"Mahasiswa dalam Bingkai Sumpah Pemuda",
Pelataran FSUH, 27 Oktober 2011
Mengapa dan untuk
apa kita merayakan Hari Sumpah Pemuda tahun ini? Pertanyaan ini
dilontarkan seorang mahasiswa dalam suatu kelas diskusi pelataran
Fakultas Sastra (FIB) Unhas. Pertanyaan yang semaksud, apa urgensi
Sumpah Pemuda yang diproklamasikan 83 tahun lalu itu bagi kaum muda,
khususnya mahasiswa hari ini? Mengapa sumpah itu tidak
diperbaharui saja menjadi “bersumpah anti korupsi, anti oligarki, dan
anti kapitalisasi?”.
Untuk
menjelaskannya, maka pertama-tama saya sendiri harus meyakini bahwa
dunia saat ini sedang krisis. Sistim ekonomi liberal-kapitalistik
telah memicu berbagai krisis ekosob; peperangan, oligarki kekuasaan,
monopoli, korupsi, kemiskinan, penggusuran paksa, dan bencana
ekologis merupakan gejala permanen yang melanda masyarakat dunia
dewasa ini. Bahkan, stabilitas ekopol negara-negara maju pun tengah
mengalami goncangan hebat. Protes kaum muda di Prancis, Italia, dan
Inggris tahun lalu, hingga pendudukan Wallstreet, Melbourne,
Amsterdam akhir-akhir ini. Semua itu menyadarkan kaum muda Indonesia,
setidaknya mereka yang menggelar diskusi tersebut, semakin 'pede'
pada sikap dasar anti-kapitalisme dan neoliberalisme. Sehingga
cita-cita meruntuhkan kapitalisme bukanlah sebuah utopia.
Akan tetapi
pertanyaan berikutnya adalah bagaimana atau darimana memulai
perlawanan terhadap dan memecahkan sumber krisis itu? Pada titik ini,
dua cara pandang yang mengemukan dalam diskusi. Pertama, kaum muda
mahasiswa seharusnya mengoptimalkan peran strategisnya sebagai
kekuatan kritik dan pressure group. Semakin besar
kemampuan menggalang dukungan basis massa akan semakin kuat tekanan,
dan semakin besar pula kemungkinan sebuah rezim ditumbangkan.
Terbukti, penguasa Orba dijatuhkan melalui tekanan massa
pemuda-mahasiswa pada tahu 1998. Cara pandang ini menegasikan arah
pemikiran yang kedua, yakni berbagai praksis social-control
yang dikembangkan organisasi masyarakat sipil non-kampus.
Umumnya, mereka menformulasikan gerakanya
pada kontrol terhadap kekuasaan, yakni mengadvokasi praktik-praktik
korupsi, oligarki, dan privatisasi, tetapi cenderung menyembunyikan
juga mengabaikan jargon-jargon ideologis. Pada tingkat akar-rumput,
misalnya aktivis LSM merawat tuntutan-tuntutan populis masyarakat
dampingannya tanpa perlu membuka selubung suatu ideologi-politik.
Strategi dan taktik seperti ini dipandang oleh kaum muda mahasiswa, tidak akan memecahkan permasalahan dan sumber krisis. Strategi itu dikhawatirkan hanya akan melanggengkan kapitalisme.
Tanpa bermaksud
menilai kondisi kaum muda mahasiswa dewasa ini, ada kesan mereka
sedang mengalami kebuntuan wacana pergerakan sosial. Di satu sisi
mereka berasumsi bahwa dukungan basis massa merupakan prasyarat
keberhasilan suatu gerakan, pada saat yang sama, mereka merasakan
(kebuntuan) betapa sulitnya melembagakan nilai-nilai kepemimpinan dan
visi gerakan sosial di kalangan mahasiswa. Di satu sisi mereka
mengklaim kapitalisme adalah sumber krisis yang nyata, pada saat yang
sama mereka kurang terlibat atau mengambil jarak dari persoalan
kebangsaan, misalnya oligarki parpol dan korupsi pejabat yang kian
menggerogoti eksistensi berbangsa dan bernegara. Di satu sisi,
masyarakat menuntut mahasiswa berperan optimal sebagai motor
perubahan sosial-politik, pada saat yang sama, masa aktualisasi diri
mereka di kampus relatif pendek. Selain itu, ada tuntutan
administrasi akademik yang membatasi ruang aktivisme mereka di dalam
kampus.
Nampaknya, transisi
politik pasca reformasi 1998 diterima sebagai kenyataan pahit oleh
kaum muda aktivis mahasiswa. Perubahan formasi dan prosedur politik
tidak otomatis menciptakan kultur politik kerakyatan, masih tetap
elitis, dan oligarkis. Peran parpol tidak jauh beda dengan parpol
pada masa Orba, malah lebih gila karena dikendalikan pemilik modal.
Politisi memperkaya diri dan mempertahankan kekuasaan dengan cara
menggerogoti keuangan negara sudah menjadi pengetahuan orang awam
sekalipun. Sementara pemecahan masalah kemiskinan, buruknya layanan
publik, kerusakan sumberdaya alam, dan berbagai konflik komunal tidak
menjadi tujuan pokok agenda pemerintahan. Soal-soal seperti ini
semakin mengukuhkan pandangan negatif tentang politik, kekuasaan,
parpol, dan kepemimpinan nasional. Pendek kata, pemerintahan
reformasi dan kabinet SBY jilid II ini dianggap gagal. Dan, karena
alasan-alasan itu pula sebagian kaum muda aktivis prodemokrasi
menuntut SBY-Boediono mundur.
Perbincangan
semakin menarik, ketika muncul pertanyaan spontan, “setelah itu
apa?”. Ada tiga wacana yang merespon persoalan ini. Pertama, tetap
memposisikan moral-force gerakan kaum muda mahasiswa sebagai
penyokong utama perubahan sosial. Mereka bukan kekuatan politik yang
berorientasi pada penguasaan struktur politik. Sikap dasar ini juga
mewakili pegiat LSM. Dan, hal ini mengingatkan kita pada momentum
reformasi politik 1998, dimana struktur dan kesempatan politik
kemudian dibajak dan dikendalikan kelompok status quo didukung para
kapitalis. Akibatnya, proses demokratisasi mandek, kehilangan
substansi, juga sangat mahal, dan; karena itu memicu konflik yang
tidak berujung hingga kini.
Sikap dasar kedua
dari pertanyaan di atas adalah mengharapkan kaum muda mahasiswa
secara progresif mendorong gerakan rakyat (gersos) untuk mewujudkan
reformasi politik sejati. Kaum muda mahasiswa dituntut secara
konsisten menjabarkan pemikiran kritisnya menjadi tindakan-tindakan
(praxis) yang membebaskan rakyat dari pembodohan politik,
pemiskinan, dan kehilangan kontrol atas sumberdaya agraria (alam).
Sikap dasar ini dibutuhkan dalam situasi dimana aktor-aktor politik
termasuk kaum reformis semakin jauh dari basis ideologinya. Gagasan
yang ditawarkan adalah mempertautkan (akselerasi dan agregasi)
kepentingan rakyat dengan kekuatan politik kaum muda mahasiswa. Dan,
ini berarti kaum muda mahasiswa diposisikan sebagai kader pemimpin
bangsa.
Sikap dasar yang
ketiga, menuntut kaum muda mahasiswa membongkar paradigma pendidikan
saat ini yang dirasakan telah mengkotak-kotakkan dirinya dalam
ruang-ruang kelas secara disipliner. Kaum muda mahasiswa merasakan
sistim pendidikan nasional telah menciptakan kehampaan akibat
rutinitas akademik. Meskipun hidup dalam semangat reformasi dan
terbukanya akses pada teknologi informasi, watak dasar sistim
pendidikan di perguruan tinggi relatif sama dengan masa NKK/BKK. Dan,
karena itu perubahan paradigmatik ini pertama-tama bertujuan
membebaskan mahasiswa itu sendiri dari ilusi dan ketakutan akan masa
depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar