Catatan M. Nawir
Jaringan Rakyat Miskin Kota
Sejarah tukang
becak adalah riwayat kaum urban, “pendatang”, yang menyiasati
dinamika perkotaan dengan alat kerja yang khas – kendaraan “tiga
roda” tanpa mesin dan bahan bakar. Sebagai 'urbanis' (kaum urban), tukang-tukang
becak pada mulanya adalah orang desa, petani. Sebagian dari mereka
meninggalkan tradisi bertani, sebagian lagi menjadi migran sirkuler,
bolak-balik desa-kota mengikuti siklus ekonomi agraris.
Menarik. Falsafah
dan cara hidup, cara kerja, serta cara mereka berjuang menggambarkan
suatu transisi peradaban yang khas pada masanya. Bolak-balik,
naik-turun, modar-mandir, suka-duka, itulah ungkapan yang bisa
mewakili dinamika kaum urban, terutama tukang becak. Mereka
menggunakan kekurangan dan kelemahannya untuk survive. Tanpa
ijasah, pendidikan rendah, tidak terlatih, a-politis, dan kampungan,
mereka toh mempengaruhi mesin pertumbuhan kota, menopang roda ekonomi,
bahkan menginspirasi politisi penentu kebijakan. Pendek kata, kaum
urban, para tukang becak, pekerja informal, cerdik-pandai mengelola
kelemahannya menjadi kekuatan. Pada banyak peristiwa, kaum urban ini
berada di garda depan dalam mengekskalasi suhu politik, misalnya
dalam kerusuhan Mei 1998 di Makassar, atau pun “black septe september”
di Makassar.arpillerra becak pic (kprm, 2007) |
Pada banyak
pengalaman para tukang becak di Jakarta, Solo, Makassar, dari masa ke
masa memperlihatkan suatu dinamika sosial yang relatif sama, tidak
ada tempat atau posisi yang pasti, utuh, final dalam pencapaian
kehidupannya. Entitas hidup tukang-tukang becak mengikuti determinasi
perubahan sosial, politik, ekonomi dalam ruang kota. Marilah kita
menelusuri bagaimana siasat perjuangan kaum urban, tukang becak itu
dari masa ke masa.
Flashback:
Riwayat Pembatasan
Di Makassar,
pembatasan jumlah maupun aktivitas penarik becak sudah berlangsung
sejak tahun 70-an. Catatan Dean Forbes dalam Petty Commodity
Production and Under-development: The Case of Pedlars and Trishaw
Riders in Ujung Pandang, Indonesia (1979: 156) menggambarkan
bagaimana ekonomi sektor informal – becak, kaki lima, pedagang
eceran – bersaing dengan ekonomi kapitalis, pemilik modal.
Misalnya, pada tahun 1976 jumlah becak yang beroperasi di Makassar sekitar 17.500 unit, pemiliknya sekitar 6.817 orang,
menghidupi sekitar 68.000 jiwa keluarganya, atau 12,11%
dari 561.501 jiwa jumlah penduduk kota Makassar masa itu. Keadaan ini
menjadi alasan pemerintah kota untuk melakukan pembatasan produksi
becak. Becak hanya diproduksi untuk disuplai ke luar kota. Kemudian,
pemerintah kota mengajukan kebijakan transportasi yang disebut
layanan Khusus Angkutan Kota, yakni mini-bus. Sebanyak 176
unit mini-bus yang beroperasi di dua jalur utama dalam kota dengan
tarif yang lebih murah daripada tarif becak, yakni Rp 50 jauh-dekat.
Sedangkan tarif becak pada masa itu Rp 45 per-kilometer. Dampaknya,
terjadi penurunan jumlah becak pada tahun 1985, yakni sekitar 16.000
unit yang terdaftar.
Pembatasan operasi becak
secara terang-terangan (legal) dilanjutkan walikota Makassar
Soewahyo sampai Amiruddin Maula (sumber: Paper/Alat Bengkel, Puskit
Unhas, 2001). Pada masa pemerintahan walikota Soewahyo (1988-1993),
selain pembatasan produksi becak baru, walikota juga mengeluarkan
aturan tentang penggunaan helm, surat izin mengemudi becak,
penggunaan lampu becak, serta pengaturan warna becak berdasarkan hari
operasinya. Pengaturan itu menjadi alasan pemerintah kota melakukan
penertiban dengan merazia becak-becak yang dianggap ilegal. Ribuan
becak hasil razia dibuang ke laut di sekitar Markas Angkatan Laut
Makassar, Ujung Tanah.
Selanjutnya,
walikota Malik B. Masry (1994-1999) menerbitkan Perda No. 3 Tahun
1995 tentang Pengaturan Kendaraan Tidak Bermotor di Kota Makassar.
Dalam pasal 6 (4) disebutkan dua warna becak yang dizinkan beroperasi; kuning dan biru. Pengoperasian becak warna kuning pada Senin,
Rabu, Jumat, dan Minggu; sedangkan becak biru, Selasa, Kamis, Sabtu.
Namun, pewarnaan dan penjadwalan operasi becak tidak efektif dan tidak
konsisten. Pada masa pemerintahan Amiruddin Maula
(1999-2003), Perda tersebut hendak diberlakukan kembali. Apa yang
kemudian terjadi, pada tanggal 26 Mei 2000, ribuan tukang becak
berunjuk rasa di Balai Kota. Mereka menuntut penghapusan pembatasan warna,
jadwal dan jalur operasi becak. Sejak itu, kebijakan pemerintah kota
Makassar terhadap sarana transportasi becak lebih longgar, tetapi
Perda No. 3 tidak pernah dicabut.
Situasi Becak
Makassar Tujuh Tahun Lalu
Pada hari Minggu,
11 Mei 2003 di gedung Kartini Jalan Mesjid Raya, Jaringan Rakyat
Miskin Kota (Uplink) Indonesia, KPRM Makassar dan Perkumpulan
Pengemudi Becak Makassar (KPBM) Lette menggelar Dialog Kebijakan
Penataan Becak Makassar. Dialog ini merupakan bagian dari kegiatan
advokasi JRMK, khususnya terhadap Perda No. 3/1995. Acara ini
dihadiri (sebagai pembicara) wakil pemerintah kota, yakni Sekda
Supomo Guntur, Kepala Dinas Perhubungan dan Kasatlantas. Pembicara
lain dari Jakarta adalah Edi Saidi (UPC), Danu Supriono, kordinator
Paguyuban Pengemudi Becak Solo (PPBS), dan Rasdullah, kordinator
Serikat Becak Jakarta (Sebaja). Dialog ini dihadiri 60 orang yang
umumnya adalah tukang becak dan aktivis organisasi rakyat.
Acara ini merupakan
respon atas pemberitaan koran lokal seminggu sebelumnya, yang mengutip
pernyataan anggota DPRD Kota dari fraksi Golkar terhadap keberadaan becak sebagai sarana transportasi kota. Berita ini menjadi
isu yang meresahkan pengemudi
becak bahwa pengoperasian becak menurut warnanya akan diberlakukan lagi - dan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, pemkot akan menghapus becak di Makassar.
Sayangnya, tidak satu pun anggota DPRD Kota yang bersedia
hadir dalam dialog tersebut.
Dari persoalan yang
mengemuka dalam dialog tersebut, sikap
pemerintah kota maupun
aparat lalu lintas dari masa ke masa
selalu ambivalen; satu sisi memungut
retribusi dari tukang becak, bahkan Dinas
Perhubungan bekerja sama dengan suatu organisasi
pemilik becak, yakni Yayasan Pemerhati
Pengemudi Becak (YPPB) sebagai pihak ketiga dalam penarikan retribusi
plat nomor becak. Akibatnya, harga plat
becak sudah tidak sesuai dengan tarif Perda. Di
sisi lain, pemerintah menyadari Perda No.
3 tidak efektif lagi, tetapi tidak pernah melakukan revisi.
Misalnya, hampir
semua aturan yang membatasi aktivitas becak di dalam Perda –
misalnya, 21 jalur bebas becak, aturan pengoperasian becak – tidak
relevan lagi atau tidak dipatuhi oleh para tukang becak. Akan tetapi,
tidak ada usaha pemerintah untuk mengevaluasi dan merevisinya. Dalam
hal ini pemerintah kota seakan menyimpan bom waktu bagi tukang becak.
Berikut
ini adalah ringkasan komentar dan pandangan para pembicara mewakili
lembaga masing-masing, tujug tahun lalu:
(1) M.
Nawir (36 thn), pemerhati
becak yang bergabung dalam JRMK - KPRM, memberikan pengantar diskusi
mengenai sejarah dan problematika becak di Makassar. Ia menegaskan
bahwa becak adalah sarana transportasi alternatif bagi warga kota
Makassar, sehingga keberadaannya perlu dipertahankan. Meskipun
banyak versi mengenai asal-usul becak di Makassar, alat transportasi
ini telah mengakar sejak tahun 1930-an. Ironisnya, sangat sedikit
sumber-sumber tertulis mengenai becak di Makassar. Beberapa laporan penelitian
justru ditulis oleh peneliti luar. Umumnya, menggambarkan liku-liku kehidupan tukang becak dan kontribusi becak bagi pertumbuhan ekonomi kota. Nawir
menegaskan bahwa “sarana transportasi becak sangat
diperlukan karena masih memiliki konsumen yang jelas”. Masalahnya,
pemkot tidak serius melibatkan daeng-daeng becak sebagai
subjek dalam menyusun kebijakan penataan becak. Misalnya, Perda No.
3/1995 mengenai plat becak, pembatasan jalur dan pewarnaan becak.
Kenyataannya, perda ini tidak berjalan efektif.
(2) Edi Saidi (35
thn), pendamping organisasi pengemudi becak UPC Jakarta menguraikan pengalamannya.
Menurut dia, ada tiga pandangan yang berbeda mengenai keberadaan
transportasi becak. Pandangan ini sesuai dengan kepentingan
masing-masing. Pertama,
pandangan pemerintah yang menganggap mengayuh becak adalah pekerjaan
yang tidak manusiawi. Pandangan ini tidak benar, karena banyak
pekerjaan lain seperti buruh pabrik yang juga diperlakukan tidak
manusiawi. Menjadi tukang becak justru lebih bebas menentukan diri
sendiri. Pemerintah juga memandang tukang becak sebagai sumber
kesemrawutan. Menurut Edi, belum tentu. Soal kesemrawutan disebabkan
oleh banyak faktor di antaranya sistem transportasi dan perilaku
disiplin sopir angkot dan pengemudi kendaraan bermotor lainnya.
Kedua,
pandangan konsumen. Prinsipnya, becak ada karena ada konsumennya.
Selain murah, tarifnya bisa ditawar, juga bebas polusi. Bahkan cocok
untuk perempuan dibandingkan ojek. Ketiga,
pandangan tukang becak dan pemilik becak. Selain menguntungkan,
becak merupakan sumber lapangan kerja dengan modal kecil. Mengayuh
becak itu juga sehat. Pada
bagian akhir komentarnya, Edi Saidi pada prinsipnya setuju ada
pengaturan. Hanya saja perlu transparansi dan pelibatan tukang
becak. “Becak ibarat api, jadi jangan didekati dengan api”,
demikian kuncinya.
(3) Rasdullah
(39 thn)
menceritakan perlawanan tukang becak di Jakarta menentang SK
Gubernur No. 11 Tahun 1988 yang hendak menghapus becak. Meskipun
ada pelarangan, becak khususnya di Jakarta Utara
terus beroperasi. Sering terjadi bentrok antara tukang
becak dengan petugas penertiban (Trantib). Selain demo,
tukang becak yang didampingi Konsorsium Kemiskinan Kota juga memperkuat organisasi dengan kegiatan tabungan, radio kampung,
kesehatan alternatif, dan diskusi. Hingga saat ini, Sebaja, Serikat Becak Jakarta memiliki anggota 3000-an pemilik dan tukang becak yang masih
bertahan di Jakarta. Mereka mengayuh becak untuk mengatasi masalah kemiskinan dan susahnya mendapatkan pekerjaan. Penggusuran tukang becak akan mengakibatkan peningkatan angka pengangguran dan kriminalitas.
“Lebih baik jadi tukang becak, nggak pernah korupsi”, demikian
keyakinan Rasdullah.
(4) Danu
Supriono (56 thn)
juga menceritakan kondisi becak di Solo. Mereka tergabung dalam
Paguyuban Pengemudi Becak Surakarta (PPBS). Anggotanya, 3.300 tukang
becak. Selain aktif berorganisasi dan menabung, PPBS bekerja sama
dengan DLLAJR juga menfasilitasi tukang becak dalam pengurusan
surat-surat becak seperti SIM, KIR, dan PLAT becak. Biaya pengurusan
surat-surat itu hanya Rp 8.500,- pertahun, dan prosedurnya tidak
rumit. Pak Danu mengajak daeng-daeng becak di makassar untuk aktif
berorganisasi agar bisa memperjuangkan sendiri haknya tanpa
perantara pihak lain. Saat ini pak Danu bersama Rasdullan sedang
mensosialisasikan rencana KONGRES BECAK se-Indonesia
di Yogyakarta pada bulan Desember 2003.
Tanggapan
pemerintah kota atas persoalan tersebut
dikemukakan secara gamblang oleh Sekda Supomo Guntur (saat ini menjabat wakil walikota Makassar periode 2008-2014). Dia
menegaskan bahwa penataan dan
pembatasan becak diperlukan untuk mengurangi beban kota. “Kebijakan
pewarnaan becak itu adalah ide saya”, tegasnya. Kenyataannya,
pekerjaan becak menjadi motivasi etnis tertentu untuk bermigrasi.
“Saya ini orang Jeneponto, pernah jadi camat di Makassar, jadi saya banyak
tahu perilaku daeng becak di Makassar dan di kampungnya”. Supomo menegaskan bahwa sampai saat ini pemkot belum berencana menghapus becak. “Yang ada hanya pengaturan”. Ia juga membantah
kalau Perda No.
3/1995 tidak berjalan efektif. Meskipun diakui, masih ada
penyimpangan di lapangan, misalnya mengenai harga plat nomor becak
dan jalur bebas becak. Menurutnya, itu karena daeng becak sendiri yang
tidak mau patuh. Pada bagian akhir
penuturannya, Supomo mendukung perlunya asosiasi atau pun perkumpulan
becak di tingkat kota makassar.
Selanjutnya, Supomo
meminta Kadis Perhubungan menjelaskan teknis pelaksanaan
Perda. Menurut Ruslan, plat becak ditujukan kepada pengusaha becak,
bukan untuk pengemudi becak. Harga plat becak menurut perda Rp
8.500 sebagai retribusi PAD. Pendistribusiannya melalui Yayasan
Pemerhati Pengemudi Becak. Akan tetapi, Ruslan menegaskan bahwa untuk
mendapatkan plat tidak harus melalui Yayasan. “Yang jelas, plat itu
diperuntukkan bagi pengusaha becak”, jelasnya. Jadi bila ada harga
plat sampai Rp 20.000,- bisa jadi diperjualbelikan oleh pengusaha
atau sesama daeng becak. Mengenai 21 jalur bebas becak, Kadis
perhubungan akan meninjau kembali pembatasan tersebut. Penjelasan Sekda Supomo
Guntur dan Kadis Perhubungan mendapat reaksi spontan dari para tukang
becak.
(1) Daeng Lau,
dari Yayasan Pemerhati Pengemudi Becak membantah kalau pihaknya
menjual plat seharga Rp 20.000 – Rp 25.000. Kalau terjadi
demikian, pihaknya meminta laporan dari daeng becak. Begitu juga
bila terjadi penggusuran, pihaknya siap membantu. Namun, penjelasan
Daeng Lau mengenai harga plat Rp 8.500 menjadi Rp 15.000,- tidak
memuaskan peserta dialog karena bertolak belakang dengan apa yang
diakui daeng becak.
(2) Masdar,
mewakili Kumpulan Pengemudi Becak (KPB) Lette dan Rajawali, mengaku
telah menyampaikan protes kepada dinas perhubungan mengenai
keberadaan Yayasan. Menurutnya, pelibatan Yayasan sebagai mitra
dinas perhubungan tidak tepat. Karena, yayasan adalah organisasi
nirlaba, bukan perusahaan. Akibatnya, ada oknum perhubungan yang
bermain dengan Yayasan mencari keuntungan. Ia meminta dinas perhubungan agar membuka akses bagi KPBM untuk mengurus plat
sendiri.
(3) Daeng Talle,
tukang becak dari jalan Rajawali, baru
menyadari kalau harga plat menurut Perda hanya Rp 8.500. Ia sendiri
membeli plat seharga Rp 15.000. Ia meminta kepada Pemkot agar daeng
becak tidak dijadikan objek pemerasan.
(4) Daeng Makka
dari jalan Barukang, mengakui bahwa ia baru tahu kalau ada yayasan yang
mengurus plat becak. “Saya baru tahu ada yayasan di ruangan ni.
Selama ini tidak pernah ada pemberitahuan (sosialisasi) mengenai
pengurus dan kegiatannya”. Bahkan banyak tukang becak yang tidak
memiliki plat kena sweeping karena tidak tahu. Akibatnya, daeng
becak harus membayar Rp 25.000.
(5) Andika,
pengemudi becak di jalan Sunu mengusulkan agar Pemkot memasang
spanduk di jalan mengenai biaya dan prosedur memperoleh nomor plat
becak. “Harga Rp 15.000 itu bisa diterima kalau ada pelayanan
kepada daeng becak, misalnya asuransi dan pembinaan kepada daeng
becak, sehingga ditahu kemana larinya selisih Rp 6.500”, kunci
Andika.
Catatan penting
dari resume dialog kebijakan penataan becak tujuh tahun lalu itu
bahwa negara, dalam hal ini aparatur pemerintahan selalu bersikap
ambivalen, standar ganda terhadap kebijakan yang dibuatnya sendiri.
Hal ini berlangsung dari masa ke masa. Jelas, di balik ambivalensi
itu pemerintah dan para politisi memiliki kepentingan besar
terhadap tukang becak dan pekerja sektor informal lainnya, baik
ekonomi maupun politik. Di luar kepentingan itu adalah kebutuhan
sebagian warga kota yang membutuhkan transportasi becak sebagai
sarana transportasi yang kultural, familiar, ramah lingkungan, dan
tidak boros bahan bakar.
Penutup: Kembali Ke Akar Persoalan
Situasi yang mirip
dua tahun terakhir ini adalah pesatnya pertumbuhan becak motor
(bentor). Pada tahun 2003-2004, becak yang menggunakan mesin, masih
bisa dihitung jari. Itu pun mesin kendaraan bermotor bekas yang
dipermak menjadi becak. Saat ini, seiring dengan boom kredit
motor roda dua, para pengusaha/dealer terlibat langsung
membiayai bentor dengan skema uang muka rendah, bahkan tanpa uang muka. Jumlahnya, saat ini diperkirakan sudah mencapai 5000-an bentor di
kota Makassar. Penambahan jumlah yang luar biasa cepat. Padahal,
tidak ada peraturan atau belum pernah pemerintah membahas peraturan
tentang status bentor. Oleh
karena itu, dari sisi kebijkan pemkot, bentor sebenarnya ilegal seperti laiknya ojek, tetapi
tidak sama dengan becak yang diatur dalam Perda sebagai kendaraan
tidak bermesin dan tidak berbahan bakar.
Ketika
pemerintah hendak menertibkan bentor, lagi-lagi pemerintah 'kecut'
hanya karena didemo berkali-kali secara massal. Kembali ke persoalan pokok, yakni ambivalensi sikap pemerintah.
Menyalahkan para kaum urban
si tukang becak pun
tidaklah tepat, terlambat. Karena, seperti yang dimaksud James Scott dan Wardah
Hafidz, bahwa karakteristik dasar kaum urban adalah siasat perlawanan
samar, jaringan informal, dan bereaksi jika diganggu entitas
kehidupannya. Pada titik ini, kelemahan individual para tukang becak bisa
berubah menjadi kekuatan penekan ketika jumlah mereka semakin besar dan terorganisasi. Pada
akhirnya, mereka sampai pada posisi 'political-bargainner'. Tentu saja, politisi
yang cerdik dan pragmatik, tidak akan mengambil resiko menghadapi
tekanan dari para tukang tukang becak dan kaum urban pada umumnya.
4 komentar:
kereeeeeeeennnnn
good .........
thank, komen anda
apakah boleh tulisan ini direpost di website kami www.rumahbacakomunitas.com salam. email saya defendi83@gmail.com
Posting Komentar