https://harian.fajar.co.id/2024/06/22/macaca-maura-dekat-di-mata-jauh-di-hati/3/
Oleh: M. Nawir
Ungkapan “dekat di mata jauh di hati” pada subjudul di atas merupakan pembalikan maksud dari peribahasa lama, “jauh di mata dekat di hati”. Makna peribahasa lama ini lebih tepat menggambarkan perasaan simpati sahabat di kampus Leipzig Jerman pada kelangsungan hidup Macaca Maura. Sebaliknya, orang-orang yang memberi makanan kepada Macaca di jalanan memang dekat (di mata) secara spasial, tetapi secara emosional jauh (di hati).
Bagaimana
mendekatkan persoalan Macaca menjadi kepentingan bersama? Melalui tulisan ini
saya hendak membagi pelajaran berharga kelas Conservation and Performing Arts
(CPA) yang difasilitasi oleh Center for Competence of Theater (CCT) Universitas
Leipzig Jerman. Kelas ini melibatkan para pembelajar dari ISI Yogyakarta, ISBI
Sulsel, Fakultas Kehutanan Unhas, Balai KSDA, TKU Unhas dan Kosalam Maros.
Konservasi dan Transmisi Budaya
Suatu
tradisi akan berkembang atau punah bergantung pada keberlangsungan transmisi
budaya. Melalui mekanisme mengajar dan belajar, suatu kelompok sosial
mengawetkan ciri-ciri perilaku dominan (Cavalli-Storza & Feldman, 1981);
melalui pengamatan, imitasi, pengajaran, bahasa (Mesoudi, 2008) tentu
mendekatkan pembelajar dengan persoalan nyata.
Macaca adalah subjek solidaritas. Caranya, manusia belajar pada kera untuk memahami perilaku, ekspresi, dan ruang hidup Macaca. Sudut pandang ini sebenarnya otokritik terhadap perilaku manusia. Biasanya, manusia melatih kera untuk dipertontonkan sebagai hiburan. Kebanyakan peneliti pun menjadikan kera sebagai objek kajian ilmiah semata. Dalam pembelajaran CPA, kera Macaca menjadi subjek pembelajaran.
Pembelajaran CPA
Curtis
(2006) berpendapat bahwa pegiat gerakan lingkungan hidup harus mengakui dan
melibatkan seni sebagai salah satu wahana tranformasi menuju masyarakat
ekologis. Seni merespons kondisi, konteks, dan krisis lingkungan. Seni
beroperasi untuk memengaruhi perilaku melalui saluran komunikasi dan
pengembangan wawasan; menciptakan empati terhadap lingkungan alam;
mengintegrasikan praktik seni dan konservasi dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan.
Pembelajaran CPA merupakan genre tersendiri, yaitu seni mengartikulasikan budaya ekologis. Model CPA memperkaya pendekatan konservasi dan mengisi kekosongan metode konvensional transmisi budaya kepada generasi muda. Dengan cara itu, kaum muda akan saling belajar berbagi pengalaman, tidak harus bergantung kepada para tetua yang semakin defisit itu.
Terdapat tiga pelajaran berharga. Pertama, secara metodologis kelas CPA memadukan teknik imitasi dan inovasi melalui proses artistik, yaitu penciptaan karya seni pertunjukan. Pembelajar mendalami kekhasan, perilaku dominan, dan keterkaitan habitat kera Macaca dengan ruang hidup komunitas. Kedua, platform konservasi dan seni pertunjukan membangkitkan narasi budaya lokal dalam wacana solidaritas glocal. Ketiga, CCT Universitas Leipzig menjadi korelator (Morton, 2017)), yang beremulasi bahwa transmisi budaya dapat dilakukan oleh siapa pun, sepanjang didasari oleh kesamaan kepentingan (solidaritas). (*)
Penulis Alumni Sastra Unhas/Anggota Komunitas Sahabat Alam Maros