10 Okt 2011

Kontradiksi dalam Kasus Gizi Buruk

When I Gave Food to the Poor, They Called Me A Saint...
When I Asked Why the Poor Have No Food, They Called Me A Communist... (Don Helmer Camara)
M. Nawir
(Bahan Diskusi Publik Tribun Timur, JRMK- KPRM, 10 Oktober 2011)
Kekurangan Energi Protein (KEP) yang diukur dari prevalensi penderita gizi buruk dan gizi kurang ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) berdasarkan Instruksi Menteri Kesehatan No. 1290/Menkes/X/1998 tanggal 19 Oktober 1998. Apabila ditemukan 1 kasus saja, maka dalam 1 x 24 jam bagi siapa pun yang menemukannya harus segera melaporkan kejadian tersebut untuk dirawat. Itulah sebabnya, liputan pers atas kasus gizi buruk dan busung lapar, apalagi mengakibatkan kematian, selalu membuat pemerintah bagaikan ditampar mukanya. Demikian halnya publik, sangat antusias membicarakan kasus tersebut dari sudut pandang dan kepentingannya. Misalnya, demo puluhan mahasiswa yang menamakan diri Aliansi Mahasiwa Pinrang menuntut pertanggungjawaban bupati dalam kasus gizi buruk (busung lapar) lantaran kabupaten Pinrang dikenal sebagai penghasil beras (BKM, 12 Maret 2008). Dengan kata lain, itulah kejadian luar biasa.
Belum hilang dari ingatan publik tentang kematian ibu hamil Daeng Basse dan anaknya yang disebabkan gizi buruk dan busung lapar tiga tahun lalu, bulan ini pers memberitakan lagi enam balita penderita gizi buruk meninggal di Rumah Sakit milik pemerintah. Lagi-lagi kejadian ini membuat pemerintah daerah bagaikan tersingkap aibnya (Siri'). Gubernur menegur kepala-kepala dinas dan walikota; anggota dewan mewarning walikota, lalu walikota memarahi camat, lurah, sampai ke RT/RW dan kader-kader Posyandu. Terjadi semacam "kemarahan top down". Pada akhirnya, kader-kader Posyandu memarahi ibu-ibu yang malas menjaga kesehatan anaknya. Sampai di situ, publik bertanya-tanya "apa dan siapa akar masalah gizi buruk ini?".
Para ahli kesehatan masyarakat, gizi dan pangan sudah lama mengingatkan bahwa masalah gizi buruk berkaitan langsung dengan kondisi kemiskinan, meskipun ada juga warga yang mampu secara ekonomi, balitanya bergizi buruk atau kurang. Kondisi kemiskinan bertalian dengan pendapatan rumah tangga, ketersedian pangan, akses pada layanan kesehatan dasar, dan tingkat pendidikan. Semua asumsi itu dijadikan dasar untuk mengembangkan kebijakan subsidi atau penggratisan layanan kesehatan, pendidikan, serta pemberian modal kerja. Namun, kebijakan populis itu belum juga memecahkan masalah gizi buruk. 
Prevalensi Gizi Buruk di Sulsel
Tahun
Jumlah Kasus
Meninggal
2005
413
18
2006
178
17
2007
74
?
2008
95
10
2009
57
?
2010
150
9
2011 (okt)
238
12
(diolah dari berbagai sumber)
Pada periode 2004–2009, prevalensi gizi buruk di Sulawesi Selatan menurun. Penurunan tertinggi pada tahun 2006 (1,32), dimana pada tahun 2004 prevalensi gizi buruk masih sebesar 8,53 dan pada 2005 naik menjadi 8,60. Setelah tahun 2006, prevalensi gizi buruk bertahan pada angka cukup rendah yakni 1,89 (2007), dan 1,80 pada tahun 2008 dan 2009. Prevalensi gizi kurang memiliki kecenderungan yang sama dengan prevalensi gizi buruk selama 2004-2009. Nilai terendah tercapai pada tahun 2006 yakni 13,37, turun dari 18,35 (2005) dan 19,62 (2004). Pada tahun 2007 nilai ini bertahan yakni 14,74, dan tahun 2008 dan 2009 sebesar 14,50 (Sumber: Laporan EKPD Propinsi Sulsel, Unhas 2010).
Dalam Laporan EKPD (Evaluasi Kinerja Pemerintahan Daerah) disebutkan bahwa penurunan prevalensi gizi buruk/kurang tahun 2006 berkaitan dengan situasi perekonomian di Sulsel. Pertumbuhan ekonomi naik dari 5,20% (2005) menjadi 6,72% (2006), angka pengangguran turun dari 18,69% (2005) menjadi 14,57% (2006), serta jumlah penduduk miskin juga berkurang dari 14,98% (2005) menjadi 14,57% (2006). Ini merupakan faktor yang bisa dilihat sebagai penyebab membaiknya kondisi gizi masyarakat, dalam arti kemampuan mereka mengakses pangan mengalami perbaikan. Apalagi pada tahun 2006, produksi pangan di Sulawesi Selatan seperti beras dan jagung, juga mengalami kenaikan.
Dari sisi lain, pada tahun 2006 jumlah tenaga kesehatan mengalami peningkatan, yakni 0,0016/ penduduk, dimana angka ini mengalami perbaikan dari 0,0015/penduduk (2005) dan 0,0012/penduduk (2004). Dengan perbaikan pada jumlah tenaga kesehatan dapat diekspektasi bahwa layanan kesehatan juga mengalami perbaikan, termasuk kesehatan bayi dan rumah tangga miskin secara umum melalui revitalisasi peranan posyandu, yang dengan itu gizi buruk dan gizi kurang dapat dideteksi dan ditangani.
Nampaknya, cara pandang yang digunakan laporan di atas tidak relevan lagi dengan kondisi gizi buruk akhir-akhir ini. Penurunan prevalensi gizi buruk tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan, ketersediaan lapangan kerja, dan jumlah tenaga serta fasilitas kesehatan dasar. Tiga tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Sulsel diklaim 7-8%, surplus beras rata-rata 2 ton pertahun. Penambahan jumlah tenaga dan fasilitas kesehatan, dan anggaran kesehatan sekitar 500 milyar. Berbanding terbalik dengan prevalensi  gizi buruk Sulsel sekitar 8 %, dan gizi kurang sekitar 18 % (sumber: Aminuddin Syam dalam Diskusi Publik Harian Tribun Timur, 10 Oktober 2011).
Demikian halnya di Makassar, untuk mendukung pencapaian program subsidi kesehatan (gratis), pemerintah kota telah menyediakan 38 unit Puskesmas, 962 unit Posyandu, dan mengalokasikan dana 459 juta dari APBD 2010/2011 untuk pencegahan gizi buruk. Meski pun prevalensi kasus gizi buruk terus menurun sampai tahun 2009, faktanya semakin tinggi keluhan masyarakat (miskin) terhadap pelayanan kesehatan dasar, terutama di Rumah Sakit Umum. Ada image buruk tentang petugas kesehatan yang menyepelekan pengguna jamkesmas (yang gratis) dibandingkan dengan pengguna layanan umum (yang bayar). Padahal sebenarnya sama-sama bayar. Mentalitas aparat seperti ini tidak akan mendukung pencapaian penurunan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang hingga nol sekian persen, dan karena itu jargon Makassar Kota Sehat, semakin jauh dari kenyataan.

Jumlah Gizi Buruk/Kurang di Kota Makassar
No
Kecamatan
Gizi Buruk
Gizi Kurang
Jumlah
%
Jumlah
%
1
Mariso
92
1,87
590
11,98
2
Mamajang
15
0,50
314
10,52
3
Tamalate
686
7,66
2300
25,67
4
Rappocini
91
0,03
423
14,68
5
Makassar
48
0,95
381
7,53
6
Ujungpandang
9
0,68
143
10,75
7
Wajo
33
1,88
193
10,99
8
Bontoala
230
13,99
374
22,76
9
Ujung Tanah
74
2,30
436
13,55
10
Tallo
351
3,04
1136
9,84
11
Panakkukang
310
4,63
1420
21,10
12
Manggala
103
2,17
780
16,42
13
Biringkanaya
55
0,99
1283
23,24
14
Tamalanrea
21
0,51
261
6,37

2009
2.118
3,25
10.034
15,35

2008
2.410
3,32
11.511
15,85

2007
2.021
3,44
9.485
16,15

2006
2.107
3,92
8.820
16,41
Sumber: Makassar dalam Angka, BPS 2010 

Dua tahun terakhir ini (2010 dan 2011), jumlah kasus gizi buruk di Sulsel mengalami peningkatan tiga sampai empat kali dari tahun 2009. Sampai Oktober 2011, jumlah kasus gizi buruk yang dirilis Dinas Kesehatan Provinsi sebanyak 238 kasus (Kompas, 05/10/2011). Kasus yang paling banyak dirilis koran terjadi di kota Makassar, sekitar 30 pemberitaan tiga tahun terakhir. Angka ini menurut berbagai ahli yang juga diakui Kadis Kesehatan Kota Makassar masih berupa puncak gunung es. Artinya, kasus gizi kurang, cepat atau lambat akan berubah status menjadi gizi buruk dan busung lapar, yang sewaktu-waktu bisa muncul mengejutkan. Dan, anehnya lagi, pemerintah tidak bisa memprediksi kapan prevelensinya mejadi nol koma sekian persen. Target-target yang ditentukan sangat minimalis. Hal ini yang menguatkan spekulasi bahwa angka kemiskinan, gizi buruk dan gizi kurang sudah menjadi komoditi politik, terkesan dipelihara untuk melanggengkan kekuasaan.
Publik kembali bertanya-tanya, "masih bisa kah gizi buruk diatasi dengan sistim kesehatan yang berlaku saat ini? Dengan cara apa lagi masalah gizi buruk ini dapat diatasi?” Kedua pertanyaan ini bernada frustasi. Pemerintah dan aparat dinas kesehatan merasa sudah sangat maksimal memberikan pelayanan dan perawatan kepada korban dari posyandu sampai ke rumah sakit. Pada akhirnya, mereka tetap berkesimpulan bahwa pemecahan masalah gizi buruk terletak pada perilaku orang tua (ibu) yang malas, tidak mau berubah, sudah diatur, dan tidak peduli pada perbaikan kualitas yang kesehatan anaknya. Penilaian seperti inilah sangat karakter khas birokrasi pelayanan publik di Indonesia, yang akan memperuncing perdebatan tentang akar masalah gizi buruk dan busung lapar.  
Kondisi Faktual dan Tanggapan Para Pihak
(Diolah dari Berita Koran 2008-2011)

Kesehatan (Fisik)
Keluarga (Ortu)
Tanggapan
Pel/Per
  • Sakit sejak lahir
  • Kurus
  • Kulit keriput
  • Perut buncit
  • Berat badan rendah
  • Sesak nafas
  • Batuk
  • Demam
  • Kejang-kejang
  • Infeksi paru
  • Gangguan hati (lever)
  • Hepatitis
  • Mencret (diare)
  • Berak darah
  • Malas makan dan minum ASI
  • Susah buang air
  • Urban (pendatang)
  • Menetap
  • Punya askeskin
  • Tidak dapat BLT
  • Tidak pnya KTP
  • Rumah keluarga (ortu)
  • Rumah sewa
  • Rumah gubuk
  • Belakang perumahan
  • Lorong pemukiman padat
  • Dekat kuburan
  • Tidak menetap
  • Buruh bangunan
  • Tukang becak
  • Pengemis
  • Petani
  • Buruh pasar
  • Buruh kontrak
  • Menjual bunga
  • Mantan satpol PP
  • Pemulung
  • Tak cukup biaya pengobatan
  • Menunggak bayar listrik dan air

Pejabat Dinkes/Dokter
  • Gizi kurang
  • Sakit bawaan
  • Tidak terdata
Petugas kesehatan
  • Kurang perhatian orang tua untuk memeriksakan anaknya
  • Selalu berpindah tempat
Lurah/Camat
  • Tidak mengetahui persis
  • penderita gizi buruk kebanyakan berasal dari pemukiman warga kurang sehat
  • kurangnya perhatian orangtua
Anggota dewan
  • peringatan penting (warning) bagi pemkot
  • Dana talangan antisipasi gizi buruk
  • Tanggung jawab dinas kesehatan, Camat/Lurah dan RT/RW
  • Perilaku ortu tidak peduli kesehatan dan makanan anak
  • Sakit parah baru dibawa ke rumah sakit
Walikota:
  • Gizi buruk akibat menderita penyakit
  • Warning kepada RT/RW
  • RT/RW diberi insentif mengawasi pendatang
  • Semua korban diberi santunan
  • Pelajaran berharga
Dinkes Propinsi
  • Masalah kompleks, terkait penyakit dan ketersediaan pangan
  • 27,2 % ortu tidak memeriksakan anak di posyandu
  • Anggaran dari provinsi dan kabupaten/kota belum maksimal
  • Pengobatan hanya melalui dana program gratis
Gubernur:
  • Bukan hanya medis, pola hidup masyarakat yang tidak sehat
LSM/Ormas
  • Penggalangan koin
  • Iklan layanan
Pelayanan
  • Puskesmas
  • Rumah sakit
  • Rawat sendiri
  • Dukun
  • Mantri
Perawatan
  • Diberi vitamin
  • Minum susu
  • Makan bubur
  • Makan biskuit
  • Diinfus (cairan)
  • Ditimbang
Berkaitan dengan solusi praktis mengatasi masalah gizi buruk, sejauh yang bisa diukur dari tanggapan publik dalam berbagai diskusi maupun dalam pemberitaan pers, ada tiga hal yang dianggap penting ditindaklanjuti oleh para pihak (pemerintah dan masyarakat): (1) Perbaikan sistim pencatatan/pendataan dan pelaporan kesehatan yang berkaitan dengan gizi buruk/kurang; (2) Prioritas pendekatan pada pencegahan dengan membangun sistim kesehatan berbasis komunitas; (3) Perbaikan kualitas pelayanan kesehatan (quality of care), di samping kuantitasnya, serta ketersediaan anggaran, termasuk dana darurat (talangan). 
Namun, ketiga hal tersebut masih saja dianggap tidak sepadan dengan sifat keluarbiasaan kasus-kasus gizi buruk dan busung lapar. Kebanyakan petugas dan pejabat pelayanan kesehatan tidak menyadari (innocent) mengenai hal tersebut, atau tidak ingin mengubah perilakunya, tetapi sebaliknya menuntut masyarakat lah yang harus mengubah perilakunya. Oleh karena itu, dipandang perlu mengadvokasi perubahan mentalitas petugas kesehatan dan aparat birokrasi pelayanan publik. Misalnya, apa konsekuensi yang harus diterima oleh aparat maupun pejabat yang dinilai gagal melaksanakan peraturan perundang-undangan. Bukankah kasus gizi buruk dan busung lapar merupakan Kejadian Luar Biasa? Dan karena itu kelalaian aparat dan pejabat mengatasi hal ini tidak saja melanggar ketentuan perundang-undangan, lebih dari itu adalah pelanggaran Konstitusi dan Konvensi Hak Ekosob. 

1 komentar:

ANTHY mengatakan...

saya sangat suka dengan ulasannya mengenai gizi buruk di MKS,
saya berharap akan ada lagi tulisan seperti ini yang dapat mengkaji lebih mendalam lagi mengenai bagaimanakah pelaporan kasus gizi buruk di MKS hingga ke tingkat pusat atau ke WHO, karena saya pernah membaca laporan WHO 2010 yang menunjukkan rendahnya kasus gizi buruk di indonesia, bahkan ada laporan yang saya baca (online) yg mengindikaikan tidak adanya kasus gizi buruk di mks beberapa tahun terakhir (kalau tidak salah laporan nasional),
Dan menanggapi tanggapan dari beberapa stakeholders, mereka semua seolah-olah buang handuk, dan kesannya tidak tau apa2, dan menyalahkan masyarakat, padahal seharusnya mereka lah para pembuat kebijakan yang harus segera bertindak dan tau jelas program2 penanganan gizi buruk dan sejauh mana keberhasilannya -_____-

Posting Komentar