Persoalan
kepemimpinan politik (political leadership) masih menjadi
agenda pokok konsolidasi demokrasi pasca reformasi 1998. Hal ini
ditegaskan kembali oleh Ignas Kleden, sosiolog pendiri Komunitas
Indonesia untuk Demokrasi (KID) dalam suatu diskusi di redaksi Harian
Tribun Timur Makassar. Menurutnya, kebutuhan akan lahirnya pemimpin
politik yang representatif lebih prioritas daripada reformasi sistim
politik itu sendiri. Di balik pernyataan gamblang tersebut ada kondisi budaya politik
yang mengkhawatirkan, bahwa republik ini tengah mengalami krisis
kepemimpinan politik, atau setidaknya partai politik sebagai pilar
utama sistim demokrasi modern gagal melahirkan pemimpin yang
representatif. Elit politik mendominasi bahkan memonopoli
representasi di satu sisi, dan di sisi lain, demokrasi disabotase
oleh pemilik modal. Struktur dan kesempatan politik yang terbuka
melahirkan pemimpin tanpa keteladanan. Pada gilirannya akan
menguatkan apatisme, bahkan sikap anti-demokrasi, juga negara.
Sejalan dengan
pandangan pak Ignas, menurut Olle Tornquist, sosiolog peneliti
Indonesianis dari Universitas Oslo Norwegia dalam sebuah tulisannya
menyimpulkan bahwa pencapaian hakikat berdemokrasi di Indonesia
mengalami kemandegkan sejak Orba hingga transisi reformasi ini. Salah
satunya dapat diukur dari melebarnya gap representasi yang
menyebabkan politisi ditinggalkan konstituennya. Sekali pun banyak di
antara politisi dewasa ini berasal dari berbagai atau pun
merepresentasi organisasi masyarakat sipil (Ormas, LSM), tidak berarti
mereka sukses menjadi pemimpin demokratis. Salah satu kondisi nyata
yang menyebabkan hal tersebut adalah tidak terpecahkannya persoalan
hak dasar rakyat, kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup, dan semakin tingginya korupsi di
pemerintahan maupun parlemen/parpol.
Bagaimana mengatasi
krisis kepemimpinan demokratis yang dimaksud oleh para ahli itu? Ada
baiknya kita menengok konteks politik lokal, sembari mengapresiasi
kepemimpinan politik dewasa ini. Ignas Kleden menyebut kepemimpinan
gaya “Kapitan Perahu” sebagai alternatif. Model kepemimpinan
orang Bugis-Makassar ini secara tegas membedakannya dengan watak
kepemimpinan orang Jawa yang feodalistik-paternalistik. “Kapitan
Perahu tidak bisa didrop, ia bertumbuh dan berkembang dari bawah.
Kompetensi langsung diuji. Dalam pengambilan keputusan, seperti
menghadapi topan di lautan terbuka, harus cepat memperbaiki kesalahan keputusan juga harus
cepat dan paling terakhir tinggalkan perahu dalam kondisi kritis"
(Tribun Timur, 9 Maret 2012).
Tampaknya pak Ignas
terkesan pada ungkapan lama para pelaut Bugis-Makassar Kualleanna
Tallangnga Na Towalia, yakni “Sekali Layar Terkembang, Pantang
Perahu Surut ke Pantai”. Ungkapan ini menyatakan mentalitas
kepemimpinan nakhoda kapal yang memilih karam bersama perahunya
ketika menghadapi badai daripada kembali ke dermaga. Ungkapan ini
terasa bertentangan dengan pernyataan terakhir dari pak Ignas bahwa
seorang kapitan akan meninggalkan perahunya jika terjadi krisis.
Sayangnya, soal yang terakhir ini tidak sempat dibahas tuntas.
Mari kita pertajam
soal watak kepemimpinan kapitan perahu yang tumbuh-kembang
dari bawah, teruji menghadapi tantangan, dan responsif menerima dan
melakukan perubahan. Benarkah falsafah kepemimpinan orang
Bugis-Makassar berasal dari bawah? Bukankah kisah-kisah To
Manurung, pada umumnya diartikan sebagai jelmaan pemimpin dari atas
(langit). Kosmologi orang Bugis-Makassar juga menempatkan “ruang
bawah” dengan warna gelap (hitam) yang dihuni makhluk gaib dan
hewan (oloq-koloq). Struktur “ruang rumah” orang Bugis-Makassar meletakkan
padi dan benda-benda pusaka pada bagian (ruang) atas (rakkeang).
Pendek kata, tradisi kepemimpinan politik orang Bugis-Makassar
tumbuh-kembang dan teruji dari lapisan elite. Dan, hingga kini
tradisi itu relatif berlangsung mapan meski status sosial seorang pemimpin
bukan dari kalangan elite feodal.
Tampaknya kita
terlanjur terdikotomi oleh pandangan dunia “atas-bawah”, seperti
cara pandang dalam kepemimpinan feodal-paternalistik. Bagaimana jika
kita memandangnya dari sisi lain, kepemimpinan dari “depan-belakang?"
Misalnya, orang Jawa memiliki ungkapan klasik “ingarso sung tulodo,
ingmadyo mangun karso, tutwuri handayani”, yang bermakna
keteladanan seorang pemimpin. Tentulah akan berbeda telaah dan
rumusannya (another possible word).
Walikita dari Belakang ke Depan
Walikita dari Belakang ke Depan
Meski ungkapan
tersebut tidak berkorelasi positif dengan wacana representasi
populer, namun relevan dengan wacana kepemimpinan dari
“depan-belakang” yang hendak dikemukakan penulis. Misalnya, orang Islam mempraktikkan ungkapan
itu di Masjid dalam shalat berjamaah, yakni Imam di depan,
Khalifah di tengah, Ma'mum di belakang. Dan, menariknya,
selalu tersedia pintu di samping Imam, yang maksudnya, jika terjadi
kesalahan yang membatalkan shalat, sang pemimpin (imam) harus dan
langsung keluar tanpa mengganggu barisan di belakangnya.
Pada masyarakat bugis tradisional, seorang pemimpin (Matoa) dipilih dari
kalangannya sendiri berdasarkan kesepakatan orang banyak di dalam
satu desa yang terdiri dari 100 hingga 500 rumah tangga (Mattulada,
1995:57-58). Matoa ini dipilih di antara penduduk berdasarkan
kemampuan dan kecakapannya mengurus kegiatan orang banyak. Seorang
Matoa atau Jennang (kades) dibantu beberapa orang Sariang dan Parennung. Melalui Parennung, Matoa menyampaikan
keputusan-keputusan pemerintah yang harus ditaati warganya. Sedangkan Sariang memimpin penjagaan keamanan bersama warga secara bergilir. Di
samping kedua pembantunya, di tiap desa terdapat Parewa Sara'
(petugas syariat) yang terdiri dari seorang Imam desa (Pua'imang),
seorang khatib (Pua'katte) dan beberapa pembantu khatib yang
disebut Pua'doja.
Maka, hikmah dari
kedua uraian di atas, yaitu struktur kepemimpinan tidak melulu
dipandang dari “atas-bawah” yang memuat nilai-nilai kepatuhan
dan feodalistik. Struktur kepemimpinan juga dapat dilihat secara
horizontal, “depan-belakang”atau sebaliknya. Nilai-nilai
kepemimpinan “depan-belakang”seperti yang tercermin dalam
pemerintahan desa tradisional bugis maupun praktik shalat berjamaah
bagi orang Islam adalah kesetaraan, keteladanan, representasi, dan
dipilih secara demokatis. Seorang pemimpin yang berasal dari
kalangannya sendiri, memiliki kemampuan mengelola struktur, mengatur
strategi, dan menjadi teladan yang benar karena diikuti perkataan sekaligus perbuatannya.
Bagaimana
menjelaskan kepemimpinan “Walikita” dari sisi pandang
“depan-belakang?" Bahwa makna kata
“wali” tidak persis sama dengan makna kata “wakil” karena
makna kata “wakil” bisa berarti orang kedua dari orang pertama. Pengertian umum atau baku (kamus) kata wali merujuk pada
seseorang yang secara agama dan secara budaya berkewajiban memelihara
anak yatim serta mengurus hartanya sampai si anak dewasa atau mandiri.
Secara gamblang
saya menggunakan istilah Walikita untuk menyandingkannya dengan
konsep Walikota. Jika walikita merupakan perwalian dari
sekumpulan orang (kita) atau kelompok masyarakat yang memiliki
kesesamaan dan tujuan tertentu, maka walikota adalah perwalian
dari keseluruhan aspek yang tercakup dalam kota, yakni masyarakat
sipil, sektor swasta dan aparatur pemerintahannya. Bagi warga kota,
kata wali sangat lazim digunakan untuk memberikan kualitas
khusus kepada seseorang. Misalnya, wali murid, wali kelas, walimah,
sampai band musik Wali. Kata tersebut bermakna perwalian yang
didasari atas kepercayaan dan amanah dalam batas waktu tertentu.
Jadi, seseorang yang diberi status sosial Walikota sebagai pejabat
negara, sesungguhnya mengemban mandat konstitusional, yakni
melindungi, mensejahterahkan, serta menjamin keselamatan rakyat dan
kota selama masa jabatanya.
Wacana kepemimpinan
politik Walikita dapat digali dari pemikiran para pegiat
demokrasi tentang representasi. Dalam buku Demokrasi di
Atas Pasir (Demos-PCD UGM, 2009:137-138) konsep
representasi atau "keterwakilan" berkenaan dengan tingkat kepercayaan, kewenangan, dan akuntabiltas seorang pemimpin (politisi). Konsep ini mengandung empat
pengertian; (1) menjadi wakil atau perwakilan
(representative); (2) yang diwakili (the
represented); (3) sesuatu yang diwakilkan, dan; (4) sebuah
konteks politik. Lebih lanjut Attia Nur dan Olle Tornquist
menguraikan tiga bentuk representasi; substantif, deskriptif,
dan simbolik. Reprsentasi substantif terjadi ketika
seorang aktor politik “bertindak atas nama” (act for),
misalnya seoranf aktor politik berasal dari sekaligus mengatasnamakan
organisasi kaum miskin dan kelas pekerja; Representasi deskriptif
berlangsung ketika aktor politik “memihak kepada” (stand for)
kelompok yang memiliki kesesamaan tujuan objektif, misalnya seorang
aktor politik perempuan mewakili kelompok perempuan meski berbeda
asal organisasi maupun wilayah; representasi simbolik terjadi apabila
sekumpulan orang menganggap seorang aktor politik akan “berpihak
kepada” kelompok masyarakat karena adanya kesesamaan identitas dan
budaya. Dengam demikian, pengertian walikita adalah aktor politik
yang berasal, mengatasnamankan, memihak dan akan berpihak kepada
sejumlah orang yang mempercayainya sebagai wali atau pun wakilnya.
Dengan preposisi di atas, maka menjadi
sang Walikita (the represented leader) merupakan prasyarat untuk
menjadi Walikota. Hal ini menggambarkan sebuah proses terbentuknya
kepemimpinan sosial dari “belakang ke depan” atau pun “dari
bawah ke atas” (bottom up). Proses seperti ini akan menjamin
dua hal sekaligus, yakni representasi dan konstituensi seorang aktor
politik. Bukan sebaliknya, seorang aktor politik seringkali dipermak
dari dan oleh elit politik (the ruling class) dan pemilik
modal, kemudian memonopoli representasi. Pada saatnya ketika menjabat
kepala pemerintahan, sang aktor tersandera, dan hanya melayani dan
melindungi elte politik pendukungnya. Masyarakat pemilih diposisikan
sebagai objek (komoditi) pemilu, yang suaranya dikalkulasi secata
materi (jumlah), hingga akhirnya hak ekonomi-sosial-budaya (ekosob) pemilih dicampakkan. Banyak cerita miris
tentang perilaku elit politik yang ingkar janji itu, bahkan mereka
memutus interaksi sosial dengan pemilihnya. Seorang Walikita atau
calon Walikota sudah tentu memahami benar situasi nyata penderitaan rakyat, teruji
menghadapi masalah bersama rakyat, dan karena itu tahu persis bagaimana memecahkan
persoalan dasar warga dan kotanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar