Dipetik dari Buku Petani & Penguasa:
Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia
(Noer Fauzi, 1999: 64-69)
Terbentuknya
Undang-undang Pokok Agraria melalui proses yang panjang (Harsono,
1970:94 dan seterusnya). Pada 12 Mei 1948 dengan Surat Penetapan
Presiden No. 16, Soekarno menetapkan dibentuknya Panitia Agraria
Yogyakarta (PAY) yang bertugas untuk menyusun hukum agraria baru dan
menetapkan kebijaksanaan politik agraria negara.
Panitia ini
diketuai oleh Sarimin Reksodiharjo, dengan anggota yang terdiri dari
penjabat utusan dari kementerian dan jawatan-jawatan, wakil
organisasi-organisasi petani yang juga anggota KNIP, wakil dari
Serikat Buruh Perkebunan dan ahli-ahli hukum, khususnya ahli hukum
adat. PAY hanya dapat menghasilkan karyanya dalam sebuah laporan yang
disampaikan kepada Presiden 3 Februari 1950. Atas dasar pertimbangan
perpindahan kekuasaan negara ke Jakarta, kemudian PAY dibubarkan pada
9 Maret 1951 oleh Soekarno, melalui SK Presiden No. 36 tahun 1951,
dan diganti dengan Panitia Agraria Jakarta (PAJ). Panitia ini
mempunyai tugas yang hampir sama dengan PAY. PAJ juga diketuai oleh
Sarimin Reksodiharjo.
Melalui Keputusan
Presiden tanggal 29 Maret 1955, No. 55 tahun 1955, dibentuk
Kementerian Agraria. Yakni di masa kabinet Ali Sastroamidjojo I.
Kementerian ini ditugaskan antara lain untuk memperjuangkan
pembentukan undang-undang agraria nasional yang sesuai dengan pasal
38 ayat 3, dan pasal 25 dan 37 ayat 1 Undang-undang Dasar Sementara.
Panitia Agraria
Jakarta tetap bekerja, walaupun ketuanya kemudian diganti oleh
Singgih Praptodihardjo. Akhirnya, PAJ juga dibubarkan karena dianggap
tidak mampu menyusun Rancangan Undang-undang. Melalui Keputusan
Presiden RI 14 Januari 1956, No. 1 tahun 1956, kemudian dibentuklah
Panitia Negara Urusan Agraria yang diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo
(sekretaris jenderal Kementerian Agraria) dan beranggotakan
pejabat-pejabat pelbagai Kementerian dan Jawatan, ahli-ahli hukum
adat dan wakil beberapa organisasi petani.
Dengan menggunakan
semua bahan hasil panitia-panitia agraria sebelumnya, Panitia Negara
Urusan Agraria (Panitia Soewahjo) berhasil menghasilkan RUU pada 6
Februari 1958, yang diserahkan pada Menteri Agraria. Pada tahun ini
juga Panitia Soewahjo dibubarkan, karena tugasnya telah selesai.
Dengan
beberapa perubahan sistematika dan perumusan sejumlah pasal, maka
rancangan Panitia Soewahjo tersebut dijadikan dokumen yang dikenal
sebagai rancangan Soenarjo. Rancangan ini diajukan oleh Menteri
Agraria Soenarjo kepada Dewan Menteri pada 15 Maret 1958. Rancangan
ini disetujui oleh Dewan Menteri pada sidangnya yang ke-94 pada 1
April 1958, untuk selanjutnya diajukan kepada DPR dengan
Amanat Presiden tanggal 24 April 1958 No. 1307/HK.
Pembahasan di DPR
dilakukan dalam beberapa tahap. Jawaban terhadap pemandangan umum DPR
terhadap Rancangan Soenarjo ini diberikan oleh Menteri Agraria
Soenarjo, pada sidang pleno DPR tanggal 16 Desember 1958.
Selanjutnya, diputuskan bahwa DPR memandang perlu mengumpulkan
bahan-bahan yang lebih lengkap. DPR membentuk panitia adhoc
yang diketuai oleh AM. Tambunan. Panitia adhoc
ini banyak memperoleh masukan dari
Seksi Agraria Universitas Agraria (yang diketuai oleh Prof.
Notonagoro) dan Ketua Mahkamah Agung, Wirjono Prodjodikoro. Namun,
pembicaraan sidang pleno selanjutnya menjadi tertunda-tunda.
Sehubungan
dengan Dekrit Presiden 51 juli 1959, tebtang berlakunya kembali UUD
1945, maka Rancangan Undang-undang Pokok Agraria Soenarjo, yang
memakai dasar UUDS, ditarik kembali dengan surat Pejabat Presiden
tanggal 23 Mei 1960 No. 1532/HK/1960.
Setelah
disesuaikan dengan Undang-undang Dasar 1945 dan Manifesto Politik
Indonesia (yaitu pidato Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1959),
dalam bentuk yang lebih sempurna dan lengkap diajukan Rancangan
Undang-undang Pokok Agraria yang baru oleh Menteri Agraria Sadjarwo.
“Rancangan Sadjarwo” itu
disetujui oleh Kabinet Inti dalam sidangnya pada 22 Juli 1960 dan
oleh Kabinet Pleno dalam sidang pada 1 Agustus 1960. Dengan
Amanat Presiden tanggal 1 agustus 1960 No. 2584/HK/60 rancangan
tersebut diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
(DPR-GR).
Setelah
selesai dilakukan pemeriksaan pendahuluan, pembahasan di
sidang-sidang komisi yang bersifat tertutup, pemandangan umum,
sidang-sidang pleno pada 14 September 1960 dengan suara bulat DPR-GR
menerima baik rancangan UUPA itu. Semua golongan di DPR-GR, baik
Golongan Nasionalis, Golongan Islam, Golongan Komunis, dan Golongan
Karya, menyetujuinya.
Pada
hari Sabtu, 24 September 1960, rancangan undang-undang yang telah
disetujui oleh DPR-GR itu disahkan oleh Presiden menjadi
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria, yang menurut diktumnya yang kelima dapat disebut, dan
selanjutnya memang lebih terkenal sebagai Undang-undang Pokok Agraria
(UUPA). UUPA
diungkapkan di dalam Lembaran Negara tahun 1960 No. 104, sedang
penjelasannya dimuat di dalam Tambahan Lembaran Negara No. 2043.
Dengan
ditetapkannya UUPA, maka sistem hukum kolonial yang menyangkut hukum
agraria seluruhnya dicabut, peraturan-peraturan itu adalah Agrarische
Wet (S. 1870-55),
Domein-verklaring,
Algemene Domeinenberklaring,
Koninkljk Besluit serta
Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata, khususnya mengenai bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali
ketentuan-ketentuan Hypotheek.
Sebagai
pengganti, UUPA meletakkan nilai-nilai baru yang merupakan
dasar-dasar utama penjabaran pasal 33 ayat 2 UUD 1945. Pengaturan
dalam UUPA sebenarnya tidaklah terlalu banyak, hanya meliputi 70
pasal, 4 bab, 5 bagian. Sedikitnya, pengaturan pasal-pasal dalam UUPA
menempatkan UUPA sebagai undang-undang yang singkat dan terbatas, dan
membutuhkan undang-undang pendukungan atau pun pelabagai peraturan
pelaksana yang bersifat melengkapi atau menjabarkan kehendak
pasal-pasal UUPA. Dengan demikian, UUPA berfungsi sebagai sumber dan
dasar hukum tertinggi. Kebutuhan penjabaran lebih lanjut dalam
peraturan-peraturan lain juga disebabkan karena posisi UUPA yang oleh
pembentuk undang-undang memang dimaksudkan untuk menjadi peraturan
yang inti yang hanya berfungsi mengatur hal-hal pokok tentang
dasar-dasar hukum agraria nasional, yang akan merubah sistem serta
politik hukum agraria kolonial.
Sebagai
suatu sistem dan tata hukum agraria baru, nilai-nilai yang terdapat
dalam UUPA diambil dari Hukum Adat, yang pada masa kolonial
direndahkan posisinya dan dianggap hukum kaum tidak beradab. Pasal
5 UUPA menyatakan bahwa hukum adat yang digunakan sebagai sumber
hukum UUPA adalah hukum adat yang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan negara, persatuan bangsa, sosialisme
Indonesia, serta tidak bertentangan dengan UUPA itu sendiri atau
undang-undang lainnya, dan terakhir bersandar pada hukum agama. Ini
berarti bahwa sumber hukum adat yang diakui dalam UUPA adalah
nilai-nilai yang sesuai dengan tujuan fungsi bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya untuk mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, berupaya meningkatkan kesejahteraannya,
memerdekakan masyarakat dalam arti ekonomi maupun politik, serta
menganut paham kebangsaan yang menolak penguasaan
dan pemilikan tanah di tangan segelintir masyarakat saja, penggunaan
tanah lebih ditujukan untuk rakyat, khususnya rakyat petani. Hukum
adat dipandang akan lebih sesuai dengan kesadaran hukum rakyat, lebih
sederhana dan lebih mampu menjamin kepastian hukum.
Dari
UUPA dapat dilihat adanya upaya untuk merealisasikan kehendak
memerdekakan dan mensejahterakan rakyat dan menghapuskan
praktek-praktek eksploitatif pemerintah kolonial, baik kaum kapitalis
asing maupun kaum feodal.
3 komentar:
melansirkan link ke: http://blog.insist.or.id/insistpress/?p=2961
trims lansirannya frem
Terimakasih telah mengulas buku INSISTPress. Rehal buku ikut dilansirkan ke: http://insistpress.com/katalog/petani-penguasa-dinamika-perjalanan-politik-agraria-indonesia-2/
Posting Komentar