16 Okt 2011

Hari Habitat 2011: Another Possible World

https://www.un.org/en/observances/habitat-day
Kampanye Hari Habitat Dunia 2011 direspon oleh pemerintah Indonesia dengan menggelar acara Peringatan Hari Habitat Dunia dan Tata Ruang Nasional yang dipusatkan di anjungan Losari Makassar. Menarik untuk mengapresiasi acara ini, andai kita bisa mendiskusikan fokus isunya: tata ruang. Sayang, acara nasional maupun internasional yang difasilitasi pemerintah selalu terbatas pada seremoni. Acara ini menjadi terpisah dari opini publik penghuni ruang, dalam pengertian refleksi atas model pengembangan tata ruang wilayah di Sulsel dan kota Makassar berkaitan dengan dampak perubahan iklim, semisal potensi bencana sosial maupun bencana alam. Jadi sudah betul acara itu milik pemerintah. Akhirnya menjadi ironis, ketika media massa mengungkap heboh perbedaan kepentingan, saling klaim antar-aparat pemerntah terhadap acara tersebut.

Bagi penulis, publik perlu mengapresiasi aspek tematik Hari Habitat Dunia sebagaimana yang dirilis setiap tahun oleh organ-organ PBB. Dari refleksi mereka, publik bisa membaca dengan benar situasi kota dunia dewasa ini dan di masa datang. Referensi aslinya dapat dilacak di website UN-Habitat and UN-ISDR, serta situs organisasi jaringannya.

Ada dua agenda penting PBB pada setiap bulan oktober: World Habitat Day (WHD) atau "Hari Habitat", dan World Disaster Risk Reduction Day (WDRR) atau "Hari Pengurangan Resiko Bencana". Perayaan WHD dikordinasi oleh UN-Habitat, badan PBB urusan hak atas pemukiman dan perumahan pada setiap minggu pertama bulan oktober. Sedangkan WDRR dikordinasi oleh UN-ISDR, badan PBB urusan bencana, yang menggalang kampanye pengurangan resiko bencana pada setiap minggu kedua oktober. Kedua agenda PBB ini sesungguhnya merefleksi sekaligus mengevaluasi dampak pembagunan dunia yang senantiasa dibayang-bayangi kemiskinan, krisis pangan, dan kerusakan sumberdaya agraria akibat perubahan iklim. Dalam tulisan ini, kedua agenda tersebut diulas keterkaitan dan kontekstualitasnya berdasarkan rilis PBB dan organisasi mitranya seperti HIC (Habitat for International Coalition), SELVIP, dan LOCOA, yang tergabung dalam The Liaison Committee (semacam komite penghubung).

UN Habitat merilis tema sentral "Resistensi dan Alternatif Hak atas Habitat" (Resistance and Alternatives for the Right to Habitat, lihat http://worldhabitatdays.org). Tahun ini UN Habitat menggalang aksi dan kampanye global dengan dua isu strategis, yakni: (1) Sebab dan akibat dari penggusuran paksa (forced eviction), perampasan tanah (land grabbing), serta pemiskinan masyarakat pedesaan dan perkotaan berkaitan dengan konflik habitat, dan; (2) Solidaritas untuk para aktivis yang memperjuangkan hak atas atas tempat tinggal (habitat), yang menjadi korban oleh represi dan pelanggaran hak-hak sipil dan politik. Lebih khusus, kampanye tersebut bertujuan mengidentifikasi dan mengembangkan kapasitas jaringan dan organisasi yang bekerja pada isu-isu habitat kota menuju dunia yang lebih baik (another possible world).

Materi kampanye tahun ini merupakan hasil analisis atas konsekuensi kebijakan neoliberal dan korupsi sistemik yang memiskinkan kelas masyarakat yang paling rentan secara ekonomi maupun sosial di pedesaan maupun perkotaan. Kampanye ini juga menyiratkan perlunya penguatan solidaritas antara gerakan dan jaringan, serta para aktivis rakyat yang menjadi korban represi aparat ketika memperjuangkan hak atas perumahan dan tanah tempat tinggal.

Penggusuran pemukiman diidentifikasi sebagai prioritas masalah bersama, sehingga perlu mengkoordinasikan perlawanan nyata terhadap hal tersebut. Penggusuran yang paling umum adalah pelanggaran atau perampasan hak atas tanah. Berbagai kasus menunjukkan bahwa penggusuran merupakan dampak dari kebijakan yang spekulatif, misalnya pasar (bebas) tanah, dan proyek-proyek mercusuar (mega-project) yang padat modal, yang bias perkotaan. Model pembangunan yang tidak mempertimbangkan HAM ini telah mengorbankan penduduk yang paling rentan (miskin), petani kecil dan masyarakat adat yang menguasai lahan. Laporan lainya menyoroti konflik sosial yang diciptakan oleh perluasan sistim mono-kulltur dan privatisasi sumberdaya air, termasuk pengembangan proyek pembangkit listrik tenaga air di daerah pedesaan dengan mengorbankan budaya pertanian yang sekian lama menjamin kedaulatan pangan masyarakat agraris.

Diperkirakan 15 juta orang tergusur dari tanah tempat tinggalnya setiap tahun, yang disebabkan proyek-proyek mercusuar, bencana dan perang (lih. http://www.witness.org). HIC-HLRN (Housing and Land Right Network (http://www.hlrn.org/english/home.asp) tahun 2008-2010) melaporkan empat tipe konflik hak atas habitat, yakni penggusuran (600 kasus), pengrusakan (demolition, 366 kasus), perampasan hak milik (disposession, 333 kasus), dan deprivasi yang dipicu oleh privatisasi perumahan, tanah dan pelayanan publik (46 kasus). Di Indonesia, dalam tiga tahun terakhir sedikitnya 1.061.566 orang menjadi korban pembangunan ala neoliberalisme dan rezim korupsi.

Pada Perayaan Hari Habitat Dunia (World Habitat Day 2011), UN-Habitat memilih tema “Kota dan Perubahan Iklim” (Cities and Climate Change). Sedangkan UN-ISDR sampai 2015 mengkampanyekan ketahanan kota (city resiliency) dan terus menghimbau pemerintah kota di seluruh dunia untuk mengurangi resiko bencana akibat perubahan iklim. Dalam siaran persnya, UN Habitat menegaskan bahwa saat ini tidak ada pihak yang benar-benar bisa meramalkan masa depan sebuah kota atau negara dalam waktu 10, 20 atau 30 tahun dari dampak perubahan iklim. Di Era Kota Baru (new urban era), dimana sebagian besar umat manusia sekarang tinggal di wilayah perkotaan, dampak terbesar dari bencana akibat perubahan iklim dimulai dan diakhiri di kota-kota. Pertumbuhan kota sangat berpengaruh besar pada perubahan iklim. Sementara sifat spekulatif kota dan keterbatasan sumberdaya daerah perkotaan tiidak cukup untuk mengatasi masalahnya sendiri.

Bias dari kebijakan pembangunan perkotaan berakar pada level pemerintahan tertinggi dan para petinggi perusahaan (kapitalis). Keduanya terus mereplikasi kebijakan agraria (pertanahan) yang tidak adil, yang kemudian mengabadikan pelanggaran hak atas tanah penduduk pedesaan dari masa ke masa. The Liaison Committee WHD, yakni organisasi masyarakat sipil sebagai Pelapor Khusus tentang Hak atas Perumahan untuk PBB, juga menegaskan bahwa tidak ada solusi tunggal yang dinilai berhasil mengatasi pengaruh perubahan iklim dengan cara memindahkan model pembangunan kota ke desa. Kenyataannya, bias perkotaan berakibat pada pengrusakan habitat atas nama perubahan iklim, yang mengorbankan penduduk pedesaan. Dengan krisis keuangan global dewasa ini, semua proses itu akan mengakselerasi konflik sosial, lapangan kerja dan peperangan. Oleh karena itu, tuntutan alternatif yang mendesak hari ini dan akan datang adalah dengan segera mengintegrasikan/mempertimbangkan persoalan tersebut dalam rangka mencegah pelanggaran hak dasar atas tanah dan tempat tinggal, menjamin keadilan sosial dan lingkungan hidup untuk berkontribusi bagi pembangunan dunia yang lebih baik (anoher possible world).

Makassar, 16 Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar