M. Nawir
(Makalah pada Seminar Bicara Tentang Akar Demokrasi Indonesia,
FES-Tempo Institute-Unhas-AJI Makassar, 30 Agustus - 2 September 2010)
Pengantar
Gerakan sosial merupakan gerakan yang secara sadar melibatkan orang dan organisasi dalam jumlah yang memadai, yang diikat bersama oleh visi untuk melakukan perubahan sosial. Selain melalui gerakan, perubahan sosial lainnya ditempuh dengan cara berperang, kudeta, menguasai teknologi, dan sebagainya . Jadi, gerakan sosial yang dimaksud dalam paper ini adalah aktivitas organisasi masyarakat sipil, termasuk organisasi komunitas yang melakukan aksi-aksi politis sehari-hari (day to day politics) maupun mobilisasi kekuatan sosial-politik lima tahunan.Politik dalam perspektif gerakan sosial adalah cara untuk mencapai tujuan-tujuan politis yang melampaui kepentingan, kebebasan pribadi, bahkan ruang dan waktu sebuah organisasi. Maka jelas gerakan politik, selain memerlukan daya tahan jangka panjang, juga membutuhkan kecerdikan dalam memanfaatkan peluang dan mengatasi tantangan harian. Sehingga politik sebagaimana problem sosial lainnya adalah persoalan sehari-hari. Meminjam cara pandang Michel de Certeau the practice of everyday live – ibarat perang, dalam kerja politik diperlukan “taktik gerilya harian” .
Bagaimana memandang suatu pekerjaan sebagai gerakan alternatif? Sejauh pengalaman penulis, penyebutan “alternatif” atas suatu proses dan hasil kerja mengandung kebaruan atau lain dari yang umumnya berlaku, tanpa meninggalkan akar tradisi. Misalnya, dikenal istilah “kesehatan alternatif” untuk menyebut praktik pengobatan atau cara hidup sehat alami dewasa ini untuk menghindari atau pun mengurangi ketergantungan pada pengobatan modern yang bertumpu pada obat pabrikan, dokter dan rumah sakit. Istilah lainnya, “konsep alternatif” di kalangan para arsitek dan perencana kota dalam konteks penataan pemukiman adalah merujuk pada sikap dasar mereka untuk keluar dari mainstream arsitektur modern.
Pada konteks politik, sesuatu dikatakan alternatif apabila gerakannya menghindari cara-cara “konvensional” atau yang “masih berlaku sampai kini”, yakni tidak menggunakan segala cara (politik busuk) untuk berkuasa. Bisa juga dilihat dari sisi aktor dan organisasi gerakannya. Gerakan politik “golput” era 90-an di kampus-kampus adalah pernyataan sikap penolakan terhadap sistim kepartaian Orba, dan sebagai alternatif adalah dibentuknya front-front pro-demokrasi, yang kemudian mendorong terbentuknya sebuah partai alternatif pasca reformasi 1998. Demikian halnya para pegiat pers pada masa represi penguasa Orba mengembangkan “media alternatif” agar pesan perjuangan menjangkau publik akar rumput. Pembredelan majalah Tempo, Detik, dan Editor pada tahun 1994 memicu terbentuknya front jurnalis independen, AJI Indonesia. Sejak itu PWI mulai ditinggalkan oleh aktifis jurnalis.
Hikmah dari semua itu adalah suatu rezim yang represif dan fasis akan melahirkan gerakan-gerakan alternatif, sampai menemukan bentuk perlawanannya yang massif dan langsung berhadap-hadapan. Pada titik ini gerakan sosial berubah menjadi gerakan reformasi politik atau pun revolusi sosial.
Tulisan ini akan menyajikan catatan kontekstual tentang gerakan sosial dan demokrasi di Makassar berdasarkan pengalaman subjektif penulis. Dengan kesadaran optimis lokalan bahwa mustahil rasanya melakukan perubahan sistim secara menyeluruh dari satu titik saja, yakni Makassar. Pokok bahasan pertama adalah refleksi sepuluh tahun pasca reformasi 1998; kedua, mengenali model kerja politik alternatif; ketiga, pelajaran berharga yang dipetik dari kerja politik kerakyatan.
Revitalisasi Kemerdekaan Berserikat
Sepuluh tahun pasca reformasi, dinamika politik bangsa ini bergerak seperti gerbong kereta api yang siap mengangkut setiap aktor politik. Sistim pemilu langsung, sistim multi partai, dan birokrasi penyelenggara pemilu bekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan. Rasanya tidak ada negeri di dunia ini, setidaknya di Asia yang meramaikan “pesta demokrasi” dengan puluhan bahkan ratusan partai politik, jutaan caleg; lima kali memilih presiden dalam kurun waktu sepuluh tahun, dan terakhir ini; memilih ribuan kepala daerah secara serentak. Untuk menopang semua proses politik, pemerintahan reformasi menginiasi pembentukan lembaga-lembaga komisioner yang diandaikan mampu merepresentasi kepentingan publik.
Konsensus politik reformasi begitu berharga dan telah merevitalisasi kebebasan masyarakat sipil untuk berserikat dan mengeluarkan pendapat. Organisasi LSM, Ormas, dan media massa tumbuh secara mencolok. Data BPS yang dikutip Bonnie Setiawan menyebut sekitar 70.000 LSM pada tahun 2006, yang pada tahun 1996 hanya sekitar 10.000 LSM. Sumber lain menyebut jumlah LSM pada tahun 1985 sekitar 3000-an, dan pada tahun 2001 menjadi 13.000. Selain itu, antara tahun 2000 – 2005, bertambah lebih dari seribu organisasi sosial kemasyarakatan yang terdaftar di Departemen Dalam Negeri, yakni 118 organisasi profesi, 69 organisasi keagamaan, dan 873 LSM.
Pertumbuhan LSM atau pun organisasi non-pemerintah di Sulawesi Selatan berkembang pesat pasca reformasi, terutama dipicu oleh proyek-proyek JPS dan KUT, serta proyek-proyek pendidikan pemilih menjelang pemilu 1999. Sebelumnya, diperkirakan ada sekitar 300 LSM pada masa itu, dan sekitar 200 LSM berdomisili di Makassar. Proyek JPS dan KUT memicu munculnya sekitar 150 LSM. Apa yang kemudian terjadi adalah pembusukan entitas LSM setelah gagal mengelola proyek-proyek KUT. Proyek-proyek pendidikan pemilih (voters education) diplesetkan menjadi “voucher education”, yang maksudnya proyek tersebut tidak berkontribusi nyata terhadap perubahan politik lokal, kecuali keahlian mengelola laporan keuangan.
Para aktifis Ornop semakin mengkhawatirkan ketergantungan Ornop kepada lembaga donor pemerintah dan jaringan multilateral. Sehingga, pada bulan Oktober 1998, digelar workshop regional Reposisi Peran Ornop Sulawesi yang difasilitasi INFID bekerjasama dengan FES. Setidaknya ada tiga agenda pokok reposisi Ornop pada masa itu. Pertama, memerdekan Ornop dari ketergantungan proyek, sambil memulihkan citra LSM. Istilah ornop direvitalisasi menggantikan istilah LSM yang terlanjur dikooptasi oleh negara dengan LSM-LSM plat merah; kedua, mengembalikan misi perjuangan organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan perubahan sosial dan demokrasi – dari “stabilitas untuk kesejahteraan” menjadi “demokrasi untuk kesejahteraan”; ketiga, menfokuskan pada kerja pengorganisasian rakyat (community organizing) untuk mendorong perubahan sosial dari masyarakat akar rumput – jargon yang menyertainya adalah gerakan “bunuh diri kelas”. Sejauh pengalaman penulis, setelah itu, tidak ada lagi pertemuan atau pun forum yang komprehensif merefleksi kontribusi politik ornop dalam perubahan sosial dan demokrasi. Ornop bekerja dan mengevaluasi pencapaiannya sendiri-sendiri sesuai dengan jaringan yang mendukungnya.
Pada tahun 2007, sekelompok kecil aktifis pengorganisasian rakyat menginisiasi seri diskusi yang mereka sebut Set up Gersos Makassar. Dari empat kali seri diskusi, terdapat tiga pernyataan menyangkut peluang dan tantangan organisasi masyarakat sipil – ornop di Makassar lima tahun terakhir:
Pertama, kecenderugan gerak aktivis LSM ke arah profesi yang mapan sebagai cara untuk menjamin survivalitas. Beberapa aktifis Ornop sukses menjadi pejabat publik, politisi, pengamat sosial, konsultan proyek dan pengusaha. Kedua, kritik terhadap yang pertama, ada gugatan tentang mandat maupun representasi politik aktivis di dalam struktur kekuasaan. Selain ketiadaan kontrol dari sesama aktivis, peran politik aktivis dinilai tidak menghasilkan perubahan mendasar bagi rakyat. Ketiga, dilema aktivis LSM di antara pemberdayaan masyarakat berbasis program donor dan pengorganisasian rakyat berbasis sumberdaya komunitas .
Di kalangan aktifis masih kuat perbedaan persepsi dalam memandang gerakan sosial (gersos) dan gerakan politik (gerpol). Satu pihak memandang gerakan sosial sebagai usaha membangun organisasi dan kepemimpinan berbasis rakyat tertindas dengan penyadaran, penguatan ekonomi dan mobilisasi sumberdaya. Kerja sosial sering dinilai lamban, parsial, bahkan dianggap tidak kental politis. Di pihak lain kerja politik, termasuk advokasi kebijakan yang bertujuan merangkul kekuatan struktural dipandang sebagai tindakan yang menjauhkan rakyat tertindas dari representasi politik. Masih ada semacam trauma di kalangan aktifis bahwa gerakan politik pada akhirnya hanya menguatkan struktur penguasa. Massa rakyat dengan mudah dicaplok dari atas dengan berbagai modus ekonomi-politik. Mengenai hal ini perlu meminjam hasil penelitian Olle Tornquist dalam buku Demokrasi di Atas Pasir: Kemajuan dan Kemunduran Demokratisasi di Indonesia (PCD-UGM-Demos, September 2009).
Olle Tornquist, peneliti dari universitas Oslo menegaskan terjadinya eksklusivitas para agen reformasi dari pengorganisaian rakyat dan tuntutan hak-hak dasar mereka (basic need) . Pelibatan rakyat secara langsung hanya dilakukan melalui kontak-kontak istimewa dan pemilihan figur atau kelompok yang bercorak top-down. Di mana pun di Indonesia akan sulit menemukan representasi yang substantif menyangkut ide-ide dan kepentingan yang mendesak dari kelas menengah liberal, petani, buruh, kaum miskin kota, perempuan dan aktivis hak asasi manusia. Jika pandangan ini dipakai untuk menilai kondisi objektif gerakan sosial dan demokrasi di Makassar, maka semakin jelas bahwa para aktornya bekerja tidak dalam satu platform perjuangan politik. Untuk hal ini, Olle menawarkan konsep intermediari sebagai strategi politik alternatif.
Studi Kasus Gerakan Politik Alternatif
Bicara gerakan politik altenatif di Makassar tidaklah mudah. Setiap organisasi gerakan memiliki klaim strategi politik yang khas sebagai alternatif dari kondisi objektif. Salah satunya adalah perjuangan organisasi rakyat (popular organization) – Komite Perjuangan Rakyat Miskin Makassar – sejak tahun 2003 memulai dari gerakan menabung, aksi-aksi massa hingga ke kontrak politik. Pada kongres yang ketiga Juni 2010, platform perjuangan mereka dikemas dalam ungkapan “Belajar, Berorganisasi, Berjuang untuk Sejahtera”.
Yang menarik sesungguhnya adalah cara organisasi rakyat dalam merspon persoalan-persoalan sosial sehari-hari. Kerja sosial organisasi rakyat adalah kerja politik untuk memecahkan masalah sehari-hari, yang kemudian menjadi dasar mereka menghadapi arena politik yang lebih besar. Hal ini yang membedakannya dengan aktivitas parpol, yang kebanyakan aktifisnya bekerja menjelang pemilu lima tahunan; (1) Adanya aktifis yang terintegrasi dengan kader-kader organisasi komunitas, dan bekerja efektif memediasi kepentingan anggota yang berbeda-beda; (2) Masalah aktual yang terus-menerus direspon di tingkat kelompok sampai di tingkat kota; (3) Tingkat swadaya relatif tinggi, terutama komunitas yang memiliki ancaman penggusuran, mampu membiayai pengacara dan aksi-aksi massa; (4) Kegiatan ekonomi yang sama di suatu tempat seperti pasar; (5) Jaringan organisasi pendukung yang meluas dan bertingkat-tingkat terbukti efektif bagi OR dalam mempengaruhi struktur kekuatan politik. Pada pengorganisasian kontrak politik, KPRM didukung oleh aktifis Ornop, Ormas, Mahasiswa, Jurnalis, Pengacara, Arsitek, dan Intelektual organik. Pada level pengorganisasian dikerjakan dan dikoordinasi oleh elemen organisasi rakyat; level advokasi dimainkan kelompok prodemokrasi; dan level jaringan diperankan oleh kelompok profesi dan akademisi. Selama tiga bulan intensif kolaborasi itu mengumpulkan dukungan 65.000 tandatangan warga, dan lebih dari 9000 massa hadir dalam penandatangan kontrak politik di ruang terbuka.
Tidak banyak yang mengetahui bahwa KPRM pada mulanya digerakkan oleh kelompok-kelompok (kolektor) tabungan harian, yang umumnya adalah perempuan miskin. Sambil mengumpul uang tabungan, persoalan-persoalan harian anggota kelompok yang muncul ditindaklanjuti dengan aksi-aksi perorangan maupun aksi sporadis berkelompok di wilayah kampung atau pun kelurahan, sampai pada aksi-aksi massa yang menekan kepala-kepala dinas untuk memperbaiki pelayanan kepada rakyat miskin. Advokasi yang dianggap paling sulit dilakukan adalah mengubah kebijakan politik tata ruang kota. Pada titik ini, skala gerakan sosial meningkat menjadi gerakan advokasi kebijakan kota sebagai representasi Negara dengan melakukan kontrak politik dengan calon walikota, dan memperjuangkan caleg yang berasal dari kalangan aktifis.
Kontrak politik dalam hal ini adalah praktik advokasi, suatu upaya terencana yang melibatkan berbagai sumberdaya dan kompetensi untuk mempengaruhi suatu proses politik. Secara pragmatik, kontrak politik dilancarkan sebagai taktik untuk membuka jalur komunikasi politik, mempengaruhi perilaku (political will) dan visi politik kandidat. Sehingga pernyataan bertandatangan dari seorang kandidat atas sebuah tuntutan ideal bukanlah target akhir dari kerja politik. Lebih bermakna ketika agenda politik bisa dikontrol secara langsung oleh rakyat “pemilik masalah” (stake owner). Jauh lebih berarti karena kesetiaan aktor-aktor politik terletak pada tuntutan politik sebagai basis nilai, tidak semata-mata pada figur politisi maupun uang yang umumnya berlaku sampai saat ini.
Catatan Penutup
Bicara tentang Gerakan Politik Alternatif seharusnya menjawab pertanyaan substantif dalam proses demokratisasi, yakni: (1) adanya nilai yang berbasis dan berujung pada pemenuhan hak dan kesejahteraan rakyat; (2) strategi dan taktik politik yang dapat dioperasionalkan (harian, tahunan, lima tahunan) oleh rakyat sebagai pemilik masalah; (3) membuka representasi rakyat secara langsung dalam mengontrol kebijakan publik; (4) jaringan pendukung, dalam hal ini aktifis prodemokrasi bekerja berdasarkan mandat dari dan bertanggung jawab kepada organisasi rakyat.
Motif gerakan dan cara-cara rakyat merespon persoalan nyata (sehari-hari) sekaligus substansial dalam politik kesejahteraan, membuktikan bahwa organisasi rakyat berpotensi melahirkan perubahan radikal. Persoalan dasar yang hampir tidak ada habisnya itu – bersifat permanen – menjadi faktor pendorong pertumbuhan organisasi gerakan rakyat. Sebaliknya, rakyat yang teroganisasi akan mengartikulasikan kepentingan dan cita-cita perubahan yang diyakininya.
Praktik-praktik pengorganisasian dan advokasi dalam arena politik, sejauh yang bisa dilakukan oleh organisasi rakyat adalah strategi memperluas pengaruh dan juga menegaskan posisi dan identitas politik orang-orang miskin. Keberhasilannya adalah kontribusi organisasi rakyat dalam perubahan kebijakan politik kota. Adapun kegagalannya mencerminkan keterbatasan organisasi rakyat – berkaitan dengan kompetensi yang dibutuhkan sebuah arena politik.
Bacaan/Referensi:
- Direktori LSM 2001, LP3ES Jakarta
- Demokrasi di Atas Pasir: Kemajuan dan dan Kemunduran Demokratisasi di Indonesia (PCD-UGM-Demos, September 2009:4)
- Kompas, Sabtu, 17 April 2000
- Kompas, 10 Mei 2006
- Michel de Cherteau: The Practice of Everyday Life. University of California Press, Berkeley, 1984
- Prosiding Seminar SMERU, 15 Agustu 2000
- Resume Seri Diskusi Set up Gersos, Makassar, 17 Nopember 2007
- Resume Seri Diskusi Set up Gersos, Makassar, 29 Desember 2007
- Training for Transformation, Anne Hope
3 komentar:
politik haria, gerilya seharian. aku di simpang jalan. cari, kawan! salam kenal, bung...
blog bagus gan, numpang copas juga ya gaan
blog bagus gaan!!, numpang copas juga ya gaan
Posting Komentar