15 Mei 2011

Mengkritisi Kebijakan LLAJR

Punk Dhie
Aktivis Jurnalis di Kendari
Sebab, lampu motor pada siang hari dinyalakan, maka persoalan baru pun dimunculkan. Berpayung pada UU No. 22 Tahun 2009. petugas jalan raya (Polantas dan LLAJ) mewajibkan pengendara motor menyalakan lampu pada siang hari. Petikan pasal 107 ayat 1 dan 2 sebagai berikut:
  • Pengemudi Kendaraan Bermotor wajib menyalakan lampu utama Kendaraan Bermotor yang digunakan di Jalan pada malam hari dan pada kondisi tertentu.
  • Pengemudi Sepeda Motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari.

Sejauh alasan yang dipahami publik jika menyalakan lampu pada siang hari, maka angka kecelakaan lalu-lintas dapat diminimalkan. Alasan ini mengurangi angka kecelakaan kedengaran sangat mulia. Aparat jalan raya mengedepankan sisi kemanusiaannya. Namun, jika ditilik lebih kritis, aturan ini justru berbenturan dengan akal sehat di jalanan. Pada siang hari, sinar matahari, lampu kendaraan, pantulan cahaya dari jalan raya saling bertabrakan, kemudian menghasilkan silau dan hawa panas. Akibat dalam jangka panjang adalah terganggunya kesehatan mata, setidaknya gangguan pada kualitas pandangan.
Tulisan ini tidak bermaksud mengkaji peraturan lalu lintas secara khusus. Penulis hanya terinspirasi dari pentingnya fungsi mata di jalan raya. Dari mata lah kita dengan mudah menyaksikan, mengamati situasi jalanan dan sekitarnya - kendaraan bermotor, pengendara, asap, debu, kemacetan, kualitas jalanan, dan lain-lain. Kita bisa membayangkan mustahilnya berkendaraan di jalan raya tanpa penglihatan. Begitu pentingnya fungsi mata, sehingga dikenal ungkapan “dari mata turun ke hati”, yang mengisyaratkan bahwa dengan mata sehat, manusia dapat mengembangkan pikiran dan perasaanya untuk bereaksi atau pun merespon realitas. Dengan begitu, tulisan ini laporan pandangan mata terhadap persoalan lalu lintas kita.
Lensa mata sangat sensitif dan peka terhadap sinar atau cahaya yang menyilaukan. Sebagai contoh penderita rabun mata – di samping faktor keturunan – menurut diagnosa dokter, disebabkan banyak faktor yang tidak lazim, di antaranya terlalu dekat menonton televisi, terlalu lama di depan komputer, dan berulang-ulang terjadi. Semua itu berkaitan dengan cahaya atau sinar. Bisa dibayangkan apa ,yang terrjadi pada mata kita, jika setiap hari lampu kendaraan menyala di siang terik, apalagi situasi kemacetan.
Kebijakan menyalakan lampu kendaraan pada siang hari, bukan lagi berfungsi untuk mengurangi angka kecelakaan. Meski diperlukan penelitian, kebijakan ini berpotensi mempertinggi angka kecelakaan, dan tentunya penderita rabun mata. Faktanya, angka kecelakaan lalu lintas di kota-kota besar seperti Jakarta. Makassar, Surabaya, Medan selalu melonjak tinggi setiap tahunnya. Angka ini seiring dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor. Lalu, kemacetan semakin sulit diatasi karena tidak seimbang dengan ruas jalan yang ada. Ironisnya lagi, kualitas jalan-jalan raya buatan anak negeri sangat buruk. Jadi jelas terprediksi segala resikonya. Malapetaka senantiasa membayangi kita di jalanan, menggerogoti kuantitas dan kualitas sember daya manusia. Rabun mata, kecacatan serta kematian, yang lagi-lagi disebabkan oleh kebijakan populis tapi tidak “masuk akal”.
Dari sisi pandang ekonomi, menyalakan lampu kendaraan di siang hari adalah pemborosan energi aki (strom), juga bahan bakar. Yang dulunya dipakai beberapa bulan mungkin akan dipakai hanya beberapa minggu, sesuai dengan kondisi kendaraan bermotor. Begitu pun dengan balon lampu akan cepat kalah, apalagi banyak merk balon beredar di pasaran yang tidak terjamin ketahanannya. Semuanya berimplikasi pada ekonomi biaya tinggi. Semua itu diarahkan oleh logika kapitalisme, yakni mengkonstruksi masyarakat menjadi konsumen seutuhnya, menjadi manusia yang individualistik, pada satu sisi – pada sisi lain, keuntungan kapital yang berlipat-lipat bagi para kapitalis alias pengusaha otomatif. Tentunya, aparat menikmati kondisi ini.
Di tengah krisis yang melanda negeri ini, para pengguna jalan semata-mata dikonstruksi sebagai objek komoditi peraturan. Atas nama keselamatan berkendaraan, kita diwajibkan menggunakan perlengkapan kendaraan yang standar - helem, sabuk pengaman, knalpot, lampu, kaca spion, dan lain-lain. Tidak mengherankan bila penjual spare-parts, bengkel, dan rumah sakit menjamur dimana-mana, Petugas Polantas tidak mau tahu, pelanggaran tetap pelanggaran. Mereka tidak mau tahu penyebab tingginya kecelakaan, kemacetan, dan kualitas jalan yang buruk.
Apakah pemerintah dan lembaga kepolisian pernah mengevaluasi kebijakannya sendiri? Inilah pokok persoalannya. Sebuah aturan yang anti-evaluasi, akhirnya menjadi alat bagi pemiliknya. Digunakan sesuai dengan kepentingan dengan motivasi mencari keuntungan. Pastinya rakyat sebagai obyek kebijakan akan terancam dengan berbagai resiko malapetaka, kerugian ekonomi, rendahnya kualitas kesehatan dan tidak terjaminnya keselamatan.
Sudah teranglah bahwa UU No. 22 Tahun 2009, khususnya pasal 107 ayat 1 dan 2 semakin jauh dari kepatuhan masyarakat. Buktinya, lama-kelamaan para pengendara tidak lagi menyalakan lampu motor pada siang hari. Kalau pun dinyalakan karena diperintah polisi. Masyarakat pun menyadari bahwa aturan tersebut tidak masuk akal atau akal-akalan petugas saja. Hal ini bertentangan dengan prinsip kebijakan yang mensyaratkan ketertiban dan kepatuhan, baik untuk petugas maupun pengendara. Tanpa keduanya, hukum tidak akan pernah bisa ditegakkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar