22 Jun 2024

Pembelajaran CPA - Konservasi dan Seni Pertunjukan

Macaca Maura: Dekat di Mata Jauh di Hati

https://harian.fajar.co.id/2024/06/22/macaca-maura-dekat-di-mata-jauh-di-hati/3/

Oleh: M. Nawir

Ungkapan “dekat di mata jauh di hati” pada subjudul di atas merupakan pembalikan maksud dari peribahasa lama, “jauh di mata dekat di hati”. Makna peribahasa lama ini lebih tepat menggambarkan perasaan simpati sahabat di kampus Leipzig Jerman pada kelangsungan hidup Macaca Maura. Sebaliknya, orang-orang yang memberi makanan kepada Macaca di jalanan memang dekat (di mata) secara spasial, tetapi secara emosional jauh (di hati).

Bagaimana mendekatkan persoalan Macaca menjadi kepentingan bersama? Melalui tulisan ini saya hendak membagi pelajaran berharga kelas Conservation and Performing Arts (CPA) yang difasilitasi oleh Center for Competence of Theater (CCT) Universitas Leipzig Jerman. Kelas ini melibatkan para pembelajar dari ISI Yogyakarta, ISBI Sulsel, Fakultas Kehutanan Unhas, Balai KSDA, TKU Unhas dan Kosalam Maros.

Konservasi dan Transmisi Budaya

Konservasi merupakan proses transisi berkelanjutan dari masa lalu ke masa kini, mencakup pelestarian dan perlindungan ekologi dan ekosistem budaya. Misalnya, orang Maros dahulu menarasikan drama tragedi hubungan manusia dengan “orang hutan” (toale, dare) dalam cerita Sinriliq
I Marakondang (Toakala) dan Bissu Daeng. Cerita ini menjadi saluran transmisi, menghubungkan budaya ekologis masyarakat masa lalu ke masa kini.

Suatu tradisi akan berkembang atau punah bergantung pada keberlangsungan transmisi budaya. Melalui mekanisme mengajar dan belajar, suatu kelompok sosial mengawetkan ciri-ciri perilaku dominan (Cavalli-Storza & Feldman, 1981); melalui pengamatan, imitasi, pengajaran, bahasa (Mesoudi, 2008) tentu mendekatkan pembelajar dengan persoalan nyata.

Macaca Maura sebagai persoalan nyata dapat dijelaskan dalam dua konteks persoalan. Pertama, tantangan kebudayaan saat ini adalah pembangunan yang mengakumulasi kekayaan mengakibatkan kerusakan lingkungan dan ekosistem budaya. Imbasnya, kesadaran kultural terhadap entitas hidup manusia dan bukan-manusia, melemah. Masyarakat Indonesia sedang dan akan terus mengalami defisit “orang tua”, sebaliknya surplus “orang muda”. Para tetua, transmitter budaya semakin menua, meninggalkan orang muda. Generasi milenial tidak pernah lagi menyaksikan pertunjukan Sinriliq I Marakondang. Sementara para pendidik resah dengan kecenderungan pengajaran yang menjauhkan siswa dari persoalan nyata.

Kedua, tekanan antropogenik dalam satu abad terakhir. Supriatna (2020) melaporkan Sulawesi adalah pulau penting bagi 17 spesies endemik. Macaca Ochreata di Sulawesi Tenggara dan Tarsius Pelengensis di Pulau Peleng Sulawesi Tengah mengalami kehilangan habitat 14%, diikuti Macaca Hecki dan Macaca Tonkeana. Penyebabnya, masih banyak zona yang belum ditetapkan sebagai kawasan lindung.

Kebijakan konservasi sumber daya alam di kabupaten Maros relatif lebih baik dari yang terburuk. Kera Macaca terdapat dalam areal TN Bantimurung-Bulusaraung, mencakup kawasan karst, yang saat ini ditetapkan menjadi UNESCO Geopark Maros-Pangkep. Hanson dan Riley (2018) menilai kebijakan konservasi itu belum mantap. Misalnya, kendaraan di jalan poros Camba semakin padat mendorong perluasan infrastruktur dalam kawasan Taman Nasional.

Macaca adalah subjek solidaritas. Caranya, manusia belajar pada kera untuk memahami perilaku, ekspresi, dan ruang hidup Macaca. Sudut pandang ini sebenarnya otokritik terhadap perilaku manusia. Biasanya, manusia melatih kera untuk dipertontonkan sebagai hiburan. Kebanyakan peneliti pun menjadikan kera sebagai objek kajian ilmiah semata. Dalam pembelajaran CPA, kera Macaca menjadi subjek pembelajaran.

Pembelajaran CPA

Proses transmisi budaya ekologis tidak identik dengan otoritas komunitas adat atau pun masyarakat lokal. Pewarisan kearifan lokal, termasuk pengetahuan ekologis dapat dilakukan oleh “pihak luar” (oblique) yang memiliki tujuan sama dalam pelestarian lingkungan hidup. Metodenya, antara lain pembelajaran kontekstual Presisi untuk penguatan karakter siswa berbasis seni (Karyanto, 2021) di bawah kurikulum Merdeka Belajar.

Curtis (2006) berpendapat bahwa pegiat gerakan lingkungan hidup harus mengakui dan melibatkan seni sebagai salah satu wahana tranformasi menuju masyarakat ekologis. Seni merespons kondisi, konteks, dan krisis lingkungan. Seni beroperasi untuk memengaruhi perilaku melalui saluran komunikasi dan pengembangan wawasan; menciptakan empati terhadap lingkungan alam; mengintegrasikan praktik seni dan konservasi dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan.

Pembelajaran CPA merupakan genre tersendiri, yaitu seni mengartikulasikan budaya ekologis. Model CPA memperkaya pendekatan konservasi dan mengisi kekosongan metode konvensional transmisi budaya kepada generasi muda. Dengan cara itu, kaum muda akan saling belajar berbagi pengalaman, tidak harus bergantung kepada para tetua yang semakin defisit itu.

Terdapat tiga pelajaran berharga. Pertama, secara metodologis kelas CPA memadukan teknik imitasi dan inovasi melalui proses artistik, yaitu penciptaan karya seni pertunjukan. Pembelajar mendalami kekhasan, perilaku dominan, dan keterkaitan habitat kera Macaca dengan ruang hidup komunitas. Kedua, platform konservasi dan seni pertunjukan membangkitkan narasi budaya lokal dalam wacana solidaritas glocal. Ketiga, CCT Universitas Leipzig menjadi korelator (Morton, 2017)), yang beremulasi bahwa transmisi budaya dapat dilakukan oleh siapa pun, sepanjang didasari oleh kesamaan kepentingan (solidaritas). (*)

Penulis Alumni Sastra Unhas/Anggota Komunitas Sahabat Alam Maros 

27 Mei 2024

Ruang dan Uang

Sekadar Pemantik Diskusi[1]


M. Nawir
[2]

Institut Rumah Kampung Kota

Ruang dan uang, tidak ada hubungan asal usul kata, keduanya memiliki kemiripan bunyi. Menambahkan huruf /r/ pada /uang/, berubah menjadi ruang, dan mengurangi /r/ pada /ruang/ menjadi uang. Bunyi /r/ mempertegas perbedaan makna kedua kata tersebut.

Ruang[3] (space), sebagaimana kamus bahasa Indonesia mengartikannya dengan “sesuatu di antara” adalah sela, celah atau rongga. Dada kita berongga, karena itu seseorang bisa bernafas lega. Seorang arsitek-perencana di sela kesibukan, sempat minum kopi, sembari “chatting”, karena itu kita bersosialita dengannya. Dia memahami ruang dari skala terbatas berupa bangunan hingga kawasan pemukiman.

Di antara “ruang kehidupan” (lived space) sehari-hari, manusia dikejar oleh sang waktu. Manusia mengisi waktu ke waktu dengan beraktvitas. Demi waktu, orang-orang pun beribadah. Dalam tekanan sang waktu, kita pun mengikuti spirit modernitas para pebisnis, “time is money”. Manusia bekerja memenuhi kebutuhan dengan menumpuk alat tukar uang. Pada saat yang sama seseorang beribadah laiknya menabung pahala.

Uang (money) adalah alat tukar belanja sehari-hari. Kita menaksir nilai segelas kopi dan menukarnya dengan uang. Seorang buruh mendapatkan upah setelah diukur nilai pekerjaannya, keahlian, waktu, beban atau risiko. Setiap hari atau sekali sebulan orang itu mendapatkan upah kerja dalam bentuk sejumlah uang. Dengan uang, dia sanggup memenuhi kebutuhan diri dan keluarga, bahkan bersedia mentraktir kopi temannya. Dia memahami uang secara fundamental, hak minimum pekerja.

Baik ruang maupun uang mengalami evolusi makna, mengikuti kemajuan pembangunan. Semakin strategis lokasi tempat tinggal kita, nilainya pun tinggi. Semakin canggih desain bangunan, harganya pun mahal. Ruang menjadi kapital alias aset finansial ketika kebijakan tata ruang beradaptasi dengan perubahan iklim investasi. Ruang dan uang menjadi politis, ketika keduanya dikendalikan oleh hasrat untuk melanggengkan kekuasaan.

Barangkali gerak perubahan itu yang kita sadari sebagai situasi nyata kontradiktif bahwa kawasan perkotaan terus berkembang tetapi rentan dari kebanjiran, kekeringan, dan kekurangan air bersih. Pemukiman semakin padat tetapi jumlah penduduk semakin membesar. Lorong-lorong sempit tetapi jalan-jalan raya melebar. Akhirnya, kita merasakan ruang gerak sosial kita pun menyempit.

Pertanyaannya, apakah hari ini, di sini, kita berhasrat membaca dan merumuskan ulang pergerakan kolekitf di dalam arena demokrasi yang tersedia? Atau barangkali kita sungguh jengah atau jenuh dengan jargon-jargon pergerakan, sehingga kita harus “berhenti sejenak”: ngopi, bercakap, menulis, berbagi, dan menabung. Sesekali berjalan kaki merawat kebersamaan.


[1] Dalam MIWF 2024: Jalan-jalan yang Menghidupkan Kenangan di Benteng Rotterdam

[2] Peneliti pada lembaga riset sosial dan pendidikan humaniora Sulisa Matra Bangsa. Sejak 2010 mengelola blog pribadi institutrumahkampungkota.

[3] Henri Lefebvre dalam The Production of Space (1974) memaknai ruang adalah produk sosial, atau konstruksi sosial yang kompleks. Keberadaan ruang terhubung dengan nilai dan makna sosial yang mempengaruhi praktik dan persepsi spasial. Oleh karena itu masyarakat menghasilkan ruang tertentu yang bersifat khas (kontekstual). Dengan begitu ruang bukanlah benda atau wadah yang objektif semata, melainkan produk dan alat produksi. Ruang diproduksi untuk dikonstruksi secara sosial melalui serangkaian hubungan sosial, ekonomi dan politik. Lefebvre mengembangkan tiga konsep tentang ruang: Praktik spasial (ruang yang dirasakan) atau organisasi fisik ruang, seperti rutinitas dan aktivitas sehari-hari; Representasi ruang (ruang yang dikandung/dimaknai/dipersepsi): Ruang yang diciptakan dan dibayangkan (abstraksi) oleh perencana kota, arsitek, dan profesional lainnya. Ruang fisik dibangun oleh berbagai aktor, misalnya. negara, pemilik tanah dan arsitek. Ruang diskursif dikonstruksi secara mental melalui cara ruang tersebut didiskusikan dan direpresentasikan. Hal ini terpisah dari ruang fisik karena ruang dapat mempunyai representasi diskursif tanpa keberadaan fisiknya. Ruang representasional dikonstruksi secara sosial oleh pengalaman hidup orang-orang yang berinteraksi dengannya.

21 Des 2023

Kontekstualisasi Pemikiran Mattulada


Tulisan ini merujuk pada konteks Bedah Buku: Mattulada dari Pejuang hingga Ilmuwan, 5 Desember 2023 di Aula Mattulada dalam rangkaian Dies Natalis ke-63 Fakultas Ilmu Budaya Unhas. Para pembicara/pembedah buku yang hadir adalah Prof. Dr. Muh. Darwis, M.S, Ketua Senat Guru Besar FIB Unhas; Drs. Alwy Rachman, Dipl.TEFL, sosiolinguist FIB Unhas; dan saya sendiri, alumni FIB Unhas 1994. Diskusi dimoderatori oleh Dr. Ilham, SS.M.Hum, dosen prodi Ilmu Sejarah.

1 Jul 2022

BACARITA IDENTITAS KETIMURAN ERA DIGITAL

 

Materi Pemantik
Bacarita Digital: Identity and Belonging Rumata Artspace, 30 Juni 2022

Tulisan ini hendak merefleksi persoalan identitas sebagai wacana (teks) pada konteks keseharian dengan mengapungkan makna dari berbagai pengalaman budaya dari Tengah-Timur. Pokok bahasan yang hendak diwacanakan seputar identitas, entitas ketimuran, dan aktualitasnya di era digital. Penulis berharap wacana yang mengemuka akan membuat kita kian wawas diri.

24 Jun 2022

Prolog Buku "Air Mati Perikanan"

Kemajuan atau kah Kemunduran Pendekatan?
M. Nawir
“di atas kelompok teori kita membangun mazhab; di atas kelompok nilai kita membangun budaya”[1]

Berbeda dengan tulisan Idham pada buku sebelumnya, problematika perikanan budi daya, khususnya pertambakan kali ini dihadirkan secara faktual disertai data, argumentasi dan gagasan alternatif pendekatannya. Buku sebelumnya, Perikanan atau Perikiri (2021) semacam antitesis yang menegaskan sudut pandang (point of view) Idham dalam kancah pemberdayaan perikanan budi daya bahwa “sisi tersembunyi sama pentingnya dengan sisi yang mengemuka”, yakni perikiri. Idham menegaskan problem dasar petambak adalah ketimpangan penguasaan lahan, dan karena itu dia berasumsi bahwa jalan reforma agraria adalah solusinya.

19 Jan 2022

RTG, Mitigasi Pasca Gempa

United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR), badan PBB urusan kebencanaan mengelompokkan lima jenis potensi bencana alam, yaitu; (1) Bahaya geologi (geological hazards); (2) Bahaya hidrometeorologi (hydrometeorological hazards); (3) Bahaya biologi (biological hazards); (4) Bahaya teknologi (technological hazards), dan (5) Penurunan kualitas lingkungan (environmental degradation).