29 Apr 2012

Gagasan Representasi Populer Walikita

Oleh M. Nawir
Persoalan kepemimpinan politik (political leadership) masih menjadi agenda pokok konsolidasi demokrasi pasca reformasi 1998. Hal ini ditegaskan kembali oleh Ignas Kleden, sosiolog pendiri Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) dalam suatu diskusi di redaksi Harian Tribun Timur Makassar. Menurutnya, kebutuhan akan lahirnya pemimpin politik yang representatif lebih prioritas daripada reformasi sistim politik itu sendiri. Di balik pernyataan gamblang tersebut ada kondisi budaya politik yang mengkhawatirkan, bahwa republik ini tengah mengalami krisis kepemimpinan politik, atau setidaknya partai politik sebagai pilar utama sistim demokrasi modern gagal melahirkan pemimpin yang representatif. Elit politik mendominasi bahkan memonopoli representasi di satu sisi, dan di sisi lain, demokrasi disabotase oleh pemilik modal. Struktur dan kesempatan politik yang terbuka melahirkan pemimpin tanpa keteladanan. Pada gilirannya akan menguatkan apatisme, bahkan sikap anti-demokrasi, juga negara.
Sejalan dengan pandangan pak Ignas, menurut Olle Tornquist, sosiolog peneliti Indonesianis dari Universitas Oslo Norwegia dalam sebuah tulisannya menyimpulkan bahwa pencapaian hakikat berdemokrasi di Indonesia mengalami kemandegkan sejak Orba hingga transisi reformasi ini. Salah satunya dapat diukur dari melebarnya gap representasi yang menyebabkan politisi ditinggalkan konstituennya. Sekali pun banyak di antara politisi dewasa ini berasal dari berbagai atau pun merepresentasi organisasi masyarakat sipil (Ormas, LSM), tidak berarti mereka sukses menjadi pemimpin demokratis. Salah satu kondisi nyata yang menyebabkan hal tersebut adalah tidak terpecahkannya persoalan hak dasar rakyat, kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup, dan semakin tingginya korupsi di pemerintahan maupun parlemen/parpol.
Bagaimana mengatasi krisis kepemimpinan demokratis yang dimaksud oleh para ahli itu? Ada baiknya kita menengok konteks politik lokal, sembari mengapresiasi kepemimpinan politik dewasa ini. Ignas Kleden menyebut kepemimpinan gaya “Kapitan Perahu” sebagai alternatif. Model kepemimpinan orang Bugis-Makassar ini secara tegas membedakannya dengan watak kepemimpinan orang Jawa yang feodalistik-paternalistik. “Kapitan Perahu tidak bisa didrop, ia bertumbuh dan berkembang dari bawah. Kompetensi langsung diuji. Dalam pengambilan keputusan, seperti menghadapi topan di lautan terbuka, harus cepat memperbaiki kesalahan keputusan juga harus cepat dan paling terakhir tinggalkan perahu dalam kondisi kritis" (Tribun Timur, 9 Maret 2012). 
Tampaknya pak Ignas terkesan pada ungkapan lama para pelaut Bugis-Makassar Kualleanna Tallangnga Na Towalia, yakni “Sekali Layar Terkembang, Pantang Perahu Surut ke Pantai”. Ungkapan ini menyatakan mentalitas kepemimpinan nakhoda kapal yang memilih karam bersama perahunya ketika menghadapi badai daripada kembali ke dermaga. Ungkapan ini terasa bertentangan dengan pernyataan terakhir dari pak Ignas bahwa seorang kapitan akan meninggalkan perahunya jika terjadi krisis. Sayangnya, soal yang terakhir ini tidak sempat dibahas tuntas.
Mari kita pertajam soal watak kepemimpinan kapitan perahu yang tumbuh-kembang dari bawah, teruji menghadapi tantangan, dan responsif menerima dan melakukan perubahan. Benarkah falsafah kepemimpinan orang Bugis-Makassar berasal dari bawah? Bukankah kisah-kisah To Manurung, pada umumnya diartikan sebagai jelmaan pemimpin dari atas (langit). Kosmologi orang Bugis-Makassar juga menempatkan “ruang bawah” dengan warna gelap (hitam) yang dihuni makhluk gaib dan hewan (oloq-koloq). Struktur “ruang rumah” orang Bugis-Makassar meletakkan padi dan benda-benda pusaka pada bagian (ruang) atas (rakkeang). Pendek kata, tradisi kepemimpinan politik orang Bugis-Makassar tumbuh-kembang dan teruji dari lapisan elite. Dan, hingga kini tradisi itu relatif berlangsung mapan meski status sosial seorang pemimpin bukan dari kalangan elite feodal.
Tampaknya kita terlanjur terdikotomi oleh pandangan dunia “atas-bawah”, seperti cara pandang dalam kepemimpinan feodal-paternalistik. Bagaimana jika kita memandangnya dari sisi lain, kepemimpinan dari “depan-belakang?" Misalnya, orang Jawa memiliki ungkapan klasik “ingarso sung tulodo, ingmadyo mangun karso, tutwuri handayani”, yang bermakna keteladanan seorang pemimpin. Tentulah akan berbeda telaah dan rumusannya (another possible word).
Walikita dari Belakang ke Depan

Ada ungkapan yang populer dari seorang pemimpin revolusioner Lenin; “maju selangkah, mundur dua langkah” (dalam Maryadi, 2010). Yang tersirat dari ungkapan Lenin itu adalah pentingnya pemimpin berada dalam barisan massa, bahwa kepemimpinan mensyaratkan kecermatan mengatur strategi dan taktik.
Meski ungkapan tersebut tidak berkorelasi positif dengan wacana representasi populer, namun relevan dengan wacana kepemimpinan dari “depan-belakang” yang hendak dikemukakan penulis. Misalnya, orang Islam mempraktikkan ungkapan itu di Masjid dalam shalat berjamaah, yakni Imam di depan, Khalifah di tengah, Ma'mum di belakang. Dan, menariknya, selalu tersedia pintu di samping Imam, yang maksudnya, jika terjadi kesalahan yang membatalkan shalat, sang pemimpin (imam) harus dan langsung keluar tanpa mengganggu barisan di belakangnya.
Pada masyarakat bugis tradisional, seorang pemimpin (Matoa) dipilih dari kalangannya sendiri berdasarkan kesepakatan orang banyak di dalam satu desa yang terdiri dari 100 hingga 500 rumah tangga (Mattulada, 1995:57-58). Matoa ini dipilih di antara penduduk berdasarkan kemampuan dan kecakapannya mengurus kegiatan orang banyak. Seorang Matoa atau Jennang (kades) dibantu beberapa orang Sariang dan Parennung. Melalui Parennung, Matoa menyampaikan keputusan-keputusan pemerintah yang harus ditaati warganya. Sedangkan Sariang memimpin penjagaan keamanan bersama warga secara bergilir. Di samping kedua pembantunya, di tiap desa terdapat Parewa Sara' (petugas syariat) yang terdiri dari seorang Imam desa (Pua'imang), seorang khatib (Pua'katte) dan beberapa pembantu khatib yang disebut Pua'doja.
Maka, hikmah dari kedua uraian di atas, yaitu struktur kepemimpinan tidak melulu dipandang dari “atas-bawah” yang memuat nilai-nilai kepatuhan dan feodalistik. Struktur kepemimpinan juga dapat dilihat secara horizontal, “depan-belakang”atau sebaliknya. Nilai-nilai kepemimpinan “depan-belakang”seperti yang tercermin dalam pemerintahan desa tradisional bugis maupun praktik shalat berjamaah bagi orang Islam adalah kesetaraan, keteladanan, representasi, dan dipilih secara demokatis. Seorang pemimpin yang berasal dari kalangannya sendiri, memiliki kemampuan mengelola struktur, mengatur strategi, dan menjadi teladan yang benar karena diikuti perkataan sekaligus perbuatannya.
Bagaimana menjelaskan kepemimpinan “Walikita” dari sisi pandang “depan-belakang?" Bahwa makna kata “wali” tidak persis sama dengan makna kata “wakil” karena makna kata “wakil” bisa berarti orang kedua dari orang pertama. Pengertian umum atau baku (kamus) kata wali merujuk pada seseorang yang secara agama dan secara budaya berkewajiban memelihara anak yatim serta mengurus hartanya sampai si anak dewasa atau mandiri.
Secara gamblang saya menggunakan istilah Walikita untuk menyandingkannya dengan konsep Walikota. Jika walikita merupakan perwalian dari sekumpulan orang (kita) atau kelompok masyarakat yang memiliki kesesamaan dan tujuan tertentu, maka walikota adalah perwalian dari keseluruhan aspek yang tercakup dalam kota, yakni masyarakat sipil, sektor swasta dan aparatur pemerintahannya. Bagi warga kota, kata wali sangat lazim digunakan untuk memberikan kualitas khusus kepada seseorang. Misalnya, wali murid, wali kelas, walimah, sampai band musik Wali. Kata tersebut bermakna perwalian yang didasari atas kepercayaan dan amanah dalam batas waktu tertentu. Jadi, seseorang yang diberi status sosial Walikota sebagai pejabat negara, sesungguhnya mengemban mandat konstitusional, yakni melindungi, mensejahterahkan, serta menjamin keselamatan rakyat dan kota selama masa jabatanya.
Wacana kepemimpinan politik Walikita dapat digali dari pemikiran para pegiat demokrasi tentang representasi. Dalam buku Demokrasi di Atas Pasir (Demos-PCD UGM, 2009:137-138) konsep representasi atau "keterwakilan" berkenaan  dengan tingkat kepercayaan, kewenangan, dan akuntabiltas seorang pemimpin (politisi). Konsep ini mengandung empat pengertian; (1) menjadi wakil atau perwakilan (representative); (2) yang diwakili (the represented); (3) sesuatu yang diwakilkan, dan; (4) sebuah konteks politik. Lebih lanjut Attia Nur dan Olle Tornquist menguraikan tiga bentuk representasi; substantif, deskriptif, dan simbolik. Reprsentasi substantif terjadi ketika seorang aktor politik “bertindak atas nama” (act for), misalnya seoranf aktor politik berasal dari sekaligus mengatasnamakan organisasi kaum miskin dan kelas pekerja; Representasi deskriptif berlangsung ketika aktor politik “memihak kepada” (stand for) kelompok yang memiliki kesesamaan tujuan objektif, misalnya seorang aktor politik perempuan mewakili kelompok perempuan meski berbeda asal organisasi maupun wilayah; representasi simbolik terjadi apabila sekumpulan orang menganggap seorang aktor politik akan “berpihak kepada” kelompok masyarakat karena adanya kesesamaan identitas dan budaya. Dengam demikian, pengertian walikita adalah aktor politik yang berasal, mengatasnamankan, memihak dan akan berpihak kepada sejumlah orang yang mempercayainya sebagai wali atau pun wakilnya.
Dengan preposisi di atas, maka menjadi sang Walikita (the represented leader) merupakan prasyarat untuk menjadi Walikota. Hal ini menggambarkan sebuah proses terbentuknya kepemimpinan sosial dari “belakang ke depan” atau pun “dari bawah ke atas” (bottom up). Proses seperti ini akan menjamin dua hal sekaligus, yakni representasi dan konstituensi seorang aktor politik. Bukan sebaliknya, seorang aktor politik seringkali dipermak dari dan oleh elit politik (the ruling class) dan pemilik modal, kemudian memonopoli representasi. Pada saatnya ketika menjabat kepala pemerintahan, sang aktor tersandera, dan hanya melayani dan melindungi elte politik pendukungnya. Masyarakat pemilih diposisikan sebagai objek (komoditi) pemilu, yang suaranya dikalkulasi secata materi (jumlah), hingga  akhirnya  hak ekonomi-sosial-budaya (ekosob) pemilih dicampakkan. Banyak cerita miris tentang perilaku elit politik yang ingkar janji itu, bahkan mereka memutus interaksi sosial dengan pemilihnya. Seorang Walikita atau calon Walikota sudah tentu memahami benar situasi nyata penderitaan rakyat, teruji menghadapi masalah bersama rakyat, dan karena itu tahu persis bagaimana memecahkan persoalan dasar warga dan kotanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar