29 Jun 2025

Punk dalam Perspektif Glokalisasi

Topik dalam tulisan ini terinspirasi dari hasil penelitian mengenai komunitas Punk di kota Makassar (Israpil, “Punk Makassar: Subkultur yang Kreatif” dalam Jurnal Al-Qalam Volume 20 Edisi Khusus, Desember 2014: 75-84). Peneliti berkesimpulan bahwa cara hidup Punk merupakan praktik subkultur kaum muda yang menyatakan “ketidakpuasan terhadap sistem pemerintahan terutama kapitalis, sistem kebudayaan, pengkotak-kotakan sosial, penindasan dimana-mana, semakin lebarnya jurang pemisah antara masyarakat yang kaya dengan masyarakat yang miskin, menentang bentuk represi atas kebebasan berekspresi.

Sebagai fenomena budaya perkotaan, pernyataan komunitas tersebut menarik untuk didiskusikan dalam konteksnya, di kota Makassar. Pertanyaan diskusi, apakah gaya hidup Punk merupakan bentuk glokalisasi (glocalization) dalam arti “globalisasi yang terlokalisasi?” atau “lokalisasi cara hidup global?”. Pertanyaan ini relevan dengan pandangan Roland Robertson, “Glocalization: Time-Space and Homogenity-Heterogenity” (Global Modernities, 1995:25-41).

1.      Cara Hidup Punk: Gobalisasi yang Terlokalisasi?

Globalisasi menurut Robertson, “the compression of the world” (1995: 35, 40), atau semacam “pemampatan dunia (ruang-waktu)” secara total (global) yang menghadirkan lokalitas. Tren globalisasi tidak terelakkan dalam ketegangan dengan gagasan lokalisasi. Robertson menegaskan pendapatnya bahwa globalisasi dalam “kompresi dunia” melibatkan penciptaan dan penggabungan lokalitas yang beragam, bukan atau tidak selalu menyeragamkan (homogenisasi) dunia. Oleh karena itu, Robertson lebih suka menggunakan konsep glokalisasi, menggantikan istilah globalisasi.

Umumnya, cara hidup Punk identik dengan tren gerakan antikemapanan kaum muda di Amerika Serikat, dekade 1980-an. Tetapi sebenarnya, komunitas Punk merupakan keberlanjutan dari tradisi sub-kultur Skinhead, yakni gaya hidup subkultur kaum muda kelas menengah (Mods) yang “nyentrik” (nyeleneh) di London, Inggris dekade 1960-an. Gaya hidup ini diadaptasi oleh kelas pekerja industri di Amerika Serikat. Tradisi Mods/Punk terus bertransmisi ke belahan dunia lain, termasuk Indonesia dekade 1990/2000-an.

Di kota Makassar, sub-budaya Punk dinyatakan dalam bentuk, antara lain: Fanzine (fan magazine), Distro (Fashion), Tato/Tindik (Pierching), termasuk Mural (Grafiti), dan Vegetarianis (Food Not Bombs). Praktik representasi perlawanan ini berciri global (globalized). Boleh dikata sama bentuk dan praktiknya di seluruh jejaring Punk. Gaya hidup mereka mudah dikenali dari perilaku sehari-hari di jalanan. Umumnya, mereka adalah remaja dengan potongan rambut, pakaian, pola interaksi, bentuk ekspresi yang khas, unik. Mereka distigma “liberal”, “eksklusif”, “anti-budaya (moral-publik)”, “anarkis”, bahkan dicemooh “katuruq-turuqkang” (epigon)’ dengan “budaya Barat”.

Sebagaimana pembacaan Featherstone & Lash (1995: 5), “Globalization, Modernity and the Spacialization of Social Theory: An Introduction” bahwa “yang ada dalam pikiran Robertson bukanlah kehadiran artefak global dalam lokal, tetapi lebih pada proses pelembagaan, dimana terdapat penciptaan lokalitas dalam ruang global dengan beragam bentuknya. Apakah dengan demikian gaya maupun cara hidup Punk ini mengadopsi secara utuh “globalitas” kaum muda Barat? Dimana representasi lokalitasnya? Hal ini memerlukan pengkajian lebih lanjut.

2.      Komunitas Punk: Lokalitas yang Mengglobal?

Robertson mengartikan lokalitas adalah entitas budaya (gemeinschaft) yang hidup dari masa ke masa, bahkan sebelum masyarakat mendengungkan kembali era globalisasi. Baginya, lokalitas adalah ruang sosial budaya (Lefevbre/Harvey, “ranah kontestasi sosial”), tidak melulu dipahami dalam ranah geografis. Dalam subtopik “Glocalization” (1995:29), Robertson tidak sepenuhnya sependapat dengan anggapan lokalitas sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni global; pertentangan antara 'universal subaltern’ dengan 'hegemoni universal' atas budaya dan/atau kelas dominan. Dalam jargon aktivisme sosial, situasi pertentangan tersebut lazim disebut kontra-hegemoni terhadap “imperialisme budaya” produk kapitalisme-global.

Robertson tidak menentang globalisasi dengan segala implikasinya. Tidak juga sepakat dengan tesis “imperialisme budaya” (1995: 37). Ia hanya mengkritik persepsi awam termasuk sosiolog yang cenderung berasumsi “globalisasi adalah proses yang mengesampingkan lokalitas, termasuk lokalitas skala besar seperti yang ditunjukkan dalam berbagai nasionalisme etnis.

Globalisasi sering diartikan hilangnya batas-batas budaya-bangsa. Penafsiran ini mengabaikan dua hal. Pertama, entitas lokal, yang sebagian besar dibangun atas dasar trans- atau super-lokal. Menurut Robertson, “sebenarnya banyak promosi lokalitas dilakukan dari atas atau dari luar…” Kedua, kurangnya diskusi tentang waktu dan ruang dalam wacana universalisme versus partikularisme. Posmodernis menginginkan “ruang partikularistik harus diberi perhatian lebih besar sebagai kritik terhadap universalisme” yang cenderung mendefinisikan lokalitas heterogenitas secara sepihak (dari atas, dari luar).

Pandangan tersebut berkolerasi positif dengan diaspora budaya dalam wacana globalisasi Stuart Hall (“Globalization and Diaspora” dalam YouTube Media Education Foundation, 2020). Hall menggunakan frase “globalisasi dari bawah” untuk menarasikan migrasi yang berlangsung secara ‘illegal’, dimana orang-orang melintasi batas-batas negara (transnationalism), tetapi kemudian membentuk suatu entitas budaya diaspora dalam ruang hidup bersama. Hall membedakan proses globalisasi dari bawah dengan globalisasi kontemporer (globalization from above) yang digerakkan oleh modal, teknologi, pesan, gambar, investasi, wirausahawan, kelas eksekutif korporat global: “Everybody is on the move, according to the logic of globalization, except the poor” (transcript, p. 15).

Sejalan dengan pemikiran Robertson, identitas budaya dalam arus global terkonstruksi secara dinamis, melalui hubungan dengan budaya lain. Identitas lokal merupakan bagian dari reaksi terhadap proses global. Ekpresi identitas menjadi cara untuk memahami posisi individu dan komunitas dalam dunia yang semakin terhubung.

3.      Punk: Praktilk Glokalisasi?

Istilah “glocal” dalam The Oxford Dictionary of New Words (1991: 134) merupakan gabungan kata ‘global’ dan ‘local'. Konsep ini merupakan pemodelan ide dochakuka Jepang, yang berarti "hidup di tanah sendiri", atau pinsip adaptasi teknik bercocok tanam petani, yang kemudian diadopsi ke dalam ranah perekonomian (bisnis) global berbasis lokal. Jadi sesunguhnya konsep glokalisasi merupakan proses pembentukan budaya.

Robertson merumuskan konsep glokalisasi merujuk Yoshino (1992) mengenai fenomena nasionalisme budaya bangsa Jepang pasca Perang Dunia II (Periode Meiji), yakni nihonjinron (wacana tentang dan keunikan Jepang) yang melembaga dalam keseharian (1995:41). Jepang memberikan contoh paling terkenal dari apa yang disebut Westney (1987) sebagai emulasi lintas masyarakat. Emulasi dalam konteks perekonomian orang Jepang berarti penyalinan secara mendalam (sentimentil, ambisius), berbeda dengan istilah imitasi (peniruan) dalam proses transmisi budaya. Robertson, memaknai hal itu dengan istilah “penggabungan selektif dengan menyalin ide dan praktik budaya masyarakat lain untuk terlibat dalam berbagai tingkat sistematisitas proyek impor dan hibridisasi”.

Pada bagian kesimpulan, Roberrson (1995: 41), menegaskan kembali tujuan penggunaan kosnep glokalisasi karena globalitas peradaban masa kini membatasi kita untuk membuat analisis dan interpretasi tentang dunia kontemporer baik spasial maupun temporal, geografis maupun historis (Soja, 1989). Oleh karena itu, proyek glokalisasi akan menjadi fitur konstitutif masyarakat kontemporer yang terus-menerus merefleksi dan menbentuk ulang makna globalisasi.

Fenomena budaya komunitas Punk Makassar, satu sisi meniru (imitasi) model perlawanan subkultur kaum muda Barat (Mods, Skinhead, Subaltern) terhadap isu sentral kapitalisme neoliberalisme – pada sisi lain, praktik budaya mereka terkesan “jalan sendiri”, tidak terintegrasi, atau setidaknya belum terdefinisikan dalam strategi kebudayaan nasional. Faktanya, masyarakat masih memandang perilaku budaya mereka adalah asing (aneh).

Sulit untuk meletakkan praktik subkultur Punk ke dalam gerakan glokalisasi sebagaimana akar tradisi jepang (dochakuka, nihonjinron) yang oleh Robertson didefinisikan sebagai penggabungan selektif dari unsur-unsur heterogenitas budaya lokal, dan proses pembentukan modalitas budaya bangsa. Betul, peradaban dunia kontemporer yang terkompresi oleh media digital memicu tumbuhnya subkultur dan kontra-budaya (counter-culture), termasuk komunitas Punk. Akan tetapi penting untuk menguji apakah tradisi subkultur itu terintegrasi dengan kepentingan bangsa; apakah praktik budaya perlawanan itu mereprsentasi keragaman entitas budaya lokal.

Sekalipun gerakan subkultur ini dapat dipahami sebagai siasat sebagaimana dimaksud Karlina Supeli (2013) dalam “Kebudayaan dan Kegagapan Kita” bahwa “kebudayaan adalah siasat”, tetapi praktik sehari-hari itu sepantasnya berbasis lokalitas (historis-kultural), dan terintegrasi, atau tidak memicu resistensi terhadap lokalitas itu sendiri. (M. Nawir, Alumnus FSUH. Makassar, 05/06/2025).

Published: https://harian.fajar.co.id/2025/06/18/punk-dalam-perspektif-glokalisasi/

 

11 Mei 2025

MEMBACA ULANG KPRM 2002-2025

 

Belajar, Berorganisasi, Berjuang untuk Sejahtera

Oleh M. Nawir[1]

Tulisan ini merupakan refleksi atas perjuangan kelompok, komunitas warga, serta organisasi masyarakat sipil, khususnya di kota Makassar dalam dua dekade terakhir. Salah satu organisasi komunitas yang dapat dijadikan rujukan adalah KPRM- Komite Perjuangan Rakyat Miskin.

KPRM adalah organisasi warga miskin perkotaan yang dideklarasikan pada September 2002 di Kota Makassar dalam suatu kegiatan Temu Kota yang diinisiasi oleh aktivis Ornop. Momen deklarasi KPRM dihadiri oleh beberapa kelompok dari kota Makassar, Gowa, Bulukumba, Pangkep, dan Sengkang. Para deklarator terdiri dari tujuh perwakilan komunitas warga, yakni: KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat), PKL (Pedagang Kaki Lima), Pengemudi Becak, Kelompok Janda Maccini Sombala, dan Pemulung. Dalam momen ini pula terjadi dialog warga dengan anggota DPRD Kota Makassar, dan Pemerintah Kota.

Sejak pendeklarasiannya, KPRM menjadi wadah pendidikan dan pengentasan kemiskinan, khususnya di sekor layanan publik seperti pemenuhan hak atas pangan (sembako), kesehatan (BPJS/PKH), pendidikan (KIP/Beasiswa), identitas (Akte/KTP), dan Bansos. Berdasarkan pengalaman ini, KPRM mencetuskan motto “Belajar, Beroganisasi, Berjuang untuk Sejahtera”.

Pada dekade 2004-2014, KPRM bersama Jaringan Rakyat Miskin Kota (Uplink Indonesia) mengadvokasi hak atas perumahan bagi warga yang terancam penggusuran seperti kampung Lette, kampung Pisang Maccini Sombala, Bontoduri, Kassi-Kassi, dan Buloa. Kampung-kampung kota ini hanya beberapa dari sekian banyak pemukiman warga miskin yang sintas dari penggusuran. Beberapa perkampungan lainnya mengalami penggusuran secara paksa (force eviction) akibat ketiadaan solusi dalam konflik pertanahan antara warga versus kelompok kepentingan ekonomi dan politik dominan.

Seiring dengan banyaknya sengketa pertanahan yang rumit, mengancam dan mengorbankan petani dan warga miskin perkotaan, Pemerintah RI melalui Perpres 62/2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria menata ulang kebijakan pertanahan dalam rangka mengatasi potensi dan manifestasi konflik agraria, termasuk di perkotaan. Percepatan pelaksanaan Reforma Agraria (RA) dilaksanakan melalui strategi: (1) Legalisasi aset; (2) Redistribusi tanah; (3) Pemberdayaan ekonomi Subjek RA; (4) Kelembagaan RA; dan 5) Partisipasi masyarakat. Kelima strategi ini menjadi rujukan instruksional bagi Pemda/Pemkot untuk memasukkan program RA dalam perencanaan pembangunan daerah dan mengalokasikan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). Konsekuensinya, capaian pelaksanaan RA merupakan indikator kinerja Pemda sebagaimana bunyi Pasal 3 ayat (2): “Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri menetapkan pelaksanaan RA di daerah sebagai salah satu indikator penilaian kinerja Pemda.”

Penulis memaknai refleksi atas KPRM adalah perjuangan warga menuntut hak-hak konstitusional atas kota, yang merupakan tanggung jawab pemerintah untuk mewujudkannya. Hak atas kota (right of the city) sebagaimana dimaksud para ahli adalah Hak Asasi Manusia dalam kepemilikan pribadi maupun kolektif. Secara konstitusional hak atas kota sangat jelas dijabarkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yakni hak atas informasi yang transparan, hak atas kecukupan pangan, hak atas pendidikan yang terjangkau, hak atas layanan kesehatan berkualitas, hak atas perumahan layak huni, dan tentu saja kepastian hukum atas tanah tempat tinggal dan berusaha. Persoalannya, seringkali aspirasi warga kota terabaikan, dan secara sepihak pemerintah lebih mengedepankan aspirasi kelompok kepentingan dominan seperti pengembang, mafia tanah, termasuk kebijakan pembangunan untuk kepentingan umum. Padahal sejarah kota Makassar adalah sejarah pembentukan ruang hidup bersama warga setempat, pendatang, dan tentunya aparat birokrasi pemerintah. Tidak mungkin kota ini dibangun hanya oleh pengembang atau pun pemerintah. Kota Makassar adalah produk warga Makassar dari manapun asalnya (common space) sejak zaman kolonial hingga era globalisasi.

Tidak cukup dengan kebijakan afirmatif pemerintah kota dalam memberikan layanan dan memenuhi kebutuhan dasar warga. Ada hak fundamental karena itu bersifat universal yang harus dipenuhi pemerintah, yakni kesetaraan hak dalam perencanaan pembanguna kota. Partisipasi warga dalam Musrenbang hanya satu mekanisme. Namun, partisipasi yang sesungguhnya adalah pelibatan warga dalam pembangunan berdasarkan pengalaman hidup mereka sehari-hari agar tepat sasaran, berdaya dan berhasil guna. Agar hasil pembangunan tidak mubasir, pemerintah sudah seharusnya melembagakan “apa maunya warga”, “bagaimana cara memenuhinya”, dan “bagaimana mengatasi keterbatasan yang ada” dengan kebijakan efisiensi belakangan ini.

Pengalaman dua puluh tiga tahun KPRM memberikan pemahaman: pertama, mereka merepresentasi pandangan dunia, cara hidup, dan kelembagaan warga sehari-hari hasil dari dinamika sosial, politik, dan sejarah kota. Budaya urban warga miskin perkotaan adalah hasil dari perjuangan mereka untuk bertahan (adaptasi, resistensi, kompromi) dalam kondisi yang sulit. Kedua, sebagai komunitas budaya, mereka memproduksi pengetahuan tentang bagaimana berbagi lahan (land-sharing) dan menata pemukiman (upgrading) sebagai solusi keterbatasan ruang hunian. Ketiga, mereka terorganisasi dalam kegiatan arisan, tabungan, gade-gade, warung kopi, koperasi, urban farming, dan berbagai hiburan maupun seni kampungan. Keempat, mereka adalah orang-orang kosmopolitan, dan menjadi bagian penting dari gerakan masyarakat sipil dan masyarakat politik. Dalam skala tertentu, mereka berkontribusi membangun Makassar “kota kuliner enak”, “kota inklusif”, dan “kota dunia”. Kelima, tidak cukup dengan pelayanan, pemerintah kota harus menjamin kepastian dan keamanan bermukim karena hal ini merupakan prasyarat bagi warga untuk hidup layak dan produktif bagi masa depan keluarga, anak-anak dan cucu mereka. (dimuat Tribun Timur.com 10/05/2025: Membaca Ulang KPRM 2002 - 2025: Belajar, Berorganisasi, Berjuang untuk Sejahtera - Tribun-timur.com


[1] Ketua Dewan Pengawas Koperasi Konsumen KPRM


9 Mei 2025

Mappinawang: Memori Kolektif Aktivis

 

M. Nawir*

Pepatah Melayu lama: Harimau mati meninggalkan belang, Gajah mati meninggalkan gading – dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti orang yang berjasa akan selalu disebut-sebut oleh orang (hidup) walaupun telah pergi selamanya. Orang hidup lazim mengenang orang mati itu dalam sebutan almarhum atau almarhumah, “orang yang dirahmati Allah SWT”.

Mappinawang, pergi meninggalkan nama baik beserta kebaikannya. Secara moral, segala keburukan almarhum semasa hidup telah terhapus karena hal itu merupakan kewajiban kita untuk melupakannya. Baik kelebihan maupun kekurangan almarhum lebur dalam makna pembelajaran (hikmah), teladan kebaikan. Inilah yang dimaksud peribahasa di atas, “jasa baik” almarhum patut dikenang sepanjang masa.

Tulisan ini bermaksud mengawetkan nilai budaya aktivisme dari rekonstruksi pengalaman pribadi untuk memetik hikmah dari suatu konteks peristiwa dan aktor masa lampau. Pada prinsipnya, transmisi budaya merupakan proses keberlanjutan makna dari masa lalu ke masa kini. Oleh karena itu, penulis memaknai pengalaman lampau itu sebagai metode penerusan nilai dan pengetahuan dari senior kepada yunior.

*****

Sebagaimana namanya, Mappinawang berakar dari kata dalam Bahasa Makassar “minawang”, berarti “mengikut”. Minawang itu sendiri adalah konsep kepengikutan dalam kebudayaan Bugis-Makassar. Minawang merupakan cetak dasar pola relasi “patron-klien” masyarakat Sulawesi Selatan[1]. Sehingga dapatlah dikatakan kata “mappinawang” bermakna “orang yang patut diikuti atau panutan”.

Saya mengenal dan berinteraksi dengan almarhum Mappinawang pada dekade 1990-an semasa dia menjabat direktur LBH Makassar jelang Reformasi 1998. Sebelumnya, saya mengenal LBH Makassar melalui almarhumah Zohra Andi Baso, Ketua YLK Sulsel semasa kepemimpinan almarhum Andi Rudyanto Asapa, SH (1992), kemudian Nasiruddin Pasigai, SH (1993-1996). Semasa kepemimpinan Mappinawang inilah saya sering bekerjasama dalam kegiatan advokasi.

Bersama mendiang Hasbi Abdullah, SH, direktur LBH Makassar 2004-2007, saya terlibat dalam Tim Advokasi “Proyek Reklamasi Pantai Losari/Tanjung Bunga”. Mappinawang menjadi koordinator, dan saya diminta kawan-kawan LBH menjadi sekretaris atau lebih pasnya notulis lantaran rajin menulis siaran pers. Kami menyebutnya reklamasi pantai Losari karena pemerintah kota Makassar memberikan izin investor/pengembang PT GMTDC (Gowa Makassar Tourism Development Corporation)[2] membangun jalan penghubung Losari – Barombong sejauh 2 kilometer, yang kini kita kenal Jalan Metro Tanjung Bunga.

Advokasi kasus reklamasi pantai Losari reda bukan oleh represi, tetapi akibat kerusuhan rasial[3] yang dipicu pembunuhan oleh pengidap gangguan jiwa terhadap bocah berusia 9 tahun sepulang mengaji di sekitaran jalan Kumala. Tidak lama berselang, para senior dan aktivis organisasi masyarakat sipil diundang rapat oleh Pangdam Kodam VII Wirabuana Jenderal Agum Gumelar untuk berdialog dengan Pemerintah Daerah dan Pengembang Lippo Group mewakili PT GMTDC.

Ringkas cerita, momen kerja advokasi itu membuat saya semakin mengenal kepribadian almarhum Mappinawang, dan para senior lainnya. Beberapa memori kolektif yang bagi saya sangat berkesan antara lain:

Pertama, Kepada Yth. Andi Mappinawang, SH Direktur LBH Makassar di Tempat. Saya seringkali menyebut atau menulis surat dari YLK Sulsel kepada almarhum seperti itu. Tetapi, almarhum tidak pernah juga mengoreksi sebutan saya itu secara pribadi maupun dalam pertemuan diskusi. Yang saya ingat, almarhum diam atau senyum simpul saja ketika saya menyebutnya “andi”. Saya mengakui, selain pengaruh senioritas berlatar feudal masa itu, saya sungguh menghormati penampilan almarhum di berbagai forum. Penampilannya semi-formal, berbahasa minus hiperbola atau pun sarkastis, dan sering mengambil keputusan secara bijak.

Kedua, Pak Mappi dan Kak Mappi. Demikian saya sering menyapa almarhum Mappinawang. Bagi kolega Lembaga Bantuan Hukum dan aktivis lazim menyapa almarhum Mappi dan Kak Mappi. Penyebutan ini menegaskan sifat dasar kesesamaan sosial (egalitarian), yang bertolak belakang dengan keberbedaan posisi seperti dalam pola relasi majikan-buruh atau ajjoareng-joa. Suatu ciri relasi patronase[4] dalam aktivisme sosial hingga kini.   

Ketiga, Orang Selayar. Lama juga saya baru tahu ternyata Mappinawang orang Selayar. Saya hanya mengira-ngira Mappinawang orang Bugis. Hal ini menjadi kelaziman dalam relasi aktivisme. Dalam interaksi di antara para aktivis, seringkali tidak mempertanyakan identitas kedaerahan atau pun asal-usul etnisitas. Umumya identitas seperti ini hanya dikenali dari logat dan dialek bahasa, kemudian diterima begitu saja. Lebih sering mereka memandang sesama sebagai teman diskusi, dan terutama pada peran-peran aktivisme seperti latar belakang organisasi, dan ideologi perjuangannya, tidak pada posisi dan jabatan.

Keempat, Alumni Unhas. Latar dan strata pendidikan juga bukan merupakan identitas yang diutamakan dalam relasi akrivisme. Satu pengecualian bagi aktivis bantuan hukum atau pengacara seperti Mappinawang, SH sebagai persyaratan tugas-tugas profesional. Umumnya aktivis tidak menuliskan gelar akademik di depan atau belakang nama. Bahkan saya baru tahu dari Pahir Halim, SH mantan Ketua KPID Sulsel bahwa Mappinawang adalah alumni Fakultas Hukum Unhas Angkatan 1982, seletting dengan Prof. Aswanto, SH.MH.

Kelima, Mappinawang dan Adnan Buyung Nasution. Dari Pahir Halim pula saya mengenal karakter dasar almarhum yang rendah hati. Suatu masa pasca menjabat direktur LBH Makassar, Mappinawang diminta oleh Adnan Buyung Nasution ke Jakarta untuk memimpin YLBHI. Namun, tidak lebih dari dua tahun, Mappinawang kembali ke Makassar. Hal ini yang membuat Adnan Buyung penasaran karena Mappinawang terkesan tidak menghargai permintaan seniornya itu. Konon Adnan Buyung menilai Mappinawang cocok memimpin YLBHI karena dinilai berkarakter dan berintegritas pada profesi pembela keadilan di level nasional. Seperti yang diceritakan Pahir, kabarnya Mappinawang tidak betah kerja di Jakarta. Mungkin di benak almarhum, geopolitik Jakarta terlalu kejam bagi para pembela HAM. Dengan kesederhanaan pikiran itu, dia meninggalkan Jakarta dan mendirikan Mappinawang & Partners.

Keenam, Pejuang Perlindungan Anak. Almarhum Mappinawang adalah Dewan Pembina Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan. Di tengah kesibukannya sebagai komisioner KPUD Sulsel, Mappinawang hadir, duduk bersilah, dan berorasi di tengah ratusan anak dari keluarga miskin dalam Perayaan Hari Anak Nasional 2007 di depan Monumen Mandala. Almarhum memberikan semangat kepada keluarga miskin yang tergabung dalam Komite Perjuangan Rakyat Miskin (KPRM) untuk menuntut Hak Anak mendapatkan pendidikan gratis.

Hikmah dari rekonstruksi pengalaman lampau adalah pentingnya mentransmisikan nilai-nilai kebaikan dan keteladanan dari orang-orang yang dirahmati Allah SWT (almarhum):

Pertama, mempertautkan pengalaman lampau dalam kehidupan masa kini semakin terasa dibutuhkan untuk merawat nilai dasar aktivisme sosial.

Kedua, menarasikan kembali sepak terjang para pendahulu hanyalah satu sisi – lebih dari sekadar mengaktualkan ketokohan adalah cara kita merawat memori kolektif tentang kesetiaan pada misi perjuangan membela kaum tertindas.

Ketiga, Mappinawang dan deretan nama sahabat yang telah mendahului kita memberikan pesan bahwa surplus demografi “usia muda” berarti pula defisit “usia tua”.

Makassar, 24 Pebruari 2025

*Penulis adalah alumni FIB Unhas (1987-1994), Pengurus YLK Sulsel (1994–sekarang), Dewan Nasional Walhi Sulsel (1996-1999), Fasilitator KPRM (2002–2014).



[1] Minawang: Hubungan Patron Klien di Sulawesi Selatan, Heddy Shri Ahimsa-Putra, 1988

[2] Didirikan pada tahun 1991. Sejak 1994 Lippo Group merupakan investor utama. Menyambut tren global “Water Front City” (Kota Pantai), pemerintah kota Makassar melakukan pembebasan lahan untuk proyek Tanjung Bunga. Sesuai dengan dokumen AMDAL (1996), pembangunan proyek Tanjung Bunga mencakup wilayah Makassar dan Gowa seluas 5000 Ha. Pemprov Sulsel dan Pemkot Makassar kemudian turut menjadi pemegang saham. https://www.tanjungbunga.com/tentang-kami/, https://www.idnfinancials.com/id/GMTD/PT-Gowa-Makassar-Tourism-Development-Tbk

[4] James Scott (1983) dalam Ahimsa (1988), merinci relasi patronase adalah hubungan normatif yang berbeda dengan hubungan kekerabatan. Norma yang mengatur hubungan patronase bersifat umum, mengandung unsur nilai bahwa seharusnya seseorang menghormati orang yang membantunya, tidak mencederainya. Bahwa hubungan patron klien tidak dimunculkan secara sepihak, melainkan diciptakan bersama sebagai pedoman bekerjasama.