M. Nawir
Sulisa Matra Bangsa
Sulisa Matra Bangsa
Lasusua Kolaka Utara Sulawesi Tenggara adalah
Kampung-Kota para pendatang pencari kerja atau perantau yang
mayoriras menyebut dirinya "Orang Selatan (Sulawesi)". Kesuburan
tanah Kolaka menjadi daya tarik utama ‘orang selatan’ bermigrasi melalui jalur
darat Malili kabupaten Luwu Timur atau melintasi Teluk Bone dari pelabuhan Siwa
kabupaten Wajo. Mereka kemudian berkebun, bertani, berumah-tangga, membaur, dan
berkembang biak hingga akhirnya menjadi penguasa wilayah.
Sekira 70% penduduk Kolaka Utara yang
bermukim di pedesaan adalah etnis keturunan Luwu-Bugis-Makassar-Toraja yang telah
kawin-mawin dengan penduduk asli Tolaki dan Mekongga. Mayoritas Luwu-Bugis lah
yang kemudian membangun pusat kota dan pemerintahan Kolaka, terutama Lasusua
saat ini. Kolaka pun menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di
provinsi Sulawesi Tenggara sebagai salah satu penghasil utama kakao dan
cengkeh, di Indonesia.
Ada banyak
pertimbangan dan alasan yang melatarbelakangi peristiwa migrasi ‘orang selatan’
ke Sulawesi Tenggara. Satu di antaranya dikaji oleh Elok Muhyoutami dkk, yakni
studi tentang jaringan migran etnis Bugis petani kakao (coklat) asal kabupaten Sinjai
Sulawesi Selatan di Konawe (lih. Mengurai
Jaringan Migrasi: Kajian Komunitas Petani Migran Bugis di Sulawesi Tenggara dalam Jurnal
Kependudukan Indonesia Vol. 9 No. 1 Tahun 2014 (ISSN 1907-2902).
Dalam studi kasus Elok dkk menyebut alasan atau pun tujuan utama migrasi ‘orang desa ke desa’
adalah membuka lahan perkebunan: Jaringan informasi
mengenai ketersediaan lahan, harga lahan, dan peluang-peluang lain untuk
meningkatkan pendapatan keluarga menjadi faktor yang cukup menentukan keputusan
migrasi (hal. 14), Alasan yang sama terjadi di Kolaka, terutama masa akhir pemerintahan Soekarno dan awal pembangunan Orde Baru tahun
70-an hingga kini.
Pada masa krisis politik sekira 1955-1960, migrasi orang bugis ke Kolaka, khususnya di Lasusua dipicu oleh ketegangan politik internal. Para sejarawan bahkan menyebut migrasi orang Bugis-Makassar merupakan produk Perang Makassar (Perjanjian Bungayya, 1667). Migrasi atau eksodus ini berlangsung hingga pasca kemerdekaan Republik Indonesia dan peristiwa G-30S PKI (1965). Eksodus orang Bugis di Kolaka dirintis oleh para ‘pelarian’ pendukung DI/TII. Beberapa tulisan tentang Kolaka dewasa ini selalu menyisipkan pengaruh tokoh gerakan separatis Kahar Muzakkar terhadap jaringan sosial orang selatan di Kolaka (https://hamzah73.wordpress.com/2010/05/12/lasusua-kahar-muzakkar-dan-gaya-singapura/
Pada masa krisis politik sekira 1955-1960, migrasi orang bugis ke Kolaka, khususnya di Lasusua dipicu oleh ketegangan politik internal. Para sejarawan bahkan menyebut migrasi orang Bugis-Makassar merupakan produk Perang Makassar (Perjanjian Bungayya, 1667). Migrasi atau eksodus ini berlangsung hingga pasca kemerdekaan Republik Indonesia dan peristiwa G-30S PKI (1965). Eksodus orang Bugis di Kolaka dirintis oleh para ‘pelarian’ pendukung DI/TII. Beberapa tulisan tentang Kolaka dewasa ini selalu menyisipkan pengaruh tokoh gerakan separatis Kahar Muzakkar terhadap jaringan sosial orang selatan di Kolaka (https://hamzah73.wordpress.com/2010/05/12/lasusua-kahar-muzakkar-dan-gaya-singapura/
Beberapa narasumber keturunan Bugis-Luwu yang berusia 50/60-an tahun mengaku bahwa alasan utama orang tua mereka merantau ke Lasusua bukan dipicu oleh krisis lahan pekerjaan. Mereka mengaitkan riwayat perantauannya
dengan ‘gerombolan’ Kahar Muzakar, pimpinan DT/TII yang bersembunyi di
hutan-hutan Sulawesi Tenggra ketika Tentara Republik melakukan aksi militer penumpasan.
Sebagian dari mereka, khususnya orang Luwu mengklaim dirinya sebagai jaringan keluarga
atau mantan pengikut Kahar Muzakkar. Bahkan pengakuan mereka terkesan tidak ada
hubungannya dengan jaringan organisasi gerakan DI/TII. Sebagian besar dari
mereka inilah yang kemudian mendorong kemunculan arus migrasi besar-besaran
orang Selatan ke Tenggara. Mereka pula yang membentuk jaringan dan struktur
sosial kaum migran di Kolaka hingga menguasai ranah ekonomi-politik.
Pada masa pemerintahan Orde Baru – yang dikenal dengan masa stabilitas pembangunan – pun terjadi perantauan (eksodus) berlatarbelakang politik. Banyak contoh kasus, misalnya orang Bugis di kabupaten Wajo meninggalkan atau pun terusir dari kampungnya lantaran berbeda haluan politik dengan kepala Desa. Kejadian ini dialami oleh orang-orang desa yang terang-terangan mendukung dan memilih PPP, PDI, yang tidak mendukung dan memilih partai mayoritas (Golkar).
Pada masa pemerintahan Orde Baru – yang dikenal dengan masa stabilitas pembangunan – pun terjadi perantauan (eksodus) berlatarbelakang politik. Banyak contoh kasus, misalnya orang Bugis di kabupaten Wajo meninggalkan atau pun terusir dari kampungnya lantaran berbeda haluan politik dengan kepala Desa. Kejadian ini dialami oleh orang-orang desa yang terang-terangan mendukung dan memilih PPP, PDI, yang tidak mendukung dan memilih partai mayoritas (Golkar).
Bagi penulis,
kajian tentang ‘displaced person’ lebih tepat untuk menjelaskan dan memahami
riwayat maupun alasan perantauan orang bugis ke Kolaka. Konsep displaced person atau population displacement dikembangkan
oleh badan-badan PBB seperti UNHCR, WHO, UNISDR untuk menggambarkan peristiwa migrasi yang dipicu
oleh konflik politik dewasa ini seperti yang terjadi di Palestina, Suriah, Irak,
juga di Pilipina dan Myanmar yang menimbulkan barisan panjang pengungsian,
pelarian dan perantauan.
Masyarakat Kolaka,
khususnya di Lasusua adalah kaum migran yang telah menjadikan tanah tempat
tinggalnya hari ini sebagai kampung halaman sendiri. Integrasi sosial yang
berlangsung sekian lama melahirkan generasi muda yang – tidak hanya mewarisi
kesuksesan orang tua mereka mengelola sumberdaya alam - tetapi juga mewarisi identitas sosial-budaya
baru sebagai masyarakat lokal Kolaka. Tingkat kesejahteraan keluarga mereka
yang relatif lebih baik daripada penduduk asli memungkinkan kaum muda kelahiran
1990-2000an ini dapat mengkses pendidikan tinggi dalam dan luar negeri.
Jaringan sosial
yang kuat di antara rumpun keluarga (etnis) kaum muda di Kolaka, khususnya
Lasusua, memungkinkan mereka mengisi struktur pemerintahan dari desa hingga
kabupaten. Sebagai contoh, rata-rata
usia sraf pada kantor Kecamatan Lasusua di antara 25-35 tahun. Jabatan kepala seksi dan bidang di kantor
Dinas Pembangunan Masyarakat Desa didominasi kaum muda usia 30 – 40 tahun.
Demikian halnya kepala desa dan kader pemberdayaan masyarakat desa (KPMD) mulai
digerakkan oleh kaum muda berusia 20 – 30 tahun.
Kaum Urban: Desa Membangun Kota
Kaum Urban: Desa Membangun Kota
Masyarakar Kolaka
Utara hari ini adalah kaum urban. Mereka telah bergeser dari semata-mata petani
di pedesaan menjadi kaum urban atau ‘orang kota’. Pola jaringan sosial kaum
migran sebagaimana yang dikemukakan para ahli dalam studi Elok dkk masih
aktual, tetapi kepentingannya sudah berubah. Bukan lagi membuka lahan untuk
berkebun. Dengan keberhasilan mereka dari sektor perkebunan, masyarakat
Kolaka Utara sedang membangun sebuah kota masa depan. Hal ini tampak jelas pada
penataan ruang kabupaten Kolaka Utara yang mengikuti trend kota pantai (water front city).
Kota Lasusua – dengan tingkat kepadatan penduduknya hanya sekitar 30 jiwa/km – terlalu jauh dibandingkan dengan kota Makassar, apalagi Jakarta atau pun Singapura yang warganya serba antri di jalan raya maupun di pusat-pusat pertokoan. Kota kecil ini masih terlalu besar bagi penduduknya yang 70% dari sekitar 161.000 jiwa (2016) bekerja di sektor perkebunan dan pertanian. Pada hari-hari kerja terasa sepi dari keriuhan. Jalan-jalan raya yang cukup luas tanpa kemacetan, terasa nyaman melintasinya Bahkan pada hari Jum’atan pun, sebagian besar warga shalat berjamaah di mesjid-mesjid kampung daripada ke Mesjid Raya. Demikian halnya dengan tingkat kunjungan masyarakat ke kawasan wisata maupun pusat hiburan, masih bergantung pada momen tertentu seperti liburan dan hari raya.
Dalam hal ini,
penulis mengapresiasi Lasusua saat ini dalam proses menjadi kota moderen. Adanya
Land-mark Suawindu dan revitalisasi
kawasan pesisir merupakan prasyarat infrastruktur untuk sebuah kota yang maju di
masa datang.
Seminggu di Lasusua, saya dan tim Balatmas Makassar singgah di "Danau Biru" dan "Tamborasi". Melintasi
tikungan jalan yang pendek-pendek di antara tebing yang rawan longsor. Sepanjang
jalan, Teluk Bone bagai laut tak bertepi. Cengkeh, kakao, merica pun seakan
berkelebat di kiri-kanan jalan.
Kolaka utara memiliki dua lokasi wisata alam
perairan yang unik; Danau Biru di desa Wasolihu kecamatan Wawo dan “Sungai Tamborasi”
di desa Tamborasi kecamatan Wolo. Keduanya dapat diakses dari jalan poros
Kolaka – Kolaka Utara sekitar 500 meter dari badan jalan. Keduanya berada di
pesisir Teluk Bone..
Kawasan perairan Danau Biru maupun
Tamborasi merupakan pertemuan air tawar (mata air) dengan air laut melalui
celah tebing (gua) yang sempit. Permukaan air berwarna biru kehijauan laiknya
air laut di kawasan terumbu karang. Rasa air yang payau lagi dingin dengan
kedalaman hingga 7 meter membuat kawasan ini menjadi nyaman untuk diselami,
atau pun sekedar piknik.
Danau Biru hanyalah sumber mata air yang dikelilingi dinding batu dan membentuk kawasan danau seluas 500 meter persegi seperti halnya mata air pegunungan kars. Bedanya, mata air danau ini menyatu dengan air laut yang masuk melalui celah gua batu, Sehingga elevasi air danau mengikuti pasang surut air laut. Demikian halnya dengan mata air sungai Tamborasi. Sungai ini diklaim sebagai salah satu sungai terpendek di dunia, yakni sekira 20 meter. Melalui celah gua batu, mata air sungai ini mengalir dan bertemu dengan air laut. Selain dapat menikmati kesejukan alam, kejernihan air, pengunjung juga dapat melihat beberapa ikan yang sejenis atau biasanya ditemukan di kawasan terumbu karang.
Danau Biru hanyalah sumber mata air yang dikelilingi dinding batu dan membentuk kawasan danau seluas 500 meter persegi seperti halnya mata air pegunungan kars. Bedanya, mata air danau ini menyatu dengan air laut yang masuk melalui celah gua batu, Sehingga elevasi air danau mengikuti pasang surut air laut. Demikian halnya dengan mata air sungai Tamborasi. Sungai ini diklaim sebagai salah satu sungai terpendek di dunia, yakni sekira 20 meter. Melalui celah gua batu, mata air sungai ini mengalir dan bertemu dengan air laut. Selain dapat menikmati kesejukan alam, kejernihan air, pengunjung juga dapat melihat beberapa ikan yang sejenis atau biasanya ditemukan di kawasan terumbu karang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar