Tulisan ini diposting sebagai bacaan reflektif sekaligus sebagai bahan perbandingan bagi para aktivis gerakan sosial di Makassar. Berkaitan dengan hal itu pula, postingan ini menjadi referensi bagi saya dalam diskusi yang digelar UKPM Pers dan BEM se-Unhas, 4 Oktober 2011 di Aula Baruga Pettarani. Topiknya yang relevan, yakni "Kegagalan Sistem Politik dan Gerakan Sosial di Makassar". Suatu topik yang saya rasa didasari oleh sikap reaktif mengikuti jatuh-bangunnya gerakan sosial, tentu saja termasuk di dalamnya gerakan pro-demokrasi di level kota/kabupaten.
Pertanyaan pokok dari topik diskusi tersebut adalah apa ukuran yang dipakai untuk menilai suatu dinamika gerakan sosial mengalami kegagalan atau sebaliknya kesuksesan? Pada konteks yang lebih luas, faktor-faktor apa yang mempengaruhi subjektivitas penilaian tersebut? Sejauhmana para aktor gersos mempengaruhi jalannya transisi demokrasi politik pasca reformasi 1998? Pertanyaan-pertanyaan ini cukup komprehensif diurai dalam tulisan berikut ini. Hormat saya, M. Nawir.
Refleksi atas Agenda dan Strategi Politik Gerakan Sosial di Indonesia
Pasca Tumbangnya Rezim Soeharto
Pertama di'posting' di http://www.interseksi.org
Konteks dan karakter gerakan sosial di Indonesia telah, sedang dan terus akan berubah. Selain perubahan konteks dan karakter gerakan, penting untuk dikaji bagaimana massa rakyat menghadapi pagelaran kuasa, dan bagaimana (sebagian) eksponen utama dan pendukung gerakan rakyat tersebut menafsirkannya, menghadapi kesempatan politik yang tersedia dan merumuskan tantangan-tantangan utama yang dihadapinya, serta pada saatnya memilih dan melancarkan aksi kolektif yang mereka andalkan. Meskipun tulisan ini bukanlah hasil kajian ilmiah penulis, tapi setidaknya dapat mencerminkan sebuah fase perjalanan dan pergulatan dimana penulis berada didalamnya.
Konteks Perubahan di Indonesia
Kita melangsungkan diskusi ini di tengah situasi politik-ekonomi yang berkecenderungan pada terciptanya krisis ekonomi dan politik yang semakin parah. Harga-harga bahan pokok semakin membumbung tinggi, kelangkaan minyak dimana-mana, para pejabat semakin terampil dalam melakukan korupsi, defisit anggaran negara yang semakin menganga, hutang luar negeri yang semakin melilit dan konflik elit politik pun semakin menjadi-jadi.
Kita pahami betul bahwa situasi seperti ini sesungguhnya telah berlangsung sejak lama. Sudah lebih dari setengah abad Negara Republik Indonesia berdiri dan pembangunan nasional telah dijalankan selama lebih dari 40 tahun, namun penghidupan sosial-ekonomi dan politik massa rakyat tidak juga mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Di tengah kekayaan sumber daya alam yang melimpah, rakyat Indonesia justru masih menghadapi kemiskinan dalam berbagai sektor kehidupan. Kesempatan untuk memperoleh pekerjaan dan jaminan atas penghidupan yang manusiawi dengan tersedianya lapangan kerja yang mudah diakses semakin sulit diperoleh bagi rakyat kecil, mengakibatkan bertambah banyaknya jumlah pengangguan dari tahun ke tahun. Bagian terbesar dari penduduk miskin Indonesia yang berada di wilayah pedesaaan dengan presentasi 63,41% dari jumlah total penduduk Indonesia. Mereka terdiri dari kaum tani, komunitas masyarakat adat, nelayan, perempuan, dan para pemuda yang hidup di wilayah pedesaan. Konsentrasi penguasaan tanah di tangan sekelompok kecil orang yang memiliki modal besar dan hubungan kuat dengan pihak pemerintah membuat kehidupan kaum tani di wilayah pedesaan samakin mengalami kesulitan (untuk mempertahankan) hidup. Di samping monopoli penguasaan tanah di tangan sekelompok kecil pemilik modal, kaum tani Indonesia juga menghadapi konflik dan sengketa tanah yang seringkali disertai dengan tindakan-tindakan kekerasan oleh aparat militer, kepolisian dan birokrasi yang berdimensi pelanggaran Hak-hak sosial, ekonomi, politik, hukum dan budaya.
Begitu pula dengan komunitas masyarakat adat yang hidup di wilayah pedalaman dan pegunungan, tidak diakui hak-hak dan kedaulatannya sebagai satuan masyarakat adat yang memiliki sistem sosial, ekonomi-politik, hukum dan budaya sendiri yang mengatur berbagai segi kehidupan mereka. Klaim sepihak atas wilayah kedaulatan masyarakat adat atas nama kawasan 'hutan negara' masih terus dijalankan oleh pemerintah bagi pengembangan kawasan hutan lindung, konservasi maupun hutan-hutan produksi. Kaum nelayan yang hidup di kawasan pesisir dan wilayah perairan hingga saat ini tidak memperoleh jaminan perlindungan hak-haknya atas wilayah tangkap, sarana produksi dan skema pasar yang menguntungkan nelayan. Praktek-praktek penggunaan Trawl, meskipun secara hukum telah dilarang operasinya dan telah memperoleh perlawanan yang cukup kuat dari nelayan, justru terkesan dibiarkan beroperasi oleh pemerintah untuk memonopoli wilayah tangkap di kawasan perairan yang pada akhirnya membuat tingkat pendapatan nelayan kecil semakin mengalami kemerosotan.
Pengembangan industri nasional yang bercorak kapitalistik yang dibangun di atas ‘politik upah murah’ benar-benar telah berhasil membawa pemiskinan massal di kalangan kaum buruh Indonesia akibat ketidakmampuan mereka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari karena upah yang terlalu rendah. Sistem kerja sub-kontak outsourcing, ancaman PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), dan pembatasan aksi mogok dan kebebasan berorganisasi, telah melucuti penghormatan dan perlindungan hak-hak kaum buruh Indonesia. Besaran atau nominal upah buruh yang telah dikeluarkan di berbagai tingkatan (mulai dari sektoral, kabupaten/Kota hingga Provinsi) sama sekali jauh dari kebutuhan hidup yang layak, apalagi jika dikaitkan dengan harga barang kebutuhan pokok yang selalu mengalami kenaikan dari waktu ke waktu.
Di tengah penderitaan kaum tani, nelayan, masyarakat adat, dan kaum buruh Indonesia, bencana demi bencana silih berganti terjadi, mulai dari tsunami, kelaparan, banjir, tanah longsor, gempa bumi, lumpur panas, flu burung, malnutrisi, demam berdarah, kecelakaan udara-laut-darat dan sebagainya, semakin menambah beban penderitaan rakyat yang memang sudah dimiskinkan secara sosial, ekonomi dan politik. Sebagaimana telah kita saksikan, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini, peristiwa-peristiwa bencana di berbagai daerah yang membawa korban jiwa dan materil yang tidak sedikit, mengalami peningkatan tiga kali lipat dari masa-masa sebelumnya, tanpa upaya sistematis dan serius dari pemerintah untuk mencari solusi-solusi yang tepat untuk mengatasinya.
Sudah menjadi kesadaran bersama bahwa berbagai kenyataan dan persoalan-persoalan tersebut sesungguhnya bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah, tapi merupakan hasil dari kebijakan pemerintah di berbagai bidang yang lebih mengabdi pada kepentingan ekonomi neo-liberal dengan mengorbankan kepentingan dan hak-hak rakyat banyak. Paket perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan misalnya, secara sistematis dirancang sedemikian rupa untuk melegalkan sistem kerja out-sourcing, memberi perlindungan dan keuntungan berlipat-ganda kepada investor, mengurangi pendapatan kaum buruh, dan membatasi ruang-gerak kaum buruh untuk memperjuangkan kepentingannya. Contoh paling mutakhir adalah upaya keras pemerintah di dalam merevisi Undang-undang No. 13 tahun 2003 (UUK No.13/2003) karena desakan dari rejim neo-liberal. Di bidang agraria, meskipun upaya amandemen Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 saat ini telah dihentikan untuk sementara waktu oleh pemerintah, namun berbagai peraturan perundang-undangan sektoral yang melegalisasi praktek perampasan sumber-sumber agraria milik rakyat untuk kepentingan modal besar seperti di bidang kehutanan, perkebunan, pengelolaan wilayah pesisir dan kelautan, sumber daya air, dan seterusnya, masih terus-menerus dipertahankan, bahkan berupaya direvisi kalau dibutuhkan bagi kepentingan modal. Perlindungan pemerintah kepada badan usaha pemilik HGU, HPH, Konsesi Pertambangan yang selama ini telah menyingkirkan rakyat dari wilayah kelolanya, tindakan-tindakan represi terhadap rakyat yang masih terus dijalankan secara terbuka baik oleh aparat militer, kepolisian, birokrasi maupun dengan menggunakan paramiliter sipil di berbagai level, mempertanyakan kesungguhan komitmen politik pemerintah menjalankan Reforma Agraria yang sejati.
Lalu bagaimana kondisi subyektif gerakan rakyat di Indonesia di tengah kompleksitas persoalan yang dihadapi massa rakyat yang selama ini gigih memperjuangkan hak-haknya? Sebagaimana telah menjadi pemahaman bersama, kekuatan subyektif gerakan rakyat mengalami penurunan yang cukup tajam semenjak rejim Orde Baru berhasil ditumbangkan tahun 1998 yang lalu. Kenyataan ini tidak dapat dilepaskan dari kesadaran obyektif massa rakyat yang masih cenderung terilusi oleh berbagai sogokan-sogokan reformasi, liberalisasi, demokrasi prosedural, otonomi daerah, dan seterusnya, yang dijajakan dan disodorkan oleh rejim-rejim yang berkuasa pasca pemerintahan Orde Baru. Sekalipun demikian, penurunan (kuantitas dan kualitas) gerakan rakyat tidak patut ditimpakan semata-mata pada kesadaran obyektif massa rakyat yang cenderung terilusi oleh sogokan-sogokan dari rejim yang berkuasa. Ketidaksiapan atau kegagapan kalangan organisasi gerakan rakyat di dalam merespon dan memanfaatkan peluang dari perubahan-perubahan politik yang terjadi begitu cepat pasca tumbangnya rejim Orde Baru, pada level tertentu sesungguhnya telah turut pula memberikan kontribusi pada penurunan tingkat progresivitas gerakan rakyat. Jangankan mempersiapkan diri merespon atau memanfaatkan peluang dari perubahan-perubahan politik yang ada, dalam beberapa tahun belakangan ini kekuatan subyektif gerakan rakyat malahan sibuk dengan agenda organisasi, sektor, dan wilayah masing-masing, bahkan lebih parah lagi, mengalami fragmentasi kekuatan.
Dalam situasi seperti itu, kekhawatiran terhadap perubahan yang mengarah pada suatu keadaan yang disebut oleh Sorensen (1993) sebagai frozen democracies atau demokrasi yang membeku, yakni suatu keadaan dimana arus perubahan menuju masyarakat demokratik tiba di satu titik balik atau mengalami pembusukan. Titik balik itu dapat terjadi manakala: (a) pemerintahan (atau pemerintahan-pemerintahan) baru yang berkuasa tidak mampu melakukan perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang mendasar sesuai dengan tuntutan masyarakat – khususnya menyangkut kepentingan kaum miskin; (b) pemerintah yang baru gagal untuk menuntaskan sejumlah warisan permasalahan yang akut yang ditinggalkan oleh rezim sebelumnya, seperti kasus korupsi dan pelanggaran HAM; (c) tata tertib dan iklim yang kondusif bagi kelangsungan proses demokratisasi gagal untuk diciptakan; dan (d) konsolidasi demokrasi itu sendiri tidak terjadi – yakni praktek-praktek domokrasi tidak bekembang dan tidak menjadi bagian dari budaya politik (Sorensen, 1993).
Alas Pikir dan Tindak Perjuangan Politik Gerakan Sosial
Menghadapi sejumlah situasi yang tengah dihadapi tersebut, sesungguhnya muncul satu pertanyaan penting yang patut kita jawab bersama-sama: Apa yang hendak diperbuat aktor-aktor gerakan sosial di tengah-tengah proses transisi ini? Pertanyaan ini bukan saja relevan dalam konteks waktu dimana saat ini kita sedang berada di tengah-tengah proses transisi menuju demokrasi, yang menurut suatu studi yang dipimpin Adam Przeworski – seorang profesor ilmu politik Universitas Chicago – mengatakan bahwa pada masyarakat yang berada dalam transisi demokrasi akan muncul fenomena seperti: berkembangnya ketidakpercayaan politik, skeptisisme dan sikap apatis yang berhubungan erat dengan pengalaman panjang masyarakat yang hidup di tengah-tengah kediktaktoran, sejarah kekacauan dan keterputusan hubungan-hubungan politik, ingatan-ingatan atas perilaku manipulatif, dan suatu transmisi nilai-nilai apolitis yang sistematik. Tetapi lebih jauh dari itu adalah budaya gerakan massa yang dapat melahirkan gerakan-gerakan sosial yang berumur panjang telah hilang dalam kehidupan sebagian besar rakyat di negeri ini.
Melalui buku terakhirnya, Bebas dari Neoliberalisme, Mansour Fakih menyampaikan hal-hal yang terkait dengan sejumlah agenda penting gerakan sosial dalam proses transisi yang lebih banyak dipandu oleh faham neoliberalisme ini. Pertama adalah mempertahankan dan merebut kembali negara untuk menjadi pembela hak-hak rakyat dengan memastikan negara menjaga dan melindungi hak ekonomi, budaya, sosial, serta mengimplementasikan ratifikasi Konvensi PBB atas Hak Asasi Manusia. Kedua, terus menerus melakukan protes sosial untuk mengubah kebijakan negara dan mencermati kesepakatan negara dengan pasar bebas dan kebijakan neoliberal. Ketiga, PR terbesar dan tersulit yang mesti dihadapi setiap gerakan sosial adalah melakukan pengembangan kapasitas counter discourse and hegemony atas dominasi diskursus neoliberal terhadap demokratisasi, good governance, dan civil society. Kita di Indonesia kini tengah menyaksikan tahap awal perkembangan gerakan sosial melawan kebijakan neoliberal. Kita juga berharap dapat terus mengikuti pertumbuhan gerakan rakyat untuk mendekonstruksi diskursus dominan dari perspektif neoliberal. Termasuk di dalamnya adalah gerakan mendekonstruksi diskursus civil society dan menggantinya dengan ide gerakan sosial melawan kebijakan neoliberal di Indonesia.” (Fakih, 2003:147)
Karena itu, upaya-upaya untuk memperkuat daya ubah gerakan sosial di Indonesia tidak hanya sekedar mengembangkan sejumlah tindakan teknis yang diperlukan untuk kerja-kerja advokasi atau aksi-aksi kolektif itu sendiri, melainkan yang terpenting adalah: (1) bagaimana mengembalikan gerakan sosial ke dalam rel kehidupan politik yang sesungguhnya; dan (2) sebagai implikasinya adalah bagaimana meningkatkan kapasitas berpolitik dari rakyat atau kelompok-kelompok rakyat yang selama ini terpinggirkan. Jadi, gerakan rakyat di Indonesia tidak lagi sekedar diletakkan sebagai upaya untuk mendorong perubahan kebijakan publik atau sekedar terlibat di dalam proses pembentukan kebijakan publik, tetapi menjadi bagian dari manuver-manuver politik kelompok-kelompok rakyat yang selama ini terpinggirkan di dalam ruang-ruang politik untuk menggeser kekuasaan atau tegasnya dapat disebut sebagai ruang-ruang perebutan kekuasaan.
Sehubungan dengan perjuangan politik gerakan sosial, maka konsep umum mengenai kekuasaan itu berkaitan dengan kesadaran struktur peluang politik yang spesifik (hubungan dalam bidang politik), struktur mobilisasi (modal sosial), kerangka budaya (modal simbolik) dan identitas bersama (habitus/disposisi para aktor untuk berpraktik). Sementara itu, kekuatan politik gerakan sosial sendiri sekurang-kurangnya bersumber pada 4 (empat) hal. Pertama, sumber utama terletak ada pada relasi gerakan dengan aktor-aktor dan institusi kunci dalam bidang politik. Tarrow (1994) melihat bahwa ada stuktur peluang politik yang kompleks dan dinamis yang dimanfaatkan oleh gerakan sosial untuk mencapai tujuan. Gerakan sosial ada dalam konteks politik kerja sama dan kompetisi di dalam masyarakat, yang merefleksikan hubungan formal dan informal di antara dan di dalam organ-organ masyarakat sipil (Della Porta dan Diani 1999). Kedua, kemampuan gerakan sosial untuk membolisasi individu maupun kelompok dalam masyrakat juga merupakan sumber kekuatan politik lain. Mobilisasi dapat dilakukan dengan menggunakan infratruktur sosial seperti jaringan sosial dan institusi, baik formal maupun informal. Ketiga, kemampuan gerakan sosial untuk berpartisipasi dalam memperjuangkan arti hak, isu, aktor dan kebijaan. Gerakan sosial pada umumnya berhasil memaknai ketidakadilan dan pelanggaran atas suatu kelayakan berdasarkan budaya yang ada (Zald 1996:226). Kekuatan ini dihadapkan pada suatu kerangka strategis yang aktif dan kompetitif yang terjadi di berbagai arena, baik dalam gerakan sosial itu sendiri maupun di antara aktivis dan otoritas sebagai modal simbolis, yaitu agar diakui sebagai perwakilan resmi suatu kelompok tertentu. Kermpat, kekuatannya lainnya terletak pada kemampuan gerakan sosial untuk membangun refleksi identitas diri para aktornya. Partisipasi individual dalam aksi kolektif tidak berdasarkan pada realita yang ada melainkan berdasarkan persepsi dan interpretasi terhadap hal tersebut, dan gerakan sosial itu sendiri berperan aktif dalam membangun serta mengkomunikasikan identitas bersama tersebut. (Melucci 1996). Ini artinya, prinsip-prinsip pengelompokan dan prinsip-prinsip organisasi aksi dalam habitus merupakan sumber utama kekuatan aksi politik secara kolektif (Stokke 2002)
Lantas bagaimana gerakan sosial dapat mengukur maju-mundurnya, kuat-lemahnya dan perkembangan capaian-capaian atas gerakan yang dilakukan? Capaian gerakan tidak sesederhana sebagai produk dari karakteristik dan aktivitas gerakan itu sendiri, tapi lebih dari itu sebagai hasil dari interaksi antara organisasi gerakan sosial, organ-organ yang menjadi target perubahan dan aktor-aktor relevan pada lingkungan yang lebih luas, serta semua perjuangan untuk memperoleh sumberdaya dan cara memanfaatkannya untuk keuntungan mereka dibandingkan yang lain (Paul Burstein et. al In the Success of Political Movements; 1995, p.277). Mengukur tingkat sukses gerakan sosial harus memperhatikan relasi faktor-faktor berikut ini: 1) karakteristik gerakan sosial; 2) karakteristik target gerakan (biasanya agen pemerintah); 3) karakteristik lingkungan; 4) faktor-faktor yang berpengaruh pada bekerjanya berbagai sumberdaya yang terlibat (Jenkins 1983a; McAdam 1982). Dalam konteks agenda-agenda politik yang dijalankan gerakan sosial, tingkat kesuksesan harus didefinisikan dalam bentuk tanggungjawab sistem politk pada organisasi gerakan sosial secara menyeluruh meskipun dapat dicapai secara bertahap. Pertama, capaian ’akses’, yaitu kesediaan pemerintah mendengarkan apa yang menjadi concern organisasi gerakan sosial. Kedua, capaian pada tingkatan agenda, yaitu kesediaan pemerintahan untuk menempatkan agenda-agenda yang desakkan organsasi gerakan sosial menjadi agenda politiknya. Ketiga, capaian kebijakan, yaitu pemerintahan mengadopsi kebijakan baru yang mencerminkan berbagai tuntutan gerakan sosial. Keempat, capaian pada level output, yaitu pemerintahan secara efektif mengimplementasikan kebijakan baru tersebut. Kelima, capaian pada level impak, yaitu implementasi kebijakan baru tersebut memberikan dampak pada perbaikan kehidupan kelompok-kelompok rakyat marjinal yang terlibat dalam gerakan sosial. Keenam, capaian pada level struktur politik, yaitu perubahan sistem politik untuk meningkatkan pengaruh gerakan sosial. Struktur kesempatan politik yang baru ini juga harus memberikan insentif pada aksi-aksi kolektif dan peningkatan posisi tawar gerakan sosial sehingga membuat upaya-upaya represi semakin sulit dan mahal.
Dinamika Perjuangan Politik Gerakan Sosial di Indonesia: Konsolidasi Tak Berujung
Telah menjadi kesadaran aktor-aktor gerakan sosial bahwa buah dari perubahan yang ditandai oleh jatuhnya rezim Soeharto lebih banyak dinikmati oleh aktor dan kekuatan-kekuatan status quo ketimbang membawa perubahan kehidupan bagi rakyat secara keseluruhan. Gerakan sosial di Indonesia umumnya berpendapat, proses transisi kini dalam bahaya. Demokrasi elektoral telah dibajak oleh elite, dijadikan sebagai kendaraan baru bagi mereka mempertahankan basis kekuasaan lamanya dan melanggengkannya.
Meskipun nampak ada persetujuan pada tataran kesadaran umum tersebut, sesungguhnya kalau ditelusuri lebih lanjut nampak terdapat perbedaan cara pandang yang secara substansial berbeda dalam menyimpulkan betapa masa transisi sedang memburuk. Sebagian kelompok dalam gerakan sosial melihat, persoalan ini terjadi karena piranti penunjang transisi (kelembagaan, reformasi hukum, birokrasi, dan militer) tidak berjalan mulus. Sebabnya, karena itu tadi, demokrasi elektoral telah dibajak oleh elite. Solusinya, bagaimana agar gerakan sosial terus berusaha mendesak para elite (melalui demo atau lobi atau masuk dalam sistem) agar mau bersungguh-sungguh menjalankan amanat reformasi. Dalam kesungguhan ini, sadar tak sadar, mereka telah bersikap sebagai seorang teknokrat dengan posisi yang marjinal.
Gerakan sosial yang lain, memandang defisit demokrasi ini terjadi karena sistem demokrasi yang diadopsi adalah demokrasi borjuis. Kelompok ini melihat, demokrasi elektoral memiliki sisi yang positif, yakni terbukanya sedikit ruang bagi pembangunan dan perluasan gerakan sosial. Tapi, harus disadari sejak awal bahwa demokrasi borjuis ini sangat terbatas, hanya melindungi dan menguntungkan posisi kaum borjuasi. Melanggar batas-batas tersebut, berarti siap berhadapan dengan aparatus kekuasaan. Karena itu, jika gerakan rakyat sudah besar dan kuat, maka demokrasi borjuasi yang terbatas ini harus diganti dengan demokrasi yang sejati, yakni demokrasi yang benar-benar menjadikan rakyat sebagai dasar dan tujuan kekuasaan. Bukan berarti, mereka menolak berpatisipasi dalam arena demokrasi borjuasi, tapi sikap dasarnya tak pernah berubah: ketidakpercayaan pada demokrasi elektoral. Tanpa sadar, kelompok ini terjatuh pada dogmatisme mengenai dikotomi demokrasi borjuis dan demokrasi sejati tanpa batas.
Berangkat dari perbedaan tersebut, serangkaian upaya untuk mencari titik temu sebagai landasan bersama penyusunan agenda dan strategi politik bersama gerakan sosial intensif dilakukan. Saya ingin memulainya dari sebuah pertemuan ’kamar kecil’ pada tanggal 26 September 2004 di Hotel Santika. Pertemuan ini sendiri sebenarnya merupakan inisiatif mengkaji perkembangan 5 tahun pasca kejatuhan Seoharto untuk menyusun sejumlah langkah penting dalam memperkuat pengaruh politik gerakan sosial. Selain saya sendiri, hadir pada saat itu Asmara Nababan (Demos), Alex Irwan (TIFA), Sita Khayam (WRI), Adriana (WRI), Binny Buchori (INFID), Suraya Affif (WALHI), Afrizal Tjoetra (YAPPIKA), Yando Zakaria (KARSA), Adi (RACA), Lery (PIAR) dan Dini ( PATTIRO). Meskipun pertemuan kecil ini tidak terlalu banyak membongkar hal-hal substansial, tapi berhasil mengkerucutkan kesepakatan mengenai trajektori (trajectory) konsolidasi yang harus ditempuh. Disepakati langkah pertama yang dilakukan adalah memperluas upaya konsolidasi dengan mengidentifikasi berbagai inisiatif dan agenda politik organisasi-organisasi gerakan sosial lalu mengumpulkan mereka dalam satu pertemuan lebih besar. PERGERAKAN disepakati menjadi tuan rumah bagi upaya lanjutan tersebut.
Menindaklanjuti kesepakatan tersebut, dilakukan upaya identifikasi berbagai inisiatif oleh tim kecil pada pertemuan tanggal 24 September 2004 di kantor Demos yang dihadiri oleh saya sendiri, Asmara Nababan, Anton, Luky, Tita, Udin dan Yando. Teridentifikasi pada saat itu sekurang-kurangya ada 11 inisiatif politik organisasi-organisasi gerakan sosial. Mulai dari inisiatif untuk merintis pembangunan partai politik tingkat nasional (Walhi, Pergerakan Indonesia, API, AMAN, organ-organ gerakan buruh), pembangunan blok politik dan partai lokal (Demos, Yapika), penguatan agenda politik organisasi rakyat untuk merebut ruang-ruang kekuasaan di Pilkada, pemilihan kepala desa, dsb (PERGERAKAN, JARI, ORI Sumatera), sampai pada inisiatif mengintensifkan pendidikan dan pengorganisasian politik (JARI, KARSA).
