Mengapa
pemerintahan pasca reformasi selalu berencana dan menaikkan harga BBM
untuk dua alasan yang berulang: (1) menyelamatkan APBN dari
"kebobolan"; (2) mengarahkan subsidi ke sasaran yang tepat?
Kedua alasan (baca: kehendak) ini sama-sama bermotif
capital-oriented. Alasan dan outputnya adalah uang.
Logika awam membacanya demikian. Harga minyak dalam negeri dinaikkan
mengikuti harga pasar dunia perbarel. Selisih harga dari kenaikannya
dikurangi besaran subsidi BBM, kemudian digunakan untuk menutupi
kekurangan APBN. Sebagian dari selisih kenaikan BBM itu akan
dikucurkan dalam bentuk uang cash (BLT/BLS) dan program pengentasan
kemiskinan lainnya. Padahal, sudah ada proyek puluhan trilyun rupiah yang
dikenal PNPM/P2KP yang disokong Bank Dunia sejak awal pemerintahan
SBY. Semua ini jelas membingungkan rakyat. Tidaklah mengherankan, protes dan aksi penolakan pada setiap rencana pemerintah menaikkan harga BBM semakin brutal. Postingan berikut
ini saya petik dari website
https://nafiul.wordpress.com/2012/03/04/komentar-kenaikan-bbm-oleh-revrisond-baswi/#more-737. Isinya adalah komentar Revrisond Baswir pengajar ekonomi pembangunan
dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Mas Sony, begitu panggilan
akrab beliau di berbagai forum NGO, merupakan salah satu ekonom
anti-neolib, yang aktif mendukung gerakan anti-utang (KAU dan INFID).
Pandangannya tentang kenaikan harga BBM sangat kritis, tetapi selalu
ada alternatif yang ditawarkan. Bersama ekonomi anti-neolib lainnya
seperti Rizal Ramli, Kwik Kian Gie, analisis tentang harga pasaran
BBM dan alasan pemerintah Indonesia menaikkan harga
BBM untuk menutupi kekurangan APBN alasan bodoh. Baik pemerintah
maupun anggota dewan dinilai bersekongkol memainkan
harga BBM untuk kepentingan dalam negeri (money politics) dan
kepentingan asing (capital corporates). Sebagai pelengkap pandangan mas Sony, silahkan menelusuri pandangan Kwik Kian Gie;
Kontroversi Kenaikan BBM dalam http://kwikkiangie.com/v1/2012/03/kontroversi-kenaikan-harga-bbm/ yang dilengkapi dengan hitungan untung rugi menaikkan harga
BBM. Pandangan mas Sony dan pak Kwik cukup akurat sebagai referensi
argumentasi menolak kenaikan BBM, bahkan seharusnya menjadi konsep dasar kebijakan subsidi
BBM. Sayang, determinasi political-interest
telah mengabaikan pandangan kritis mereka.
Komentar
Kenaikan BBM oleh Revrisond Baswir
Kenaikan harga BBM
sebenarnya merupakan satu bagian kecil dari upaya liberalisasi sektor
migas di negeri ini. Nantinya, Pertamina, perusahaan miyak yang
selama ini menjadi pengelola tunggal itu akan bersaing dengan lebih
dari 40 perusahaan migas asing yang sudah mengantongi izin untuk
membuka 20.000 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di seluruh
Indonesia, dengan harga standar internasional.
Berikut ini
perbincangan dengan Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas
Gadjah Mada Drs. Revrisond Baswir, M.B.A, yang ditemui dalam Seminar
Peringatan Hari Lahir Pancasila, di Gedung DPR, Jakarta. Berikut
petikannya:
Kenaikan BBM
ini kedepannya akan berdampak seperti apa?
Untuk mengetahui
dampak kenaikan harga BBM, kita harus tahu persis latar belakang dan
motivasi. Kalau menurut pemerintah, latar belakangnya apakah untuk
mengoreksi yang tidak tepat sasaran, untuk menghemat konsumsi BBM,
termasuk untuk menghindari penyelundupan dan sebagainya. Saya kira
itu alasan yang dicari-cari, bukan penjelasan namun justru
mengaburkan dari motif sebenarnya. Alasan yang sebenarnya adalah
sejak pemerintah menandatanganani LOI 1998 di mana kita tunduk pada
IMF untuk melepas harga BBM ke harga internasional. Ini sebenarnya
bukan soal kenaikan, tapi soal proses bertahap melepas harga BBM ke
harga pasar sesuai garis IMF, dan itu sudah difollow up oleh
pemerintah yang sejak 1999 sudah membuat draft UU Migas yang baru,
tapi pada waktu itu bentrok dengan Pertamina.
Lalu pada tahun
2000, Amerika masuk lewat USAID menyediakan utang untuk memulai
proses liberalisasi sektor migas itu. Salah satu yang dikerjakan
USAID dalam rangka liberalisasi itu adalah menyiapkan draft UU yang
baru, bekerjasama dengan IDB dan World Bank menyiapkan reformasi
sektor energi secara keseluruhan. Dalam UU Migas jelas, pasal 28 ayat
2 UU migas mengatakan harga BBM dilepas ke mekanisme pasar, sudah
jelas itu.
Yang jadi masalah
kemudian, segera setelah UU Migas keluar, pemerintah segera membuka
izin bagi perusahaan-perusahaan asing untuk masuk ke berbagai tahap
dalam proses migas di tanah air, mulai dari hulu sampai ke hilir. Dan
bahkan mereka mengendalikan izin untuk perusahaan asing untuk membuka
SPBU, sampai lebih dari 40 perusahaan yang sudah pegang izin untuk
membuka SPBU itu. Masing-masing perusahaan diberi kesempatan membuka
sekitar 20.000 SPBU di seluruh Indonesia. Target mereka sebenarnya
pada 2005 harga BBM sudah bisa dilepas ke pasar, hanya saja di tengah
jalan UU migas dibawa ke Mahmakah Konstitusi (MK) oleh serikat
pekerja pertamina, disidangkan di MK. Dan pasal 28 tentang pelepasan
harga ke pasar itu dibatalkan MK, karena bertentangan dengan
konstitusi. Itu sebenarnya yang menggganjal.
Masalahnya mereka
kan tidak mau menyerah, setelah dinyatakan UU itu bertentangan dengan
konstitusi, mereka jalan terus dengan istilah baru, dari istilah
harga pasar menjadi “harga keekonomian”, itu hanya untuk berkelit
saja. Karena harga pasar dilarang MK, maka ganti yang lain, tetapi
maksudnya sama.
Isu yang tepat
dalam kasus ini adalah liberalisasi sektor migas dan pelepasan harga
BBM ke harga pasar. Jadi kalau kita lihat, setelah rencana itu gagal
tahun 2005, dan muncul istilah harga keekonomian. Maka kini target
pemerintah sesuai dengan apa yang diakatakan oleh Pak Budiono (Menko
Perekonomian, dulu), setelah naik pada 24 Mei kemarin, diperkirakan
pada September 2008 akan naik lagi secara bertahap, sampai
ditargetkan selambat-lambatnya 2009 sudah sesuai dengan harga pasar
minyak dunia. Sama dengan patokan di New York, kalau dieceran
mencapai Rp 12.000 per liter.
Keuntungan
apa yang akan diambil dari kebijakan melepas harga BBM ke pasar?
Bukan itu isunya.
Isunya hanya dengan melepas harga BBM ke pasar, hanya dengan cara itu
SPBU-SPBU asing itu mau beroperasi di sini. Kalau harga bersubsidi
bagaimana SPBU asing bisa beroperasi dan bersaing dengan Pertamina,
ini masalahnya. Masalahnya soal menangkap peluang investasi. Ada
perusahaan asing ingin membuka SPBU asing, berarti SPBU asing ini mau
melakukan investasi, tetapi SPBU asing hanya bisa jualan BBM, kalau
BBM-nya sesuai dengan harga pasar. Jadi masalah ini saja, soal pasar.
Pengakhiran monopoli Pertamina, pembukaan peluang bagi asing untuk
berbisnis eceran BBM, dan seterusnya.
Seperti
sekarang ini Petronas dan Shell sudah membuka SPBU-nya?
Makanya akibat
kenaikan BBM tahun 2005, Shell buka, Petronas juga buka. Tapi apakah
masuk akal kalau orang membuka SPBU itu hanya Jabotabek saja, gak
mungkinkan, izin yang mereka peroleh, mereka boleh buka 20.000 SPBU
di seluruh Indonesia, nah ada 40 perusahaan lebih yang punya izin.
Bisa dibayangkan, berapa banyak SPBU yang akan berdiri, dan bukan
hanya Jabodetabek, tapi juga seluruh Indonesia.
Pertamina
sendirisudah memperkirakan hanya akan mampu menjual maksimal 50
persen saja, 50 persennya akan diambil oleh SPBU-SPBU asing itu. Nah
kalau 2009 dilepas ke pasar, rencana terakhir pemerintah adalah bahwa
sektor swasta bisa masuk ke bisnis eceran migas dilakukan secara
penuh baru pada tahun 2010. Jadi bukan masalah BBM naik, kemiskinan,
BLT, bukan isu itu, tapi mereka menganggap ini hanya dampak saja.
Lalu kemudian bagaimana dampak itu diperlunak. Tetap saja mereka akan
jalan terus dengan agendanya, bagaimana membuat sektor migas hingga
terpenuhi sesuai harga pasar.
Saya kira isu
lifting tidak relevan, karena ini isunya bukan naiknya berapa persen,
bukan itu. Isunya adalah soal melepas harga itu, jadi pemerintah
ingin lepas tangan dari urusan harga BBM. Dia gak mau mengatur mau
naik, mau gak naik, dia mau lepaskan, jadi isu lifting menjadi tidak
penting. Apalagi kalau SPBU beroperasi di sini, gak penting lagi,
sumber migasnya darimana, mau impor 100 persen, ya boleh. Itu dia,
justru itu malah mengaburkan masalah dari pokok masalah kita.
Masalah ini
sekarang sudah mulai masuk ke ranah politik, ada wacana mengimpeach
Presiden. Bagaimana ini?
Soal pemakzulan
Presiden, kalau kita bicara UU migas, kemudian UU Kelistrikan,
kemudian UU APBN, yang terkait dengan subsidi dan lain-lain
itu kan atas persetujuan DPR, jadi proses liberalisasi ini
juga berlangsung atas persetujuan DPR. Kalau akan dimakzulkan bukan
saja Presiden, tapi juga DPR-nya juga dimakzulkan.
Dan itu terbukti di
MK, jadi yang melanggar konstitusi bukan hanya pemerintah, tapi juga
DPR. Inilah yang menjadi problem sekarang, jadi secara politik
masalah ini sangat kompleks, karena belum ada aturan, bagaimana
apabila pelanggaran konstitusi dilakukan Presiden dan DPR. Nah ini
tidak ada UU-nya, saya sudah menanyakan hal ini kepada hakim agung,
celakanya pelanggaran konstitusi ini tidak hanya sekali. UU Listrik
batal demi hukum, karena melanggar konstitusi, UU Migas pasal
mengenai harga pasar batal karena melanggar konstitusi, UU Penanaman
Modal pasal mengenai Hak Guna Usaha karena melanggar konstitusi, UU
APBN tiga tahun berturut-turut melanggar konstitusi, ini masalah
kita.
Akar
permasalah dari kebijakan melepas BBM ke harga pasar?
Masalahnya adalah
apa yang disebut dengan Neokolonialisme dan Neoliberalisme.
Solusinya
bagaimana?
Solusinya, kita
harus memperteguh kembali komitmen sebagai bangsa terhadap cita-cita
proklamasi dan amanat konstitusi, ini harus ditegakan kembali.
Setelah ini baru mengoreksi semua penyimpangan-penyimpangan, apakah
itu kebijakan, peraturan pemerintah, UU, semua itu harus ditertibkan
kembali. Karena menurut perkiraan Ketua Mahmakah Konstitusi Jimly
Asshiddiqie, 27 persen UU melanggar konstitusi, harus dibereskan
dulu. Dari situ baru kita lihat dampak turunannya apakah kepada
kontrak bagi hasil, harga BBM, harga listrik, dan lain-lain. (novel)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar