27 Des 2018

Arsitek dan Sosial Urbanis Jerman

Leon Krier[1] 
(Dikutip dan diringkas dari Wikipedia dan Buku The Architecture of Community)
 https://www.archinform.net/arch/3423.htmh
Léon Krier (Luxemburg, 7 April 1946), arsitek perencana, ahli teori arsitektur Urbanisme Baru dan Klasik Baru adalah adik kandung dari arsitek Rob Krier. Atas karya=karya arsitekturnya, Krier memperoleh Penghargaan Arsitektur Driehaus pada tahun 2003. Leon Krier menyelesaikan studi arsitektur di Universitas Stuttgart, Jerman, tahun 1968. Setelah tamat, ia bekerja selama tiga tahun di kantor arsitek James Stirling, London. Krier kemudian berlatih dan mengajar di Architectural Association dan Royal College of Art selama 20 tahun. Pada periode ini, Krier dikenal dengan pernyataan sikapnya yang anti-modernisme: I am an architect, because I don’t build.[2] Antara tahun 1987-1990, Krier menjabat direktur pertama SOMAI, Skidmore, Owings & Merrill Architectural Institute, Chicago. Pada masa yang sama, Krier menjadi desainer industri untuk Giorgetti[3] & Valli e Valli - Assa Abloy, sebuah perusahaan furnitur Italia.

26 Des 2018

Refleksi Tiga Bulan Pasca Bencana Sulteng

 
Arsitektur Pengorganisasian Penyintas Pascabencana[1]
Oleh
M. Nawir[2]
Pengantar
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana);
Penanggulangan Bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi (Perka BNPB No. 14 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana). Program rehabilitasi dan rekonstruksi termasuk dalam ketentuan mengenai penyelenggaraan penanggulangan pascabencana.
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat. Adapun Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, serta bangkitnya peran serta masyarakat.
Penyelenggaraan rehabilitasi dan rekonstruksi dijabarkan ke dalam dua jenis kegiatan, yaitu konstruksi dan non-konstruksi. Kegiatan Konstruksi adalah pemulihan dan pembangunan fisik yang rusak akibat bencana yang mengandung unsur kegiatan mitigasi dan pengurangan risiko bencana, dan; kegiatan Non-konstruksi adalah pemulihan dan pembangunan kembali sendi kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang hilang dan/atau rusak akibat bencana. Pertanyaan simpel, bagaimana memulai proses pemulihan dan pembangunan kehidupan pascabencana?

20 Okt 2018

Gagasan tentang Kampus sebagai Organisasi Pembelajaran

M. Nawir
Sulisa Matra Bangsa
Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu Sosial dan Humaniora
Dari perspektif pembelajaran (learning organization), daur organisasi diandaikan seperti organisme hidup; lahir, tumbuh, berkembang, dan mapan, atau menjadi stagnan dan mati. Hal ini karena organisasi digerakkan oleh sekumpulan pribadi yang memiliki vitalitas, pengalaman, kompetensi, mental-karakter, dan tujuan hidup. Berarti, organisasi merupakan modal sosial (social capital) bagi individu untuk saling melengkapi sekaligus menjadi ruang pembelajaran bersama untuk menemukan kesesamaan dan mencapai kesepahaman.

19 Okt 2018

Kisah Penyintas: Darurat Palu Pasca Bencana



Masa Depan di Hunian Sementara

https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20181019/281526522028919

Mata Sujono (49) berbinar saat menatap layar komputer jinjing yang menampilkan bakal rumah sementaranya. Ukurannya 6 meter x 4 meter, karya Muhammad Ramdani (25), arsitek asal Palu. Interaksi itu awal melawan trauma.

Kompas

19 Oct 2018

Cornelius Helmy

”Apakah tinggi rumah bisa dikurangi? Di sini angin lembahnya kencang. Saya khawatir rumah bisa terbang ditiup angin,” kata Sujono, Selasa (16/10/2018) siang, di teras rumahnya yang ambruk akibat gempa.

”Bisa, Pak. Paling tinggi 2,5 meter. Terasnya juga dibuat tak langsung hadap ke lembah untuk mengurangi tiupan angin,” kata Dani. Sujono mengangguk.

Diskusi semacam ini lazim dilakukan Dani saat menyodorkan desain kepada konsumennya. Kali ini beda. Tanpa imbalan, ia berbagi keahlian kepada Sujono, penyintas gempa bermagnitudo 7,4 asal Loru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

”Semoga apa yang saya bisa turut meringankan penyintas bencana,” kata Dani yang urung mengungsi ke rumah kerabat di Bandung, Jawa Barat, demi mendampingi para penyintas.

Dihajar gempa, rumah Sujono nyaris rata tanah. Tak ada korban jiwa. Sejak itu, ia tinggal di pengungsian padat dan minim sanitasi. Padahal, ia butuh lingkungan sehat. Setahun terakhir, ia menderita kanker getah bening.

Sujono pun memupuk harapan membuat hunian sementara (huntara) sendiri. Di tengah sisa tenaga, ia mengumpulkan barang-barang yang masih layak pakai. Masalahnya, ia tak punya cukup tenaga.

Ketekunan mengangkat kayu dan batako bekas itu dilihat Sopyan dan Rizki, sukarelawan Kotaku Siaga Makassar. ”Kebetulan kami berjejaring dengan sukarelawan berlatar belakang arsitektur. Ada gerakan pilih, pilah, pulih yang kami gagas bersama untuk membangun huntara,” kata Sopyan.

Gayung bersambut, Sujono menerima ajakan itu. Ia tak keberatan jika diharuskan bekerja membangun huntara. Ia ingin melanjutkan hidup setelah bencana, mandiri tanpa bergantung di pengungsian.

”Saya terbiasa bekerja, sulit kalau diam. Bahkan, saat kena kanker, saya masih bekerja di ladang agar tubuh dan otak tetap sehat,” ujar petani dan penjual bensin eceran ini.

Hadapi trauma

Gerakan pilih, pilah, pulih inisiasi banyak pihak dari berbagai komunitas. Banyak sukarelawannya berprofesi arsitek. Mereka tergabung dalam Ikatan Arsitek Indonesia, Mahasiswa Arsitek Indonesia (MAI), dan Arsitektur Komunitas.

Riswandi Syam, sukarelawan MAI, mengatakan, gerakan ini kerja swadaya bersama memanfaatkan material reruntuhan pascagempa untuk membuat huntara. Selain di Loru, mereka juga hadir di Tompe dan Wani (Donggala), serta Mamboro (Palu).

Namun, kata Riswandi, huntara bukan satu-satunya tujuan utama. Pelibatan masyarakat dan mengajak mereka kembali bekerja menjadi nilai penting. Dengan kembali membangun daerah bencana lewat tangan sendiri, trauma diharapkan ditekan. ”Ini juga jadi cara saya bangkit setelah kehilangan ibu yang jadi korban gempa. Semua karya di sini diberikan untuk almarhumah ibu dan semua korban gempa-tsunami Sulteng,” katanya.

Manfaat gerakan ini mulai dirasakan M Amin (25), warga Loru lainnya, saat ikut mendirikan septic tank MCK menggunakan batako reruntuhan rumah. Tubuhnya kembali aktif bergerak setelah hanya menganggur di pengungsian. Pilih, pilah, pulih membuat keringatnya menetes dan otot lengannya kembali menegang melawan hantu trauma.

Pendamping gerakan ini, Mohamad Nawir, mengatakan, keresahan sebagian korban bencana Sulteng jamak terjadi di tempat lain. Ia adalah saksi mata pascatsunami Aceh 2004 hingga pascagempa Lombok 2018. Terlalu lama tinggal di pengungsian membuat trauma sulit pulih.

”Bekerja bersama efektif menekan trauma. Komunikasi antarwarga yang sempat hilang terbangun. Tak hanya sekadar mengungkit masa lalu, tetapi juga membuka ruang dialog cara melangkah ke depan,” katanya.

Di Aceh, ia dan sukarelawan lainnya, yang bergerak dalam program People Driven dan memopulerkan slogan woe gampong (pulang kampung), mendampingi banyak pengungsi tsunami membangun huntara di Aceh Besar dan Banda Aceh. Ada 3.331 huntara dibuat dengan bahan bangunan sisa tanpa kontraktor.

”Bagian tak kalah penting adalah saat kami mempromosikan rumah bercakar ayam. Mangrove kembali ditanam guna mengurangi dampak bencana di kemudian hari,” katanya.

Sekitar 14 tahun kemudian, cara serupa diterapkan di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Lewat gerakan Lombok Bangkit, ia kembali turut mempromosikan pembuatan huntara bergaya rumah sasak khas Lombok. Rangkanya bambu beratap sirap. Bahan-bahannya juga diambil dari sisa reruntuhan.

”Saat ini sudah berdiri 20 huntara di 3 desa di Lombok Barat. Masih ada warga tiga desa lain yang sudah mengajukan diri. Semoga jadi pelatuk agar warga hidup aman bersama bencana,” katanya.

Tambah ilmu

Peran jadi pelatuk itu juga yang dibangun sukarelawan lewat huntara bagi Sujono. ”Sudah ada tetangga yang datang bertanya tentang rumah saya. Perlahan pasti ada yang tertarik,” katanya, Kamis (18/10).

Kemarin, tangan-tangan cekatan Sujono bekerja dibantu sukarelawan, semangat seperti melawan kanker yang menggerogoti tubuhnya. Di antara terik matahari, tiang-tiang kayu ditegakkan jadi fondasi. Seng, papan, dan terpal yang sudah dipilih dan dipilah seminggu sebelumnya digunakan sebagai atap dan dinding.

Tak hanya rumah baru baginya, Sujono mengaku banyak transfer ilmu membangun rumah di daerah gempa, termasuk soal fondasi rumah. Bagi Sujono, membangun huntara juga terapi atas trauma.

18 Jul 2018

Perlindungan Penyandang Disabilitas

Gagasan Perlindungan Penyandang Disabilitas di Kabupaten Maros[1]
Oleh Tim Sulisa Matra Bangsa[2]
Penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak-hak Penyandang Disabilitas merupakan kewajiban konstitusional negara. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menegaskan tanggung jawab masyarakat menghormati dan memenuhi hak Penyandang Disabilitas. Undang-undang ini mendasari pembentukan peraturan perundang-undangan berperspektif HAM.

10 Jun 2018

Review Diskusi Gerakan Sosial dan Radikalisasi Agama di Kalangan Kaum Muda dan Miskin Kota

Sumber:
https://karebaukmmenulis.wordpress.com/2018/06/10/review-diskusi-gerakan-sosial-dan-radikalisasi-agama-di-kalangan-kaum-muda-dan-miskin-kota/
Gerakan sosial dari masa ke masa memunyai corak dan ciri khasnya tersendiri, tentang bagaimana latar belakang suatu gerakan itu bisa terbentuk. Sebut saja pada masa kebangkitan nasional, latar belakang masa itu tentu adalah praktik penjajahan/kolonialisme yang menyebabkan gerakan sarat akan nasionalisme. Lain lagi Orde Lama yang diwarnai dengan paham komunisme hingga Orde Baru dengan totalitarianismenya. Lalu bagaimana dengan konteks reformasi hingga hari ini? Lain masa, lain cerita, maka mari mencari jawaban bersama!

5 Jun 2018

Diskusi-Refleksi Jejaring Institut Rumah Kampung Kota

PENGANTAR
Pasca ledakan bom bunuh diri di kota Surabaya yang terjadi di lima titik, mengafirmasi seperti apa kuatnya gerakan ekstremisme1 agama di Indonesia. Beberapa fakta yang ditemukan pada tragedi bom bunuh diri yang pernah terjadi, sebelum ledakan di Surabaya, sebagian besar pelakunya berasal dari kelompok masyarakat yang rentan secara ekonomi dan politik: Atau kelompok masyarakat yang berada di pinggiran kota (baca: kampung kota).
Menurut Dr Alex P. Schmid (2013) dalam Jurnal ICCT Research Paper bertajuk Radicalisation, De-Radicalisation, Counter Radicalisation: A Conceptual Discussion and Literature Review, mengeksplorasi perbedaan radikalisme dan ektremisme melalui lintasan sejarah gerakan internasional. Dalam riset itu, dijelaskan bahwa secara historis radikal cenderung lebih terbuka terhadap rasionalitas-meskipun kadang terpaksa menggunakan cara kekerasan- dan kompromi pragmatis, tanpa meninggalkan pencarian mereka atas akar masalah. Sedangkan ekstresmisme cenderung memiliki pemikiran yang tertutup dan kaku, dan secara mutlak menerima kekerasan dalam metode perjuangan politik. Oleh karenanya, istilah ekstremisme dirasa lebih tepat dalam mendefinisikan aksi-aksi kekerasan atas nama agama.

11 Apr 2018

Gagasan Penyusunan Naskah Akademik Kebencanaan di Daerah

Gagasan Penyusunan Naskah Akademik Kevbencanaan di Kabupaten Maros[1]
Oleh Tim Sulisa Matra Bangsa[2]
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki wilayah yang luas, berada pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra besar; Asia yang beriklim tropis, dan Australia yang beriklim semi-tropis. Dengan posisi itu, wilayah Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang rentan terhadap terjadinya bencana alam, sehingga memerlukan penanganan yang sistematis, terpadu, dan terkoordinasi. Wilayah Indonesia yang dikenal dengan sebutan Benua Maritim memiliki 17.504 pulau besar dan kecil. Kawasan perairan laut seluas 7,9 juta km2 atau 81% dari luas keseluruhannya, yang terdiri atas perairan laut teritorial, laut nusantara, dan laut Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Garis pantai Indonesia terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Pada wilayah daratan seluas 1,9 juta km2, sebesar 27 % atau sekitar 0,54 juta km2 merupakan perairan umum berupa sungai, rawa, danau, dan waduk.