pamflet protes korban lumpur lapindo |
Catatan dari Kasus Lumpur PT Lapindo Brantas Sidoarjo
(17-29 Desember 2006)
M, Nawir
M, Nawir
Akhir tahun 2006, setahun setelah semburan pertama pada 26 Mei 2006, saya melakukan observasi beberapa desa di kecamatan Porong dan Tanggulangin yang terendam dan hampir terendam lumpur lapindo. Sebagian besar wilayah desa Renokenongo, Jati Rejo, Siring kecamatan Porong, serta Perumtas I kecamatan Tanggulangin sudah terendam lumpur. Warga keempat desa tersebut sudah mengungsi dan tersebar di Sidoarjo dan sekitarnya. Mereka menyepakati mekanisme penyelesaian "cash and carry", dimana setiap warga mendapat biaya kontrak rumah dan uang makan. Sedangkan Desa Kedung Bendo kecamatan Tanggulangin pada waktu itu baru saja terendam luapan lumpur. Pada awal Januari 2007, warga desa tersebut mengungsi di pasar baru Porong.
Tanggal 22-24 Mei 2011, saya berkesempatan lagi mengunjungi lokasi bencana Lapindo. Dari pengamatan lapang, dan diskusi dengan aktivis UPC yang sejak dua bulan lalu mendampingi warga desa Kalidawir dan Permisan – dua desa ini terkena dampak pengeboran dan pencemaran lumpur lapindo – saya merasa tidak ada perubahan mendasar dari seluruh kerja advokasi dan pembelaan terhadap warga. Benar kata almarhum Gus Dur, dalam sambutannya pada peringatan setahun lumpur Lapindo. Empat tahun lalu di Pasar Baru Porong, beliau menegaskan bahwa persoalan Lapindo bergantung pada political will dan blocking politik elit pemerintahan di Jakarta. Terbukti, kasus lumpur Lapindo kemudian dijadikan sebagai Bencana Nasional, yang berarti penyelesaian masalah PT Lapindo Brantas dan Bakry Group adalah tanggung jawab semua pihak: negara, rakyat, pengusaha.
Tanggal 29 Mei 2011, sudah lima tahun peristiwa luapan lumpur PT Lapindo Brantas di Porong Sidoarjo. Kondisi saat ini tentu jauh lebih rumit. Rendaman lumpur Lapindo sudah menjangkau tiga kecamatan. Bahkan lumpur Lapindo telah mencemari sungai dan sumur penduduk sampai ke pesisir wilayah pertambakan kecamatan Jabon dekat Pasuruan. Para ahli memperkirakan secara teknis geologis, sekitar kawasan eksplorasi gas Lapindo dinyatakan tidak aman/layak lagi untuk ditinggali karena daerah tersebut beresiko amblas.
Berkaitan dengan hal di atas, catatan ini diposting dengan maksud memahami kembali bagaimana kondisi kawasan lumpur Lapindo lima tahun lalu? Berikut ini saya posting catatan saya pada akhir tahun 2007.
Berkaitan dengan hal di atas, catatan ini diposting dengan maksud memahami kembali bagaimana kondisi kawasan lumpur Lapindo lima tahun lalu? Berikut ini saya posting catatan saya pada akhir tahun 2007.
Kronologi
Semburan lumpur panas bercampur gas yang terjadi pada 29 Mei 2006 adalah dampak langsung dari kegiatan eksplorasi gas di Banjar Panji 1 (BJP-1) yang dimulai pada Maret 2006. Akibatnya 1.500 warga Renokenongo pertama kali diungsikan dari pemukimannya.
Sampai bulan Juni 2006, pihak Lapindo masih gagal menghentikan semburan lumpur panasnya, sehingga luapannya meluas ke beberapa desa sekitarnya seperti Siring, Jatirejo, dan sebagian Kedungbendo. Lebih dari 1600 KK atau 6.138 warga dari keempat desa itu mengosongkan rumah-rumahnya ke tempat pengungsian di pasar Porong baru. Luapan lumpur juga sudah menenggelamkan 12 pabrik di sekitar Lapindo, serta menelantarkan sekitar 1.700 buruh/ karyawannya.
Ledakan pipa pertamina pada 22 Nopember 2006 semakin menakutkan warga yang berada di sekitar kecamatan Tanggulangin dan Porong. Apalagi dengan tergenangnya ruas jalan Tol Surabaya-Gempol, yang mengakibatkan gerakan lumpur semakin tidak terkendali. Tanggul-tanggul jebol. Tercatat pada awal Desember 2006, Perumtas (Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera) dan Tanggulangin Cita Pesona Permai yang berada di desa Kedungbendo dengan 6000-an warganya diungsikan ke pasar Porong baru.
Sampai tanggal 24 Desember 2006, tercatat total bangunan yang terendam lumpur Lapindo seluas 635.248 m2; pekarangan 1.098.860 m2 dan lahan pertanian 377 ha. Total jumlah penduduk yang kehilangan tempat tinggal 3.492 KK atau 12.210 jiwa. Angka ini belum terhitung pengungsi dari Perumtas Kedungbendo.
Asap lubang sumur gas Lapindo masih mengepul hingga saat ini. Luapannya belum ada tanda-tanda akan berhenti. Pada tanggal 25 Desember 2006, lumpur meluap lagi ke arah desa Kedung Bendo dan Gempol Sari. Hujan deras tiga hari belakangan ini menambah was-was warga, khususnya di Kedung Bendo, Gempol Sari, Kali Tengah, dan Ketapang. Selama 3 hari itu, seluruh rumah di Kedung Bendo sudah terendam lumpur. Dini hari 29 Desember 2006, lumpur sudah merambat cepat ke selatan desa Kali Tengah kecamatan Tanggulangin.
Alur dan konsentrasi buangan lumpur Lapindo sudah bergeser dari rencana semula ke sungai Porong kecamatan Porong di selatan Lapindo. Dengan cerdik Lapindo memanfaatkan protes aktivis lingkungan hidup yang menolak pembuangan lumpur ke Sungai Porong, dan kemudian mengarahkan gerakan lumpur ke utara di kecamatan Tanggulangin. Di sana ada desa Kedungbendo (RT 13 dan 14), Kalitengah dan Gempol Sari, serta sebagian wilayah desa Ketapang yang sejalur dengan rel kereta api. Keempat desa ini dialiri anak sungai Sanggang Ewu (Kali Tengah).
Pola peluapan lumpur tiga hari belakangan ini (25-28 Desember 2006) merambat pada sore hari dan meluap pada malam hari, sehingga warga panik mengangkut barang-barangnya seperti yang terjadi di ketiga desa tersebut. Celakanya, selama itu Lapindo tidak melakukan penanggulan lagi. Lapindo hanya membuat parit di sepanjang rel kereta api di desa Siring, memompa lumpur dan membuangnya ke anak sungai di Gempol Sari, dan membiarkan lumpur itu menggenangi RT 13 dan 14 desa Kedungbendo.
Kondisi Pengungsi
Tidak mudah mendekati pengungsi maupun warga yang tinggal di desanya. Ada kesan warga tertutup kepada orang luar, terutama yang berlatar belakang organisasi tertentu, termasuk LSM. Ada kondisi yang menyebabkan demikian, yakni beratnya kepentingan perorangan maupun kelompok di antara warga, kepentingan ilmuan, aktivis parpol, aparat pemerintahan dan pengusaha terhadap potensi SDA Lapindo maupun soal dana kompensasi korban lumpur.
Contoh konflik lainnya adalah perbedaan pendapat atau pun kepentingan warga dan LSM pada soal dampak pembuangan lumpur. Di satu sisi warga yang serba panik menghadapi luapan lumpur menginginkan lumpur itu segera dibuang ke sungai yang tidak ada manusia tinggal di dalamnya. Opini ini pun sempat direncanakan pihak Lapindo bersama tim ahli dari ITS. Sementara aktivis lingkungan hidup mendesak Lapindo tidak membuang lumpur ke sungai karena akan mencemari habitat sungai sampai ke muara, yang pada akhirnya merusak mata pencaharian nelayan. Konflik ini meruncing sampai kemudian posko Walhi dirusak oleh sekelompok warga.
Di setiap jalan masuk desa-desa yang sudah tergenang maupun yang akan tergenang lumpur terdapat pos-pos penjagaan. Di situ ada 5-10 orang warga berjaga-jaga dan mengutip Rp 500 - Rp1000 bagi orang luar yang hendak masuk dan menyaksikan langsung rumah-rumah yang tergenang lumpur.
Di jalan-jalan masuk ke lokasi Lapindo juga demikian. Hanya saja di setiap pos-pos penjagaan selalu ada satpam dan aparat keamanan dan TNI yang ikut menjaga. Pada lokasi tertentu orang luar tidak diperkenankan masuk. Beberapa lokasi di atas tanggul-tanggul, orang luar dibolehkan masuk setelah membayar Rp 1.000 kepada warga dan tukang ojek yang membuat pos penjagaan. Cukup ramai warga yang melintas di jalan poros Surabaya-Porong. Mereka singgah dan mengambil gambar (berfoto-foto) di atas tanggul dengan latar belakang lumpur, rumah-rumah yang tersisa atap atau pun antena TV saja, serta pohon-pohon kering dan asap gas yang tidak ada hentinya.
Kata sebagian warga, lokasi endapan lumpur Lapindo saat ini sudah menjadi tempat pelancongan. Kondisi ini belum lama berlangsung. Sebelumnya, tidak mudah mendekati Lapindo. Aparat kepolisian maupun TNI biasanya membatasi, orang yang mau berkunjung ditanya identitas dan maksud kunjungannya.
Lokasi penampungan pengungsi terbesar ada di lods-lods pasar Porong baru. Ada sekitar 12.000 pengungsi di pasar ini. Di sini ada dapur umum. Saat ini dikerjakan oleh tukang masak. Sebelum masuknya pengungsi dari Perumtas kedungbendo, dapur umum dikendalikan prajurit TNI. Di pasar ini pun terdapat posko Satkorlak yang terdiri RS Lapangan Sidoarjo, posko TNI-AD, dan pos keamanan. Selain itu ada posko karang Taruna Tagana dan posko warga NU Jawa Timur.
Air bersih cukup lancar. Hanya saja WC terbatas jumlahnya, sehingga bau yang tidak sedap menyengat bila kita melintas di depannya. Makanan dirasakan cukup, hanya soal selera yang berbeda-beda. Begitu pun pelayanan kesehatan siap melayani warga tanpa biaya.
Sebagian warga mengungsi di gereja dekat pasar porong, di balai desa renokenongo, dan di balai desa ketapang. Sebagian lagi mengontrak rumah. Sebagian pengungsi lebih suka mencari rumah kontrakan karena kondisi pasar yang sesak dan pengap minim ventilasi. Seorang perempuan warga Perumtas Blok D mengaku baru sebulan sudah jenuh tinggal di lods 6x6 meter yang diisi sampai 10-15 KK.
Biaya kontrak rumah hanya diberikan kepada pengungsi tahap I, yakni warga Renokenongo, Siring, Jatirejo dan Kedungbendo. Biaya kontrak rumah 2,5 juta setahun dan uang makan 250.000 sebulan. Biaya kontrak rumah untuk 2 tahun akan ditanggung Lapindo. Warga Perumtas dan pengungsi tahap kedua lainnya belum mendapat apa-apa. Hanya makan di dapur umum dan pengobatan kesehatan seperti yang dialami warga Perumtas itu.
Opini
Dugaan yang kuat sekali bahwa Lapindo bersama Pertamina dan Pemerintah (pusat dan kabupaten) secara sistematis (istilah warga “halus”) dan massif menggusur warga dari desanya dengan memanfaatkan kasus semburan lumpur yang tidak terkendali lagi. Hal ini ditandai dengan pembentukan TIM NAS yang sampai saat ini dicaci-maki habis-habisan oleh korban lumpur karena tidak bisa menyelesaikan tuntutan warga. Arah hujatan korban pun bergeser dari Lapindo dan Bakry Brothers kepada Timnas.
Timnas ini terdiri dari unsur Pemerintah Pusat, Pemkab, BP Migas Pertamina. Tim ini dibentuk pasca ledakan pipa pertamina. Ketika itu pemerintah pusat mulai memandang kasus lumpur Lapindo sebagai salah satu bencana nasional yang ada kaitannya dengan gempa di Jogjakarta. Tampaknya naïf, tetapi sosialisasi Timnas yang didukung oleh jajaran pemerintah kabupaten mampu menjinakkan daya kritis warga; “semburan lumpur adalah suatu peristiwa yang harus diterima warga sebagaimana layaknya sebuah bencana alam”.
Aspek-aspek Hak Atas Perumahan yang Layak
Trio Timnas-Pemkab-Lapindo memanfaatkan sikap naïf warga dengan menawarkan Cash and Carry dan relokasi kepada warga. Warga akan diberi ganti rugi tanah dan bangunan, pekarangan serta lahan pertaniannya asalkan bersedia angkat kaki dari desanya. Sepetak bangunan dihargai Rp1,5 juta permeter, semeter tanah dihargai Rp 1 juta ditambah Rp120.000 permeter untuk lahan pertanian.
Trio Timnas-Pemkab-Lapindo memanfaatkan sikap naïf warga dengan menawarkan Cash and Carry dan relokasi kepada warga. Warga akan diberi ganti rugi tanah dan bangunan, pekarangan serta lahan pertaniannya asalkan bersedia angkat kaki dari desanya. Sepetak bangunan dihargai Rp1,5 juta permeter, semeter tanah dihargai Rp 1 juta ditambah Rp120.000 permeter untuk lahan pertanian.
Dalam kepanikan, ketidaktahuan, dan kejenuhannya, warga mulai melupakan haknya atas tanah serta kandungan yang ada di bawahnya. Sebagai contoh warga desa Jatirejo ketika sosialisasi ganti rugi di pengungsian. Warga desa ini pecah terbagi dua. Kelompok pertama dikoordinasi oleh Tim 5 yang terdiri dari aparat Kelurahan, LPM dan PKK. Kelompok ini menerima tawaran cash and carry dan relokasi. Media pun memblow up konsep tersebut. Sedang kelompok kedua yang kemudian membentuk paguyuban warga Jatirejo tidak akan menjual tanahnya kepada Lapindo. Yang mereka butuhkan hanyalah ganti rugi bangunan dan perabot di dalamnya. Relokasi hanya sementara sampai ada kepastian pemerimaan uang ganti rugi. Hal ini disadari sebagai posisi bargain paling kuat karena tanah sebagai hak, bukan komoditi. Apalagi sikap pemerintah maupun Lapindo membutuhkan waktu 2 tahun untuk menyelesaikan seluruh persoalan yang ditimbulkan lumpur.
Peran utama Timnas adalah mengkoordinasi dan menjembatani penyelesaian konflik warga dengan Lapindo, khususnya dalam hal kompensasi dan ganti rugi. Wakil-wakil warga diundang dan diajak menandatangani kontrak perjanjian ganti-rugi ala Timnas sampai ke tingkat DPRD pusat. Seorang wakil warga Kedungbendo bersama wakil-wakil desa lainnya pernah diundang musyawarah ke tingkat DPR di Jakarta. Kabarnya Sony Keraf dari komisi 7 DPR pernah berkunjung langsung ke Kedungbendo bertemu warga di lokasi.
Pemerintah daerah membutuhkan dana kompensasi dan ganti rugi bagi korban lumpur Lapindo sebesar Rp 2,9 trilyun. Sebanyak 2 trilyun untuk ganti rugi bangunan, pekarangan dan lahan pertanian. Sebesar Rp 900 juta digunakan untuk rehabilitasi jalan desa, jalan kabupaten, saluran irigasi, renovasi bangunan sekolah dan uang paket kontrak rumah bagi korban lumpur. Namun, seperti yang kita baca di koran-koran edisi 29 Desember 2006i, dana kompensasi yang dibutuhkan membengkak menjadi 3,9 tirlyun. Pemerintah akan membayar DP ganti rugi 20% dulu pada bulan Maret 2007. Pertanyaannya, apakah itu tidak molor lagi? Bagaimana mekanisme pencairannya? Siapa saja yang dapat duluan, yang bersertifikat atau yang tidak bersertifikat? Bagaimana dengan warga yang mengungsi di tahap kedua, apakah proposal itu sudah memasukkan warga Perumtas dan kedungbendo RT 13-14.
Tanah atau Uang
Sujud syukur degan deraian air mata ribuan warga korban lumpur pada 7 Nopember 2006 di pendopo bupati Sidoarjo adalah klimaks dari strategi Pemkab dan Lapindo mengkanalisasi luapan emosi warga. Peristiwa itu dipimpin langsung oleh Win Hendrarso bersama ketua Timnas Basuki dan gubernur Jatim Imam Utomo. Sebaliknya, peristiwa itu menjadi antiklimaks bagi para pembela hak-hak rakyat atas tanah dan sumberdaya alam yang sekian bulan mencoba meyakinkan publik bahwa tanah bukan komoditi yang bisa begitu saja dijual kepada Lapindo.
Selang beberapa hari saja, Lapindo dan pemerintah kembali menciptakan keresahan bagi warga dengan memainkan isu sertifikasi tanah. Bahkan Lapindo menyatakan bahwa proses penyelesaian ganti-rugi, yang mereka sebut cash and carry itu membutuhkan waktu selama 2 tahun. Proses itu membutuhkan sertifikasi tanah yang biayanya ditanggung warga dengan talangan dana dari APBD. Pemkab Sidoarjo yang sebelumnya tidak merespon isu sertifikasi dengan alasan tidak bisa dilakukan pengukuran lagi, akhirnya pun mendukung penyelesaian ganti rugi tanpa sertifikasi tanah.
Opini publik dan aksi massa korban lumpur saat ini sudah mengkerucut pada konsep cash and carry yang ditawarlan Pemkab, Timnas dan Lapindo. Bahkan Lapindo menyebar angket kepada warga korban dengan melibatkan mahasiswa, yang hasilnya mayoritas responden menginginkan ganti rugi tunai atas tanah dan bangunan secepatnya, sekalipun melebihi NGOP. Suara-suara kritis warga dan publik pembela HAM yang bertolak belakang dengan hasil angket itu tidak terpublikasi lagi.
Berbagai cara dilakukan Lapindo dan konco-konconya bersama Pemkab untuk meyakinkan warga bahwa tanah yang sudah terendam lumpur tidak bisa ditinggali lagi; bahwa di bawah permukaan tanah sudah berlubang besar yang sewaktu-waktu bisa longsor. Pengungsian dikonsentrasikan di beberapa tempat saja agar mudah dikendalikan oleh aparat pemerintahan dan keamanan. Jajaran pemerintahan di tingkat desa pun aktif membentuk paguyuban untuk mengontrol warga di pengungsiannya. Kabarnya ibu-ibu saat ini pun diajak untuk mempengaruhi suami-suami mereka agar bersedia menjual tanahnya kepada Lapindo.@wi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar