Sekadar Pemantik Diskusi[1]
M. Nawir[2]
Institut Rumah Kampung Kota
Ruang
dan uang, tidak ada hubungan asal usul kata, keduanya memiliki kemiripan bunyi.
Menambahkan huruf /r/ pada /uang/, berubah menjadi ruang, dan mengurangi /r/
pada /ruang/ menjadi uang. Bunyi /r/ mempertegas perbedaan makna kedua kata
tersebut.
Ruang[3]
(space), sebagaimana kamus bahasa Indonesia mengartikannya dengan “sesuatu di
antara” adalah sela, celah atau rongga. Dada kita berongga, karena itu
seseorang bisa bernafas lega. Seorang arsitek-perencana di sela kesibukan,
sempat minum kopi, sembari “chatting”, karena itu kita bersosialita dengannya.
Dia memahami ruang dari skala terbatas berupa bangunan hingga kawasan
pemukiman.
Di
antara “ruang kehidupan” (lived space) sehari-hari, manusia dikejar oleh sang waktu.
Manusia mengisi waktu ke waktu dengan beraktvitas. Demi waktu, orang-orang pun
beribadah. Dalam tekanan sang waktu, kita pun mengikuti spirit modernitas para
pebisnis, “time is money”. Manusia bekerja memenuhi kebutuhan dengan menumpuk
alat tukar uang. Pada saat yang sama seseorang beribadah laiknya menabung
pahala.
Uang (money) adalah alat tukar belanja sehari-hari. Kita menaksir nilai segelas kopi dan menukarnya dengan uang. Seorang buruh mendapatkan upah setelah diukur nilai pekerjaannya, keahlian, waktu, beban atau risiko. Setiap hari atau sekali sebulan orang itu mendapatkan upah kerja dalam bentuk sejumlah uang. Dengan uang, dia sanggup memenuhi kebutuhan diri dan keluarga, bahkan bersedia mentraktir kopi temannya. Dia memahami uang secara fundamental, hak minimum pekerja.
Baik
ruang maupun uang mengalami evolusi makna, mengikuti kemajuan pembangunan.
Semakin strategis lokasi tempat tinggal kita, nilainya pun tinggi. Semakin
canggih desain bangunan, harganya pun mahal. Ruang menjadi kapital alias aset
finansial ketika kebijakan tata ruang beradaptasi dengan perubahan iklim
investasi. Ruang dan uang menjadi politis, ketika keduanya dikendalikan oleh
hasrat untuk melanggengkan kekuasaan.
Barangkali
gerak perubahan itu yang kita sadari sebagai situasi nyata kontradiktif bahwa
kawasan perkotaan terus berkembang tetapi rentan dari kebanjiran, kekeringan,
dan kekurangan air bersih. Pemukiman semakin padat tetapi jumlah penduduk
semakin membesar. Lorong-lorong sempit tetapi jalan-jalan raya melebar. Akhirnya,
kita merasakan ruang gerak sosial kita pun menyempit.
[1] Dalam
MIWF 2024: Jalan-jalan yang Menghidupkan Kenangan di Benteng Rotterdam
[2] Peneliti pada lembaga riset sosial dan pendidikan humaniora Sulisa Matra Bangsa. Sejak 2010 mengelola blog pribadi institutrumahkampungkota.
[3] Henri Lefebvre dalam The Production of Space (1974) memaknai ruang adalah produk sosial, atau konstruksi sosial yang kompleks. Keberadaan ruang terhubung dengan nilai dan makna sosial yang mempengaruhi praktik dan persepsi spasial. Oleh karena itu masyarakat menghasilkan ruang tertentu yang bersifat khas (kontekstual). Dengan begitu ruang bukanlah benda atau wadah yang objektif semata, melainkan produk dan alat produksi. Ruang diproduksi untuk dikonstruksi secara sosial melalui serangkaian hubungan sosial, ekonomi dan politik. Lefebvre mengembangkan tiga konsep tentang ruang: Praktik spasial (ruang yang dirasakan) atau organisasi fisik ruang, seperti rutinitas dan aktivitas sehari-hari; Representasi ruang (ruang yang dikandung/dimaknai/dipersepsi): Ruang yang diciptakan dan dibayangkan (abstraksi) oleh perencana kota, arsitek, dan profesional lainnya. Ruang fisik dibangun oleh berbagai aktor, misalnya. negara, pemilik tanah dan arsitek. Ruang diskursif dikonstruksi secara mental melalui cara ruang tersebut didiskusikan dan direpresentasikan. Hal ini terpisah dari ruang fisik karena ruang dapat mempunyai representasi diskursif tanpa keberadaan fisiknya. Ruang representasional dikonstruksi secara sosial oleh pengalaman hidup orang-orang yang berinteraksi dengannya.