Represi terhadap
petani, buruh, dan aktivis pengunjuk rasa oleh aparat pengamanan di
kawasan industri sepanjang tahun 2011 cukup tinggi. Selain kasus manifes seperti konflik masyarakat adat dan buruh-karyawan di
kawasan pertambangan emas PT Freeport Mc Moran di Timika Papua,
muncul kasus-kasus yang relatif baru. Sepanjang tahun ini pula,
bencana alam terus melanda dunia. Seakan berkejaran dengan bentrokan
(bencana) sosial dan korupsi di Indonesia. "Dunia sedang tidak
baik-baik saja", bunyi salah satu poster dalam May Day di
Makassar setahun lalu. Indonesia sedang kritis digerogoti politisi
yang korup, aparat kepolisian yang brutal, dan kapitalis yang
serakah.
Pada 22 Agustus
2011, bentrokan antara nelayan di pelosok desa Kolo Bawah kecamatan
Mamosalato, di pulau Tiaka kabupaten Morowali Sulawesi Tengah.
Nelayan dan pengunjuk rasa menuntut janji perusahaan minyak Joint
Operating Body (JOB) antara PT Pertamina dengan PT Medco E&P
Tomori yang beroperasi sejak tahun 2005 di lepas pantai Tiaka, yakni
hak Ekosob dan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Bentrokan yang
berujung kerusuhan ini berakhir dengan korban di pihak nelayan 2
orang tewas.
Pada 3 Oktober
2011, seorang petani bernama Ansu ditembak oleh Polisi setempat.
Penembakan terjadi di desa Bonto Biraeng, Kecamatan Kajang,
Bulukumba, Sulawesi Selatan. Ansu ditembak saat ia sedang mengambil
sapinya di lahan perkebunan karet milik PT. London Sumatera. Tanpa
memberikan peringatan dan/atau pendekatan terlebih dahulu, polisi
langsung melepaskan tembakan (sumber: sawitwacth.or.id).
Konflik agraria petani Kajang dengan PT Lonsum, pecah pertama kali
pada tahun 2003, yang menewaskan 2 orang petani, puluhan luka tembak
ditahan Polres Bulukumba.
Pada 6 dan 21
Nopember 2011 di Mesuji Lampung, terjadi penembakan oleh aparat
kepolisian terhadap petani pengunjuk rasa yang mengakibatkan 2 petani
tewas di lokasi kejadian. Bentrok ini dipicu oleh sengketa lahan
warga dengan PT Silva Inhutani dan PT Barat Selatan Makmur Investindo
(BSMI). Selang dua hari, di kota Batam, ratusan buruh bentrok dengan
aparat kepolisian dalam aksi massa yang menuntut kenaikan upah
minimum. Dalam bentrokan ini empat di antara demonstran luka tembak.
Aksi ini dilatar-belakangi deadlocknya perundingan di Dewan
Pengupahan Kota Batam.
Di penghujung bulan
Desember ini, terjadi lagi bentrokan aksi massa, yang juga
menimbulkan koban tewas di pihak rakyat petani. Petani dan pengunjuk
rasa menuntut bupati mencabut izin usaha pertambangan PT Indo Mineral
Persada dan PT Sumber Mineral Nusantara di Nambu dan Sape kabupaten
Bima NTB karena dinilai akan memiskinkan masyarakat lokal dan merusak
lingkungan hidup. Dalam penolakannya, petani
pengunjuk rasa hampir seminggu menduduki pelabuhan Sape
sebagai ekspresi penolakan. Dengan alasan mengganggu kepentingan
umum, aparat kepolisian membubarkan secara paksa dan menembaki petani
dan pengunjuk rasa. Sebanyak 3 orang tewas dan puluhan luka. Namun,
tersebar isu dari masyarakat yang menyebut 12 tewas dan 22 luka
tembak.
Catatan penting
dari semua peristiwa tersebut adalah peran dan posisi aparat
kepolisian yang selalu menjadi pemicu bentrokan dan kerusuhan massa
di lokasi sengketa agraria antara rakyat melawan investor-pemilik
modal. Suatu pertanda betapa aparatur negara dan pemerintah daerah
sudah lama menjadi komprador para kapitalis. Benarlah yang
ditudingkan aktivis LSM bahwa aparat negara, khususnya kepolisian
adalah "centeng" atau "anjing penjaga" kapitalis.
Di sisi lain,
kesadaran rakyat tani dan buruh setahun terakhir ini menguat. Suatu
pertanda mereka dalam situasi yang kian terancam secara
ekonomi-sosial-budaya, bahkan ancaman bencana alam di masa datang
sebagai dampak perubahan iklim. Sayangnya, aksi-aksi teroganisasi
dihadapi oleh aparat secara sepihak, dan brutal. Tindakan represif
seperti ini tidak akan menyelesaikan akar persoalannya. Dan, tidak
akan menyurutkan nyali rakyat yang sudah sekian lama terhimpit
kemiskinan.
Para aktivis HAM,
mahasiswa, Ormas dan LSM mengecam keras tindakan brutal aparat dalam
menghadapi para demonstran. Semua kecaman para aktivis tertuju pada
aparat kepolisian dan pemerintahan SBY-Budiono yang dinilai gagal
menghapus cara-cara represif rezim Orde Baru di era reformasi ini.
Padahal resikonya adalah jabatan Kapolda dan Bupati. Sementara,
tuan-tuan pemilik modal merasa terlindungi.
Sebagai bentuk
solidaritas, Konsorsium Kemiskinan Kota (UPC) dan Jaringan Rakyat
Miskin Kota Indonesia merilis Siaran Pers sehubungan dengan
pembubaran paksa dan penembakan aparat kepolisian terhadap petani dan
mahasiswa yang menolak pertambangan di Bima NTB.
Solidaritas bagi
Korban Rakyat Tani oleh Usaha Pertambangan di Bima
Hentikan
Penembakan dan Pembunuhan Demi Pertambangan!
Rakyat tani dan
para pengunjuk rasa yang menolak izin usaha pertambangan dan berbagai
resiko kerusakan ekosistim di masa mendatang bukanlah suatu kejahatan
atau pun pelanggaran peraturan-perundangan-undangan karena kebebasan
berserikat dan menyampaikan penolakan dijamin konstitusi dan konvensi
internasional. Aksi unjuk rasa dan penolakan rakyat Tani di Bima
baru-baru ini tentulah beralasan dan berdasar pada hak ekonomi,
sosial dan budaya rakyat tani. Sudah menjadi pengetahuan umum, dan
sudah terlalu banyak kasus dan korban yang diakibatkan oleh penetrasi
kapital secara paksa untuk pertambangan atas nama kepentingan negara dan
pendapatan daerah.
Olehnya itu,
pembubaran paksa dan penembakan terhadap rakyat pelaku aksi yang
mempertahankan haknya dari kapitalisasi sumberdaya alam dan investasi
pertambangan merupakan tindakan yang inkonstitusional dan karena itu
suatu pelanggaran hak asasni manuia (HAM). Karena, sesungguhnya
negara tidak dalam keadaan bahaya oleh pengunjuk rasa, tetapi negara
dibawah pemerintahan SBY-Budiono, tidak berdaya dalam cengkraman
tuan-tuan pemilik modal. Perusahaan tambang secara nyata menguras
kekayaan sumberdaya alam milik rakyat, dan secara berkelanjutan
menciptakan malapetaka, kerusakan, dan ancaman bencana hari ini dan
akan datang. Korban pertama dari semua malapetaka itu hanyalah
rakyat-tani, sementara tuan-tuan kapitalis dan para kompradornya
menangguk untung yang nyaris tidak ada habisnya.
Atas nama Konsorium
Kemiskinan Perkotaan dan Jaringan Rakyat Miskin Kota Indonesia
menyampaikan belasungkawa bagi saudara-saudari rakyat-tani dan
pengunjuk rasa yang tergabung dalam Front Rakyat Anti Pertambangan,
yakni 2 orang tewas dan puluhan luka akibat represi brutal aparat,
yang dibeking para komprador kapitalis pertambangan.
Sudah seharusnya,
pemerintahan SBY-Budiono meninjau kembali semua kontrak karya dan
izin operasi perusahaan pertambangan dan keterlibatan aparatur negara
di dalam megabisnis tersebut. Meninjau kembali, berarti juga
menghentikan (moratorium) pertambangan demi keselamatan rakyat dari
bencana dan kemiskinan. Menghentikan, berarti menjamin terpenuhinya
hak EKOSOB rakyat-tani, serta terjaganya keseimbangan ekosistm.
Melalui siaran pers ini, kami menuntut:
- Pemerintahan SBY-Budiono menghentikan dan mencabut izin usaha pertambangan PT Indo Mineral Persada dan PT Sumber Mineral Nusantara di Sambu dan Sape kabupaten Bima
- Kapolda NTB mengusut dan mengadili aparat pelaku penembakan rakyat-tani dan pengunjuk rasa
- Komnas HAM dan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) memastikan perlindungan hukum terhadap para korban
- Bupati Bima bertanggung jawab atas segala kerugian materil dan immateril para korban dan keluarga korban.
Jakarta, 24
Desember 2011
UPC-JRMK Indonesia
Sekretariat
Nasional:
Edi Saidi
(Koordinator)
M. Nawir
(Co-Kordinator)
Ari Ujianto
(Co-Kordinator)
Simpul Kota:
JRMK Jakarta
JRMK Tasikmalaya
JRMK Lampung
KPRM Makassar
KLM Porong Sidoarjo
PWSS Surabaya
GERMIS Kendari
JARAK Palu
AKRAM Pare-pare
SIAGA Makassar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar