Dunia dalam krisis global. "Sedang tidak baik-baik saja", begitu bunyi salah satu poster aktivis anti-kapitalisme dalam aksi May Day 2010 di Makassar. Sejak bursa saham Wallstreet di AS anjlok dua tahun lalu, krisis ekonomi dan politik menjalar ke belahan dunia lain. Perancis, Inggris, Italia, tidak luput dari goncangan krisis keuangan. Dan, tahun ini, krisis politik di Timur Tengah telah menumbangkan rezim-rezim oligarkis yang renta. Bagai dua sisi mata uang, bencana ekologis pun mengiringi krisis ekopol itu. Bencana alam dan kerusakan SDA menyadarkan kita pada bahaya kapitalisme. Sejak gempa dan tsunami Aceh, China, Haiti sampai kebocoran reaktor nuklir Jepang akibat gempa dan tsunami, para pendukung neoliberalisme semakin tersudut.
Keruntuhan rezim globalisasi sudah di depan mata. Kapitalisme sudah menjadi ideologi yang menyesatkan. Resep pasar bebas dan privatisasi yang sekian lama diagung-agungkan Bank Dunia dan IMF, AS dan sekutunya gagal mengatasi krisis peradaban ini. Sebaliknya, masyarakat dunia dihantui bencana ekologis, perubahan iklim, krisis pangan, dan kemiskinan permanen. Don K. Marut (2008), Direktur Eksekutif INFID dalam tulisan berikut ini menyebut fenomena
itu sebagai krisis dan bencana kapitalisme. Suatu analisis komprehensif-kritis tentang cara kerja perusahaan-perusahaan transnasional (MNC's) dan para kompradornya yang sukses mengeksploitasi SDA negara-negara berkembang. Kita pun terkesima dibuatnya bahwa dibalik perang dan bencana, di situ ada duet maut kapitalisme dan militerisme.
Lebih jauh tentang Don K. Marut silahkan klik http://www.trunity.net/infidjakarta/topics/view/55556/ dan http://facebook.com/don.marut.
Lebih jauh tentang Don K. Marut silahkan klik http://www.trunity.net/infidjakarta/topics/view/55556/ dan http://facebook.com/don.marut.
KAPITALISME BENCANA DAN BENCANA KAPITALISME1
Don K. Marut2
Salah satu penyebabnya adalah supply bahan dasar pembuatan produk informatika dan telekomunikasi tersebut, yakni coltan (columbite-tantalite), mengalami penurunan drastis. Hal ini terjadi karena kekacauan dan konflik politik yang terjadi di Congo (dulunya bernama Zaire), sebagai negara penghasil 80% coltan dunia.3 Karena itu Congo mempunyai arti yang strategis bagi perusahaan-perusahaan tambang dunia, termasuk militer AS, sama strategisnya dengan Teluk Persia (dimana Irak berada). Congo juga kaya akan emas, tembaga, diamond, alumunium, uranium, cobalt, cadmium dan produk hutan. Negara-negara tetangga Congo seperti Uganda, Rwanda dan Burundi yang miskin kekayaan alam juga tertarik masuk Congo dan telah berulangkali mencari celah untuk mengambil-alih kekayaan di negara tersebut.
Kekacauan, konflik dan pembunuhan massal di Congo sudah memakan korban lebih dari 4 juta jiwa sejak 1996. Tentara Rwanda (Tutsi) dan Uganda yang menyerbu masuk Congo didukung sepenuhnya (baik langsung maupun tidak langsung) oleh negara-negara maju seperti Amerika, Jepang dan Canada. Perusahaan-perusahaan tambang besar seperti AMF (American Mineral Fields), Bechtel Corporation, Haliburton dan Barrick Gold Canada menjadi pemain utama dalam mengeruk kekayaan di Congo tersebut, yang juga melibatkan tokoh-tokoh politik tingkat tinggi di Washington seperti Mantan Menlu AS George Schultz dan mantan Menteri Pertahanan Casper Weinberger.
Yang menarik dan aneh adalah Bank Dunia dan IMF dalam laporannya tahun 2002 memuji keberhasilan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Uganda dan Rwanda seolah-olah pertumbuhan ekonomi di kedua negara tersebut naik karena mengikuti resep-resep kebijakan dari kedua lembaga tersebut, tanpa melihat fakta bahwa sejak tahun 1996 kedua negara tersebut sudah terlibat perampokan Coltan, emas, diamonds dan berbagai sumberdaya alam lain di Congo, dan mendapatkan pendapatan dari ekspor hasil curian tersebut karena kedua negara tersebut tidak memiliki coltan, emas dan diamond. Laporan kedua lembaga tersebut seolah-olah menjustifikasi tindakan perampokan yang dilakukan Uganda dan Rwanda di Congo, yang didukung oleh negara-negara maju dan perusahaan-perusahaan global.
Perang dan konflik horisontal antar-warga merupakan bencana kemanusiaan yang tidak putus-putusnya. Sementara bencana dipandang membawa risiko dan membuat masyarakat rentan terhadap kelangsungan hidupnya, pihak tertentu bahkan melihat bencana (entah bencana kemanusiaan ataupun bencana alam) sebagai peluang tidak hanya untuk mendapatkan keuntungan sesaat, tetapi juga untuk membangun fondasi ideologis untuk keuntungan jangka panjang. Itulah salah satu fondasi dasar ideologi neoliberalisme: krisis atau bencana.
Bencana Kapitalisme dan Bisnis Transnasional
Bencana Katrina di Louissiana, Amerika Serikat, adalah salah satu contoh terburuk dari proses recovery yang tidak selesai-selesai, padahal dibandingkan dengan dana yang mengucur di daerah-daerah yang terkena tsunami tahun 2004, dana yang telah dikucurkan di Louissiana tersebut jauh lebih besar. Penanganan bencana Katrina merupakan salah satu wujud nyata dari bagaimana bencana dipakai sebagai moment untuk mengurangi peranan negara dan membiarkan kekuatan pasar yang menjadi pemain utama, dan sekaligus moment untuk mengubah landscape sosial-ekonomi dari sistem sosial-ekonomi berbasis komunitas dan dikendalikan secara publik (negara) menjadi sistem sosial-ekonomi pasar bebas.
Seorang walikota di Louissiana, ketika mengikuti pertemuan di Washington, berkampanye bahwa “ini saatnya bagi anda sekalian untuk menjadi bagian dari rekonstruksi Louissiana. Hotel yang ada, tingkat huniannya di bawah lima puluh persen, dan tidak akan bertahan. Ini saatnya untuk membeli property yang murah, dan dengan perbaikan sedikit nilainya akan membubung”. Kampanyenya ini dengan jelas menunjukkan bahwa bencana alam telah menurunkan harga property, dan itu menjadi saat yang tepat untuk para pebisnis untuk mengambil alih bisnis lokal untuk keuntungan jangka panjang.
Setelah menguasasi Iraq, langkah pertama yang dilakukan oleh pemerintah baru Iraq yang didampingi para penasihat ahli Amerika Serikat adalah memprivatisasi listrik dan pertambangan minyak. Ada ratusan pembangkit listrik yang semula dikuasasi negara dijual ke swasta. Demikian pun usaha pertambangan minyak yang semula dikuasai negara, segera berubah menjadi milik perusahaan-perusahaan transnasional yang kebanyakan berasal dari Amerika Serikat. Rakyat Iraq sedang hidup dalam kepanikan dan berusaha untuk bertahan hidup dan tidak sedikitpun memberikan perhatian kepada apa yang dikerjakan oleh pemerintahnya bersama konsultan-konsultan internasional. Di dalam situasi krisis seperti itu harga pembangkit listrik dan sumber-sumber minyak sangat murah, dan menjadi kesempatan yang tepat bagi perusahaan-perusahaan transnasional untuk mengambil alih kepemilikan dan meraup keuntungan.
Di Sri Lanka, penduduk kawasan pesisir yang terkena tsunami tidak diizinkan untuk menempati kembali lahan-lahan lamanya di sekitar pesisir, dengan alasan resmi untuk menghindari bencana tsunami berikutnya. Kawasan pantai pun dipagari. Tetapi bersamaan dengan itu, kawasan pantai yang sama telah diubah menjadi kawasan perhotelan dan resort untuk pariwisata milik swasta nasional dan internasional, yang mendapatkan lahan tanpa harus membeli dari penduduk lokal yang sudah dipindahkan ke tempat lain yang jauh dari pantai tersebut
Setelah kebakaran besar bulan Agustus 2007 lalu di Yunani, kawasan hutan yang terbakar yang sebelumnya menjadi kawansan lindung, hendak diubah menjadi kawasan pariwisata dan resort dan golf.4 Kawasan ini sudah lama diincar para developer besar nasional dan internasional, dan bencana kebakaran menjadi saat yang tepat untuk mengambil alih kawasan lindung tersebut menjadi kawasan ekonomi untuk meraup keuntungan.
Di Nigeria dan Brazil, penduduk lokal disingkirkan oleh perusahaan-perusahaan transnasional untuk mengambil alih tanah untuk tambang atau untuk corporate farming dengan mengunakan bibit GMO.5 Di Brazil seorang tokoh Via Campesina dibunuh oleh pasukan pengamanan perusahaan transnasional sebagai tindakan intimidasi terhadap petani-petani yang mengganggu operasi perusahaan tersebut. Di Nigeria konflik antar-agama dan antar-etnis dipicu untuk menggusur masyarakat adat minoritas lokal dari tempat tinggalnya, dan setelah itu Royal Dutch Shell dan Exxon Mobil mengambil alih tanah kelompok minoritas ini tanpa ganti rugi untuk pertambangan minyak.
Bagaimana dengan bencana-bencana kemanusiaan dan bencana alam di Indonesia? Setiap konflik yang terjadi selalu diikuti oleh masuknya investor transnasional untuk mengambil alih usaha pertambangan atau untuk mengembangkan perkebunan dengan bibit GMO. Setelah pembunuhan tokoh agama dan tokoh masyarakat di Jawa Timur, mulai Tuban sampai Banyuwangi tahun 1998 – 1999 (sekitar 248 orang), Monsanto denga6n mudah mendapat konsesi 100 ribu hektar untuk penanaman kedelai dan jagung hibrida untuk jangka waktu 25 tahun.6 Exxon, Santa Fe dan Santos mendapatkan konsesi eksplorasi minyak dan gas bumi mulai Tuban sampai Pasuruan. Kawasan pesisir utara Jawa Timur sudah mulai berubah dari kawasan tambak menjadi kawasan perhotelan berbintang. Ketika petani Pasuruan (Grati) dibunuh oleh marinir, orang sibuk membicarakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Marinir, dan lupa bahwa Grati adalah tempat pemboran minyak dan gas bumi kedua setelah Sidorarjo (Lapindo) yang sudah dikuasai Santos, Ltd., mitra bisnis Lapindo dan Keluarga Bakrie. Peta eksplorasi tambang Santos, Ltd. berikut memperlihatkan dengan jelas rencana eksploitasi minyak dan gas bumi di segitiga emas Jawa Timur, Bali dan Madura.
Di Nigeria dan Brazil, penduduk lokal disingkirkan oleh perusahaan-perusahaan transnasional untuk mengambil alih tanah untuk tambang atau untuk corporate farming dengan mengunakan bibit GMO.5 Di Brazil seorang tokoh Via Campesina dibunuh oleh pasukan pengamanan perusahaan transnasional sebagai tindakan intimidasi terhadap petani-petani yang mengganggu operasi perusahaan tersebut. Di Nigeria konflik antar-agama dan antar-etnis dipicu untuk menggusur masyarakat adat minoritas lokal dari tempat tinggalnya, dan setelah itu Royal Dutch Shell dan Exxon Mobil mengambil alih tanah kelompok minoritas ini tanpa ganti rugi untuk pertambangan minyak.
Bagaimana dengan bencana-bencana kemanusiaan dan bencana alam di Indonesia? Setiap konflik yang terjadi selalu diikuti oleh masuknya investor transnasional untuk mengambil alih usaha pertambangan atau untuk mengembangkan perkebunan dengan bibit GMO. Setelah pembunuhan tokoh agama dan tokoh masyarakat di Jawa Timur, mulai Tuban sampai Banyuwangi tahun 1998 – 1999 (sekitar 248 orang), Monsanto denga6n mudah mendapat konsesi 100 ribu hektar untuk penanaman kedelai dan jagung hibrida untuk jangka waktu 25 tahun.6 Exxon, Santa Fe dan Santos mendapatkan konsesi eksplorasi minyak dan gas bumi mulai Tuban sampai Pasuruan. Kawasan pesisir utara Jawa Timur sudah mulai berubah dari kawasan tambak menjadi kawasan perhotelan berbintang. Ketika petani Pasuruan (Grati) dibunuh oleh marinir, orang sibuk membicarakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Marinir, dan lupa bahwa Grati adalah tempat pemboran minyak dan gas bumi kedua setelah Sidorarjo (Lapindo) yang sudah dikuasai Santos, Ltd., mitra bisnis Lapindo dan Keluarga Bakrie. Peta eksplorasi tambang Santos, Ltd. berikut memperlihatkan dengan jelas rencana eksploitasi minyak dan gas bumi di segitiga emas Jawa Timur, Bali dan Madura.
Setelah konflik antar-agama di Poso dan di Sulawesi Tengah secara keseluruhan, perusahaan-perusahaan tambang transnasional dengan leluasa membagi wilayah tambang gas, nikel, minyak dan emas antara: Exxon Mobil, INCO, Newmont, Freeport, bersama rekanan-rekanan konglomerasi nasional seperti Bukaka, Medco dan Artha Graha.
Ketika konflik sedang berlangsung di Maluku, proyek yang dibangun pertama adalah lapangan terbang Ambon yang berskala internasional, lapangan terbang Menado yang berskala internasional dan Pelabuhan Ngadi di Pulau Kei yang juga berskala ekspor impor. Apa hubungannya konflik antar-agama dengan airport dan pelabuhan internasional ini? Apakah pemerintah mau mengungsikan korban ke luar negeri?
Setelah bom Bali pertama, ekonomi Bali lumpuh. Para pebisnis lokal dalam bidang perhotelan dan retailing hampir tidak mampu membayar kembali kredit di bank, karena tidak adanya pendapatan. Tetapi tidak lama berselang terjadi turn-over kepemilikan hotel, resort dan berbagai property lainnya. Dan tidak lama kemudian muncul berbagai hotel, resort mewah dan kondominium yang tidak dimiliki lagi oleh pebisnis lama dan terutama tidak lagi oleh orang Bali. Bisnis Bali sekarang sudah berkembang lagi, tetapi orang Bali sendiri hidup dalam kecemasan akan ancaman bom baru. (Tetapi, saya menduga, jika terjadi lagi bom sekarang di Bali, tidak akan dikategorikan sebagai serangan teroris lagi, karena para pemilik bisnis baru di Bali ingin menciptakan citra Bali yang damai demi kepentingan bisnis mereka sendiri).
Maraknya Perda Syariah dan resistensi terhadap Perda-perda Syariah di berbagai daerah diindikasi menjadi salah satu cara untuk menghancurkan solidaritas sosial lokal dan membuat masyarakat lokal sibuk dengan konflik-konflik tersebut dan melupakan kebijakan-kebijakan strategis yang sedang dipengaruhi kekuatan bisnis dan kekuatan-kekuatan keuangan multilateral. (Hal ini sama dengan apa yang terjadi di Senayan sekarang. Ketika DPR disibukkan oleh serangan korupsi BI dan korupsi lain-lainnya, DPD meluncurkan gagasan untuk amandemen UUD 1945 agar DPD memiliki kedudukan yang sama dengan DPR dalam proses legislasi. Padahal otak di belakang usul itu adalah lembaga-lembaga Bank Dunia seperti DSF, SOFEI, MDTF yang sudah membiayai proyek Rumah Aspirasi Rakyat di berbagai propinsi, dan merasa bahwa hambatan utama untuk kebijakan-kebijakan neoliberal adalah DPR sementara DPD bisa dikuasai karena merupakan wakil orang perorang).
Pada bulan-bulan awal setelah tsunami di Aceh tahun 2004 dan awal 2005, salah satu usulan Bank Dunia sebagai hasil assessmentnya dalam bidang pertanian di Aceh adalah bahwa pertanian di Aceh harus dialihkan ke tanaman perdagangan (cash crop) dengan alasan bahwa tanaman pangan sudah tidak cukup produktif untuk memulihkan pendapatan petani Aceh. Usul ini jelas ingin mendorong petani Aceh untuk masuk dalam ekonomi pasar global, apalagi usul yang diajukan jelas mengarah kepada konversi sawah ke kelapa sawit dengan pasar ekspor.
Demikian pun pada bulan Januari 2005, perdebatan yang menyita banyak perhatian adalah mengenai proposal Artha Graha untuk membangun kota Meulaboh yang dirancang untuk menjadi seperti kota Shanghai. Artha Graha dengan didukung oleh konglomerasi barunya, sejumlah perwira TNI dan bank-bank internasional begitu cepat melihat bencana di Aceh sebagai sebuah peluang besar untuk mengembangkan bisnis. Demikian pula kelompok Metrotv yang berhasil meraup dana sumbangan pemirsa, telah mendirikan sekolah-sekolah swasta unggulan di Aceh sebagai pasar pendidikan bagi masyarakat Aceh yang akan segera pulih ekonominya.
Konsorsium donor multilateral dan bilateral yang memberi bantuan untuk rekonstruksi Jogyakarta, yakni JRF (Jogya Recovery Fund) membiarkan terjadinya korupsi yang sistematis mulai dari tingkat RT. Di Bantul, misalnya, sudah terjadi konflik karena korupsi ini. Konflik antar-warga dan antara warga dan aparat pemerintah dan bencana itu sendiri telah mengalihkan perhatian seluruh warga dari upaya-upaya lembaga-lembaga multilateral ini untuk mendorong swastanisasi pelayanan-pelayanan publik di Jogyakarta. Di samping itu konflik akan menghancurkan solidaritas komunitas yang menjadi icon recovery Jogyakarta pada awal bencana. Hancurnya solidaritas komunitas ini akan menjadi modal utama untuk penggusuran masyarakat lokal (land dispossession) untuk proyek-proyek besar di kemudian hari7. Protes terhadap SUTET jalur selatan, misalnya, sudah tidak terdengar lagi.
Neoliberalisme dan Kapitalisme Bencana
Bencana (entah bencana kemanusiaan seperti konflik dan krisis ekonomi atau pun bencana alam) merupakan arena baru ekonomi yang mampu membawa keuntungan yang jauh lebih besar. Perang, serangan teroris, bencana alam, kemiskinan, sangsi perdagangan (embargo perdagangan yang membuat sebuah negara kelaparan, seperti Korea Utara), kekacauan pasar dan semua jenis bencana ekonomi, keuangan dan politik lainnya sudah dipandang sebagai wilayah baru bisnis besar dan menjadi pintu baru untuk meletakkan fondasi penguatan ekonomi kapitalisme atau neoliberalisme di wilayah bencana tersebut.
Naomi Klein dengan rinci memaparkan operasi kekuatan ekonomi global beserta ekonomi kapitalisme bencana yang semakin berkembang ini dalam bukunya The Schock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism.8 Kapitalisme bencana ini mempunyai landasan politik dan teoretisnya tersendiri yang sudah diperkenalkan oleh para pemimpin politik dan ekonom terkenal dunia.
Presiden Dwight D. Eisenhower telah melihat peran “military-industrial complex” sebagai kekuatan pemicu pertumbuhan ekonomi yang stabil. Produksi dan produktivitas industri militer mampu memicu pertumbuhan ekonomi karena memiliki multiple linkage dengan berbagai industri lain yang mampu menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan warga negara. Persoalannya adalah jika produk militer tersebut memiliki konsumsi yang jenuh, bagaimana mengatasinya? Menjawab hal ini, maka perang atau eskalasi ketegangan harus diciptakan (deadly logic). Meredanya Perang Dingin membuat military-industrial complex lesu dan itu juga berpengaruh pada ekonomi secara keseluruhan karena Perang Dingin telah menyerap berbagai industri untuk link dengan industri militer.9 Bagaimana jalan keluarnya? Perang, konflik dan terorisme harus dimunculkan sebagai pasar penggunaan peralatan militer tersebut.10
Ekonom Jerman, Joseph Schumpeter, mengatakan bahwa kehancuran merupakan suatu proses yang normal dan sehat untuk menemukan dan menghasilkan teknologi baru menggantikan teknologi lama yang tidak ekonomis. Schumpeter menamakan ini sebagai “creative destruction” – penghancuran yang memberi peluang terciptanya teknologi dan ilmu pengetahuan baru. Ini sejalan dengan pendapat Eisenhower tentang industri persenjataan yang berskala menghancurkan.
Milton Friedman, seorang ekonom monetaris dan penerima hadiah nobel dalam bidang ekonomi merupakan pemikir yang tidak henti-hentinya mempro-pagandakan idenya tentang kapitalisme dan tidak diperlukannya campur tangan pemerintah dalam bidang wilayah individu, termasuk dalam ekonomi11. Milton Friedman juga percaya bahwa krisis adalah moment yang tepat untuk membangun cara baru dalam bidang ekonomi dan politik, di mana pemerintah harus melepaskan campur tangannya dalam bidang ekonomi. Pasar harus bebas sebebas-bebasnya. Campur tangan pemerintah hanya akan mendistorsi tidak hanya pada nilai, tetapi juga pada keseluruhan proses ekonomi sehingga ekonomi tidak bisa berkembang secara berkelanjutan.
Friedman mengatakakan bahwa perubahan ekonomi tidak pernah terjadi tanpa krisis yang menggoncang suatu sistem, apakah itu krisis alam atau pun krisis yang diciptakan seperti menciptakan kecemasan dan ketakutan pada publik tentang bahaya perang dan ancaman teror. Ketika bencana Katrina terjadi di Louisiana dan Mississippi, Milton Friedman menulis sebuah artikel yang provokatif di Wall Street Journal, berjudul: “The Promise of Vouchers”.12 Friedman mengatakan bahwa bencana yang terjadi itu merupakan tragedy, tetapi juga merupakan kesempatan untuk melakukan perubahan secara radikal dalam system pendidikan. Sistem pendidikan yang dimonopoli oleh Negara dan serikat guru telah membuat mutu pendidikan di Negara bagian itu jatuh di bawah standar. Karena itu dia mengusulkan adanya system pendidikan yang kompetitif, dan system yang kompetitif hanya ada dalam mekanisme pasar: pasar pendidikan. Negara hanya menyiapkan kupon untuk pembiayaan bagi anak-anak yang tidak mampu, tetapi Negara tidak boleh ikut campur dalam mengelola sekolah dan system pendidikan. Biarkan pasar yang menentukan pengelolaan sekolah.
Gagasan Friedman ini disambut gembira kalangan bisnis, mulai dari bisnis perumahan, property, hotel, pendidikan sampai kepada bisnis kesehatan. Pasar mulai menguasai semua sector untuk rekonstruksi daerah bencana. Apa yang terjadi? Setelah dua tahun rekonstruksi, masih ada ribuan penduduk tinggal di rumah-rumah sementara, sementara pembangunan resort, hotel, casino dan kondominium yang hanya bisa dijangkau orang kaya berkembang pesat. Segregasi social antara yang kaya dan miskin semakin tajam
Kapitalisme bencana menjadi ekonomi baru dewasa ini. Bencana bisa dalam berbagai bentuk: persenjataan yang menghancurkan pusat tenaga listrik dan rumah sakit, alam yang menghancurkan infrastruktur, badai yang menyapu bersih kota dan desa, konflik ideologis, tsunami, gempa, Lumpur lapindo, dan sebagainya. Naomi Klein mengatakan bahwa “dewasa ini ketidakstabilan global tidak hanya menguntungkan pedagang senjata; juga membawa keuntungan yang luar biasa besarnya bagi sector keamanan yang menggunakan high technology, perusahaan konstruksi besar, perusahaan rumah sakit swasta, perusahaan minyak dan gas, perusahaan produksi pangan, dan tentu saja para kontraktor industri pertahanan.
Rekonstruksi bencana alam dan bencana perang atau konflik dewasa ini menjadi bisnis yang sangat besar dan sangat menguntungkan. Perusahaan-perusahaan besar merasa gembira jika ada bencana (perang atau bencana alam), dan jika tidak ada bencana mereka akan memicu terjadinya bencana. Untuk rekonstruksi Iraq, dana yang digelontorkan sebesar $ 30 milyard, untuk rekonstruksi tsunami di Asia sebesar $ 13 milyar, dan untuk New Orleans dan Gulf Coast sebesar $ 110 milyar.
Pendapatan perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam rekonstruksi cukup untuk memicu boom ekonomi. Perusahaan-perusahaan gas dan minyak sangat dekat dengan ekonomi bencana, baik sebagai penyebab utama bencana maupun sebagai penerima manfaat utama dari bencana tersebut. Saking besarnya pengaruh perusahaan minyak dan gas dan besarnya keuntungan yang diperoleh dari bencana, Naomi Klein menyebut perusahaan-perusahaan minyak dan gas ini sebagai “honorary adjunct of the disaster-capitalism complex”. Naomi Klein meringkas kecenderungan yang diciptakan oleh ekonomi kapitalisme bencana ini sebagai berikut:
1. Pasar bebas bersaing dengan pemerintah.
Di masa lalu bencana yang menyebabkan kekacauan dan kehilangan nyawa manusia, pemerintah mengambil langkah cepat dengan berbagai program rekonstruksi dan recovery. Perusahaan-perusahaan Kapitalisme Bencana melihat pemerintah dan lembaga-lembaga non-profit sebagai saingan yang mengambil alih bisnis baru. Mobilisasi militer, misalnya, akan menghambat kebutuhan akan tentara bayaran.
2. Privatisasi pemerintah untuk memberi peluang kepada kelas investor.
Perusahaan-perusahaan Kapitalisme Pasar berteriak-teriak untuk memprivatisasi ekonomi dan pemerintah. Setelah Bom Bali, Bupati Jembrana meminta pembangunan airport baru di Jembrana dan pembangunan jalan toll. Di Aceh, jalan-jalan utama ke wilayah pertambangan dibangun lebih cepat, sementara di wilayah-wilayah yang tidak mempunyai potensi ekonomi dibiarkan terlantar. Pada saat rakyat Jogyakarta dan Jateng yang terkena bencana gempa berteriak-teriak minta bantuan pembangunan rumah, wacana pembangunan toll Solo – Jogya dihidupkan lagi.
3. Perang menghasilkan keuntungan, damai merusak ekonomi pasar
Perusahaan-perusahaan Kapitalisme Bencana membutuhkan perang untuk menghasilkan keuntungan. Iraq lama-kelamaan menjadi perang yang diprivatisasi, yang mempekerjakan 185, 000 personel (20,000 orang lebih banyak dari tenaga militer). Konflik antar-warga yang berakhir pada penggusuran dari tanah miliknya menghemat uang perusahaan untuk pengambil-alihan tanah untuk tambang di daerah-daerah yang dilanda konflik.
4. Pemerintah yang plutokratis mengutamakan kelas kaya daripada rakyat kebanyakan.
Pembangunan infrastruktur yang dibangun oleh industri bencana menggunakan dana publik atau utang yang harus ditanggung rakyat, tetapi dikontrol sepenuhnya oleh kelas kaya. Pembangunan waduk-waduk untuk listrik tegangan tinggi di Poso telah menggusur rakyat setempat, padahal pembangunan waduk dan listrik tersebut menggunakan utang yang kemudian akan dibayar oleh rakyat yang tergusur dan korban konflik itu juga.
5. Sistem perbankan bayangan:
Sistem perbankan nasional yang resmi hampir tidak berfungsi, karena munculnya sistem perbankan bayangan yang menguasai jaringan keuangan global. Angka kemiskinan tinggi, tetapi pasar modal dan nilai tukar rupiah stabil dan bahkan kuat.
Populisme Bencana
Kecenderungan dan pola-pola bencana (konflik dan perang) dan apa yang terjadi ketika rekonstruksi pasca bencana (alam) sudah menunjukkan proses penguatan sistem untuk memarginalisasi rakyat. Pola-pola seperti ini perlu dicermati secara saksama, agar bisa dibangun sistem respons yang tepat untuk pencegahan dampak bencana dan sekaligus untuk penanganan dampak bencana.
Yang perlu ditekankan adalah bahwa pusat perhatian utama dari semua upaya penanganan bencana adalah manusia. Ini perlu dilihat sebagai kunci utama. Dan manusia yang dimaksudkan adalah kelompok orang yang paling atau kurang lebih sangat rentan terhadap marginalisasi dan proses marginalisasi berkelanjutan. Baik itu bencana sosial, politik dan ekonomi (konflik, krisis ekonomi, pertentang ideologi, dsbnya) maupun bencana alam, seyogyanya menjadi moment penting untuk mempersatukan pemerintah, rakyat dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk membangun ketahanan sosial bersama dan memperkuat perlindungan terhadap kelompok-kelompok paling rentan (anak, perempuan dan jompo, dan kelompok-kelompok miskin) dalam masyarakat.
Melihat kecenderungan bahwa bahkan aparatur negara pun dipakai oleh kekuatan bisnis untuk mengambil-alih peranan negara di dalam situasi bencana dan dalam pencegahan bencana, maka perlu dibuat penataan kelembagaan (institutional arrangement) yang tegas untuk melindungi pemerintah, melindungi lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan tentu saja melindungi rakyat yang paling rentan berdasarkan skala kerentanannya (karena dalam situasi bencana siapa pun bisa masuk dalam kategori rentan). Termasuk di dalam institutional arrangement ini adalah undang-undang, organisasi, kerangka kerja, kode etik dan panduan untuk membuat kebijakan prioritas dalam situasi bencana.
Dalam institutional arrangement ini, pemerintah tetap dijadikan sebagai pelaku utama yang berada di tengah-tengah penyelesaian bencana, didukung oleh berbagai lembaga masyarakat dan rakyat sendiri. Pemerintah seyogyanya menjadi pengatur dan sekaligus pengawal pelaksanaan setiap kebijakan dan program yang diimplementasikan untuk mencegah dampak bencana atau untuk mengatasi dampak bencana. Pemerintah adalah satu-satunya sandaran dan andalan bagi rakyat dalam setiap situasi bencana. Jika pemerintah memihak sekelompok tertentu di dalam masyarakat (entah pebisnis atau kelompok tertentu dalam masyarakat yang terlibat konflik), maka itulah awal dari kehancuran tatanan penanganan bencana.
Pendekatan utama dalam menghadapi bencana dan mengatasi risiko bencana adalah populisme, yakni melepaskan semua kebijakan yang bukan prioritas demi menyelamatkan rakyat, di atas kepentingan keuntungan perusahaan dan kepentingan-kepentingan lembaga-lembaga keuangan multilateral (Bank Dunia, IMF dan ADB).
Catatan:
1) Paper untuk pengantar diskusi
dalam Seminar “Bencana Alam dan Perubahan Iklim”, INSIST,
Jogyakarta, 16 Februari 2008. (Catatan pengantar saja, bukan paper
lengkap).
2) Don K. Marut, Direktur
Eksekutif International NGO Forum on
Indonesian Development (INFID),
Jakarta.
4) Elinda Labropoulou, “Outrage in Greece over
street plan to develop land in the region ravaged by fires”, The
Independent, Minggu, 19 September 2007.
5) Ketika terjadi penembakan petani oleh marinir
tahun 2007 yang lalu, orang hanya melihat konflik kepemilikan tanah
antara petani local dan marinir. Orang tidak melihat dengan cermat
bahwa Grati, tempat penembakan petani tersebut, adalah calon pemboran
gas bumi dan minyak kedua setelah Porong, Sidoarjo oleh konsorsium
Santos, dalam kerangka eksploitasi minyak dan gas bumi segitiga emas
Jawa Timur, Madura dan Bali.
7) Literatur tentang gerakan sosial, terutama
tentang gerakan masyarakat adat, untuk melawan proses dispossession
ini semakin meningkat akhir-akhir ini, dan hampir terjadi di semua
belahan dunia.
9) Ketika Bom Bali pertama terjadi, bukan hanya
ekonomi Bali yang lesu tetapi seluruh mata rantai komoditi yang
berakhir pada pasar Bali juga terkena dampak yang hebat. Contoh:
industri kerajinan batik Pekalongan, Solo dan Yogya, industri
kerajinan Yogya dan daerah-daerah lain. Produk-produk
pertanian yang mempunyai pasar tetap Bali juga mengalami dampak yang
dalam.
11) Milton and Rose Friedman, Freedom to Choose:
A Personal Statement (San Diego: Harcourt Brace & Company,
1990).
12) Wall Street Journal,
December 5, 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar