Tulisan
ini adalah salah satu bacaan pemerkaya para pegiat gerakan sosial,
terutama yang menfokuskan perhatiannya pada penyadaran rakyat.
Materinya disari dari sebuah buku yang sangat populer di Amerika
Latin, hasil riset yang panjang atas situasi ekosob sejak tahun 1985,
yang dilakukan secara multidisiplin. Buku tersebut berjudul Human
Scale Development: Conception, Application, and Further Reflections
(The Apex Press, 1991), ditulis oleh Manfred A. Max-Neef. Di dalamnya
dibahas tentang Sembilan Kebutuhan Dasar Manusiawi (SEMBADA). Di
Indonesia dikenal Sembilan Kebutuhan Pokok (SEMBAKO) menurut SK
Menteri. Kedua konsep tersebut sangat berbeda.
Konsepsi
tentang kemiskinan sangat berbeda dengan konsepsi yang umumnya
digunakan di Indonesia. Misalnya, perdebatan tentang 14 indikator dan
variabel kemiskinan versi BPS sebenarnya dideterminasi oleh teori
pertumbuhan ekonomi konvensional (modernitas). Variabel yang
dikedepankan adalah kebutuhan subsistensi dan penampakan material
orang yang dianggap miskin. Padahal jika variabel tersebut dipakai
pada kehidupan suku Asmat di Papua, atau masyarakat adat di Kajang
Dalam Bulukumba akan terasa ganjil, bahkan terkesan melecehkan. Aspek
sosialbudaya sangat diabaikan.
Di
Makassar mulai digagas kembali wacana tentang indikator dan variabel
kemiskinan yang kontekstual dengan perkembangan ekosob warga kota,
khususnya yang dikelompokkan sebagai kaum miskin kota. Misalnya,
variabel rumah dinding papan, lantai tanah, atap rumbia, tidak cocok
(tidak konteks) dengan ciri pemukiman masyarakat urban. Demikian
halnya dengan kebutuhan layanan dasar IASMO Bebas, tidak berarti
apa-apa jika tidak terjadi perbaikan mentalitas aparat penyedia
layanan. Karena, meminjam konsep Max Neef, program IASMO Bebas
seperti sekolah, puskesmas, sembako, air bersih, itu bukanlah
kebutuhan yang sesungguhnya, tetapi semua itu hanyalah sarana untuk
memenuhi kebutuhan yang sejati, yakni hak untuk hidup yang layak, hak
atas perlindungan, partisipasi, dan penghormatan atas harga diri.
Postingan
berikut ini saya petik dari materi pelatihan CO yang diselenggarakan
UPC Jakarta.
Pendekatan
terhadap Kebutuhan Dasar Manusiawi
Pendidikan
formal telah menyebabkan banyak orang tercabut dari akar budaya di
desanya dan kemampuan untuk bisa sungguh-sungguh memahami manifestasi
kemiskinan dalam bentuk kesehariannya. Upaya yang kita lakukan untuk
menangani masalah kemiskinan sering kali tidak memadai, bahkan tidak
tepat. Sebagaimana diutarakan Paulo Freire dalam bukunya Education
for Critical Consciousness, bantuan, pelayanan atau pendampingan
yang kita lakukan bisa-bisa bahkan menjadi pemaksaan dan penjajahan
kultural. Kepercayaan dan nilai-nilai yang kita paksakan pada rakyat
atau kelompok dampingan kita kemungkinan bertentangan dengan
nilai-nilai kultural mereka.
Kode-kode
berikut berkait dengan permasalahan dasar dalam upaya membantu rakyat
memberdayakan dirinya: bagaimana kita dapat sungguh-sungguh
mendengarkan suara rakyat?
Roda
Kebutuhan Dasar Manusiawi
Pemberdayaan
adalah satu proses di mana satu komunitas atau kelompok orang
berjuang agar setiap dan semua anggotanya terpenuhi kebutuhan dasar
kemanusiaannya dan meningkat kualitas hidup mereka. Pemberdayaan
berfokus pada manusia dan jalan serta cara hidupnya, bukan tentang
obyek, benda dan sarana serta prasarana yang kita berikan kepada
mereka. Tidak seorang pun dapat memberdayakan orang lain; hanya orang
itu sendiri atau kelompok/komunitas itu sendiri yang dapat melakukan
untuk dirinya. Energi dan nilai-nilai berasal dari dalam diri atau
kelompok dan memanifes dalam tindakan sehari-hari, dan dalam rencana
konkret tindakan pemberdayaan. Namun, kita dapat memfasilitasi proses
pemberdayaan dalam komunitas agar orang dapat mulai:
- saling mendengarkan dan membantu satu sama lain
- mengidentifikasi permasalahan dan kebutuhan yang belum terpenuhi
- memahami hambatan yang membuat kebutuhan tersebut tidak terpenuhi
- mengenali cara-cara pemenuhan kebutuhan yang tidak memecahkan masalah (pemenuhan palsu misalnya, alkohol, narkotik, senjata, dsb.)
- menyepakati cara-cara pemenuhan kebutuhan yang sungguh-sungguh dapat memecahkan masalah
- merencakan kegiatan bersama yang menjadikan hidup lebih bermakna.
Kebutuhan
subsistensi harus dipenuhi, karenanya penanganan masalah ekonomi
penting. Namun, tanpa kebutuhan dasar manusiawi lainnya sebagaimana
tergambar dalam roda kebutuhan di atas tidak dipenuhi, orang atau
komunitas tidak akan bisa memenuhi kebutuhan subsistensinya tersebut.
Ketika
dalam satu kelompok atau komunitas kebutuhan dasar manusiawi tidak
terpenuhi, yang akan muncul adalah patologi kolektif, misalnya sikap
apatis, fatalistik, penyalahgunaan narkoba, kejahatan dan kekerasan.
Permasalahan ini hanya akan bisa dipecahkan lewat pendekatan holistik
yang bertujuan merajut kembali anyaman sosial komunitas dengan cara
memenuhi semua kebutuhan dasar manusiawi orang.
Kerangka
Kebutuhan Dasar Manusiawi
Roda
kebutuhan dasar manusia dapat menjadi kerangka yang berguna untuk
banyak hal. Kerangka ini dapat digunakan di berbagai tingkatan, dari
tingkat akar rumput sampai tingkat kebijakan nasional, juga untuk
kebutuhan peningkatan kesadaran dan pengembangan visi bersama (mimpi
kolektif) tentang bentuk ideal komunitas. Kerangka ini juga
menunjukkan bahwa satu masalah sesungguhnya saling berkait
berkelindan, dan tidak ada masalah yang pemecahannya bisa dilakukan
lewat satu cara, satu arah atau satu jalan saja. Visi atau mimpi
kolektif ini sangat penting jika kita mencoba menghimpun energi
komunitas, membantu komunitas melakukan proses proaktif untuk
pemberdayaan, tidak sekedar membuat respons reaktif dari satu masalah
ke lainnya.
Kerangka
Kebutuhan Dasar Manusiawi memaksa kelompok atau pun komunitas untuk
mengenali permasalahan-permasalahan dasar dan secara aktif mencari
pemecahan-pemecahan kreatif dalam menangani masalah. Pemahaman bahwa
masalah saling terkait dan tidak berdiri sendiri, dan pemahaman
tentang kerangka ini akan memberikan landasan kokoh untuk komunitas
dapat memulai perencanaan program pemberdayaan yang holistik dan
integratif.
Roda
Kebutuhan ini juga dapat digunakan untuk mengenali
kebutuhan-kebutuhan paling mendesak dari komunitas atau masyarakat
luas. Kerangka ini juga dapat mendeteksi cara-cara yang mungkin
justru akan merusak dalam upaya memenuhi satu kebutuhan tertentu
tetapi justru menutup kemungkinan terpenuhinya kebutuhan lain.
Kerangka ini juga dapat menjadi alat yang kuat untuk melakukan survei
tema-tema generatif dalam komunitas, sebelum kita memulai kegiatan
pendidikan dan pemberdayaan rakyat.
Pengalaman
Amerika Selatan
Roda
Kebutuhan Dasar Manusiawi diadaptasi dari satu tulisan berjudul
“Human Scale Development” oleh Manfred MaxNeef dalam Development
Dialogue (1989:1). Ia merangkum hasil kerja satu tim
peneliti dari lima negara di Amerika Selatan pada 1985-1986 yang
terdiri atas ahli ekonom, psikolog, filsuf, ahli ilmu politik,
antropolog, ahli geografi, insinyur dan ahli hukum. Mereka semua
melihat dengan tajam kegagalan model pembangunan yang dominan dianut
masa itu untuk meningkatkan kehidupan mayoritas rakyat miskin dunia.
Pada kenyataannya, walaupun GNP nasional banyak negara meningkat,
kemiskinan dan kepedihan yang dialami rakyat miskin untuk dapat
bertahan hidup semakin parah. Timbul keputusasaan yang meluas karena
berbagai langkah dan cara yang diterapkan selalu gagal menghasilkan
perubahan mendasar. Mereka menyebut keputusasaan meluas itu dengan
istilah “krisis Utopia”, karena orang bahkan telah kehilangan
kemampuan dan keberanian untuk bermimpi, untuk mencitakan satu bentuk
dan model masyarakat alternatif.
Pendekatan
Alternatif terhadap Pembangunan
Para
tim ahli di atas mencari pendekatan baru terhadap pembangunan yang
menghimpun kembali energi dan kreativitas kelompok-kelompok lokal,
dan juga mendorong pemerintah untuk meninjau secara kritis dan
menyusun kembali prioritas-prioritas dan kebijakan mereka. Sejak
hasil penelitian ini diterbitkan dalam bahasa Spanyol pada 1989,
banyak pihak sangat tertarik. Banyak studi dan program pembangunan
yang dilakukan di banyak wilayah di Amerika Selatan yang didasarkan
pada hasil penelitian ini. Ketika kemudian diterbitkan dalam bahasa
Inggris pada 1989, banyak kegiatan pemberdayaan komunitas yang
diilhami oleh konsep ini di berbagai wilayah dunia. Salah satu alasan
mengapa ide ini menarik adalah karena gagasan ini menekankan peran
penting kreativitas manusia dalam pembangunan, dan penekanan bahwa
kita harus benar-benar menyadari “tujuan ekonomi adalah untuk
melayani manusia, bukan manusia melayani ekonomi.”
Subsistensi
dan Analisis Psiko-sosial
Proses
penelitian dimulai dengan analisis tentang kebutuhan manusia.
Kebutuhan dasar untuk bertahan hidup, untuk subsistensi, tentulah
merupakan kebutuhan dasar. Namun masih terdapat sejumlah kebutuhan
dasar lainnya yang juga universal, dan jika kebutuhan psiko-sosial
lainnya dipenuhi, akan mustahil kebutuhan dasar subsisten semua
anggota komunitas dapat terpenuhi.
Penyakit
Komunitas
Tatkala
kebutuhan dasar manusiawi, baik kebutuhan subsistensi maupun
psiko-sosial, tidak terpenuhi sampai satu waktu tertentu, tak
terhindarkan patologi sosiali akan mulai muncul. Penyakit
sosial yang paling umum adalah kekerasan, apatis, penyalahgunaan
narkoba. Kita pasti telah menyaksikan hal seperti ini terjadi di
banyak tempat dan kita cenderung menyalahkan korban dari dominasi dan
eksploitasi yang terjadi. Pada gilirannya, kegagalan memenuhi
kebutuhan dasar manusiawi sebagian komunitas akan menjadi bumerang
bagi seluruh masyarakat, dan pada akhirnya kita harus mengeluarkan
biaya yang besar untuk mengatasinya. Satu sen yang dikeluarkan untuk
memenuhi kebutuhan dasar manusiawi hari ini akan menghemat 10 dolar
biaya yang harus kita keluarkan untuk biaya polisi, penjara, dan
program-program rehabilitasi jika kebutuhan dasar manusiawi orang
tidak dipenuhi.
Perbedaan
antara Kebutuhan dan Pemenuh Kebutuhan
Kebutuhan
dasar manusiawi merupakan kebutuhan universal yang berlaku untuk
semua orang, berlaku setiap waktu, dan di semua budaya.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai kebutuhan
akan:
- subsistensi,
- perlindungan,
- afeksi,
- identitas,
- pemahaman,
- kreativitas,
- waktu luang,
- partisipasi, dan
- kebebasan.
Menurut
konsep ini, sandang, pangan, papan, air, bahan bakar, semuanya itu
bukanlah kebutuhan tetapi sarana untuk memenuhi kebutuhan
subsistensi. Dengan kata lain, semua itu adalah pemenuh kebutuhan.
Budaya
dan Pembangunan
Walaupun
kebutuhan manusiawi terbatas jumlahnya, cara pemenuhan kebutuhan
tersebut sama sekali tidak terbatas dan bervariasi menurut kebudayaan
serta berbeda-beda menurut zaman pada satu budaya yang sama. Penting
kita membedakan kebutuhan dari pemenuh kebutuhan. Cara komunitas
memuaskan kebutuhan dasar manusia sesungguhnya adalah dasar dari
budayanya. Budaya berubah jika komunitas menemukan cara berbeda untuk
memenuhi kebutuhannya. Ini mungkin terjadi karena kontak dengan
budaya lain, karena perkembangan ekonomi dan teknologi, karena resesi
atau perpindahan sekelompok orang dari satu tempat ke tempat lain
(migrasi). Budaya yang terisolasi mungkin akan tidak berubah selama
banyak generasi, tapi kini kebanyakan budaya bersifat dinamis,
cenderung berubah. Di banyak tempat ‘perkembangan’ masyarakat
dicurigai karena dikaitkan dengan penghisapan dunia Barat. Sebagai
gantinya orang menggunakan istilah ‘budaya’ dalam arti luas.
‘Budaya’ diartikan sebagai ‘keseluruhan pemecahan orisinal yang
ditemukan masyarakat dalam rangka penyesuaian mereka dengan
lingkungan alam maupun lingkungan sosial’. Jadi ‘budaya’
mengacu pada semua aspek kehidupan: pengetahuan tentang teknologi,
ketrampilan teknis, kebiasaan makanan dan pakaian, agama, mentalitas,
nilai, bahasa, lambang, perilaku sosial politik dan ekonomi, cara
pengambilan keputusan dan praktek kuasa, metode produksi dan relasi
ekonomi, dsbnya.’
Kini
orang semakin mengakui bahwa program-program yang terbaik selalu
membedakan model pengembangan masyarakat yang memaksakan nilai-nilai
dan praktek Barat pada rakyat Dunia Ketiga dan proses yang mendorong
rakyat menggunakan nilai-nilai dan energi dari dalam budaya mereka
sendiri untuk mengembangkan komunitas dan masyarakat yang dapat
memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Pemenuh
Kebutuhan yang Sesungguhnya dan yang Palsu
Rakyat
kadangkala berusaha memenuhi kebutuhan mereka dengan cara yang
merusak dirinya sendiri dan orang lain dari komunitasnya. Pemenuh
kebutuhan yang palsu seringkali memenuhi satu kebutuhan tapi
menghambat orang memenuhi kebutuhan lain. Ini misalnya yang terjadi
pada kebutuhan akan perlindungan. Bila pemerintah mengusahakan
keamanan melalui penyediaan anggaran tak terbatas bagi persenjataan,
sikap otoriter, birokrasi, lembaga sensor, penculikan, pemenjaraan
dan pengasingan orang, maka kebutuhan akan subsistensi, afeksi,
identitas, partisipasi dan kebebasan semuanya terancam.
Ada
pula pemenuh kebutuhan yang menjawab satu kebutuhan (seperti misalnya
bantuan makanan pada saat kelaparan), tapi ada pula pemenuh kebutuhan
yang menjawab banyak kebutuhan sekaligus (seperti praktek menyusui
yang memenuhi kebutuhan subsistensi, afeksi, identitas dan
perlindungan). Upaya pencarian pemenuh kebutuhan yang sejati adalah
bagian inti dari proses pengembangan masyarakat yang menuntut
cintakasih, kreativitas dan komitmen. @awi mn#
2 komentar:
pemerintah kota selalu melihat warganya dengan kategori-kategori material.. suka dengan tulisan ini kak.. hehehe
trims komenx fren, politisi matre-liberal
Posting Komentar