Berselang 1 bulan sejak pertemuan kecil tersebut, atau tepatnya pada tanggal 1 Nopember 2004, pertemuan lebih luas diselenggarakan di Sekretariat PERGERAKAN. Pertemuan dihadiri Dianto Bachriadi, Nuning (PERGERAKAN), Yando (KARSA), Asmara, Anton, Agung (Demos), Alex Irwan (TIFA), Lucky, Tita (ICW), Dadang Juliantara, Eri (Lapera), Lili Hasanudian (Yappika), Syaiful Bahari (KP3R) dan Suraya Afif (Walhi). Selaku tuan rumah sekaligus fasilitator pertemuan, saya mengarahkan pertemuan pada langkah lebih lanjut dari tema-tema pembahasan sebelumnya pada agenda tindakan bersama yang harus segera dilakukan. Maka dihasilkan beberapa agenda kongkrit, yaitu: (i) memformulasikan prinsip dasar dan internal governance partai politik rakyat (‘abc’ partai); (ii) penyelenggaraan lokalatih untuk organisasi atau aktor gerakan sosial yang telah nyata menjalankan kerja-kerja politik di tingkat lokal (baik yang berhubungan pengorganisasain atau pun terkait dengan pertarungan Pilkada Langsung putaran pertama 2005); (iii) melakukan assesmen untuk persiapan pendidikan kader politik bersama, membangun kelompok pendukung dan analisasi berkala terhadap geo-politik
Implementasi atas agenda tersebut mulai dilakukan secara pararel. PERGERAKAN sendiri sebagai organisasi yang bertanggungjawab pada upaya-upaya penguatan kapasitas politik gerakan sosial memulai dengan menyelenggarakan pertemuan nasional yang mengangkat tema “Penguatan Partisipasi Politik Kelompok Rakyat Marjinal melalui Pilkada Langsung”. Pertemuan nasional ini diselenggarakan pada tanggal 8-10 April 2005. Target yang hendak dicapai oleh pertemuan nasional ini antara lain: (1) terpetakannya berbagai inisiatif politik dari berbagai daerah dan lingkar gerakan sosial; (2) terumuskannya sejumlah strategi bersama untuk mendorong penguatan gerakan politik masyarakat sipil; (3) terbangunnya mekanisme kontrol dan belajar bersama bagi penguatan gerakan politik gerakan sosial. Lokakatih diikuti oleh sekurang-kurangnya 45 peserta dari berbagai organisasi di Indonesia, yaitu: Sudarno (Sekber ORI Sumut), Lely Zailani (Hapsari), Heru Wardoyo (LAJUSUAR-Binjai), Syahrianto (BITRA-Medan), Salim (PKBH Bengkulu), Ahmad Wali (Serikat Tani Bengkulu), Irmansyah (Perhimpunan Petani Muaro Jambi), Nawir (Jembatan Pemilu-Sumbar), Sosfi (Elayasa-Bukittinggi), Anggi (YLPMD-Lampung), Nanang (LPW Lampung), Agustiana (Serikat Petani Pasundan), Sastro (Federasi Serikat Buruh Karya Utama-Tanggerang), Iin Rohimin (KOMPI-Indramayu), Ririn (Gantipola-Solo), Agung (Persatuan Petani Mandiri Wonosobo), Abdul Rahman (Lakpesdam/KP3-Banyuwangi), Didik (KP3-Sumenep),I Nyoman Mardika (KP3 Bali) I Ketut Suartha (KP3 Bangli), Raden Agus (Perekat Ombara-Lombok), Marten Sinani (Serikat Petani Manggarai), Ahong (AMA RTM Skadau-Kalbar), Flor Sruyadarma (POR Pancurkasih-Kalbar), Akon (JBD-Kalbar), Aristan (Perhimpunan Rakyat Miskin Sulawesi Tengah), Hamzah (Serikat Rakyat Bulukumba-Sulsel), Andi, Fajri (WALHI), Sofian Asgart (DEMOS), Lucky, Iwuk (ICW), Ommy Kolin (KARSA), Willy (Perhimpunan Rakyat Pekerja), Sugiharto (YAPPIKA), Hadar Gumay (CETRO), Benjamin (LSPP), Nasir, Dadan (COMBINE), Bowo (Jaringan Radio Komunitas Indonesia), Jefry (KP3 Banten).
Capaian-capaian pertemuan nasional tersebut secara umum dapat dibagi ke dalam 5 hal. Pertama, capaian pada aspek orientasi, yaitu kesadaran bersama bahwa; (i) proses demokratisasi yang terjadi di Indonesia sedang diperebutkan oleh kepentingan-kepentingan neo-liberalisme dengan kepentingan transformasi kekuasaan rakyat; (ii) rangkaian Pilkada langsung merupakan salah satu arena uji coba saja untuk orientasi yang lebih panjang, yaitu transformasi kekuasaan politik ke tangan rakyat. Kedua, capaian rumusan agenda politik, yaitu pada proses Pilkada langsung, terpetakan bahwa momentum tersebut memberikan peluang-peluang bagi organiasi rakyat, yaitu upaya untuk “pengamanan” basis pengorganisasian, memasukkan agenda kerakyatan, uji coba soliditas pengorganisasian, perintisan bagi inisiatif pembentukan partai, dan perbaikan terhadap proses demokrasi melalui political tracking, monitoring, pemantauan, pendidikan pemilih dan advokasi (perubahan UU). Peluang-peluang tersebut kemudian mengkerucut menjadi 4 fokus agenda politik melalui momentum Pilkada (L), yaitu: (i) pengamanan basis pengorganisasian: Tasikamalaya (SPP), Bengkulu (STAB, SNeB), Manggarai (SPM); (ii) mendesakkan agenda kerakyatan: Sergei (Hapsari, SNM, Serbuk), Wonosobo (SPM), Lombok Barat (Perekat Ombara), Bulukumba (SRB), Palu (PRMST), , Jambi (PPMJ); (iii) uji coba kekuatan: Binjai (Lajusuar), Sergei (Bitra, Sekber ORI Sumut), Bengkulu (STAB, SneB), Tasikmalaya (SPP), Skadau (Pancurkasih, AMA), Manggarai (SPM), Denpasar (KP3), Bangli (KP3), Banyuwangi (Lakpesdam, KP3); (iv) memperkuat proses demokrasi: Solo (GANTIpola), Indramayu (KOMPI), Sumatera Barat (Jembatan Pemilu), Bukittinggi (Elayasa), Lampung (YLPMD, LPW), Combine, LSPP, JRK.
Ketiga, capaian rumusan strategi, yaitu harus dibangun saluran informasi dan komunikasi yang baik antara pengurus serikat dan basis massa rakyat agar terjadi kontrol timbal balik yang kuat; penyiapan kader yang kuat untuk menjadi katup pengaman bagi orgnaisasi dari ‘ancaman’ terseret-seret oleh konstelasi politik; pembangunan mekanisme kontrol melalui pembentukan Front Rakyat di setiap daerah; basis inti pengorganisasian harus menjadi fokus utama untuk diamankan dari intervensi pihak lain; keputusan untuk menentukan calon yang akan diperjuangkan harus melalui mekanisme pengambilan keputusan di organisasi rakyat; membuat pembagian kerja yang jelas antara organisasi dengan partai pendukung agar jelas klaim untuk kontrak politiknya; menempatkan kader-kader OR di setiap KPUD, PPK dan TPS; pendidikan politik kritis pada rakyat dan didukung oleh silabus pendidikan yang berorientasi jangka panjang. Keempat, kesepakatan mengenai pilihan wilayah uji coba bersama, yaitu: Serdang Bedagai (Sumut), Binjai (Sumut), Tasikmalaya (Jabar), Banyuwangi (Jatim), Skadau (Kalimantan) dan Manggarai (NTT) dan Bengkulu. Kelima, kesepakatan mengenai sistem pengelolaan dan pengawalan agenda bersama. Peserta bersepakat bahwa forum pada workhsop ini dijadikan bentuk Aliansi Politik. Melalui proses saling memperkuat, Aliansi Politik ini harus dapat mendorong diimplementasikannya 4 agenda fokus yang disepakati di seluruh daerah. Untuk mengelola berbagai agenda dan program bersama tersebut, peserta worskhop bersepakat menunjuk PERGERAKAN sebagai Sekretariat Bersama. Sebagai Sekretariat Bersama, PERGERAKAN memfasilitasi proses penguatan, perluasan dan konsolidasi agenda-agenda politik bersama.
Berbagai kerja politik dijalankan, baik pada level nasional (komunikasi politik, konsolidasi, penyediaan informai dan penggalangan sumberdaya) maupun di daerah-daerah. Dalam konteks agenda politik di Pilkada, berbagai kekuatan politik gerakan mulai dari serikat-serikat rakyat, lembaga-lembaga swadaya sampai pada individu-individu yang pro pada agenda politik gerakan. Untuk mengevaluasi kerja-kerja dan capaian agenda politik, PERGERAKAN kembali menggelar pertemuan refleksi pada tanggal 28-29 Juli 2005 di Bandung yang diikuti oleh peserta relatif sama dengan pertemuan nasional sebelumnya. Berdasrkan hasil pertemuan refleksi tersebut, diperoleh beberapa temuan, cacatan dan kesepakatan. Pertama, dari sekian wilayah yang menjadi area uji coba bersama, hanya satu wilayah yang berhasil menempatkan kandidatnya menjadi wakil bupati Serdang Bedage dan sisanya mengalami kegagalan. Hal ini kurang lebih menunjukan peta kekuatan pengorganisasian gerakan yang masih berorientasi pada kasus sehingga tidak mencapai skala politik yang dibutuhkan, kegagalan dalam mentransformasi relasi sosial-ekonomi antara aktor-aktor gerakan dengan basis massa rakyat menjadi relasi politik, minimnya kader-kader yang memiliki kapasitas politik yang dibutuhkan dan tidak dimilikinya alat politik sendiri sehingga agenda politik pada umumnya terjegal pada proses negosiasi dengan partai politik yang ada.
Kedua, disepakati untuk mentransformasi Aliansi Politik menjadi Front Politik yang diperlengkapi dengan dibentuknya Komite Politik. Komite ini beranggotakan: Sapei Rusin, M. Ridho Saleh, Syaiful Bahari, Willy Permanen, Aristan, Jopi dan Ilyas. Adapun tugas komite ini antara lain: (i) memfasilitasi proses komunikasi politik, (ii) mengumpulkan hasil assessment tentang kebutuhan membuat partai; (iii) mendinamisasi proses transformasi gerakan social; (iv) merumuskan langkah-langkah konsolidasi untuk unifikasi gerakan; (v) merumuskan ideology dan tujuan bersama yang mengusung agenda kerakyatan; (vi) melakukan kaderisasi politik; dan (vii) memperluas jaringan politik.
Pada perjalanan selanjutnya, dalam kurun waktu 2 tahun,saya bersama beberapa kawan dari Komite Politik ini intensif melakukan berbagai tugas yang dimandatkan. Mulai dari menyelenggarakan rangkaian pertemuan untuk merumuskan platform dan program politik bersama, memfasilitasi komunikasi politik antarelemen yang berinisiatif membangun partai politik (Walhi, Perserikatan Rakyat, PRP, Pergerakan Indonesia, AMAN) dan memfasilitasi proses pembangunan sekolah politik untuk kaderisasi politik bersama antarelemen gerakan. Dalam konteks inisiatif pembangunan partai politik, setiap inisiatif didorong untuk mengembangkan infrastruktur masing-masing sambil upaya komunikasi antar inisiatif terus dilakukan. Salah satu kesepakatan yang diperoleh dari pertemuan-pertemuan konsolidasi antar inisiatif pembangunan partai politik tersebu adalah bahwa inisiatif manapun yang terbukti memiliki infrastruktur politik paling siap dalam menghadapi momentum Pemilu 2009 maka inisiatif tersebut akan didukung secara bersama-sama.
Menghadapi tahapan pada momentum politik Pemilu 2009, pada perkembangannya dari sekian inisiatif tersebut yang menyatakan dirinya siap mendaftarkan diri untuk jadi peserta pemilu adalah Partai Perserikatan Rakyat (PPR). Walhi dan Pergerakan Indonesia menyatakan untuk menunda agenda pembangunan partai politik untuk momentum Pemilu 2014. Sementara PRP dan AMAN menyatakan dirinya untuk terlebih dahulu memperkuat basis dan struktur organiasi mereka masing-masing.
Atas dasar perkembangan konstelasi politik ini dan sejalan dengan kurang efektifnya kerja kolektif Komite Politik, saya bersama PERGERAKAN memfokuskan pada 3 agenda politik, yaitu: (i) memfasilitasi proses-proses pembangunan Partai Perserikatan Rakyat (PPR); (ii) menyelenggarakan rangkaian pendidikan politik untuk kader-kader organisasi rakyat; (iii) mendukung agenda-agenda politik organisasi rakyat di daerah-daerah. Dalam konteks pembangunan partai, PPR telah berhasil mendaftarkan dirinya ke Dephukham (termasuk dari 46 dari 106 partai yang berhasil memenuhi persyaratan pendafataran). Meskipun infrastruktur partai sudah terbangun di 21 propinsi, lebih dari 160 kabupaten dan lebih dari 1000 kecamatan, pada kernyataanya PPR tidak lolos verifikasi Dephukam untuk menjadi peserta Pemilu 2009.
Dalam konteks pendidikan politik yang berorientasi pada penyiapan political organizer dan pemimpin politik dari kalangan organisasi rakyat, PERGERAKAN telah melangsungkan putaran pendidikan politik di 15 propinsi dan 4 putaran di tingkat nasional. Berbagai kurikulum, materi dan kader-kader lulusan pendidikan tersebut dihasilkan. Capaian ini merupakan modal penting bagi agenda politik gerakan sosial di masa yang akan datang. Sementara itu, dinamika agenda politik organisasi rakyat di berbagai tempat sangat kompleks untuk digambarkan satu persatu. Tetapi secara umum dapat saya katakan bahwa terjadi penguatan pengaruh dan kerja politik baik dalam kaitannya dengan momentum politik tertentu maupun dalam praktek politik sehari-hari. Perkembangan ini kurang lebih menunjukan ada pergeseran fokus kerja yang tadinya semata-mata penangan kasus pada kerja-kerja politik yang lebih luas.
Beberapa Catatan
Meskipun apa yang saya gambarkan diatas hanya mewakili sebagai kecil dari keseluruhan dinamika gerakan sosial di Indonesia, bahkan dari apa yang saya alami sendiri, setidak-tidaknya ada beberapa catatan kritis yang dapat dijadikan pelajaran, antara lain:
(1) Konsolidasi politik kekuatan status quo telah terbukti berhasil melanggengkan posisi dan dominasinya dalam berbagai relasi politik, ekonomi dan sosial hingga saat ini. Bukti yang cukup kuat adalah dari data penguasaan mereka dalam posisi-posisi kekuasaan mulai dari tingkat pusat sampai daerah.
(2) Kekuatan gerakan rakyat tidak kunjung terkonsolidasi ke dalam agenda politik persatuan. Hal ini lebih banyak disebabkan oleh persoalan psikologis dan kontestansi antar personal di kalangan gerakan sendiri ketimbang tajamnya perbedaan-perbedaan yang lebih bersifat ideologis. Selain itu, konsistensi dalam menjalankan agenda yang telah disepakati sangat lemah. Seringkali dari pertemuan ke pertemuan hanya berputar pada persoalan dan agenda yang sama.
(3) Praktek politik elit juga sangat kental ditemukan. Secara umum basis massa rakyat masih ditempatkan sebagai objek mobilisasi politik bukan sebagai pihak penentu arah, agenda dan strategi politik. Dalam konteks ini, pejuangan politik rakyat rakyat terorganisir seharusnya menjadi karakter utama perjuangan politik gerakan sosial di Indonesia.
(4) Dalam menghadapi tantangan dalam medan pertarungan politik, menempatan setiap organisasi gerakan sosial pada sumbu horizontal dan vertikal konsolidasi pembangunan kekuatan politik rakyat. Oleh karena itu, harus diperkuat agenda-agenda untuk memastikan agar organisasi rakyat :
- Membangun kekuatan politiknya dengan indikasi: memiliki platform organisasi yang jelas (agenda perubahan sosial yang jelas dan terumuskan serta disepakati bersama), memiliki basis massa (konstituen) yang jelas dan makin membesar serta menguat, memiliki protokol yang jelas dalam membangun relasi dan jaringan kerja politik, memiliki sistem kaderisasi dan kepemimpinan yang sistematik, mengembangkan diri sebagai organisasi pembelajaran sosial (social learning organization); dan
- Memperbesar pengaruh dan dampak politik rakyat dengan indikasi sejauhmana pememerintahan secara efektif menjalankan kebijakan-kebijakan baru sesuai dengan apa yang diperjuangkan organisasi-organisasi rakyat dan lebih jauh dari itu terjadi perubahan struktur kekuasaan yang semula dihegemoni kekuatan status quo bergeser pada kekuatan-kekuatan yang pro pada perjuangan rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar