27 Mei 2011

Sisakan 25% Energi untuk Mengurusi Politik


Olle Tornquist
Olle Torquist
Model-Model Demokratisasi
Transisi demokrasi didominasi yang banyak terjadi saat ini didominasi oleh model yang dipicu oleh ketegangan di tingkat elit: demokratisasi terjadi kalau ada gesekan kepentingan dan kekuatan di tingkat elit yang menyebabkan dijatuhkannya sang penguasa puncak, diganti oleh penguasa baru, dengan kompromi yang bentuk umumnya adalah pemberian konsesi ekonomi kepada penguasa lama yang dimundurkan, dan dimasukkannya sebagian orang lama dari masa penguasa lama ke dalam posisi-posisi di pemerintahan penguasa baru. Tekanan internasional mengambil peranan penting untuk memaksa terjadinya pergeseran-pergeseran di tingkat elit tersebut.
Pendekatan yang elitis ini berawal dari Spanyol yang pada tahun 1970-an diperintah oleh diktator yang bernama Jenderal Franco. Kejatuhan Jenderal Franco dan masuknya negara ini ke dalam alam demokrasi dinilai sebagai contoh dari pentingnya peran elit dalam transisi demokrasi. Kecenderungan ini kemudian menyebar ke Amerika Latin yang masyarakatnya memiliki sejarah panjang perbenturan antara gerakan radikal dengan kekuasaan otoriter, kemudian menular ke Eropa Timur setelah runtuhnya Yugoslavia, lalu ke Afrika, Asia, termasuk Indonesia.
Selain kecenderungan umum di atas, ada tiga model lain yang saat ini banyak menjadi perbincangan. Pertama, model demokratisasi versi Bank Dunia. Bank dunia mengatakan lembaganya akan menjaga jarak dari urusan-urusan politik, namun mendorong menguatnya desentralisasi dan pembangunan partisipatoris. Pendekatan ini membuat pemisahan yang ketat antara “negara” dan “masyarakat sipil”. Programnya adalah membuat rakyat tetap berada di luar wilayah politik, dan memberi penekanan pada peningkatan kemampuan partisipasi rakyat untuk mengurusi diri dan komunitasnya (swadaya). Pendekatan ini merupakan gerakan neoliberalisme dimana melalui “structural adjustment”, peran negara kesejahteraaan dikikis habis. Pengikisan peran negara ini mengambil bentuk, misalnya, melalui penjualan perusahaan-perusahaan milik negara, Ini akan mengakibatkan berkurangnya kemampuan negara untuk memenuhi fungsi pelayanannya kepada warga negara melalui perusahaan-perusahaan tersebut. Pengurangan peran negara ini sejalan dengan penguatan kemampuan rakyat untuk mengurusi kepentingannya sendiri. Idenya adalah: rakyat sendiri, dan bukannya negara, yang harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sendiri. Desentralisasi adalah salah satu cara untuk mengalihkan tanggung jawab pelayanan kebutuhan umum itu, yang tadinya terpusat pada pemerintah nasional, sekarang terbagi-bagi pada pemerintah daerah.
Kedua, model direct-democracy. Pendekatan ini ditandai dengan sikap skeptis terhadap negara. Biasanya mereka yang mengadopsi pendekatan ini adalah gerakan-gerakan LSM radikal yang terpengaruh komunisme. Fokus dari pendekatan ini adalah memberdayakan rakyat, yakin dengan kemampuan rakyat membangun “politik dari bawah” (demokrasi yang dipraktekkan langsung dalam kehidupan sehari-hari—direct democracy).
Ketiga, model penyusunan anggaran partisipatif kota Porto Allegre Brazil. Di kota ini, anggaran belanja tidak disusun oleh elit politik, melainkan melibatkan seluruh rakyat. Rakyat berkelompok di berbagai level, membuat prioritas kebutuhan, dan berdiskusi untuk menyusun anggaran belanja kota itu. Cara penyusunan anggaran ini dilembagakan dan diakui resmi oleh negara (pemerintah). Karenanya tidak bisa disamakan dengan sekelompok orang yang membuat rancangan anggaran dan mengajukannya ke parlemen.
Pendekatan ini menggabungkan antara model pemberdayaan rakyat yang percaya pada kekuatan dari bawah (membangun politik dari bawah), demokrasi,langsung, dan intervensi kekuasaan dari atas ke bawah. Institusi penyusunan anggaran partisipatif ini hanya berhasil setelah partai buruh berkuasa. Program ini didukung oleh birokrasi yang progresif, mampu menjalankan ide demokratisasi, disertai oleh penerapan aturan atau ndang-undang yang pro demokratisasi. Tanpa kekuasaan partai buruh itu, model penyusunan anggaran partisipatif ini tidak akan pernah berhasil diimplementasikan.
Dengan kata lain, pemberdayaan rakyat di tingkat bawah saja tidak cukup, harus dilengkapi dengan penciptaan ruang publik yang terlembaga, dimana rakyat yang berpartisipasi  mempengaruhi pembuatan atau pun penentu kebijakan. Di Porto Allegre, ruang itu adalah penyusunan anggaran secara partisipatif tersebut. Penggabungan gerakan rakyat di bawah dan intervensi politik dari atas ke bawah inilah yang membuat demokratisasi ala Porto Allegre mungkin terjadi. Tapi, bagaimana rakyat bisa berdiskusi secara setara padahal kondisi di dalam masyarakat diwarnai oleh berbagai ketidaksetaraan posisi? Keseteraan antar rakyat didorong melalui penerapan serangkaian peraturan yang menjamin partisipasi dilengkapi  detail aturan tentang mekanisme partisipasi tersebut yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Mirip dengan kasus Porto Allegre adalah kasus Kerala, di selatan India. Negara bagian Kerala yang berpenduduk 30 juta jiwa ini pernah menjadi contoh negara bagian yang berhasil mengembangkan kualitas hidup manusia tanpa harus terjebak pada pertumbuhan ekonomi yang cepat. Negara bagian ini pernah menikmati saat-saat mereka memiliki kualitas hidup yang tinggi, rakyat terorganisasi, dan kesenjangan ekonomi yang tidak terlalu lebar. Itu semua bisa terjadi karena Kerala memiliki modal sejarah pergerakan rakyat:
  1. Selama penjajahan Inggris, di negara bagian ini ada dua kerajaan yang progresif dan karenanya rakyat Kerala tidak sepenuhnya menjadi jajahan Inggris.
  2. Pada abad 19, muncul gerakan-gerakan civil society yang progresif menantang kasta.
  3. Pada tahun 1920-1930-an, muncul gerakan-gerakan rakyat yang menuntut reformasi agraria (land reform).
Namun, semua kesuksesan Kerala perlahan-lahan mengabur manakala pada tahun 1980-an, pemerintah kota ini mulai mengadopsi resep-resep pembangunan ekonomi ala Bank Dunia seperti Structural Adjustment3, yang mengakibatkan berbagai aset negara bagian seperti perusahaan-perusahaan dijual dan pada gilirannya membuat negara tidak lagi bisa menikmati keuntungan dari perusahaan-perusahaan miliknya, dan kehilangan kemampuan untuk melayani rakyatnya melalui perusahaan-perusahaan tersebut. Sebab yang lain adalah adanya pelemahan gerakan-gerakan rakyat yang berideologi komunisme karena menguatnya klientalisme. Gerakan-gerakan rakyat yang semula mengadopsi isu-isu universal, demi kepentingan umum, mulai memikirkan kepentingan masing-masing. Pemimpin-pemimpinnya mendahulukan kepentingan diri dan pendukungnya daripada kepentingan yang lebih luas.
Perlawanan atas kecenderungan menguatnya ide neo-liberalisme dan melemahnya gerakan rakyat ini dilakukan dengan melakukan revitalisasi rakyat dari bawah, menyelenggarakan “people’s planning campaign”, kampanye untuk mengajak rakyat terlibat secara langsung dalam perencanaan anggaran negara bagian. Mendiskusikan prioritas-prioritas kebutuhan rakyat dan merancang anggaran untuk negara bagian itu. Namun, upaya ini dilakukan sama sekali berada luar main-stream, di pinggiran dan memutus hubungan dan kerjasama dengan partai politik atau tidak melibatkan partai politik. Upaya ini bahkan diarahkan untuk mendepolitisasi rakyat, mendorong rakyat agar mundur dari aktivitas politik. Karena bergerak sepenuhnya berada di luar proses-proses politik (berbeda dengan Porto Allegre di mana partisipasi rakyat dalam penyusunan anggaran diwadahi dalam proses yang diakui oleh negara, ditopang oleh berbagai peraturan perundangan yang mengatur pelaksanaannya), gerakan di kota Kerala ini, tidak memiliki dampak yang kuat untuk mempengaruhi proses-proses politik yang berlangsung di negara bagian itu. Upaya perlawanan ini secara umum gagal, karena:
  1. Faksionalisasi kelompok-kelompok di tingkat civil society terjadi dengan sangat serius.
  2. Terjadinya dualisme antara kekuatan reformis dan konservatif sangat tajam. Sementara kekuatan konservatif menduduki posisi-posisi penting di sektor ekonomi dan politik, kekuatan reformis hanya menduduki posisi pinggiran, di level yang paling bawah. Misalnya, di sektor ekonomi, sementara para konservatif menguasai sektor-sektor industri besar para reformis sibuk dengan industri-industri kecil dan tradisional.
  3. Keinginan untuk melakukan depolitisasi rakyat, ternyata tidak diikuti dengan repolitisasi, akibatnya social movement tidak muncul karena gerakan ini tidak pernah menawarkan alternatif baru. Gerakan-gerakan kiri diliputi oleh semangat mementingkan kepentingan sendiri, sehingga beberapa isu penting seperti land-reform tidak bisa dimunculkan karena kalau digulirkan akan menghantam petinggi-petinggi gerakan itu sendiri.
  4. Para aktivis reformis gagal menggabungkan demokrasi langsung (direct democracy), yaitu demokrasi dalam kehidupan sehari-hari dengan demokrasi perwakilan (representative democracy). Sementara dalam kehidupan politik demokrasi perwakilan diwarnai oleh faksionalisasi yang berlebihan, para aktivis tidak tertarik untuk terlibat dalam politik itu untuk memperbaiki keadaan. Para aktivis sama sekali tidak tertarik untuk terlibat dalam pemilihan umum. Pendeknya, situasinya adalah: sementara para politisi konservatif tidak mau posisi politik mereka diganggu gugat, di sisi lain, para aktivis reformis juga sama sekali tidak tertarik untuk merebut posisi-posisi itu dari para politisi konservatif.
  5. Depolitisasi terjadi berlebihan. Para aktivis sama sekali tidak mau berbicara tentang politik, karena hal itu akan membuka jalan munculnya kritik-kritik terhadap petinggi-petinggi politik mereka.
Demokratisasi di Indonesia
Di Indonesia berkembang pula pemahaman demokratisasi yang memisahkan secara ketat antara gerakan civil society dan kehidupan politik. Pemahaman ini pada gilirannya merekomendasikan gerakan civil society untuk menarik diri dari aktivitas politik. Pemahaman seperti ini tercermin dalam analisis sejarah tentang kemunculan dan kemunduran orde baru.
Menurut pemahaman ini, naiknya Soeharto ke kursi kekuasan pada 1965 adalah karena gerakan civil society telah terpolitisasi yang membuat gerakan ini gagal menghimpun kekuatan-kekuatan mereka. Pemahaman ini tidak melihat hal lain yang sesungguhnya melemahkan gerakan masyarakat sipil, yaitu kecenderungan kuat gerakan waktu itu untuk menjadi partai politik yang otoriter, berciri top down. Bahkan Partai Komunis Indonesia waktu itu telah meninggalkan nilai-nilai demokrasi. Pendeknya, bukan karena gerakan masyarakat sipil telah terpolitisasi, melainkan karena gerakan masyarakat sipil itu telah meninggalkan nilai-nilai demokrasi yang membuka jalan Soeharto meraih kekuasaannya.
Ketika menganalisis keruntuhan Soeharto, pemahaman yang memisahkan civil society dan aktivitas politik ini melihat bahwa keruntuhan Soeharto terjadi karena civil society melaksanakan tugasnya dalam menentang “negara”. Dengan kata lain, peristiwa ini dilihat sebagai bukti akuratnya pemahaman yang memisahkan antara masyarakat sipil  dan aktivitas politik kenegaraan.
Persoalan terbesar yang sesungguhnya dihadapi oleh aktivis reformis di Indonesia, adalah munculnya “floating democrats” (demokrat mengambang), para reformis yang mengadopsi pemahaman yang memisahkan secara ketat antara masyarakat sipil dan aktivitas politik kenegaran membuat mereka tidak mau ikut tercebur ke dunia politik. Para reformis memilih untuk “mengambang”, tetap menjaga jarak dengan aktivitas politik sementara dunia politik tetap dikuasai oleh para konservatif. Dampak dari para “demokrat mengambang” ini jelas. Gerakan rakyat yang berhasil memaksa Soeharto turun pada tahun 1998, akhirnya ditinggalkan di belakang, tidak ikut berperan dalam aktivitas politik. Pemilu 1999 tidak menyisakan tempat sedikit pun untuk para reformis di parlemen.
Pendeknya, yang perlu dilakukan oleh gerakan rakyat sekarang ini adalah meninggalkan posisi mengambangnya, dan mulai serius untuk terjun ke dunia politik. Gerakan rakyat harus memulai untuk menyisakan 25%-30% energi untuk mengurusi dunia politik.
Tapi, bukankah hal itu sudah dimulai oleh beberapa partai seperti PRD atau Partai Serikat Buruh Sejahtera Indonesia? Partai SBSI gagal bermetamorfosis menjadi partai politik karena organisasi ini terlalu terfokus pada individu, dalam hal ini Muchtar Pakpahan. Selain itu, perubahan dari gerakan sektoral menjadi partai politik membutuhkan persiapan yang matang, karena partai politik, tidak seperti gerakan sektoral dengan isu tunggal, harus siap dengan isu-isu yang jauh lebih luas, juga harus siap dengan agenda-agenda pemerintahan. Sementara itu, PRD juga gagal karena mereka lebih sibuk dengan pikiran-pikiran besar soal marxisme dan sosialisme, dan lupa untuk menjual program-program kongkrit yang menyentuh kebutuhan dasar rakyat.
Kemenangan partai buruh di Porto Allegre bukan hanya hasil pekerjaan dari partai itu saja, melainkan hasil dari paduan dari berbagai gerakan progresif di semua sisi kehidupan, termasuk gereja yang berjuang dari sisi pengembangan nilai-nilai dasar, etika, yang menyumbang kepada perubahan. Kemenangan itu adalah hasil aliansi dari berbagai kekuatan progresif rakyat.
Belajar dari Porto Allegre, untuk membangun partai politik yang kuat, kekuatan progresif harus membuat pembagian tugas antara partai politik dan organisasi rakyat/LSM, karena dua wilayah ini memiliki logika yang jauh berbeda. Di Flipina, kekuatan-kekuatan progresif rakyat dari berbagai sektor bergabung untuk membangun partai politik. Aliansi ini diikuti dengan membangun mekanisme untuk mengontrol partai politik itu: rakyat di akar rumput membangun forum-forum kecil untuk bertemu berdiskusi tentang partai politik itu, dan sejauh mana mereka telah bekerja sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan rakyat. Forum-forum seperti ini penting untuk tetap mempertahankan kepercayaan rakyat terhadap partai politik, di satu sisi, dan menjaga partai untuk tetap berjalan di jalur yang benar, di sisi lain.
Hasil pemilu presiden yang memenangkan SBY sesungguhnya memberikan peluang bagi kekuatan-kekuatan progresif untuk bisa memasuki wilayah politik. Kemenangan SBY diiringi perpecahan yang dalam di tubuh Golkar dan pelemahan di PDIP. Menurunnya kemampuan dua mesin politik yang dominan ini seharusnya menjadikan kekuatan-kekuatan progresif lebih bersemangat untuk berkiprah di dunia politik.
****
1 Diinterpretasikan oleh Ali Saeful Thohir berdasarkan diskusi pada bulan Oktober 2004 di UPC Jakarta
2 Olle Tornquist mulai tertarik mengamati Indonesia sejak awal tahun 1970-an. Disertasi doktornya tentang PKI di Indonesia. Sejak tahun 1980-an mendalami demokratisasi, salah satunya dengan membuat studi perbandingan antara Indonesia, India dan Filipina. Menjadi editor buku “Gerakan Demokrasi di Indonesia Pasca-Soeharto” bersama-sama dengan Stanley Adi Prasetyo dan A.E Priyono, diterbitkan oleh Demos, Jakarta, 2003
3 Structural Adjustment Programs (SAPs) menuntut negara-negara untuk menurunkan nilai mata uang mereka atas dolar, mengurangi pembatasan ekspor-impor, menyeimbangkan anggaran dan mencegah pembelanjaan yang berlebihan dan menghapuskan kontrol harga dan subsidi pemerintah (sumber: http://www.whirledbank.org/development/sap.html)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar