Aktivis Jurnalis di Kendari
Formalitas sistem pendidikan yang dianut negeri ini memberi beban terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan anak miskin perkotaan. Selama ini, mereka yang akrab dengan kehidupan informal selalu terbentur dengan biaya sekolah yang mahal, ditambah dengan kewajiban mengenakan seragamserta aturan lain yang tidak berdampak pada perubahan kualitas anak didik. Banyak contoh kasus diskriminasi para pendidik terhadap siswa miskin di sekolah dasar. Dengan pendekatan formalisme ini mengakibatkan rendahnya kreatifitas siswa.
Sejauh ini yang saya ketahui, anak-anak perkampungan miskin di kota-kota besar di Indonesia adalah anak-anak yang sejak dini hidup dalam budaya informal. Dalam bermain misalnya, mereka menggunakan “benda apa saja” yang bisa mereka gunakan untuk bermain dan bereksplorasi. Penggunaan benda-benda yang akrab di lingkungan mereka berkaitan langsung dengan kondisi ekonomi mereka yang memang tidak sanggup membeli benda mainan toko. Namun, kondisi ini justru memicu kreatifitas serta membentuk kultur anak kampung, yang kelak menjadi kekuatan bagi dirinya di masa akan datang.
Di tengah kepungan praktek globalisasi dan trend kehidupan modern “formalitas” menjadi mekanisme yang dominan dan cenderung dipaksakan. Frmalisme mencakup seluruh standarisasi pendidikan mulai dari aspek modal, teknologi, jaringan dan mobilitas, dimana anak miskin kota tidak punya akses terhadapnya. Sedang kultur informal menjadi terpinggirkan, bahkan tergusur. Mereka terasing dari modernitas bukan karena kesalahan mereka, melainkan ketidkadilan dalam mengarungi kehidupan bersama. Formalitas dan informalitas seharusnya saling mengisi, seimbang, bukan sebaliknya, saling mengingkari.
Maka wajarlah ketika sekolah informal menjadi kebutuhan dalam menjaga informalitas mereka, dimana praktik pendidikan ini mencoba membebaskan anak dari sistem yang menindas. Sekolah berubah menjadi struktur penindasan ketika siswa yang diposisikan sebagai obyek pendidikan itu dimatikan kreatifitasnya, potensi kecerdasan, dan solidaritas anak itu sendiri.
Sekolah Informal
Bersekolah di sekolah informal bukan berarti meninggalkan sekolah formal. Tapi sekolah informal dijadikan sebuah tujuan menyeimbangkan karakter anak miskin kota. Untuk mencapai ini tentunya dibutuhkan motor penggerak, yang peduli akan kondisi yang dialami anak miskin di kota dengan berangkat dari kepedulian dan kepekaan sebagai mahluk sosial. Seperti lembaga kemahasiswaan, Ormas dan LSM sebagai pendamping untuk mengambil peran dalam mengatur ritme dari proses sekolah informal.
Menggerakkan sekolah informal, tentunya dimulai dengan memahami dan menghargai karakter informal yang unik guna mencapai kemudahan anak miskin kota dalam berproses mengembangkan jati dirinya. Pendamping memegang prinsip “semua orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah”. Misalnya, anak-anak tidak memakai seragam dan tempat di mana saja. Sebagai bentuk pembebasan paradigma “guru mengajar murid diajar” bahwa semua orang dapat menjadi guru bagi orang lain termasuk dalam sekolah informal anak-anak dapat menjadi guru bagi pendampingnya. Memaanfaatkan alam sekitar sebagai media untuk bermain, belajar bereksplorasi dan berekspresi. Dengan jalan itulah anak-anak miskin kota dapat tercerahkan dengan memadukan realitasnya dengan pengetahuan yang mereka dapat.
Proses Belajar
Anak-anak rakyat miskin kota berpotensi untuk tidak peduli terhadap kehidupan di lingkungan mereka antara lain karena stigma kemiskinan yang melekat sebagai lingkungan yang bermukim yang tidak sehat dan kumuh. Karena itu pendekatan yang dilakukan adalah menggunakan materi yang terdapat di lingkungan mereka sendiri, dan mengajak anak-anak mengubah materi tersebut menjadi media untuk belajar, bermain, bereksplorasi. Konsentrasi pada pembentukan keahlian bergantung pada minat masing-masing anak.
Hubungan dengan dunia luar yang berkaitan dengan sekolah informal ini, sekiranya terukur sedemikian rupa sehingga tidak berisiko menimbulkan kecenderungan bagi anak-anak untuk lebih menyukai dunia luar dibandingkan lingkungan mereka sendiri. Peningkatan kreatifitas untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan solidaritas menjadi fokus dari sekolah informal. Agenda belajar juga disusun pendamping dengan melibatkan anak-anak sehingga terdapat sebuah metode yang memang mewakili keiginan anak itu sendiri. Pada akhirnya tercipta sebuah proses belajar yang menyenangkan.
Dalam proses belajar, bermain dan berekspresi pendamping menggunakan berbagai metode seperti menggambar, bercerita menonton film anak, mendongeng dan diskusi, ditambah dengan jalan-jalan mengelilingi kampung guna mengenal secara baik lingkungan mereka. Semua metode tersebut digunakan untuk meningkatkan potensi dan kreatifitas yang mereka miliki serta menggugah kesadaran mereka akan lingkungan sekitarnya. Dengan kesadaran yang terbangun di dalam diri mereka terhadap lingkungan, anak-anak dapat melihat, merasakan dan memahami fenomena permasalahan nyata di sekeliling pemukiman mereka. Harapan kita kelak, anak-anak tersebut menjadi pembaharu atau menjadi penggerak perubahan dari dalam kampung. Semua itu harus dimulai dari pengamatan terhadap hal-hal kecil, nyata dan dekat di lingkungan anak-anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar