2 Okt 2011

Sakit yang Ideologis-Politis: "Garring Apa mi Tawwa"

Menengok Sistim Kesehatan Negara Sosialis
Oleh M. Nawir
Pada judul tulisan ini ada anak kalimat berbahasa daerah Garring Apa mi Tawwa, yang penulis pinjam dari lagu pop daerah Makassar Garring Apa mi Nona. Lagu ini melukiskan seorang gadis yang tidak diketahui persis sakit yang dideritanya. Ungkapan orang Bugis yang mirip dengan kalimat tersebut Lasa na urung. Suatu keadaan mental-sosial seseorang yang nyaris tidak diketahui orang lain, dan cara mengobatinya, kecuali yang bersangkutan. Kondisi sehat seseorang menjadi relatif bagi orang lain.

Umumnya pandangan tentang manusia sehat atau sakit bertumpu pada individu. Status penyakit bersumber dari pribadi si orang sakit. Platform "tiga sehat" WHO pun bertolak dari individu. Seseorang dinilai sakit karena gagal merawat tubuh, mental dan pergaulan sosialnya. Menjadi tidak lazim, ketika seseorang menyatakan sakitnya karena sistim kesehatan yang buruk, atau sakitnya karena lingkungan hidup sekitar sudah rusak, sehingga berdampak pada individu dalam masyarakat. Lebih aneh lagi, jika seseorang menyatakan dirinya “sakit yang ideologis-politis”.
Bicara tentang kesehatan memang berbeda dengan cara pandang kedokteran. Organisasi Kesehatan PBB (WHO) merumuskan tiga sehat: sehat jasmani, rohani (mental), dan sosial. Kata sehat dan sakit mengalami pengembangan makna denotatifnya. Status kesehatan dan kesakitan menjadi persoalan sosial. Misalnya, dinas-dinas kesehatan membuat kategori baru “rumah sehat”, dalam kalimat “Rumah Sehat di Sulsel Baru Mencapai 61,48%”. Maksudnya, rumah yang layak huni menurut standar kesehatan dan lingkungan hidup. Berkebalikan dengan konsep “rumah sakit”.
Sakit Ideologis-Politis, maksudnya tidak persis sama dengan konsep sakit atau sehat secara sosial. Judul tulisan ini menekankan faktor eksternal yang mendukung atau sebaliknya menurunkan derajat kesehatan maupun kesakitan seseorang, yakni faktor sosial (struktur ekopol) maupun sistim pelayanan kesehatan yang terjadi saat ini. Penulis kagum pada kemajuan sistim kesehatan negara-negara Amerika Latin, terutama Kuba, juga China, yang dikenal terbaik daripada kebanyakan negara berkembang di Asia, pun jika dibandingkan dengan sistim pelayanan kesehatan di Amerika Serikat.
Ulasan tentang kemajuan sistim kesehatan di Kuba seperti yang ditulis George J. Aditjondro (makalah dalam Kongres Nasional I Hukum Kesehatan di Jakarta, 27-29 Mei 2009: Kesehatan, Demokrasi & Hak-hak Ekososbud: Belajar dari Rintisan Dokter “Che”), memaparkan tiga pelajaran penting.

Pertama, sistim kesehatan dibangun dari akar perjuangan revolusioner rezim yang berkuasa saat ini. Akar tradisi penyembuhan atau perawatan (istilah ini dipakai untuk membedakan secara tegas dengan konsep medis-klinis barat) di China juga demikian. Pada masa-masa sulit bangsa China tahun lima puluhan, dibawah kepemimpinan Mao Tsetung, dikembangkan konsep tradisional “dokter pejalan (telanjang) kaki” (Mao's Barefoot Doctor, http://skeptoid.com/episodes/4259), dimana brigade kesehatan China proaktif masuk-keluar desa untuk memberikan layanan kesehatan. Ini terintegrasi dengan komune-komune pendidikan dan koperasi pedesaan. Jadi, sistim kesehatan mereka bukan diimpor atau hasil penetrasi penjajah seperti di Indonesia pada masa kolonial (VOC). Di indonesia, meskipun kaya dengan tradisi penyembuhan alami dan manusiawi, dasar-dasar sistim pelayanan kesehatanya dibentuk oleh sistim pengobatan medis-klinis dan keperawatan Belanda masa perang kolonial (lih. Buku Menuju Kesehatan Madani, Sciortino, 2007: Peran Multi-Fungsional Perawat di Hindia-Belanda). Padahal kemajuan sistim pelayanan kesehatan di negeri Belanda sendiri dibangun dari tradisi gereja katolik pada masanya, yakni pengabdian suster kepada fakir miskin dan kaum papa.
Pelajaran penting kedua dari Kuba bahwa kemajuan suatu bangsa tidak melulu diukur dari pendapatan perkapita maupun infrastrukur kotanya. Kuba, jauh dari hal tersebut. Pendapatan perkapita Kuba hanya sekitar 5000 USD pada tahun 2008, dibandingkan AS 47.000 USD. Akan tetapi, keberhasilan sistim kesehatan masyarakat Kuba melampaui kemajuan AS. Hal dapat dilihat pada peran pemerintah dalam menjamin keterjangkauan masyarakat pada pelayanan yang terbaik di semua level, serta jumlah dan kualitas dokter dan perawat yang memadai. Tentang hal ini penulis mengutip satu bagian dari kesaksian Haridadi Sudjono, yang pernah menjabat Dubes RI di Kuba tahun 1999-2003:
Dalam melaksanakan pembangunan, pemerintah dan rakyat Kuba memiliki prinsip serba apa adanya. Tidak mau mengada-ada. Mereka makan apa yang ada di negerinya, bukan makanan impor. Kalau punya uang hanya sekian, ya itulah yang dipakai. Tidak perlu ngutang ke luar negeri atau lembaga-lembaga donor internasional yang ujung-ujungnya menjerat leher sendiri. Kuba hanya menerima bantuan yang sebagian besar dalam bentuk hibah dari negara sekutunya (misalnya Rusia). Karena rakyat dan para pemimpinnya dibiasakan untuk menempuh pola hidup sederhana, praktik KKN tidak menonjol meskipun mungkin ada juga. Kalau Kuba merasa tidak memiliki minyak untuk menopang kegiatan industrinya, negeri itu “menjual” dokternya ke Venezuela dan negara Amerika Latin lainnya untuk ditukar dengan minyak dan kebutuhan hidup lainnya. Kuba juga menghasilkan banyak pelatih olahraga, misalnya untuk tinju dan voli, yang “dijual” ke negara lain, termasuk Indonesia. Honor yang mereka terima sebagian diserahkan kepada kedutaan negaranya sebagai sumbangan wajib bagi negaranya. Kini Kuba “menjual” tenaga ahlinya di lebih dari 100 negara di dunia. Barangkali ini dapat dijadikan salah satu masukan bagi kita di Indonesia... (Hidup Sederhana Gaya Kuba, http://redbulletin.wordpress.com/2008/02/22/hidup-sederhana-gaya-kuba/).
Kutipan di atas mengingatkan kita pada visi dan misi pemerintahan Presiden Soekarno, Berdikari (“berdiri di atas kaki sendiri”). Meski diembargo oleh AS dan sekutunya, Kuba tetap “berdikari”, berdaulat sebagai republik kerakyatan, sehingga relatif stabil di bawah tekanan globalisasi ekonomi dan liberalisasi kapital AS dan sekutunya. Terbukti, pada krisis moneter 1997-1998, situasi ekonomi dan politik dalam negeri Kuba tidak mengalami guncangan, seperti yang dialami di Indonesia pada masa pemerintahan presiden Soeharto.
Tabel di bawah ini diolah dari makalah Aditjondro, dan sumber lainnya, yang menampilkan indikator kemajuan sistim kesehatan Kuba dengan Amerika Serikat dan Indonesia tahun 2007: 

Indikator
Kuba
Amerika Serikat
Indonesia
Angka Harapan Hidup 78-79 tahun 77-78 tahun 70 tahun
Angka Kelahiran (kasar) 11 per1000 penduduk 14 per1000 penduduk 19 per1000 penduduk
Angka Kematian Bayi 5,3 per1000 kelahiran 6.37 per1000 kelahiran 26,9 per1000 kelahiran
Rasio dokter 6,5 per1000 penduduk 2,4 per1000 penduduk -
Ketersediaan dokter 1 utk 155 penduduk 1 utk 417 penduduk 1 utk +/-2500 penduduk
Belanja kesehatan 250 USD perkapita 6000 USD perkapita +/- 494 USD perkapita
Diolah dari berbagai sumber:
Di Kuba, rasio dokter dengan penduduknya hampir sama dengan rasio penduduk dalam satu RT di Indonesia. Sementara di Indonesia sendiri, rasio dokter kurang lebih sama dengan satu RW atau desa. Di Sulsel (Dinkes, 2008), rasio perawat adalah 94,36 per-1000 penduduk. Rasio dokter (umum) lebih rendah lagi, sekitar 12 per1000 penduduk http://datinkessulsel.wordpress.com/2009/09/03/analisis-kecukupan-tenaga-kesehatan-di-sulsel/. Itulah sebabnya, aksesibilitas warga Kuba pada layanan kesehatan, selain mudah juga murah. Tim kecil seorang dokter dan seorang perawat secara teratur mengunjungi semua keluarga di tingkat kelurahan, dengan memadukan pengobatan, pengumpulan statistik kesehatan, pengobatan alternatif, dan pendidikan kesehatan bagi semua warga. Kerja tim yang biasa disebut brigade kesehatan keluarga ini didukung dengan pembangunan poliklinik, yang dilengkapi spesialis medis dan laboratorium dengan berbagai peralatan pencitraan. Setiap poliklinik dibangun untuk melayani antara 20 sampai 40 ribu orang warga (lih. Aditjondro, 2009). Pada gilirannya mempertinggi derajat kesehatan penduduk.
Ketersediaan tenaga medis yang cukup besar ini yang menjadikan Kuba dikenal sebagai "produsen" dan “pengekspor” dokter dan perawat terbaik di dunia. Pada tahun 2000, lebih dari 28 ribu dokter Kuba tersebar di berbagai Negara. Pemerintah Kuba membiayai para dokter itu sebagai pekerja kemanusiaan, kecuali di Afrika Selatan, Argentina dan Venezuela. Pada tahun 2007, ada 30 ribuan dokter dan tenaga medis Kuba yang bekerja di Venezuela. Mereka membangun program Barrio Adentro dalam rangka peningkatan kualitas kesehatan 18 juta rakyat miskin Venezuela. Selain itu, Havana ibukota Kuba menjadi pusat Sekolah Kedokteran Amerika Latin (Escuela Latinaamericana de Medicina). Sebanyak 1500 – 1800 dokter asing lulus dari sekolah ini sejak tahun 2005, termasuk 689 dokter dari Timor Leste.
Pelajaran ketiga adalah sistim kesehatan yang tersentral, dalam arti Negara sebagai satu-satunya penentu kebijakan tertinggi. Ini membuktikan privatisasi layanan kesehatan tidak selalu benar dan sukses sebagaimana yang dijanjikan pendukung neolib. Justru, privatisasi dan liberalisasi layanan kesehatan pada banyak contoh seperti di Amerika Serikat, termasuk Indonesia terbukti telah menciptakan kesenjangan aksesibilitas antara orang kaya dengan orang miskin. Adanya rumah-rumah sakit yang berkelas-kelas, seperti layaknya hotel, semakin mempertegas ketimpangan struktur kelas sosial. Orang-orang miskin disubsidi kemudian untuk disalurkan ke dalam puskesmas dan rumah-rumah sakit milik pemerintah melalui skema jamkesmas atau jamkesda. Seperti yang publik ketahui, kebanyakan rumah-rumah sakit pemerintah di Indonesia jauh dari standard of quality of care, dan terbukti kelas kapitalis menghindarinya dengan alasan sanggup membayar biaya perawatan di rumah sakit swasta dalam dan luar negeri. Di Amerika Serikat, kritik publik terhadap sistim kesehatan secara vulgar digambarkan Michael Moore dalam filmnya Sicko. Sementara organisasi masyarakat sipil seperti ACORN (Association of Community for Reform Now) menuntut presiden Barack Obama untuk segera mereformasi sistim kesehatan yang diskriminatif itu dengan sistim kesehatan yang “sama-rata”, yakni orang miskin maupun orang kaya punya hak yang sama mendapatkan fasilitas dan pelayanan prima di semua level pelayanan. Di Kuba, tuntutan seperti itu sudah lama dipraktikkan.
Dari uraian di atas, ada suatu pemahaman bahwa sangat beresiko jika sistim kesehatan diliberalisasi dan diprivatisasi karena akan membuka jalan bagi kapitalisme menjadi kekuatan ideologis. Di Kuba, corak kapitalisasi pelayanan kesehatan tidak bisa berkembang.karena sosialisme yang diwariskan Che Guevara dan Fidel Castro merupakan landasan idiil Negara, menjadi acuan utama kebijakan pelayanan kesehatan. Demikian halnya di RRC, dibawah pemerintahan sosialis warisan Mao Tsetung, juga sukses mengelola sistim kesehatan dan melayani lebih dari 1,4 milyar penduduknya. Di Indonesia, falsafah Pancasila dan prinsip kerakyatan yang tercermin dalam pasal-pasal Konstitusi 1945, gagal dijabarkan dan dipraktikkan secara murni dan konsekuen oleh penyelenggara negara. Sehingga sistim pelayanan kesehatan pun “sakit”. Barangkali dengan pemahaman seperti ini bisa membantu menjelaskan jenis penyakit yang diderita pasien dalam ilustrasi awal tulisan ini. @wi#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar