5 Mei 2011

Gerakan Rakyat dalam Transisi Reformasi

Materi Diskusi Mahasiswa Sejarah Unhas
M. Nawir
Reformasi telah melahirkan konsensus politik baru yang menjadi sumber legitimasi bagi kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat. Aktor-aktor prodemokrasi sebagai agen perubahan sosial menjadikan konsensus politik itu sebagai peluang untuk mempengaruhi, mengatur posisi, bahkan memposisikan diri di dalam struktur politik. Sumber daya sosial dan politik dikerahkan untuk memastikan bahwa aktor-aktor prodemokrasi, termasuk LSM menegaskan dirinya sebagai kekuatan sosial ketiga setelah negara dan pengusaha, yang menopang dinamika politik.
Selain kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat, konsensus politik reformasi telah membuka berbagai bentuk institusi publik yang diandaikan mampu mereprentasikan dan mengartikulasikan kepentingannya. Struktur politik multi partai, pemilihan langsung, dan pengembangan lembaga-lembaga adhoc sebagai perpanjangan tangan birokrasi negara.
Euforia reformasi politik memicu terjadinya konflik horisontal antar warga di tingkat kampung. Ada dua hal yang penting dicatat berkaitan dengan hal tersebut; pertama, praktek-praktek kekuatan politik lama yang dimotori oleh partai politik, aparat birokrasi, tokoh-tokoh lokal dan pemilik modal masih bekerja efektif menggunakan kemampuan simboliknya untuk menjinakkan sekaligus meliarkan cara berpikir dan bertindak masyarakat akar rumput, terutama rakyat miskin. Kedua, bahasa atau pun jargon-jargon perubahan yang disosialisasikan agen-agen reformis tidak sampai bisa menjawab tuntutan prakmatik rakyat miskin di kampung-kampung, apalagi memenuhi kebutuhan strategisnya.
Berbagai forum yang merefleksi peranan agen-agen reformasi politik di Indonesia menyimpulkan bahwa telah terjadi krisis representasi ekonomi dan sosial-politik rakyat. Olle Tornquist dalam Demokrasi di Atas Pasir (September, 2009) mengulas terjadinya eksklusivitas para agen reformasi dari pengorganisaian rakyat dan tuntutan hak-hak dasar mereka (basic need).
Karakteristik Gerakan Rakyat
Social movements are “conscious, concerted and relatively sustained efforts by organized groups of ordinary people to change some aspect of their society by using extra-institutional means” (p. 5). Two chief elements of social movements, as articulated by Jasper, may be helpful to consider—first, a change in consciousness, and second, a change in behavior (Jasper dalam Progressive Community Organizing, Loretta Pyles, 2009)
Basis massa akar rumput, yang relatif berjarak dengan konsensus politik reformasi itu, justru mengembangkan praktik-praktik disposisinya sendiri sesuai tuntutan sehari-hari yang nyata dialaminya. Terjadi kesenjangan informasi, cara berpikir, mempersepsi, dan bertindak, yang dilakukan orang-orang kampung dengan apa yang dilakukan aktor-aktor prodemokrasi. Kesenjangan ini menciptakan konflik, dimana mayoritas orang-orang di tingkat akar rumput itu terlepas dari gerak politik reformasi. Tidak terbentuk kesadaran kritis (ideololgis-politis) yang menggerakkan rakyat secara kolektif mengubah struktur dominan lama di tingkat institusi lokal atau pun kampung. Sebaliknya, massa rakyat mempersepsi reformasi sebagai ancaman terhadap keberlangsungan pekerjaan, relasi patron-klien, dan stabilitas keamanan kampung.
Organisasi rakyat berbasis kampung dan kaum marjinal (miskin), justru bergerak lebih efektif menggugat mandat konstitusional negara. Jika para agen reformis mengadvokasi tata kelembagaan politik, birokrasi dan penegakan hukum (law enforcement), maka organisasi rakyat menggalang dukungan, menuntut kesejahteraan sosial dan ekonomi. Mereka membuat arena sendiri sambil menguatkan identitas, kapasitas dan solidaritas perjuangan.
Organisasi Rakyat dibedakan secara tegas dengan organisasi masyarakat sipil lainnya (civil society organization) seperti LSM maupun Orsospol:
Organisasi rakyat dapat didefinisikan sebagai organisasi yang demokratis, yang mewakili kepentingan dan bertanggung jawab kepada anggotanya. Dibentuk oleh orang-orang yang mengenal satu sama lain, atau yang berbagi pengalaman bersama, dan mereka melanjutkan keberadaannya tanpa tergantung pada insiatif atau pun pendanaan dari luar. Di negara-negara berkembang, rakyat terorganisasi dalam kelompok-kelompok kecil, berbasis lokal dan longgar. Representasi mereka tidak terbatas di tingkatan akar rumput; mereka juga menyebar ke atas dan ke luar dari basis lokal ke tingkat regional dan nasional, dan mewakili jaringan masyarakat, kelompok profesional atau pun serikat pekerja (dikutip dari People in the CO dalam Human Development Index, 1993).
Ciri utama Organisasi Rakyat  (OR) yang pernah dirumuskan aktivis gerakan rakyat adalah (1) didirikan oleh warga setempat, bukan oleh orang luar; (2) adalah organisasi berbasis keanggotaan perseorangan (membership based), bukan keanggotaan organisasi; (3) tidak terikat oleh aturan formal yang dikenakan pada LSM maupun Ormas pada umumnya; (4) struktur tertinggi dan mekanisme pertanggung-gugatan dalam OR ditentukan oleh anggota; (5) sumber pokok pembiayaan OR adalah sumbangan atau iuran anggota; (6) program utama OR bertolak dari kebutuhan nyata, praktis, karena itu berorientasi pada pelayanan.
Secara ideal, jarang sekali OR yang memenuhi semua ciri-ciri di atas dan bertahan dalam waktu lama. Di Makassar, KPRM maupun organisasi kampung dan sektor informal bisa bertahan karena beberapa prasyarat dasar:
Pertama, adanya masalah aktual yang terus-menerus direspon di tingkat kelompok sampai di tingkat kota.
Kedua, adanya kader-kader penggerak atau organizer kampung, dan aktifis pendamping yang berintegrasi ke dalam OR. Kader dan organizer ini yang bekerja efektif memediasi kepentingan anggota yang berbeda-beda.
Ketiga, adanya kasus yang sama dialami oleh orang-orang kampung, misalnya sengketa tanah dan ruang ekonomi. Beberapa forum warga di Makassar tetap eksis sebagai OR di tingkat kampung karena warga yang tergabung dalam posisi tergugat oleh musuh bersama. Tingkat swadaya relatif tinggi, mampu membiayai pengacara dan aksi-aksi massa;
Keempat, adanya kegiatan ekonomi bersama di suatu locus. Beberapa asosiasi-asosiasi PKL masih eksis karena anggotanya relatif tidak bermasalah dari sisi pendapatan. Hal yang berbeda dialami pedagang yang berjualan di trotoar dan pinggiran jalan, yang bubar ketika organisasi tidak sanggup mengadvokasi sampai ke tingkat kebijakan politik.
Kelima, jaringan organisasi pendukung yang meluas dan bertingkat-tingkat terbukti efektif bagi OR dalam memperkuat pengaruh ke struktur kekuatan politik.
Potensi Hegemoni Gerakan
What this definition misses is the fact that Gramsci not only used the term``hegemony’’ to describe the activities of the ruling class, he also used it to describe the influence exerted by progressive forces.... it is in fact the process by which social groups – be they progressive, regressive, reformist, etc. – come to gain the power to lead, how they expand their power and maintain it (International Journal of Socialist Renewal, http://links.org.au/node/1260).
Konsep hegemoni merujuk pada proses sosial di mana kelompok-kelompok progresif, regresif maupun reformis, meraih kekuasaan, memimpin, memperluas kekuasaan dan mempertahankannya. Dalam hal ini, organisasi gerakan rakyat, kekuatan sosial pro demokrasi, termasuk LSM berpotensi menjadi aktor hegemoni progresif, yakni kelompok-kelompok subalternus yang mengandalkan konsensus demokrasi sebagai arena perjuangan politiknya. Gramsci menekankan arti penting aliansi strategis organisasi gerakan sosial – buruh, kaum miskin kota, petani, intelektual – dengan organisasi gerakan politik atau partai politik untuk mencapai tujuan hegemonik.
Namun, Gramsci menekankan tiga prasyarat penting dalam membangun gerakan sistimatis yang hegemonis, yakni: Pertama, pembentukan "korporat-ekonomis" (economic-corporate), dimana setiap anggota suatu perkumpulan bergerak bersama (afiliation) atas dasar kesesamaan kepentingan ekonomi praktis saja. Kedua, pengembangan rasa solidaritas berbasis korporasi-ekonomi ke dalam arena sosial untuk meningkatkan "posisi bargain"; Ketiga, adanya suatu pandangan dunia (worldview) yang melampaui kesadaran kelas, dan pada tahapan ini organisasi rakyat memasuki arena konflik poliitk bahkan ideologis berhadapan kelas sosial yang lain.
Organisasi gerakan rakyat, sebagaimana umumnya terjadi di Indonesia, ketika memasuki arena gerakan politik, mengalami goncangan yang luar biasa. Organisasi gerakan bisa gagal sebagai sebuah kekuatan hegemonik dan menjadi "kelompok subordinat" dari kekuatan hegemoni regresif. Banyak contoh dimana kepentingan aktor-aktor kunci dari organisasi gerakan melepaskan diri dari akar kelas sosialnya, memaksakan kehendak (coersive) dan manipulatif, kemudian menjadi bagian dari kelompok hegemoni regresif. Itulah sebabnya, Gramsci menegaskan pentingnya menjaga tiga prinsip membangun gerakan progresif, yakni keterbukaan (openess), demokrasi (democracy), dan konsensus (consencuss). Ketiga hal ini adalah pondasi bagi perjuangan membentuk sistim politik yang sosialistik-demokratis.
Penutup
Reformasi telah memulihkan kebebasan berserikat dan mengartikulasikan kepentingan orang-orang miskin dalam batas-batas arena yang diperjuangkan organisasi rakyat. Terasa ironis, ketika disadari bahwa arena politik dewasa ini melampaui apa yang diapresiasi orang-orang miskin dan organisasi rakyat itu sendiri. Kekuatan simbolik yang bekerja di balik kebijakan negara adalah arena yang tidak tersentuh.
Motif gerakan dan cara-cara orang miskin merespon persoalan nyata sekaligus substansial dalam transisi reformasi politik, membuktikan bahwa organisasi rakyat berpotensi melahirkan perubahan radikal. Persoalan dasar yang hampir tidak ada habisnya itu menjadi faktor pendorong (permanen?) pertumbuhan organisasi gerakan rakyat. Sebaliknya, rakyat yang teroganisasi akan mengartikulasikan kepentingan dan cita-cita perubahan yang diyakininya. (@wi, 05/05/2011)#

1 komentar:

AWI MN mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Posting Komentar