Perkumpulan sosial-urbanis, bekerja untuk mewujudkan tata kota berkeadilan sosial, ekonomi, dan politik.
30 Mei 2011
Perlindungan Hak Atas Perumahan yang Layak
28 Mei 2011
Rencana Jadi Bencana
pamflet protes korban lumpur lapindo |
M, Nawir
27 Mei 2011
Sisakan 25% Energi untuk Mengurusi Politik
Olle Torquist |
17 Mei 2011
Buruh dan Petani
15 Mei 2011
Mengkritisi Kebijakan LLAJR
- Pengemudi Kendaraan Bermotor wajib menyalakan lampu utama Kendaraan Bermotor yang digunakan di Jalan pada malam hari dan pada kondisi tertentu.
- Pengemudi Sepeda Motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari.
10 Mei 2011
Sekolah Informal Bagi Anak Miskin Kota
5 Mei 2011
Gerakan Rakyat dalam Transisi Reformasi
Materi Diskusi Mahasiswa Jurusan Sejarah Unhas
M. Nawir
Institut
Rumah Kampung Kota
Reformasi
telah melahirkan konsensus politik baru yang menjadi sumber legitimasi bagi
kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat. Aktor-aktor prodemokrasi
sebagai agen perubahan sosial menjadikan konsensus politik itu sebagai peluang
untuk mempengaruhi, mengatur posisi,bahkan memposisikan diri di dalam struktur
politik. Sumber daya sosial dan politik dikerahkan untuk memastikan bahwa
aktor-aktor prodemokrasi, termasuk LSM menegaskan dirinya sebagai kekuatan
sosial ketiga setelah negara dan pengusaha, yang menopang dinamika politik.
Selain
kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat, konsensus politik reformasi
telah membuka berbagai bentuk institusi publik yang diandaikan mampu
mereprentasikan dan mengartikulasikan kepentingannya. Struktur politik multi
partai, pemilihan langsung, dan pengembangan lembaga-lembaga adhoc sebagai
perpanjangan tangan birokrasi pemerintah.
Euforia
reformasi politik memicu terjadinya konflik horisontal antar warga di tingkat
kampung. Ada dua hal yang penting dicatat berkaitan dengan hal tersebut;
pertama, praktek-praktek kekuatan politik lama yang dimotori oleh partai
politik, aparat birokrasi, tokoh-tokoh lokal dan pemilik modal masih bekerja
efektif menggunakan kemampuan simboliknya untuk menjinakkan sekaligus meliarkan
cara berpikir dan bertindak masyarakat akar rumput, terutama rakyat miskin.
Kedua, bahasa atau pun jargon-jargon perubahan yang disosialisasikan agen-agen
reformis tidak sampai bisa menjawab tuntutan prakmatik rakyat miskin di
kampung-kampung, apalagi memenuhi kebutuhan strategisnya.
Berbagai
forum yang merefleksi peranan agen-agen reformasi politik di Indonesia
menyimpulkan bahwa telah terjadi krisis representasi ekonomi dan sosial-politik
rakyat. Olle Tornquist dalam Demokrasi di Atas Pasir (September, 2009) mengulas
terjadinya eksklusivitas para agen reformasi dari pengorganisaian rakyat dan
tuntutan hak-hak dasar mereka (basic need).
Karakteristik
Gerakan Rakyat
Social
movements are “conscious, concerted and relatively sustained efforts by
organized groups of ordinary people to change some aspect of their society by
using extra-institutional means” (p. 5). Two chief elements of social
movements, as articulated by Jasper, may be helpful to consider—first, a change
in consciousness, and second, a change in behavior (Jasper dalam Progressive
Community Organizing, Loretta Pyles, 2009)
Basis
massa akar rumput, yang relatif berjarak dengan konsensus politik reformasi
itu, justru mengembangkan praktik-praktik disposisinya sendiri sesuai tuntutan
sehari-hari yang nyata dialaminya. Terjadi kesenjangan informasi, cara
berpikir, mempersepsi, dan bertindak, yang dilakukan orang-orang kampung dengan
apa yang dilakukan aktor-aktor prodemokrasi. Kesenjangan ini menciptakan konflik,
dimana mayoritas orang-orang di tingkat akar rumput itu terlepas dari gerak
politik reformasi. Tidak terbentuk kesadaran kritis (ideololgis-politis) yang
menggerakkan rakyat secara kolektif mengubah struktur dominan lama di tingkat
institusi lokal atau pun kampung. Sebaliknya, massa rakyat mempersepsi
reformasi sebagai ancaman terhadap keberlangsungan pekerjaan, relasi
patron-klien, dan stabilitas keamanan kampung.
Organisasi
rakyat berbasis kampung dan kaum marjinal (miskin), justru bergerak lebih efektif
menggugat mandat negara di dalam konstitusi. Jika para agen reformis
mengadvokasi tata kelembagaan politik, birokrasi dan penegakan hukum (law
enforcement), maka organisasi rakyat menggalang dukungan, menuntut
kesejahteraan ekonomi, sosial dan budaya. Mereka membuat arena sendiri sambil
menguatkan identitas, kapasitas dan solidaritas perjuangan.
Organisasi
Rakyat dibedakan secara tegas dengan organisasi masyarakat sipil lainnya (civil
society organization) seperti LSM maupun Orsospol:
Organisasi
rakyat dapat didefinisikan sebagai organisasi yang demokratis, yang mewakili
kepentingan dan bertanggung jawab kepada anggotanya. Dibentuk oleh orang-orang
yang mengenal satu sama lain, atau yang berbagi pengalaman bersama, dan mereka
melanjutkan keberadaannya tanpa tergantung pada insiatif atau pun pendanaan
dari luar. Di negara-negara berkembang, rakyat terorganisasi dalam
kelompok-kelompok kecil, berbasis lokal dan longgar. Representasi mereka tidak
terbatas di tingkatan akar rumput; mereka juga menyebar ke atas dan ke luar
dari basis lokal ke tingkat regional dan nasional, dan mewakili jaringan
masyarakat, kelompok profesional atau pun serikat pekerja (dikutip dari People
in the CO dalam Human Development Index, 1993).
Ciri
utama Organisasi Rakyat (OR) yang pernah
dirumuskan aktivis gerakan rakyat adalah (1) didirikan oleh warga setempat,
bukan oleh orang luar; (2) adalah organisasi berbasis keanggotaan perseorangan
(membership based), bukan keanggotaan organisasi; (3) tidak terikat oleh aturan
formal yang dikenakan pada LSM maupun Ormas pada umumnya; (4) struktur
tertinggi dan mekanisme pertanggung-gugatan dalam OR ditentukan oleh anggota;
(5) sumber pokok pembiayaan OR adalah sumbangan atau iuran anggota; (6) program
utama OR bertolak dari kebutuhan nyata, praktis, dan karena itu berorientasi
pada pelayanan.
Secara
ideal, jarang sekali OR yang memenuhi semua ciri-ciri di atas dan bertahan
dalam waktu lama. Di Makassar, KPRM maupun organisasi kampung dan sektor
informal bisa bertahan karena beberapa prasyarat dasar:
Pertama, adanya masalah aktual yang terus-menerus direspon di tingkat kelompok sampai di tingkat kota. Kedua, adanya kader-kader penggerak atau organizer kampung, dan aktifis pendamping yang berintegrasi ke dalam OR. Kader dan organizer ini yang bekerja efektif memediasi kepentingan anggota yang berbeda-beda. Ketiga, adanya kasus yang sama dialami oleh orang-orang kampung, misalnya sengketa tanah dan ruang ekonomi. Beberapa forum warga di Makassar tetap eksis sebagai OR di tingkat kampung karena warga yang tergabung dalam posisi tergugat oleh musuh bersama. Tingkat swadaya relatif tinggi, mampu membiayai pengacara dan aksi-aksi massa; Keempat, adanya kegiatan ekonomi bersama di suatu locus. Beberapa asosiasi-asosiasi PKL masih eksis karena anggotanya relatif tidak bermasalah dari sisi pendapatan. Hal yang berbeda dialami pedagang yang berjualan di trotoar dan pinggiran jalan, yang bubar ketika organisasi tidak sanggup mengadvokasi sampai ke tingkat kebijakan politik. Kelima, jaringan organisasi pendukung yang meluas dan bertingkat-tingkat terbukti efektif bagi OR dalam memperkuat pengaruh ke struktur kekuatan politik.
Potensi
Hegemoni Gerakan
What
this definition misses is the fact that Gramsci not only used the
term``hegemony’’ to describe the activities of the ruling class, he also used
it to describe the influence exerted by progressive forces.... it is in fact
the process by which social groups – be they progressive, regressive,
reformist, etc. – come to gain the power to lead, how they expand their power
and maintain it (International Journal of Socialist Renewal,
http://links.org.au/node/1260).
Konsep
hegemoni merujuk pada proses sosial di mana kelompok-kelompok progresif,
regresif maupun reformis, meraih kekuasaan, memimpin, memperluas kekuasaan dan
mempertahankannya. Dalam hal ini, organisasi gerakan rakyat, kekuatan sosial
pro demokrasi, termasuk LSM berpotensi menjadi aktor hegemoni progresif, yakni
kelompok-kelompok subalternus yang mengandalkan konsensus demokrasi sebagai
arena perjuangan politiknya. Gramsci menekankan arti penting aliansi strategis
organisasi gerakan sosial – buruh, kaum miskin kota, petani, intelektual –
dengan organisasi gerakan politik atau partai politik untuk mencapai tujuan
hegemonik.
Namun,
Gramsci menekankan tiga prasyarat penting dalam membangun gerakan sistimatis
yang hegemonis, yakni: Pertama, pembentukan "korporat-ekonomis"
(economic-corporate), dimana setiap anggota suatu perkumpulan bergerak bersama
(afiliation) atas dasar kesesamaan kepentingan ekonomi praktis saja. Kedua,
pengembangan rasa solidaritas berbasis korporasi-ekonomi ke dalam arena sosial
untuk meningkatkan "posisi bargain"; Ketiga, adanya suatu pandangan
dunia (worldview) yang melampaui kesadaran kelas, dan pada tahapan ini
organisasi rakyat memasuki arena konflik poliitk bahkan ideologis berhadapan
kelas sosial yang lain.
Organisasi
gerakan rakyat, sebagaimana umumnya terjadi di Indonesia, ketika memasuki arena
gerakan politik, mengalami goncangan yang luar biasa. Organisasi gerakan bisa
gagal sebagai sebuah kekuatan hegemonik dan menjadi "kelompok
subordinat" dari kekuatan hegemoni regresif. Banyak contoh dimana
kepentingan aktor-aktor kunci dari organisasi gerakan melepaskan diri dari akar
kelas sosialnya, memaksakan kehendak (coersive) dan manipulatif, kemudian
menjadi bagian dari kelompok hegemoni regresif. Itulah sebabnya, Gramsci
menegaskan pentingnya menjaga tiga prinsip membangun gerakan progresif, yakni
keterbukaan (openess), demokrasi (democracy), dan konsensus (consencuss).
Ketiga hal ini adalah pondasi bagi perjuangan membentuk sistim politik yang
sosialistik-demokratis.
Penutup
Reformasi
telah memulihkan kebebasan berserikat dan mengartikulasikan kepentingan
orang-orang miskin dalam batas-batas arena yang diperjuangkan organisasi
rakyat. Terasa ironis, ketika disadari bahwa arena politik dewasa ini melampaui
apa yang diapresiasi orang-orang miskin dan organisasi rakyat itu sendiri.
Kekuatan simbolik yang bekerja di balik kebijakan negara adalah arena yang tidak
tersentuh.
Motif
gerakan dan cara-cara orang miskin merespon persoalan nyata sekaligus
substansial dalam transisi reformasi politik, membuktikan bahwa organisasi
rakyat berpotensi melahirkan perubahan radikal. Persoalan dasar yang hampir
tidak ada habisnya itu menjadi faktor pendorong (permanen?) pertumbuhan
organisasi gerakan rakyat. Sebaliknya, rakyat yang teroganisasi akan
mengartikulasikan kepentingan dan cita-cita perubahan yang diyakininya. (@wi,
05/05/2011)