17 Mei 2011

Buruh dan Petani

Dari Kelas Pekerja Menjadi Konsumen
Don K. Marut2 
“Teknisi Kekuasaan (Policy Wonk) adalah musuh utama Buruh dan Petani”
Konsep tentang buruh (dan petani) dewasa ini mengalami degradasi makna dan bahkan pemaknaan yang negatif, tidak hanya dalam debat filosofis, tetapi juga dalam teori perundang-undangan, politik dan terutama ekonomi. Semula buruh (dan petani) mengacu terutama pada persoalan nilai. Konsep tentang buruh-tani dan nilai mengandung makna saling memaknai: buruh-tani mengandung makna sebagai upaya dan faktor penciptaan nilai. Dalam pemahaman ini buruh-petani berfungsi sebagai kekuatan analitik sosial yang memaknai produksi nilai melintasi seluruh spektrum sosial, termasuk ekonomi dan budaya. Melihat buruh dan petani di dalam konteks proses penciptaan nilai bisa menjadi lensa yang tepat dan paling jernih untuk melihat keseluruhan produksi, tidak hanya sekedar produksi pengetahuan dan identitas (sebagai suatu kelas), tetapi produksi keseluruhan masyarakat.
Karena itu buruh dan petani harus dilihat tidak hanya sebagai kekuatan destruktif terhadap masyarakat kapitalis, tetapi sebagai suatu proposisi atau afirmasi dari suatu jenis masyarakat – suatu pengkarakteristikan masyarakat. Buruh dan petani adalah bagian utuh dari suatu masyarakat (sistem sosial) yang memberi nilai terhadap keseluruhan sistem ekonomi dan budaya masyarakat tersebut. Buruh dan petani menjadi komponen utama dari pemaknaan kehidupan sosial, kultural dan ekonomi, serta terhadap kemanusiaan itu sendiri. Buruh dan petani memberi fondasi bagi pemaknaan nilai kemanusiaan di dalam sistem kemasyarakatan.
Negara dibangun di atas pemaknaan nilai yang diciptakan oleh basis sosial dan ekonomi dari masyarakatnya. Berbeda dari sejarah terbentuknya negara di Eropa yang berkembang dari negara kota (city states), negara seperti Indonesia dibangun di atas proses produksi dari keseluruhan produksi di mana komponen buruh dan petani menjadi fondasi pemaknaan tatanan sosial dan tatanan kenegaraan. Di dalam tatanan sosial paling kecil sekalipun (komunitas), tatanan sosial, ekonomi dan budaya dibangun di atas nilai yang dihasilkan secara kolektif melalui proses produksi yang sistematis di mana buruh dan petani menjadi komponen utama yang utuh dari penciptaan nilai di dalam masyarakat tersebut. Karena itu komunitas menciptakan institusi dan aturan main untuk melindungi komunitas dan warganya. Demikian pun seharusnya Negara yang dibangun sebagai sistem sosial dan politik; buruh dan petani merupakan peletak dasar fondasi kenegaraan. Karena itu pantaslah jika konstitusi Indonesia menempatkan ”perlindungan dan pencapaian kesejahteraan rakyat seluruhnya dan seutuhnya” sebagai tujuan bernegara.
Jika buruh adalah basis dari nilai, maka nilaipun adalah basis dari buruh. Apa yang disebut buruh, atau kerja penciptaan nilai, selalu bergantung pada nilai-nilai yang ada di dalam konteks sosial dan historis tertentu. Dengan kata lain, buruh tidak hanya didefinisikan sebagai kegiatan, apa pun kegiatan tersebut, tetapi khususnya kegiatan yang diakui secara sosial sebagai penciptaan nilai. Kerja yang mencakup buruh tidak pernah tetap (fixed) atau given, tetapi ditentukan secara sosial dan historis, dan juga mencakup wilayah konstelasi sosial. Yang semakin menonjol adalah nilai kerja perempuan (use value of female labor).
Fenomena umum yang paling penting dari transformasi buruh dewasa ini adalah perubahan ke arah masyarakat-pabrik (factory-society). Proses penciptaan nilai tidak lagi dikonsen-trasikan dalam lingkungan bangunan pabrik, tetapi seluruh masyarakat dijadikan  pabrik.
Di tengah menguatnya kekuatan neoliberal, di mana teknisi kekuasaan atau teknokrat (policy wonk, menuruh Hannah Arendt) menjadi pemain utama dalam menerjemahkan konstitusi ke dalam aturan-perundang-undangan yang operasional, Negara pun dimaknai hanya sebagai salah satu subyek dari statecraft. Ketatanegaraan di dalam pandangan kaum neoliberal hanyalah sebuah kekuatan abstrak yang mekanis dan instrumental untuk mengatur pemerintahan. Negara sebagai puncak konsensus seluruh unsur kekuatan sosial, budaya, politik dan kemanusiaan mulai menghilang, dan hanya dilihat sebagai instrumen liberal untuk menguasai pemerintahan. Negara yang seharusnya menjamin dan memberi perlindungan terhadap rakyatnya, oleh para teknisi kekuasaan neoliberal, justru dipakai untuk meniadakan kekuatan-kekuatan yang dianggapnya menghalangi implementasi kebijakan-kebijakan neoliberal yang menguntungkan kelas kapitalis (domestik dan global). Di dalam situasi krisis di mana kekuatan buruh dan petani menguat dan mendesakkan perubahan, para teknisi kekuasaan bukannya membangun institusi mediasi dan penyelesaian sengketa, tetapi justru mendorong penyingkiran (eksklusi dan disposesi): baik mengeksklusikan buruh (dan petani) dari proses negosiasi tradisional maupun eksklusi buruh dari tempat produksi atau eksklusi petani dari lahan produksinya.
Eksklusi buruh dan disposesi lahan petani dilakukan dengan berbagai cara: mulai dari yang halus sampai cara-cara yang kasar: mekanisasi dan komputerisasi, free exit dan repatriasi tanpa tanggung jawab sosial, sampai kepada free labor market. Semua metode eksklusi dan disposesi ini menempatkan buruh dan petani serta keseluruhan warga negara sebagai konsumen. Buruh dan petani diper-lakukan sebagai konsumen (dari lapangan kerja dan penyediaan lahan) yang harus tunduk pada hukum pasar: permintaan dan penawaran. Jika permintaan banyak (unemployment rate tinggi), maka harus menerima fakta gaji rendah dan perlakuan yang tidak wajar. Jika supplier melihat bahwa pasar lain lebih baik, industri bisa saja dipindahkan ke mana pun.
Di mana posisi negara di dalam situasi seperti ini? Negara yang dikuasasi para teknisi kekuasaan neoliberal, didukung kepartaian yang dikuasai oleh para self- seeking politicians dan rent-seeking intellectuals, justru memfasilitasi proses penguatan sistem dimana buruh-tani, seluruh warga negara menjadi konsumen.

Subsidi Negara vs. Subsidi Pasar
Akhir-akhir ini kita sering mendengar pernyataan bahwa pemerintah menghadapi masalah beban anggaran karena meningkatnya subsidi kepada rakyat: subsidi BBM dan sebagainya. Para pengamat, media masa dan bahkan aktivis juga menerima pernyataan tersebut sebagai suatu kebenaran. Negara mensubsidi Rakyat. Ini sebenarnya pernyataan yang misleading dan mengacaukan. Negara dibentuk sebagai konsensus bersama seluruh bangsa, bukan sebagai suatu kontrak antara dua pihak yang independen. Warga negara tidak membuat kontrak dengan negara, sebagaimana dikatakan oleh Jean Jacques Rouseau. Negara Indonesia dibentuk tidak seperti negara di Eropa yang dibentuk dari, atas dan oleh para pangeran. Negara Indonesia dibentuk sebagai suatu konsensus bersama dengan semangat kolektivitas dan semangat perjuangan perlawanan. 
Negara Indonesia dibentuk dan dibangun sebagai sebuah puncak dari konsensus sosial, kultural dan politik di mana seluruh bangsa dan rakyat yang beraneka ragam di bumi nusantara ini menjadi komponen utama, dan kolektivitas sosial, kultural dan politik yang tersebar di seluruh bumi nusantara menjadi fondasi utama dari bangunan negara dan kenegaraan ini. Karena itu Negara bukanlah aktor atau komponen independen dari suatu sistem sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan Indonesia. Negara ini adalah cakupan dan puncak dari keseluruhan komponen tersebut. Kalaupun konsensus nasional ini dianggap sebagai kontrak sosial, substansinya tetap ada di dalam kolektivitas kebangsaan.
Para aktivis pun menerima kerangka trikhotomi: negara – pasar – masyarakat sipil. Seolah-olah negara hanyalah satu komponen dari triangle atau segitiga negara – pasar – masyarakat sipil, dan karena itu masyarakat sipil dan pasar adalah institusi independen dari negara, atau setidak-tidaknya sederajad dengan negara. Saya ingin menekankan bahwa baik pasar maupun masyarakat sipil adalah institusi yang berada di dalam bangunan Negara. Tidak ada pasar yang bergerak tanpa lindungan negara, dan tidak ada masyarakat sipil yang memiliki identitas tanpa negara. Negara adalah rujukan dari masyarakat sipil dan pasar. Di dalam kerangka berpikir seperti ini, Negara dibangun untuk melindungi rakyat. Negara diberi fungsi untuk menjalankan kewajiban untuk melindungi rakyat. Negara tidak mempunyai hak; Negara hanya mempunyai kewajiban. Kewajiban utama negara adalah untuk melindungi dan menjamin agar rakyatnya hidup di dalam kesejahteraan minimal, ketenteraman dan keamanan. Pemerintah di dalam negara demokratis dipilih untuk menjalankan kewajiban kenegaraan itu, bukan untuk mengabaikan kewajiban kenegaraan.
Di dalam konteks seperti ini, tidaklah wajar kalau Negara memberi subsidi kepada rakyat. Yang benar adalah Negara menjalankan kewajiban agar rakyat tidak jatuh ke dalam kemiskinan, agar hak rakyat tidak dilanggar, hak rakyat selalu dilindungi, rakyat tidak hidup di dalam situasi terancam karena sikap agresif dari sesama rakyat atau dari ancaman luar, rakyat mendapatkan penghidupan dan pekerjaan yang layak untuk menjalankan kehidupannya, dan menjaga agar rakyat yang tidak bisa menjalankan pekerjaannya mendapatkan dukungan yang pantas dari sesama rakyat melalui Negara. Jika pemerintah membiarkan rakyatnya hidup di dalam kelaparan, ketidakamanan karena ancaman bencana, tidak bisa mewujudkan hak untuk mendapat pekerjaan, pendidikan dan pelayanan kesehatan, maka pemerintah tersebut tidak menjalankan kewajiban kenegaraan seperti yang dimandatkan oleh konstitusi.
Kalau kita memahami kerangka subsidi seperti yang dibicarakan oleh pemerintah, para pengamat dan aktivis, kita sebenarnya bisa menemukan bahwa Pemerintah selama ini lebih banyak memberi subsidi kepada aktor pasar besar ketimbang memberi subsidi kepada rakyatnya. BLBI adalah subsidi finansial kepada aktor perbankan dan aktor bisnis lainnya. Ekspor minyak mentah ke Singapura dengan harga murah dan membeli minyak dari Singapura dengan harga lebih tinggi (dan ini yang disebut sebagai subsidi BBM) adalah bentuk subsidi BBM kepada aktor pasar global secara umum dan subsidi BBM kepada Singapura dan aktor pasar domestik secara khusus. Bagaimana mungkin pemerintah memberi subsidi BBM kepada rakyat. Konversi minyak ke gas adalah bentuk subsidi kepada pasar (para pembuat pipa gas alam cair – Bakrie Bumi Resources, investor gas alam cair: Bank Dunia melalui IFC, Mitsubishi Jepang melalui Medco, dan sebagainya).
Bantuan Langsung Tunai (BLT atau conditional cash transfer) diumumkan sebagai subsidi kepada orang miskin. Itu keliru besar. BLT adalah konsep subsidi kepada pasar. Orang miskin diberi uang untuk dibelanjakan atau membeli kebutuhan dasar, sehingga bisa menjaga stabilitas pasar pemasok kebutuhan dasar. BLT adalah bentuk lain dari konsep ”education voucher” dari Milton Friedman, ekonom yang menjadikan ekonomi neoliberal sebagai ideologi ekonomi dan ideologi politik. Menurut Friedman, pasar harus dibiarkan beroperasi bebas sebebas-bebasnya. Ketika warga negara tidak bisa terlibat di dalam pasar, negara mempunyai kewajiban untuk memberi santunan (berupa voucher) kepada warga negara untuk ditukarkan di pasar.
Pemerintah kita telah terlalu jauh membelokkan konsep kewajiban Negara menjadi bentuk intervensi terhadap pasar. Negara seharusnya ada untuk menjamin bahwa seluruh rakyat mendapatkan perlindungan atas hak-hak rakyat. Ketika Negara mengeluarkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), pelaksana tugas di tingkat RT menjalankan kewajibannya untuk menjamin bahwa seluruh warganya hidup aman di lingkungannya. RT yang memantau kehidupan warganya. Itulah tugas atau kewajiban Negara di tingkat RT.
Ketika pemerintah mengeluarkan asuransi kesehatan untuk rakyat miskin, maka petugas kesehatan dari Puskesmas Pemerintah mempunyai kewajiban untuk menjamin agar seluruh rakyat pemegang Kartu Asuransi Kesehatan hidup dalam keadaan sehat, Petugas kesehatan harus secara reguler memantau kesehatan dari para pemegang Kartu Asuransi Kesehatan. Dalam kenyataannya, Kartu Asuransi Kesehatan dipakai sebagai alat bayar pelayanan kesehatan; kartu Asuransi Kesehatan dipakai sebagai "voucher" ala ekonomi liberal agar pasar kesehatan berjalan secara stabil.
Demikianlah para teknisi kekuasaan neoliberal dan para intelektual dan media pendukungnya mengalihkan kewajiban Negara untuk melindungi rakyat menjadi kewajiban Negara untuk melindungi Pasar.

Kekuatan Multilateral dan Ekonomi Domestik
Dalam sepuluh tahun terakhir (1997 – 2007) pembangunan ekonomi dan program-program pengentasan Kemiskinan tidak atau kurang menunjukkan dukungan positif kepada penghidupan rakyat; situasi kemiskinan bahkan lebih buruk (dari segi kualitas). Salah satu penyebab utama dari menurunnya kinerja pembangunan di Indonesia bisa ditarik pada peristiwa ketika pemerintah menerima utang sebesar US$ 7.3 billion dari IMF bersama seluruh persyaratan yang membebani kehidupan rakyat. Sejak penandatanganan LoI (Letter of Intent) dan Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) dengan IMF, Indonesia masih sangat sulit untuk meningkatkan kinerja pembangunannya. Dalam 7 tahun (1997–2004) Indonesia menandatangani 20 LoI dan MEFP dengan berbagai persyaratan yang berat. Hasilnya jelas: meningkatnya kemiskinan, tingkat kematian karena gizi buruk dan kelaparan, dan konflik-konflik untuk merebut sumberdaya.
Salah satu aspek dari LoI dan MEFP yang memaksa pemerintah Indonesia untuk mengimplementasikan resep-resep kebijakan dari IMF dan Bank Dunia yang secara langsung membawa pegaruh buruk pada kondisi penghidupan rakyat (terutama petani) adalah yang berkaitan dengan pertanian dan petani. Syarat-syarat yang ditetapkan oleh IMF dan dipantau secara sistematis oleh Bank Dunia, adalah:
  • Pemerintah tidak diijinkan untuk mengontrol harga dan distribusi beras.
  • Pemerintah harus memotong subsidi pada harga beras hingga nol.
  • Peniadaan larangan dan batasan atas impor beras.
  • Pemotongan subsidi kepada sektor pertanian hingga nol.
  • Privatisasi Biro Umum Logistik (BULOG).
  • Peniadaan kredit khusus untuk petani, kredit harus menjadi bisnis dari bank-bank komersial.
Persyaratan-persyaratan ini menyerang langsung ke jantung penghidupan mayoritas rakyat Indonesia, yakni petani dan buruh.
Berkaitan dengan persyaratan di dalam bidang ekonomi dan perdagangan, pemerintah telah memberikan arena yang lebih leluasa dan luas kepada aktor-aktor ekonomi global untuk terlibat luas di dalam ekonomi domestik dan terutama dalam hal mengeksploitasi sumberdaya alam Indonesia. Negara beralih fungsi tidak lagi menjadi pelindung rakyat, tetapi menjadi pelindung utama aktor ekonomi global dan menindas rakyatnya sendiri. TNCs yang berpartisipasi dalam ekonomi domestik dan lokal, seharusnya datang sebagai tamu yang diundang dan bukan sebagai pasukan penakluk, dan karena itu mereka harus menghormati aturan dan kebiasaan lokal dan domestik.
Para teknisi kekuasaan (pembuat kebijakan ekonomi) lebih berperan sebagai penjamin bagi keamanan investor daripada sebagai pembuat kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Para teknisi kekuasaan (atau sering disebut juga ekonom-teknokrat) menampilkan wajah lugu, seolah-olah pernyataan-pernyataannya netral, tidak bertendensi politis, dan ilmiah, padahal di balik pernyataan kebijakan ekonomi yang diterapkan terkandung strategi dan substansi yang mengarah kepada pelucutan kewajiban Negara untuk melayani rakyat dan mendorong rakyat (buruh-petani) untuk menjadi konsumen bagi lapangan kerja, konsumen bagi produk yang diambil dari sumberdaya yang sebelumnya milik kolektif masyarakat, dan menjadi konsumen bagi produk yang didistribusikan oleh kekuatan pasar sampai pelosok tanah air. Para teknisi kekuasaan (ekonom-teknokrat) inilah yang menjadi kaki-tangan kekuatan pasar global dan kekuatan keuangan internasional untuk menciptakan kondisi politik dan ekonomi di mana kekuatan ekonomi global bisa bergerak bebas di dalam Negara tanpa hambatan ekonomis dan politis; di mana kekuatan ekonomi global diperlakukan sebagai aktor pasar domestik.

Gerakan Politik dan Gerakan Sosial
Jika pemerintah (ekonom-teknokrat) telah menjadi alat dari kekuatan ekonomi global untuk meratakan jalan bagi berkembangnya pasar domestik bagi kekuatan pasar global ini, dan dengan jelas tidak bisa diandalkan untuk melindungi hak-hak rakyat secara keseluruhan atau mendorong tercapainya pembangunan seluruh bangsa dan seluruh manusia Indonesia, apa yang harus dilakukan oleh buruh-tani? Jika buruh-tani sudah hanya menjadi konsumen, dan bukan pencipta nilai, apa yang harus dilakukan oleh buruh-tani dan para pendampingnya?
Pengalaman di Amerika Latin, pengambil-alihan politik tidak selalu membantu perubahan politik. Partai politik progresif sekalipun bisa dibelokkan oleh kekuatan ekonomi dan finansial multinasional. Presiden Lula di Brazil yang berjuang semula melalui organisasi buruh dan kemudian membangun basis gabungan buruh dan petani ternyata kemudian menjadi Presiden yang ramah terhadap kekuatan ekonomi dan keuangan global. Para aktivis Partai yang semula menyebarkan dan meneriakkan slogan anti-kapitalisme global dan anti-lembaga-lembaga keuangan internasional, ternyata ketika menduduki jabatan strategis justru melakukan negosiasi kerjasama yang lebih intensif dengan para aktor ekonomi dan keuangan global.
Yang masih bertahan dengan setia mendampingi rakyat miskin dan korban HAM adalah kelompok-kelompok gerakan sosial dan kelompok-kelompok yang menjalankan kegiatn ekonomi berbasis komunitas. Dua kelompok ini bahkan yang memegang semangat perjuangan dan kemandirian rakyat di bawah tekanan yang berlebihan dari kekuatan Negara dan aktor ekonomi dan keuangan global. Karena itu yang perlu dibangun terus-menerus adalah gabungan gerakan sosial dan kegiatan ekonomi tingkat lokal. Gerakan sosial  membangun solidaritas yang kuat, dan gerakan ekonomi lokal membantu mendorong pengambilalihan rente sumberdaya alam dan penguasaan sumberdaya alam secara kokoh.
Di Indonesia, kekuatan finansial internasional seperti Bank Dunia, ketika tidak mampu memegang kendali atas pemerintah pusat karena terhambat Undang-undang, mulai menyerang pemerintah daerah untuk mengajukan utang langsung ke luar negeri. Tetapi tidak mudah untuk mendapatkan pinjaman langsung tersebut karena terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat. Karena itu lembaga-lembaga ini mulai mempengaruhi wakil-wakil rakyat dari daerah-daerah untuk memaksa pemerintah pusat. Persoalannya, para wakil rakyat ini pun meminta bayaran yang tidak sedikit yang tidak mungkin bisa dibayar oleh lembaga-lembaga keuangan internasional ini. Karena itu upaya yang baru sedang dilaksanakan adalah mengubah konstitusi (UUD 45) agar DPD mempunyai otoritas pembuatan undang-undang. Menggunakan jalur DPD jauh lebih murah dibandingkan menggunakan jalur DPR: harus bayar anggota DPR, bayar partai dan partai harus mempertanggungjawabkan kegiatannya kepada anggota partai dan konstituen pemilih. Sementara kepada DPD, tidak perlu membayar partai dan tidak perlu ada pertanggungjawaban kepada konstituen pemilih. Menggunakan DPD untuk mensukseskan pencapaian tujuan kekuatan keuangan internasional ini jauh lebih murah dibandingkan jika menggunakan jalur DPR.
Mekanisme atau upaya yang dilakukan oleh aktor pasar global ini akan meruntuhkan Negara secara sistematis. Pemerintah akan didegradasi menjadi aktor yang menjamin perlindungan kepada aktor ekonomi global ini dan melupakan atau mengeliminasi kewajiban kenegaraan yang menjadi mandat konstitusi. Ketika pemerintah mengalami degradasi makna dan tanggung jawab, maka rakyat (buruh-tani khususnya) akan mengalami degradasi makna yang lebih jauh lagi, dan bahkan sampai kepada proses dehumanisasi secara substansial, apalagi rakyat (buruh-tani) sudah dilihat tidak saja sebagai konsumen, tetapi juga sebagai komoditi. Karena itu buruh-tani secara khusus, dan rakyat Indonesia secara keseluruhan, perlu mencermati secara saksama proses degradasi makna buruh-tani sebagai aktor penciptaan nilai sosial-budaya-politik-ekonomi yang telah menempatkan buruh-tani hanya sebagai konsumen lapangan kerja. Buruh-tani perlu membangun kekuatan pertahanan diri baik secara institusional (organisasi dan hubungan sosial) yang lebih solid, dan secara filosifis-ideologis (melihat buruh-tani sebagai aktor utama penciptaan nilai yang meletakkan fondasi filosofis dan ideologis dari bangunan komunitas dan negara).
----------------------------------------
1 Catatan untuk diskusi “Buruh dan Free Labour Market”, menjelang Hari Buruh Internasional 1 Mei 2008.
2 Direktur Eksekutif INFID; don@infid.orgrumahkampungkota.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar