Menengok Sistim Kesehatan
Negara Sosialis
Oleh M. Nawir
Pada judul tulisan ini ada
anak kalimat berbahasa daerah Garring Apa mi Tawwa, yang
penulis pinjam dari lagu pop daerah Makassar Garring Apa mi Nona.
Lagu ini melukiskan seorang gadis yang tidak diketahui persis sakit yang
dideritanya. Ungkapan orang Bugis yang mirip dengan kalimat tersebut
Lasa na urung. Suatu keadaan mental-sosial seseorang yang
nyaris tidak diketahui orang lain, dan cara mengobatinya, kecuali
yang bersangkutan. Kondisi sehat seseorang menjadi relatif bagi orang
lain.
Umumnya pandangan tentang
manusia sehat atau sakit bertumpu pada individu. Status penyakit
bersumber dari pribadi si orang sakit. Platform "tiga sehat"
WHO pun bertolak dari individu. Seseorang dinilai sakit karena gagal
merawat tubuh, mental dan pergaulan sosialnya. Menjadi tidak lazim,
ketika seseorang menyatakan sakitnya karena sistim kesehatan yang
buruk, atau sakitnya karena lingkungan hidup sekitar sudah rusak,
sehingga berdampak pada individu dalam masyarakat. Lebih aneh lagi,
jika seseorang menyatakan dirinya “sakit yang ideologis-politis”.
Bicara tentang kesehatan
memang berbeda dengan cara pandang kedokteran. Organisasi Kesehatan
PBB (WHO) merumuskan tiga sehat: sehat jasmani, rohani (mental), dan
sosial. Kata sehat dan sakit mengalami pengembangan makna
denotatifnya. Status kesehatan dan kesakitan menjadi persoalan
sosial. Misalnya, dinas-dinas kesehatan membuat kategori baru “rumah
sehat”, dalam kalimat “Rumah Sehat di Sulsel Baru Mencapai
61,48%”. Maksudnya, rumah yang layak huni menurut standar kesehatan
dan lingkungan hidup. Berkebalikan dengan konsep “rumah sakit”.
Sakit Ideologis-Politis,
maksudnya tidak persis sama dengan konsep sakit atau sehat secara
sosial. Judul tulisan ini menekankan faktor eksternal yang mendukung
atau sebaliknya menurunkan derajat kesehatan maupun kesakitan
seseorang, yakni faktor sosial (struktur ekopol) maupun sistim
pelayanan kesehatan yang terjadi saat ini. Penulis kagum pada
kemajuan sistim kesehatan negara-negara Amerika Latin, terutama Kuba,
juga China, yang dikenal terbaik daripada kebanyakan negara
berkembang di Asia, pun jika dibandingkan dengan sistim pelayanan
kesehatan di Amerika Serikat.
Ulasan tentang kemajuan
sistim kesehatan di Kuba seperti yang ditulis George J. Aditjondro
(makalah dalam Kongres Nasional I Hukum Kesehatan di Jakarta,
27-29 Mei 2009: Kesehatan, Demokrasi & Hak-hak Ekososbud:
Belajar dari Rintisan Dokter “Che”), memaparkan tiga
pelajaran penting.
Pertama, sistim kesehatan dibangun dari akar perjuangan revolusioner rezim yang berkuasa saat ini. Akar tradisi penyembuhan atau perawatan (istilah ini dipakai untuk membedakan secara tegas dengan konsep medis-klinis barat) di China juga demikian. Pada masa-masa sulit bangsa China tahun lima puluhan, dibawah kepemimpinan Mao Tsetung, dikembangkan konsep tradisional “dokter pejalan (telanjang) kaki” (Mao's Barefoot Doctor, http://skeptoid.com/episodes/4259), dimana brigade kesehatan China proaktif masuk-keluar desa untuk memberikan layanan kesehatan. Ini terintegrasi dengan komune-komune pendidikan dan koperasi pedesaan. Jadi, sistim kesehatan mereka bukan diimpor atau hasil penetrasi penjajah seperti di Indonesia pada masa kolonial (VOC). Di indonesia, meskipun kaya dengan tradisi penyembuhan alami dan manusiawi, dasar-dasar sistim pelayanan kesehatanya dibentuk oleh sistim pengobatan medis-klinis dan keperawatan Belanda masa perang kolonial (lih. Buku Menuju Kesehatan Madani, Sciortino, 2007: Peran Multi-Fungsional Perawat di Hindia-Belanda). Padahal kemajuan sistim pelayanan kesehatan di negeri Belanda sendiri dibangun dari tradisi gereja katolik pada masanya, yakni pengabdian suster kepada fakir miskin dan kaum papa.
Pertama, sistim kesehatan dibangun dari akar perjuangan revolusioner rezim yang berkuasa saat ini. Akar tradisi penyembuhan atau perawatan (istilah ini dipakai untuk membedakan secara tegas dengan konsep medis-klinis barat) di China juga demikian. Pada masa-masa sulit bangsa China tahun lima puluhan, dibawah kepemimpinan Mao Tsetung, dikembangkan konsep tradisional “dokter pejalan (telanjang) kaki” (Mao's Barefoot Doctor, http://skeptoid.com/episodes/4259), dimana brigade kesehatan China proaktif masuk-keluar desa untuk memberikan layanan kesehatan. Ini terintegrasi dengan komune-komune pendidikan dan koperasi pedesaan. Jadi, sistim kesehatan mereka bukan diimpor atau hasil penetrasi penjajah seperti di Indonesia pada masa kolonial (VOC). Di indonesia, meskipun kaya dengan tradisi penyembuhan alami dan manusiawi, dasar-dasar sistim pelayanan kesehatanya dibentuk oleh sistim pengobatan medis-klinis dan keperawatan Belanda masa perang kolonial (lih. Buku Menuju Kesehatan Madani, Sciortino, 2007: Peran Multi-Fungsional Perawat di Hindia-Belanda). Padahal kemajuan sistim pelayanan kesehatan di negeri Belanda sendiri dibangun dari tradisi gereja katolik pada masanya, yakni pengabdian suster kepada fakir miskin dan kaum papa.
Pelajaran penting kedua
dari Kuba bahwa kemajuan suatu bangsa tidak melulu diukur dari
pendapatan perkapita maupun infrastrukur kotanya. Kuba, jauh dari hal
tersebut. Pendapatan perkapita Kuba hanya sekitar 5000 USD pada tahun
2008, dibandingkan AS 47.000 USD. Akan tetapi, keberhasilan sistim
kesehatan masyarakat Kuba melampaui kemajuan AS. Hal dapat dilihat
pada peran pemerintah dalam menjamin keterjangkauan masyarakat pada
pelayanan yang terbaik di semua level, serta jumlah dan kualitas
dokter dan perawat yang memadai. Tentang hal ini penulis mengutip
satu bagian dari kesaksian Haridadi Sudjono, yang pernah menjabat
Dubes RI di Kuba tahun 1999-2003:
Dalam
melaksanakan pembangunan, pemerintah dan rakyat Kuba memiliki prinsip
serba apa adanya. Tidak mau mengada-ada. Mereka makan apa yang ada di
negerinya, bukan makanan impor. Kalau punya uang hanya sekian, ya
itulah yang dipakai. Tidak perlu ngutang ke luar negeri atau
lembaga-lembaga donor internasional yang ujung-ujungnya menjerat
leher sendiri. Kuba hanya menerima bantuan yang sebagian besar dalam
bentuk hibah dari negara sekutunya (misalnya Rusia). Karena rakyat
dan para pemimpinnya dibiasakan untuk menempuh pola hidup sederhana,
praktik KKN tidak menonjol meskipun mungkin ada juga. Kalau Kuba
merasa tidak memiliki minyak untuk menopang kegiatan industrinya,
negeri itu “menjual” dokternya ke Venezuela dan negara Amerika
Latin lainnya untuk ditukar dengan minyak dan kebutuhan hidup
lainnya. Kuba juga menghasilkan banyak pelatih olahraga, misalnya
untuk tinju dan voli, yang “dijual” ke negara lain, termasuk
Indonesia. Honor yang mereka terima sebagian diserahkan kepada
kedutaan negaranya sebagai sumbangan wajib bagi negaranya. Kini Kuba
“menjual” tenaga ahlinya di lebih dari 100 negara di dunia.
Barangkali ini dapat dijadikan salah satu masukan bagi kita di
Indonesia... (Hidup
Sederhana Gaya Kuba, http://redbulletin.wordpress.com/2008/02/22/hidup-sederhana-gaya-kuba/).
Kutipan di atas
mengingatkan kita pada visi dan misi pemerintahan Presiden Soekarno,
Berdikari (“berdiri di atas kaki sendiri”). Meski
diembargo oleh AS dan sekutunya, Kuba tetap “berdikari”,
berdaulat sebagai republik kerakyatan, sehingga relatif stabil di
bawah tekanan globalisasi ekonomi dan liberalisasi kapital AS dan
sekutunya. Terbukti, pada krisis moneter 1997-1998, situasi ekonomi
dan politik dalam negeri Kuba tidak mengalami guncangan, seperti yang
dialami di Indonesia pada masa pemerintahan presiden Soeharto.
Tabel di bawah ini diolah
dari makalah Aditjondro, dan sumber lainnya, yang menampilkan
indikator kemajuan sistim kesehatan Kuba dengan Amerika Serikat dan
Indonesia tahun 2007:
Indikator
|
Kuba
|
Amerika
Serikat
|
Indonesia
|
Angka Harapan Hidup | 78-79 tahun | 77-78 tahun | 70 tahun |
Angka Kelahiran (kasar) | 11 per1000 penduduk | 14 per1000 penduduk | 19 per1000 penduduk |
Angka Kematian Bayi | 5,3 per1000 kelahiran | 6.37 per1000 kelahiran | 26,9 per1000 kelahiran |
Rasio dokter | 6,5 per1000 penduduk | 2,4 per1000 penduduk | - |
Ketersediaan dokter | 1 utk 155 penduduk | 1 utk 417 penduduk | 1 utk +/-2500 penduduk |
Belanja kesehatan | 250 USD perkapita | 6000 USD perkapita | +/- 494 USD perkapita |
Diolah dari berbagai sumber:
Di
Kuba, rasio dokter dengan penduduknya hampir sama dengan rasio
penduduk dalam satu RT di Indonesia. Sementara di Indonesia sendiri,
rasio dokter kurang lebih sama dengan satu RW atau desa. Di Sulsel
(Dinkes, 2008), rasio perawat adalah 94,36 per-1000 penduduk. Rasio
dokter (umum) lebih rendah lagi, sekitar 12 per1000 penduduk
http://datinkessulsel.wordpress.com/2009/09/03/analisis-kecukupan-tenaga-kesehatan-di-sulsel/.
Itulah sebabnya, aksesibilitas warga Kuba pada layanan kesehatan,
selain mudah juga murah. Tim kecil seorang dokter dan seorang perawat
secara teratur mengunjungi semua keluarga di tingkat kelurahan,
dengan memadukan pengobatan, pengumpulan statistik kesehatan,
pengobatan alternatif, dan pendidikan kesehatan bagi semua warga.
Kerja tim yang biasa disebut brigade kesehatan keluarga ini didukung
dengan pembangunan poliklinik, yang dilengkapi spesialis medis dan
laboratorium dengan berbagai peralatan pencitraan. Setiap poliklinik
dibangun untuk melayani antara 20 sampai 40 ribu orang warga (lih.
Aditjondro, 2009). Pada gilirannya mempertinggi derajat kesehatan
penduduk.
- Aditjondro, 2009 http://www.dkrpapua.com/component/content/article/24-berita-dkr-papua/41-kesehatan-demokrasi-a-hak-hak-ekososbud-belajar-dari-rintisan-dokter-che.pdf
- Bank Dunia, 2010 http://gusschool.wordpress.com/2010/12/23/pendapatan-per-kapita-negara-di-dunia-menurut-world-bank/
- Dirjen Rakerkesnas, 2009 http://publicahealth.wordpress.com/2010/04/16/evaluasi-indonesia-sehat-2010/
- Depkes, 2007 http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=2625&Itemid=2
- Harian Pelita, 2010http://bataviase.co.id/detailberita-10515768.html
Ketersediaan tenaga medis
yang cukup besar ini yang menjadikan Kuba dikenal sebagai "produsen"
dan “pengekspor” dokter dan perawat terbaik di dunia. Pada tahun
2000, lebih dari 28 ribu dokter Kuba tersebar di berbagai Negara.
Pemerintah Kuba membiayai para dokter itu sebagai pekerja
kemanusiaan, kecuali di Afrika Selatan, Argentina dan Venezuela. Pada
tahun 2007, ada 30 ribuan dokter dan tenaga medis Kuba yang bekerja
di Venezuela. Mereka membangun program Barrio Adentro dalam
rangka peningkatan kualitas kesehatan 18 juta rakyat miskin
Venezuela. Selain itu, Havana ibukota Kuba menjadi pusat Sekolah
Kedokteran Amerika Latin (Escuela Latinaamericana de Medicina).
Sebanyak 1500 – 1800 dokter asing lulus dari sekolah ini sejak
tahun 2005, termasuk 689 dokter dari Timor Leste.
Pelajaran ketiga adalah
sistim kesehatan yang tersentral, dalam arti Negara sebagai
satu-satunya penentu kebijakan tertinggi. Ini membuktikan privatisasi
layanan kesehatan tidak selalu benar dan sukses sebagaimana yang
dijanjikan pendukung neolib. Justru, privatisasi dan liberalisasi
layanan kesehatan pada banyak contoh seperti di Amerika Serikat,
termasuk Indonesia terbukti telah menciptakan kesenjangan
aksesibilitas antara orang kaya dengan orang miskin. Adanya
rumah-rumah sakit yang berkelas-kelas, seperti layaknya hotel,
semakin mempertegas ketimpangan struktur kelas sosial. Orang-orang
miskin disubsidi kemudian untuk disalurkan ke dalam puskesmas dan
rumah-rumah sakit milik pemerintah melalui skema jamkesmas atau
jamkesda. Seperti yang publik ketahui, kebanyakan rumah-rumah sakit
pemerintah di Indonesia jauh dari standard of quality of care,
dan terbukti kelas kapitalis menghindarinya dengan alasan sanggup
membayar biaya perawatan di rumah sakit swasta dalam dan luar negeri.
Di Amerika Serikat, kritik publik terhadap sistim kesehatan secara
vulgar digambarkan Michael Moore dalam filmnya Sicko.
Sementara organisasi masyarakat sipil seperti ACORN (Association
of Community for Reform Now) menuntut presiden Barack Obama untuk
segera mereformasi sistim kesehatan yang diskriminatif itu dengan
sistim kesehatan yang “sama-rata”, yakni orang miskin maupun
orang kaya punya hak yang sama mendapatkan fasilitas dan pelayanan
prima di semua level pelayanan. Di Kuba, tuntutan seperti itu sudah
lama dipraktikkan.
Dari uraian di atas, ada
suatu pemahaman bahwa sangat beresiko jika sistim kesehatan
diliberalisasi dan diprivatisasi karena akan membuka jalan bagi
kapitalisme menjadi kekuatan ideologis. Di Kuba, corak kapitalisasi
pelayanan kesehatan tidak bisa berkembang.karena sosialisme yang
diwariskan Che Guevara dan Fidel Castro merupakan landasan idiil
Negara, menjadi acuan utama kebijakan pelayanan kesehatan. Demikian
halnya di RRC, dibawah pemerintahan sosialis warisan Mao Tsetung,
juga sukses mengelola sistim kesehatan dan melayani lebih dari 1,4
milyar penduduknya. Di Indonesia, falsafah Pancasila dan prinsip
kerakyatan yang tercermin dalam pasal-pasal Konstitusi 1945, gagal
dijabarkan dan dipraktikkan secara murni dan konsekuen oleh
penyelenggara negara. Sehingga sistim pelayanan kesehatan pun
“sakit”. Barangkali dengan pemahaman seperti ini bisa membantu
menjelaskan jenis penyakit yang diderita pasien dalam ilustrasi awal
tulisan ini. @wi#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar