Topik dalam tulisan ini terinspirasi dari hasil
penelitian mengenai komunitas Punk di kota Makassar (Israpil, “Punk Makassar:
Subkultur yang Kreatif” dalam Jurnal Al-Qalam
Volume 20 Edisi Khusus, Desember 2014: 75-84). Peneliti berkesimpulan bahwa
cara hidup Punk merupakan praktik subkultur kaum muda yang menyatakan
“ketidakpuasan terhadap sistem pemerintahan terutama kapitalis, sistem
kebudayaan, pengkotak-kotakan sosial, penindasan dimana-mana, semakin lebarnya
jurang pemisah antara masyarakat yang kaya dengan masyarakat yang miskin, menentang
bentuk represi atas kebebasan berekspresi.
Sebagai fenomena budaya perkotaan, pernyataan komunitas
tersebut menarik untuk didiskusikan dalam konteksnya, di kota Makassar.
Pertanyaan diskusi, apakah gaya hidup Punk merupakan bentuk glokalisasi (glocalization) dalam arti “globalisasi
yang terlokalisasi?” atau “lokalisasi cara hidup global?”. Pertanyaan ini
relevan dengan pandangan Roland Robertson, “Glocalization: Time-Space and
Homogenity-Heterogenity” (Global
Modernities, 1995:25-41).
1.
Cara Hidup Punk:
Gobalisasi yang Terlokalisasi?
Globalisasi menurut Robertson, “the compression of the
world” (1995: 35, 40), atau semacam “pemampatan dunia (ruang-waktu)” secara
total (global) yang menghadirkan lokalitas. Tren globalisasi tidak terelakkan
dalam ketegangan dengan gagasan lokalisasi. Robertson menegaskan pendapatnya
bahwa globalisasi dalam “kompresi dunia” melibatkan penciptaan dan penggabungan
lokalitas yang beragam, bukan atau tidak selalu menyeragamkan (homogenisasi)
dunia. Oleh karena itu, Robertson lebih suka menggunakan konsep glokalisasi,
menggantikan istilah globalisasi.
Umumnya, cara hidup Punk identik dengan tren gerakan
antikemapanan kaum muda di Amerika Serikat, dekade 1980-an. Tetapi sebenarnya,
komunitas Punk merupakan keberlanjutan dari tradisi sub-kultur Skinhead, yakni gaya hidup subkultur
kaum muda kelas menengah (Mods) yang
“nyentrik” (nyeleneh) di London, Inggris dekade 1960-an. Gaya hidup ini
diadaptasi oleh kelas pekerja industri di Amerika Serikat. Tradisi Mods/Punk
terus bertransmisi ke belahan dunia lain, termasuk Indonesia dekade 1990/2000-an.
Di kota Makassar, sub-budaya Punk dinyatakan dalam bentuk,
antara lain: Fanzine (fan magazine),
Distro (Fashion), Tato/Tindik (Pierching),
termasuk Mural (Grafiti), dan Vegetarianis (Food
Not Bombs). Praktik representasi perlawanan ini berciri global (globalized). Boleh dikata sama bentuk
dan praktiknya di seluruh jejaring Punk. Gaya hidup mereka mudah dikenali dari perilaku
sehari-hari di jalanan. Umumnya, mereka adalah remaja dengan potongan rambut, pakaian,
pola interaksi, bentuk ekspresi yang khas, unik. Mereka distigma “liberal”,
“eksklusif”, “anti-budaya (moral-publik)”, “anarkis”, bahkan dicemooh
“katuruq-turuqkang” (epigon)’ dengan “budaya Barat”.
Sebagaimana pembacaan Featherstone & Lash (1995:
5), “Globalization, Modernity and the Spacialization of Social Theory: An
Introduction” bahwa “yang ada dalam pikiran Robertson bukanlah kehadiran
artefak global dalam lokal, tetapi lebih pada proses pelembagaan, dimana terdapat
penciptaan lokalitas dalam ruang global dengan beragam bentuknya. Apakah dengan
demikian gaya maupun cara hidup Punk ini mengadopsi secara utuh “globalitas”
kaum muda Barat? Dimana representasi lokalitasnya? Hal ini memerlukan pengkajian
lebih lanjut.
2.
Komunitas Punk:
Lokalitas yang Mengglobal?
Robertson mengartikan lokalitas adalah entitas budaya
(gemeinschaft) yang hidup dari masa
ke masa, bahkan sebelum masyarakat mendengungkan kembali era globalisasi.
Baginya, lokalitas adalah ruang sosial budaya (Lefevbre/Harvey, “ranah
kontestasi sosial”), tidak melulu dipahami dalam ranah geografis. Dalam
subtopik “Glocalization” (1995:29), Robertson tidak sepenuhnya sependapat
dengan anggapan lokalitas sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni global;
pertentangan antara 'universal subaltern’ dengan 'hegemoni universal' atas budaya
dan/atau kelas dominan. Dalam jargon aktivisme sosial, situasi pertentangan
tersebut lazim disebut kontra-hegemoni terhadap “imperialisme budaya” produk kapitalisme-global.
Robertson tidak menentang globalisasi dengan segala implikasinya.
Tidak juga sepakat dengan tesis “imperialisme budaya” (1995: 37). Ia hanya
mengkritik persepsi awam termasuk sosiolog yang cenderung berasumsi
“globalisasi adalah proses yang mengesampingkan lokalitas, termasuk lokalitas
skala besar seperti yang ditunjukkan dalam berbagai nasionalisme etnis.
Globalisasi sering diartikan hilangnya batas-batas
budaya-bangsa. Penafsiran ini mengabaikan dua hal. Pertama, entitas lokal, yang
sebagian besar dibangun atas dasar trans- atau super-lokal. Menurut Robertson,
“sebenarnya banyak promosi lokalitas dilakukan dari atas atau dari luar…” Kedua,
kurangnya diskusi tentang waktu dan ruang dalam wacana universalisme versus partikularisme.
Posmodernis menginginkan “ruang partikularistik harus diberi perhatian lebih besar
sebagai kritik terhadap universalisme” yang cenderung mendefinisikan lokalitas heterogenitas
secara sepihak (dari atas, dari luar).
Pandangan tersebut berkolerasi positif dengan diaspora
budaya dalam wacana globalisasi Stuart Hall (“Globalization and Diaspora” dalam
YouTube Media Education Foundation, 2020). Hall menggunakan frase “globalisasi
dari bawah” untuk menarasikan migrasi yang berlangsung secara ‘illegal’, dimana
orang-orang melintasi batas-batas negara (transnationalism),
tetapi kemudian membentuk suatu entitas budaya diaspora dalam ruang hidup
bersama. Hall membedakan proses globalisasi dari bawah dengan globalisasi
kontemporer (globalization from above)
yang digerakkan oleh modal, teknologi, pesan, gambar, investasi, wirausahawan,
kelas eksekutif korporat global: “Everybody is on the move, according to the
logic of globalization, except the poor” (transcript, p. 15).
Sejalan dengan pemikiran Robertson, identitas budaya dalam
arus global terkonstruksi secara dinamis, melalui hubungan dengan budaya lain.
Identitas lokal merupakan bagian dari reaksi terhadap proses global. Ekpresi
identitas menjadi cara untuk memahami posisi individu dan komunitas dalam dunia
yang semakin terhubung.
3.
Punk: Praktilk
Glokalisasi?
Istilah “glocal” dalam The Oxford Dictionary of New Words (1991: 134) merupakan gabungan
kata ‘global’ dan ‘local'. Konsep ini merupakan pemodelan ide dochakuka Jepang, yang berarti
"hidup di tanah sendiri", atau pinsip adaptasi teknik bercocok tanam
petani, yang kemudian diadopsi ke dalam ranah perekonomian (bisnis) global
berbasis lokal. Jadi sesunguhnya konsep glokalisasi merupakan proses
pembentukan budaya.
Robertson merumuskan konsep glokalisasi merujuk Yoshino
(1992) mengenai fenomena nasionalisme budaya bangsa Jepang pasca Perang Dunia
II (Periode Meiji), yakni nihonjinron
(wacana tentang dan keunikan Jepang) yang melembaga dalam keseharian (1995:41).
Jepang memberikan contoh paling terkenal dari apa yang disebut Westney (1987)
sebagai emulasi lintas masyarakat. Emulasi dalam konteks perekonomian orang
Jepang berarti penyalinan secara mendalam (sentimentil, ambisius), berbeda
dengan istilah imitasi (peniruan) dalam proses transmisi budaya. Robertson,
memaknai hal itu dengan istilah “penggabungan selektif dengan menyalin ide dan
praktik budaya masyarakat lain untuk terlibat dalam berbagai tingkat sistematisitas
proyek impor dan hibridisasi”.
Pada bagian kesimpulan, Roberrson (1995: 41), menegaskan
kembali tujuan penggunaan kosnep glokalisasi karena globalitas peradaban masa
kini membatasi kita untuk membuat analisis dan interpretasi tentang dunia
kontemporer baik spasial maupun temporal, geografis maupun historis (Soja,
1989). Oleh karena itu, proyek glokalisasi akan menjadi fitur konstitutif
masyarakat kontemporer yang terus-menerus merefleksi dan menbentuk ulang makna
globalisasi.
Fenomena budaya komunitas Punk Makassar, satu sisi meniru
(imitasi) model perlawanan subkultur kaum muda Barat (Mods, Skinhead,
Subaltern) terhadap isu sentral kapitalisme neoliberalisme – pada sisi lain,
praktik budaya mereka terkesan “jalan sendiri”, tidak terintegrasi, atau
setidaknya belum terdefinisikan dalam strategi kebudayaan nasional. Faktanya, masyarakat
masih memandang perilaku budaya mereka adalah asing (aneh).
Sulit untuk meletakkan praktik subkultur Punk ke dalam
gerakan glokalisasi sebagaimana akar tradisi jepang (dochakuka, nihonjinron)
yang oleh Robertson didefinisikan sebagai penggabungan selektif dari
unsur-unsur heterogenitas budaya lokal, dan proses pembentukan modalitas budaya
bangsa. Betul, peradaban dunia kontemporer yang terkompresi oleh media digital
memicu tumbuhnya subkultur dan kontra-budaya (counter-culture), termasuk komunitas Punk. Akan tetapi penting
untuk menguji apakah tradisi subkultur itu terintegrasi dengan kepentingan
bangsa; apakah praktik budaya perlawanan itu mereprsentasi keragaman entitas budaya
lokal.
Sekalipun gerakan subkultur ini dapat dipahami sebagai
siasat sebagaimana dimaksud Karlina Supeli (2013) dalam “Kebudayaan dan
Kegagapan Kita” bahwa “kebudayaan adalah siasat”, tetapi praktik sehari-hari
itu sepantasnya berbasis lokalitas (historis-kultural), dan terintegrasi, atau
tidak memicu resistensi terhadap lokalitas itu sendiri. (M. Nawir, Alumnus
FSUH. Makassar, 05/06/2025).
Published:
https://harian.fajar.co.id/2025/06/18/punk-dalam-perspektif-glokalisasi/