yang juga universal, dan jika kebutuhan psiko-sosial lainnya dipenuhi, akan mustahil kebutuhan dasar subsisten semua anggota komunitas dapat terpenuhi.
Penyakit Komunitas
Tatkala kebutuhan dasar manusiawi, baik kebutuhan subsistensi maupun psiko-sosial, tidak terpenuhi sampai satu waktu tertentu, tak terhindarkan patologi sosiali akan  mulai muncul. Penyakit sosial yang paling umum adalah kekerasan, apatis, penyalahgunaan narkoba. Kita pasti telah menyaksikan hal seperti ini terjadi di banyak tempat dan kita cenderung menyalahkan korban dari dominasi dan eksploitasi yang terjadi. Pada gilirannya, kegagalan memenuhi kebutuhan dasar manusiawi sebagian komunitas akan menjadi bumerang bagi seluruh masyarakat, dan pada akhirnya kita harus mengeluarkan biaya yang besar untuk mengatasinya. Satu sen yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusiawi hari ini akan menghemat 10 dolar biaya yang harus kita keluarkan untuk biaya polisi, penjara, dan program-program rehabilitasi jika kebutuhan dasar manusiawi orang tidak dipenuhi.
Perbedaan antara Kebutuhan dan Pemenuh Kebutuhan
Kebutuhan dasar manusiawi merupakan kebutuhan universal yang berlaku untuk semua orang, berlaku setiap waktu, dan di semua budaya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai kebutuhan akan:
  • subsistensi,
  • perlindungan,
  • afeksi,
  • identitas,
  • pemahaman,
  • kreativitas,
  • waktu luang,
  • partisipasi, dan
  • kebebasan.
Menurut konsep ini, sandang, pangan, papan, air, bahan bakar, semuanya itu bukanlah kebutuhan tetapi sarana untuk memenuhi kebutuhan subsistensi. Dengan kata lain, semua itu adalah pemenuh kebutuhan.
Budaya dan Pembangunan
Walaupun kebutuhan manusiawi terbatas jumlahnya, cara pemenuhan kebutuhan tersebut sama sekali tidak terbatas dan bervariasi menurut kebudayaan serta berbeda-beda menurut zaman pada satu budaya yang sama. Penting kita membedakan kebutuhan dari pemenuh kebutuhan. Cara komunitas memuaskan kebutuhan dasar manusia sesungguhnya adalah dasar dari budayanya. Budaya berubah jika komunitas menemukan cara berbeda untuk memenuhi kebutuhannya. Ini mungkin terjadi karena kontak dengan budaya lain, karena perkembangan ekonomi dan teknologi, karena resesi atau perpindahan sekelompok orang dari satu tempat ke tempat lain (migrasi). Budaya yang terisolasi mungkin akan tidak berubah selama banyak generasi, tapi kini kebanyakan budaya bersifat dinamis, cenderung berubah. Di banyak tempat ‘perkembangan’ masyarakat dicurigai karena dikaitkan dengan penghisapan dunia Barat. Sebagai gantinya orang menggunakan istilah ‘budaya’ dalam arti luas. ‘Budaya’ diartikan sebagai ‘keseluruhan pemecahan orisinal yang ditemukan masyarakat dalam rangka penyesuaian mereka dengan lingkungan alam maupun lingkungan sosial’. Jadi ‘budaya’ mengacu pada semua aspek kehidupan: pengetahuan tentang teknologi, ketrampilan teknis, kebiasaan makanan dan pakaian, agama, mentalitas, nilai, bahasa, lambang, perilaku sosial politik dan ekonomi, cara pengambilan keputusan dan praktek kuasa, metode produksi dan relasi ekonomi, dsbnya.’
Kini orang semakin mengakui bahwa program-program yang terbaik selalu membedakan model pengembangan masyarakat yang memaksakan nilai-nilai dan praktek Barat pada rakyat Dunia Ketiga dan proses yang mendorong rakyat menggunakan nilai-nilai dan energi dari dalam budaya mereka sendiri untuk mengembangkan komunitas dan masyarakat yang dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Pemenuh Kebutuhan yang Sesungguhnya dan yang Palsu
Rakyat kadangkala berusaha memenuhi kebutuhan mereka dengan cara yang merusak dirinya sendiri dan orang lain dari komunitasnya. Pemenuh kebutuhan yang palsu seringkali memenuhi satu kebutuhan tapi menghambat orang memenuhi kebutuhan lain. Ini misalnya yang terjadi pada kebutuhan akan perlindungan. Bila pemerintah mengusahakan keamanan melalui penyediaan anggaran tak terbatas bagi persenjataan, sikap otoriter, birokrasi, lembaga sensor, penculikan, pemenjaraan dan pengasingan orang, maka kebutuhan akan subsistensi, afeksi, identitas, partisipasi dan kebebasan semuanya terancam.
Ada pula pemenuh kebutuhan yang menjawab satu kebutuhan (seperti misalnya bantuan makanan pada saat kelaparan), tapi ada pula pemenuh kebutuhan yang menjawab banyak kebutuhan sekaligus (seperti praktek menyusui yang memenuhi kebutuhan subsistensi, afeksi, identitas dan perlindungan). Upaya pencarian pemenuh kebutuhan yang sejati adalah bagian inti dari proses pengembangan masyarakat yang menuntut cintakasih, kreativitas dan komitmen. @awi mn#

2 komentar:

Idham Malik mengatakan...

pemerintah kota selalu melihat warganya dengan kategori-kategori material.. suka dengan tulisan ini kak.. hehehe

AWI MN mengatakan...

trims komenx fren, politisi matre-liberal

Posting Komentar