![]() |
https://www.archinform.net/arch/3423.htmh |
Perkumpulan sosial-urbanis, bekerja untuk mewujudkan tata kota berkeadilan sosial, ekonomi, dan politik.
27 Des 2018
Arsitek dan Sosial Urbanis Jerman
26 Des 2018
Refleksi Tiga Bulan Pasca Bencana Sulteng
20 Okt 2018
Gagasan tentang Kampus sebagai Organisasi Pembelajaran
19 Okt 2018
Kisah Penyintas: Darurat Palu Pasca Bencana
Masa Depan di Hunian Sementara
https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20181019/281526522028919
Mata Sujono (49) berbinar saat
menatap layar komputer jinjing yang menampilkan bakal rumah sementaranya.
Ukurannya 6 meter x 4 meter, karya Muhammad Ramdani (25), arsitek asal Palu.
Interaksi itu awal melawan trauma.
Kompas
19 Oct 2018
Cornelius Helmy
”Apakah tinggi rumah
bisa dikurangi? Di sini angin lembahnya kencang. Saya khawatir rumah bisa
terbang ditiup angin,” kata Sujono, Selasa (16/10/2018) siang, di teras
rumahnya yang ambruk akibat gempa.
”Bisa, Pak. Paling
tinggi 2,5 meter. Terasnya juga dibuat tak langsung hadap ke lembah untuk
mengurangi tiupan angin,” kata Dani. Sujono mengangguk.
Diskusi semacam ini
lazim dilakukan Dani saat menyodorkan desain kepada konsumennya. Kali ini beda.
Tanpa imbalan, ia berbagi keahlian kepada Sujono, penyintas gempa bermagnitudo
7,4 asal Loru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
”Semoga apa yang saya
bisa turut meringankan penyintas bencana,” kata Dani yang urung mengungsi ke
rumah kerabat di Bandung, Jawa Barat, demi mendampingi para penyintas.
Dihajar gempa, rumah
Sujono nyaris rata tanah. Tak ada korban jiwa. Sejak itu, ia tinggal di
pengungsian padat dan minim sanitasi. Padahal, ia butuh lingkungan sehat.
Setahun terakhir, ia menderita kanker getah bening.
Sujono pun memupuk
harapan membuat hunian sementara (huntara) sendiri. Di tengah sisa tenaga, ia
mengumpulkan barang-barang yang masih layak pakai. Masalahnya, ia tak punya
cukup tenaga.
Ketekunan mengangkat
kayu dan batako bekas itu dilihat Sopyan dan Rizki, sukarelawan Kotaku Siaga
Makassar. ”Kebetulan kami berjejaring dengan sukarelawan berlatar belakang
arsitektur. Ada gerakan pilih, pilah, pulih yang kami gagas bersama untuk
membangun huntara,” kata Sopyan.
Gayung bersambut, Sujono
menerima ajakan itu. Ia tak keberatan jika diharuskan bekerja membangun
huntara. Ia ingin melanjutkan hidup setelah bencana, mandiri tanpa bergantung
di pengungsian.
”Saya terbiasa bekerja,
sulit kalau diam. Bahkan, saat kena kanker, saya masih bekerja di ladang agar
tubuh dan otak tetap sehat,” ujar petani dan penjual bensin eceran ini.
Hadapi trauma
Gerakan pilih, pilah,
pulih inisiasi banyak pihak dari berbagai komunitas. Banyak sukarelawannya
berprofesi arsitek. Mereka tergabung dalam Ikatan Arsitek Indonesia, Mahasiswa
Arsitek Indonesia (MAI), dan Arsitektur Komunitas.
Riswandi Syam,
sukarelawan MAI, mengatakan, gerakan ini kerja swadaya bersama memanfaatkan
material reruntuhan pascagempa untuk membuat huntara. Selain di Loru, mereka
juga hadir di Tompe dan Wani (Donggala), serta Mamboro (Palu).
Namun, kata Riswandi,
huntara bukan satu-satunya tujuan utama. Pelibatan masyarakat dan mengajak
mereka kembali bekerja menjadi nilai penting. Dengan kembali membangun daerah
bencana lewat tangan sendiri, trauma diharapkan ditekan. ”Ini juga jadi cara
saya bangkit setelah kehilangan ibu yang jadi korban gempa. Semua karya di sini
diberikan untuk almarhumah ibu dan semua korban gempa-tsunami Sulteng,”
katanya.
Manfaat gerakan ini
mulai dirasakan M Amin (25), warga Loru lainnya, saat ikut mendirikan septic
tank MCK menggunakan batako reruntuhan rumah. Tubuhnya kembali aktif bergerak
setelah hanya menganggur di pengungsian. Pilih, pilah, pulih membuat
keringatnya menetes dan otot lengannya kembali menegang melawan hantu trauma.
Pendamping gerakan ini,
Mohamad Nawir, mengatakan, keresahan sebagian korban bencana Sulteng jamak
terjadi di tempat lain. Ia adalah saksi mata pascatsunami Aceh 2004 hingga
pascagempa Lombok 2018. Terlalu lama tinggal di pengungsian membuat trauma
sulit pulih.
”Bekerja bersama efektif
menekan trauma. Komunikasi antarwarga yang sempat hilang terbangun. Tak hanya
sekadar mengungkit masa lalu, tetapi juga membuka ruang dialog cara melangkah
ke depan,” katanya.
Di Aceh, ia dan
sukarelawan lainnya, yang bergerak dalam program People Driven dan memopulerkan
slogan woe gampong (pulang kampung), mendampingi banyak pengungsi tsunami
membangun huntara di Aceh Besar dan Banda Aceh. Ada 3.331 huntara dibuat dengan
bahan bangunan sisa tanpa kontraktor.
”Bagian tak kalah
penting adalah saat kami mempromosikan rumah bercakar ayam. Mangrove kembali
ditanam guna mengurangi dampak bencana di kemudian hari,” katanya.
Sekitar 14 tahun
kemudian, cara serupa diterapkan di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Lewat gerakan
Lombok Bangkit, ia kembali turut mempromosikan pembuatan huntara bergaya rumah
sasak khas Lombok. Rangkanya bambu beratap sirap. Bahan-bahannya juga diambil
dari sisa reruntuhan.
”Saat ini sudah berdiri
20 huntara di 3 desa di Lombok Barat. Masih ada warga tiga desa lain yang sudah
mengajukan diri. Semoga jadi pelatuk agar warga hidup aman bersama bencana,”
katanya.
Tambah ilmu
Peran jadi pelatuk itu
juga yang dibangun sukarelawan lewat huntara bagi Sujono. ”Sudah ada tetangga
yang datang bertanya tentang rumah saya. Perlahan pasti ada yang tertarik,”
katanya, Kamis (18/10).
Kemarin, tangan-tangan
cekatan Sujono bekerja dibantu sukarelawan, semangat seperti melawan kanker
yang menggerogoti tubuhnya. Di antara terik matahari, tiang-tiang kayu
ditegakkan jadi fondasi. Seng, papan, dan terpal yang sudah dipilih dan dipilah
seminggu sebelumnya digunakan sebagai atap dan dinding.
Tak hanya rumah baru
baginya, Sujono mengaku banyak transfer ilmu membangun rumah di daerah gempa,
termasuk soal fondasi rumah. Bagi Sujono, membangun huntara juga terapi atas
trauma.
18 Jul 2018
Perlindungan Penyandang Disabilitas
10 Jun 2018
Review Diskusi Gerakan Sosial dan Radikalisasi Agama di Kalangan Kaum Muda dan Miskin Kota
![]() |
Sumber: https://karebaukmmenulis.wordpress.com/2018/06/10/review-diskusi-gerakan-sosial-dan-radikalisasi-agama-di-kalangan-kaum-muda-dan-miskin-kota/ |