30 Des 2011

Catatan Akhir Tahun 2011

Represi terhadap petani, buruh, dan aktivis pengunjuk rasa oleh aparat pengamanan di kawasan industri sepanjang tahun 2011 cukup tinggi. Selain kasus manifes seperti konflik masyarakat adat dan buruh-karyawan di kawasan pertambangan emas PT Freeport Mc Moran di Timika Papua, muncul kasus-kasus yang relatif baru. Sepanjang tahun ini pula, bencana alam terus melanda dunia. Seakan berkejaran dengan bentrokan (bencana) sosial dan korupsi di Indonesia. "Dunia sedang tidak baik-baik saja", bunyi salah satu poster dalam May Day di Makassar setahun lalu. Indonesia sedang kritis digerogoti politisi yang korup, aparat kepolisian yang brutal, dan kapitalis yang serakah.
Pada 22 Agustus 2011, bentrokan antara nelayan di pelosok desa Kolo Bawah kecamatan Mamosalato, di pulau Tiaka kabupaten Morowali Sulawesi Tengah. Nelayan dan pengunjuk rasa menuntut janji perusahaan minyak Joint Operating Body (JOB) antara PT Pertamina dengan PT Medco E&P Tomori yang beroperasi sejak tahun 2005 di lepas pantai Tiaka, yakni hak Ekosob dan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Bentrokan yang berujung kerusuhan ini berakhir dengan korban di pihak nelayan 2 orang tewas.
Pada 3 Oktober 2011, seorang petani bernama Ansu ditembak oleh Polisi setempat. Penembakan terjadi di desa Bonto Biraeng, Kecamatan Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Ansu ditembak saat ia sedang mengambil sapinya di lahan perkebunan karet milik PT. London Sumatera. Tanpa memberikan peringatan dan/atau pendekatan terlebih dahulu, polisi langsung melepaskan tembakan (sumber: sawitwacth.or.id). Konflik agraria petani Kajang dengan PT Lonsum, pecah pertama kali pada tahun 2003, yang menewaskan 2 orang petani, puluhan luka tembak ditahan Polres Bulukumba.
Pada 6 dan 21 Nopember 2011 di Mesuji Lampung, terjadi penembakan oleh aparat kepolisian terhadap petani pengunjuk rasa yang mengakibatkan 2 petani tewas di lokasi kejadian. Bentrok ini dipicu oleh sengketa lahan warga dengan PT Silva Inhutani dan PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI). Selang dua hari, di kota Batam, ratusan buruh bentrok dengan aparat kepolisian dalam aksi massa yang menuntut kenaikan upah minimum. Dalam bentrokan ini empat di antara demonstran luka tembak. Aksi ini dilatar-belakangi deadlocknya perundingan di Dewan Pengupahan Kota Batam.
Di penghujung bulan Desember ini, terjadi lagi bentrokan aksi massa, yang juga menimbulkan koban tewas di pihak rakyat petani. Petani dan pengunjuk rasa menuntut bupati mencabut izin usaha pertambangan PT Indo Mineral Persada dan PT Sumber Mineral Nusantara di Nambu dan Sape kabupaten Bima NTB karena dinilai akan memiskinkan masyarakat lokal dan merusak lingkungan hidup. Dalam penolakannya, petani pengunjuk rasa hampir seminggu menduduki pelabuhan Sape sebagai ekspresi penolakan. Dengan alasan mengganggu kepentingan umum, aparat kepolisian membubarkan secara paksa dan menembaki petani dan pengunjuk rasa. Sebanyak 3 orang tewas dan puluhan luka. Namun, tersebar isu dari masyarakat yang menyebut 12 tewas dan 22 luka tembak.
Catatan penting dari semua peristiwa tersebut adalah peran dan posisi aparat kepolisian yang selalu menjadi pemicu bentrokan dan kerusuhan massa di lokasi sengketa agraria antara rakyat melawan investor-pemilik modal. Suatu pertanda betapa aparatur negara dan pemerintah daerah sudah lama menjadi komprador para kapitalis. Benarlah yang ditudingkan aktivis LSM bahwa aparat negara, khususnya kepolisian adalah "centeng" atau "anjing penjaga" kapitalis.
Di sisi lain, kesadaran rakyat tani dan buruh setahun terakhir ini menguat. Suatu pertanda mereka dalam situasi yang kian terancam secara ekonomi-sosial-budaya, bahkan ancaman bencana alam di masa datang sebagai dampak perubahan iklim. Sayangnya, aksi-aksi teroganisasi dihadapi oleh aparat secara sepihak, dan brutal. Tindakan represif seperti ini tidak akan menyelesaikan akar persoalannya. Dan, tidak akan menyurutkan nyali rakyat yang sudah sekian lama terhimpit kemiskinan.
Para aktivis HAM, mahasiswa, Ormas dan LSM mengecam keras tindakan brutal aparat dalam menghadapi para demonstran. Semua kecaman para aktivis tertuju pada aparat kepolisian dan pemerintahan SBY-Budiono yang dinilai gagal menghapus cara-cara represif rezim Orde Baru di era reformasi ini. Padahal resikonya adalah jabatan Kapolda dan Bupati. Sementara, tuan-tuan pemilik modal merasa terlindungi.
Sebagai bentuk solidaritas, Konsorsium Kemiskinan Kota (UPC) dan Jaringan Rakyat Miskin Kota Indonesia merilis Siaran Pers sehubungan dengan pembubaran paksa dan penembakan aparat kepolisian terhadap petani dan mahasiswa yang menolak pertambangan di Bima NTB.
Solidaritas bagi Korban Rakyat Tani oleh Usaha Pertambangan di Bima
Hentikan Penembakan dan Pembunuhan Demi Pertambangan!
Rakyat tani dan para pengunjuk rasa yang menolak izin usaha pertambangan dan berbagai resiko kerusakan ekosistim di masa mendatang bukanlah suatu kejahatan atau pun pelanggaran peraturan-perundangan-undangan karena kebebasan berserikat dan menyampaikan penolakan dijamin konstitusi dan konvensi internasional. Aksi unjuk rasa dan penolakan rakyat Tani di Bima baru-baru ini tentulah beralasan dan berdasar pada hak ekonomi, sosial dan budaya rakyat tani. Sudah menjadi pengetahuan umum, dan sudah terlalu banyak kasus dan korban yang diakibatkan oleh penetrasi kapital secara paksa untuk pertambangan atas nama kepentingan negara dan pendapatan daerah.
Olehnya itu, pembubaran paksa dan penembakan terhadap rakyat pelaku aksi yang mempertahankan haknya dari kapitalisasi sumberdaya alam dan investasi pertambangan merupakan tindakan yang inkonstitusional dan karena itu suatu pelanggaran hak asasni manuia (HAM). Karena, sesungguhnya negara tidak dalam keadaan bahaya oleh pengunjuk rasa, tetapi negara dibawah pemerintahan SBY-Budiono, tidak berdaya dalam cengkraman tuan-tuan pemilik modal. Perusahaan tambang secara nyata menguras kekayaan sumberdaya alam milik rakyat, dan secara berkelanjutan menciptakan malapetaka, kerusakan, dan ancaman bencana hari ini dan akan datang. Korban pertama dari semua malapetaka itu hanyalah rakyat-tani, sementara tuan-tuan kapitalis dan para kompradornya menangguk untung yang nyaris tidak ada habisnya.
Atas nama Konsorium Kemiskinan Perkotaan dan Jaringan Rakyat Miskin Kota Indonesia menyampaikan belasungkawa bagi saudara-saudari rakyat-tani dan pengunjuk rasa yang tergabung dalam Front Rakyat Anti Pertambangan, yakni 2 orang tewas dan puluhan luka akibat represi brutal aparat, yang dibeking para komprador kapitalis pertambangan.
Sudah seharusnya, pemerintahan SBY-Budiono meninjau kembali semua kontrak karya dan izin operasi perusahaan pertambangan dan keterlibatan aparatur negara di dalam megabisnis tersebut. Meninjau kembali, berarti juga menghentikan (moratorium) pertambangan demi keselamatan rakyat dari bencana dan kemiskinan. Menghentikan, berarti menjamin terpenuhinya hak EKOSOB rakyat-tani, serta terjaganya keseimbangan ekosistm. Melalui siaran pers ini, kami menuntut:
  1. Pemerintahan SBY-Budiono menghentikan dan mencabut izin usaha pertambangan PT Indo Mineral Persada dan PT Sumber Mineral Nusantara di Sambu dan Sape kabupaten Bima
  2. Kapolda NTB mengusut dan mengadili aparat pelaku penembakan rakyat-tani dan pengunjuk rasa
  3. Komnas HAM dan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) memastikan perlindungan hukum terhadap para korban
  4. Bupati Bima bertanggung jawab atas segala kerugian materil dan immateril para korban dan keluarga korban.

Jakarta, 24 Desember 2011
UPC-JRMK Indonesia

Sekretariat Nasional:
Edi Saidi (Koordinator)
M. Nawir (Co-Kordinator)
Ari Ujianto (Co-Kordinator)
Simpul Kota:
JRMK Jakarta
JRMK Tasikmalaya
JRMK Lampung
KPRM Makassar
KLM Porong Sidoarjo
PWSS Surabaya
GERMIS Kendari
JARAK Palu
AKRAM Pare-pare
SIAGA Makassar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar