M. Nawir
Gerakan sosial Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar di era pasar bebas Asia 2015. Tantangan yang dimaksud adalah keterikatan pemerintahan dalam sistim pasar bebas akan membuka investasi asing berbasis sumberdaya alam, pasar moderen dan infrastruktur – sampai ke pemeritah daerah. Pemerintah pusat telah mengembangkan kebijakan MP3EI – Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia sebagai respon positif terhadap terbukanya pasar bebas dunia. Salah satu ancaman nyata bagi rakyat miski kota adalah pembebasan lahan untuk mega proyek pelabuhan, industri tambang, dan fasilitas umum dan fasilitas sosial lainnya – baik yang didanai oleh lembaga Multinasional seperti Bank Dunia, swasta asing maupun dana APBN.
Gerakan sosial Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar di era pasar bebas Asia 2015. Tantangan yang dimaksud adalah keterikatan pemerintahan dalam sistim pasar bebas akan membuka investasi asing berbasis sumberdaya alam, pasar moderen dan infrastruktur – sampai ke pemeritah daerah. Pemerintah pusat telah mengembangkan kebijakan MP3EI – Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia sebagai respon positif terhadap terbukanya pasar bebas dunia. Salah satu ancaman nyata bagi rakyat miski kota adalah pembebasan lahan untuk mega proyek pelabuhan, industri tambang, dan fasilitas umum dan fasilitas sosial lainnya – baik yang didanai oleh lembaga Multinasional seperti Bank Dunia, swasta asing maupun dana APBN.
Sistim pasar bebas ini bukanlah
hal baru di Indonesia. Namun, akhir-akhir ini kebebasan berinvestasi terasa
semakin menguat. Dan, sebaliknya, kedaulatan negara terasa semakin tipis. Para
aktivis pro-demokrasi mensinyalir kedaulatan negara saat ini tersisa 20-30 %.
Sementara korupsi terus menggerogoti kepercayaan rakyat terhadap sebuah
pemerintah atau pun negara. Maka tantangan nyata bagi aktivis pro-demokrasi
saat ini, yaitu semakin kecilnya dukungan politik rakyat dalam demokratisasi
politik.
Suatu keadaan yang cukup
menentukan dalam proses demokratisasi politik adalah belum terbentuknya
persatuan politik rakyat. Fragmentasi dan polarisasi di kalangan aktivis pengorganisasian
rakyat, NGO dan aktivis pro-demokrasi politik masih berlangsung tajam. Bahkan nyaris
tidak ada peluang untuk membangun persatuan politik itu. Kondisi ini membuat
aktivis cenderung mengambil jalan sendiri dan menerima segala resiko aktivitas
sosial-politiknya. Para aktivis berada di antara sikap yang ambivalen, di
antara pro-kedaulatan negara versus sikap anti-negara, setidaknya termasuk
sikap yang anti-pemerintah.
Menarik mengutip ucapan Ignas
Kleden, Direktur KID dalam suatu diskusi
di harian Tribun Timur Makassar dua tahu lalu; bahwa urgensi atau pun prioritas
perubahan sistim politik di Indonesia dimulai dari para aktornya, tidak pada
sistim politiknya. Diperlukan model kepemimpinan dengan sistim demokrasi yang
kontekstual untuk mandat konstitusional. Kepemimpinan yang dimaksud melampaui
sekat parpol dan golongan karena menjadi idola sekaligus pilihan rakyat secara
demokratis. Berkaitan dengan kepemimpinan alternatif itu, maka menjadi
keharusan bagi para aktivis dan aktor politik membereskan praktik-praktik representasinya
di lapangan kerja sosial maupun politik. Representasi atau “keterwalian” (lih. Tulisanku berjudul “Gagasan
Reprsentasi Walikita” dalam
rumahkampungkota.blogspot.com) – merujuk pada ulasan Olle Tornqist dalam
buku Demokrasi di Atas Pasir (PCD-UGM,
2009), peneliti Universitas Oslo ini menegaskan bahwa sistim representasi
politik semakin ditinggalkan, dan para aktivis politik hanya mencaplok rakyat
dari atas dan atau dari luar komunitasnya.
Tentu saja argumen-argumen
tersebut mensyaratkan perlunya pengorganisasian sumberdaya sosial, ekonomi dan
politik sekaligus, yang melibatkan berbagai kompetensi, keahlian, dan jaringan.
Menarik yang dilakukan oleh Jaringan UPC di beberapa kota, di antaranya
Makassar dan Jakarta. Usaha terus menerus membangun model kolaborasi di antara
aktivis sosial dan aktivis pro-demokrasi dalam pemenuhan hak-hak konstitusional
rakyat miskin kota. Berbasis organisasi rakyat, dengan fokus strategi pemenuhan
hak atas tanah dan rumah oleh negara, mampu mewarnai proses demokrasi di
tingkat lokal dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Kerja-kerja sosial dan
demokrasi populer menumbuhkan kepemimpinan rakyat dalam skala kampung dan
bergerak menuju kepemimpinan di tingkat kota, sambil terus menjaga model
konstituensinya. Representasi dan konsituensi sekaligus.
Beberapa contoh berharga dari
pengalaman kerja sosial-politik jaringan UPC, yakni (1) kontrak politik dengan
Walikota Makassar pada pilwalkot 2008 menumbuhkan kepekaan pemerintah kota
terhadap penggusuran paksa (force
eviction), dan merespon cepat pengaduan rakyat miskin kota; (2) kemitraan
dengan kementerian sosial dan pemerintah kota Kendari mempengaruhi kebijakan
pemerintah daerah dalam pengentasan kemiskinan dan pengurangan resiko bencana.
Istilah “bedah rumah” mulai bergeser menjadi “bedah kampung terpadu”, yang
sebenarnya diadaptasi dari konsep “upgrading kampung” dan “land-sharing”,
dimana konsep tersebut mengacu hak-hak Ekosob yang dipromosikan oleh jaringan
PBB; (3) kontak politik dengan gubernur DKI, Joko Widodo, juga melibatkan
berbagai aktor-aktor yang memiliki kompetensi, keahlian dan jaringan. Rencana
penggusuran paksa bersar-besaran pemukiman kumuh di bantaran sungai ciliwung
dan kawasan waduk pluit dihadapi dengan dengan model alternatif penataan
pemukiman. Bagi UPC dan JRMK, memilih dan memenangkan Jokowi bukan saja peluang
politis, tetapi juga tujuan perubahan politik penataan kawasan kumuh di DKI Jakarta.
Dengan uraian singkat di atas,
tentunya masih terbuka lebar peluang bagi para aktivis gersos untuk berperan
aktif dengan mengisi kekosongan peran negara dalam memenuhi hak-hak
konstitusional rakyat. Meskipun sebagian aktivis mendefinisikan kondisi saat
ini adalah jebakan (negatif), tetapi sebagian lain menyadarinya sebagai momentum
usaha menyatukan kesadaran politik rakyat yang sekian lama terpecah-pecah oleh
praktik money politics. Persoalan
sesungguhnya bukanlah karena rakyat sudah terbeli, tetapi para aktivis yang
belum bekerja sebagaimana yang dibutuhkan rakyat. Pikiran ini sejalan dengan
kondisi ril politk selama ini, dimana suara rakyat gampang dibeli, tetapi para
politisi memang mengabaikan aspek substansial dari demokrasi, yakni terus
menerus memfasilitasi pemenuhan hak-hak konstitusional konstituennya. Busuknya
perilaku politisi telah membentuk persepsi dan cara pandang publik, termasuk
aktivis, bahwa politik itu tidak gunanya. Padahal politik adalah habitat sosial
sehari-hari. Pembiaran terhadap proses-proses demokratisasi politik direbut dan
dikendalikan oleh aktor-aktor yang tidak representatif dan berkonstituensi
hanya melanggengkan kekuasaan mereka untuk mengeruk kekayaan alam dan aset-aset
negara. Semakin kita menghindari proses politik, sesungguhnya para politisi
busuk itu bertambah suka dan merasa aman dari gangguan publik. Tentu kita
menginginkan kepemimpinan yang berdaulat, dan kehadirannya memecahkan persoalan
dasar bangsa, khususnya rakyat miskin. *****
* M. Nawir, UPC – Jaringan Rakyat
Miskin Kota Indonesia
** Partisipan Diskusi Terbatas CRI-IRE, Refleksi Kritis Perjalanan Gerakan Masyarakat Sipil Menuju Kedaulatan, Yogyakarta, 11-12 Desember 2013
** Partisipan Diskusi Terbatas CRI-IRE, Refleksi Kritis Perjalanan Gerakan Masyarakat Sipil Menuju Kedaulatan, Yogyakarta, 11-12 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar