(Materi Diskusi
“Link Rage” LSIC Makassar 19 Agustus 2008)
Kondisi Sampah di
Kota Makassar
1. Pertambahan
Penduduk + Sampah
Pada tahun 1980
persentase jumlah penduduk kota di Indonesia adalah 27,29% dari
jumlah penduduk seluruh Indonesia. Pada tahun 1990 persentase
tersebut bertambah menjadi 30,93%. Diperkirakan pada tahun 2020
persentase jurnlah penduduk kota di Indonesia mencapai 50% dari
jumlah penduduk seluruh Indonesia. Khusus untuk sampah atau limbah
padat rumah tangga, peningkatan jumlah sampah yang dihasilkan di
Indonesia diperkirakan akan bertambah 5 kali lipat pada tahun 2020.
Rata-rata produksi sampah tersebut diperkirakan meningkat dari 800
gram per hari per kapita pada tahun 1995 menjadi 910 gram per hari
per kapita pada tahun 2000 (Sumber: Draft Naskah Akademik RUU
Pengelolaan Sampah, JICA 2005).
Pada abad 19
diperkirakan jumlah penduduk di kota Makassar 15.000 jiwa. Pada 1930,
mencapai 84.000 jiwa, di antaranya ada sekitar 3.500 orang Eropa,
15.000 orang China, dan 65.000 pribumi. Akibat migrasi gelombang
kedua, pada tahun 1961 penduduk kota Makassar sebanyak 384.000 jiwa.
Lonjakan penduduk terjadi pada tahun 1980, yakni 708.465 jiwa (Dias
Pradadimara, 2005). Sepuluh tahun kemudian, 1990, penduduk kota
Makassar 944.465 jiwa. Dan, pada tahun 2000, penduduk kota ini sudah
mencapai 1.112.688 jiwa. Lima tahun kemudian (BPS 2005) penduduknya
1.173.107 jiwa. Rata-rata pertambahan penduduk persepuluh tahun di
atas seratus ribu penduduk. Jika rata-rata setiap warga menghasilkan
sampah sehari 3 liter, kira-kira tumpukan sampah di Makassar hari ini
melebih tinggi gunung Bawakaraeng, yakni 3.519 meter kubik. Bila
ditambah dengan buangan sampah dari pusat-pusat perbelanjaan,
perkantoran, hotel, tempat hiburan dan rekreasi, serta industri,
angka 3,5 ton sehari itu kecil sekali.
Urbanisasi telah
membentuk sekian banyak pemukiman informal dengan kepadatannya yang
tinggi di atas 20.000 – 30.000 penduduk perkm², contohnya di
kecamatan Makassar, Mariso, Bontoala, Mamajang, dan Tallo. Persoalan
pengelolaan sampah menjadi rumit, serumit dinamika sosial
penduduknya. Akar persoalannya menjadi sistemik, di antara perilku
warga, aparat birokrasi, manajemen dan kebijakan pengelolaan sampah.
Penumpukan sampah mulai dari selokan, kanal, di TPS sampai ke TPA.
Diperlukan cara pandang baru tentang warga sebagai potensi dan
sumberdaya pengelolaan sampah yang terintegrasi dengan manajemen
pemerintah. Bukan sebaliknya, dimana pemerintah memandang warga
sebagai objek dari kebijakan pemerintah kota.
2. Pertumbuhan Kota
+ Sampah
Kota Makassar
sedang merangkak menjadi kota modern-metropolis di antara
jargon-jargon “Water front City”, “Great Expectation”, “Save
Our City”, “Makassar untuk Semua”, “Kota Dunia 2025”, dan
semacamnya. Jargon-jargon itu sesungguhnya mempertegas bahwa kota
Makassar adalah wilayah yang menarik siapa saja untuk datang mengadu
keberuntungan. Investor dan kaum urban bertarung di dalam ruang kota
yang luasnya hanya 175,77 km. Mereka yang sukses menjadi kaya dan
berkuasa, sedangkan yang tidak beruntung hidup dalam kemiskinan dan
kekumuhan.
Kenyataan kota yang
semakin modern membawa implikasi langsung pada produksi sampah
(limbah), Kota yang dibangun dibawah kendali filsafat perdagangan
bebas menuntut adanya keterbukaan investasi dan persaingan ekonomi.
Tolak ukur pertumbuhan kota adalah volume infrastruktur, sarana
transportasi, pusat-pusat jasa dan perkantoran, hotel, pusat-pusat
perniagaan, termpat hiburan dan pelesir. Semua ini menuntut
pembebasan lahan, perebutan ruang ekonomi, dan akhirnya persoalan
produksi sampah an-organik.
Pada dekade tahun
2000-an, ada 7 pasar modern dan 20 pasar tradisional di kota
Makassar; ada 1.795 unit usaha logam, mesin, kimia skala besar dan
kecil; 508 unit industri aneka besar dan kecil (Poylema, 2005). Belum
ditahu persis volume produksi sampah unit-unit usaha tersebut.
Menurut pengamatan aktifis lingkungan hidup, rata-rata sampah sayuran
dan buah-buahan yang dibuang sebuah mall sedikitnya 7 ton seminggu.
Pengamatan ini memang perlu penelitian lanjutan, termasuk mengukur
volume buangan limbah an-organik (B-3) dari industri dan rumah sakit
di kota Makassar. Hal ini penting sekali untuk memproyeksi dampak
serius terhadap lingkungan hidup kota. Termasuk, kewajiban unit-unit
industri itu terhadap perbaikan mutu lingkungan hidup dalam jangka
panjang. Selama ini, unit-unit industri itu lebih beorientasi pada
keuntungan sebesar-sebesarnya. Begitu pun pemerintah, mendahulukan
pendapatan daerah dari para pelaku usaha, ketimbang penyelamatan
lingkungan hidup kota.
3. Perubahan Gaya
Hidup + Sampah
Globalisasi dan
kapitalisasi kota adalah idiologi besar yang dipraktekkan umumnya
kelompok menengah dan elit sosial-ekonomi kota. Hedonisme,
konsumtifisme, pragmatisme adalah turunan dan pandangan hidup elit
kota yang justru berpengaruh kuat sekali membentuk ikon kota saat
ini. Pasar-pasar modern, produk makanan kemasan dan siap saji, hotel,
tempat hiburan, dan kebebasan beriklan di mana saja yang dikuasai
elit pemodal besar, telah membentuk gaya hidup orang kota. Orientasi
nilai yang membentuk gaya hidup orang kota adalah “cepat jadi,
cepat saji, cepat habis”. Muncul persoalan baru ketika produk
kemasan plastik, kaleng, botol mendominasi jenis sampah perkotaan.
Bahan kandungan
plastik dipakai pada hampir semua produk konsumtif orang kota, dari
produk elektronik, kendaraan bermotor, peralatan rumah tangga, mainan
anak-anak, peralatan belajar, hingga kemasan makanan dan minuman.
Produk makanan berkemasan plastik itu telah memarjinalkan entitas
produsen dan konsumen makanan berbahan alami seperti kue apam,
”roko-roko unti”, ”putucangkiri”, ”baroncong”,
”songkolo”, ”pisang goreng”, dan semacamnya. Padahal, produk
penganan tersebut sangat akrab lingkungan, baik bahan dasarnya, cara
produksi maupun kemasannya. Para pengguna produk makanan tersebut
meyakini adanya relasi kultural desa-kota, dan relasi ekonomis
suply-demand tanpa perantara pabrik. Dengan mengkonsumsi penganan
kampung setiap hari, selain harganya terjangkau oleh warga pinggiran
kota, juga membantu petani. Bisa dibayangkan jika dalam sehari 100
orang di Makassar berhenti mengkonsumsi penganan kampung itu, dalam
jangka panjang akan terjadi goncangan ekonomi petani karena beras,
ketan, kelapa, pisang, gula merah tidak terserap. Budaya konsumsi
yang serba instan dan boros energi saat ini adalah ciri utama
kemajuan ”orang kota”. Siklus hidup konsumtifisme itu berujung
pada buangan sampah. Celakanya, jenis sampah yang dibuang konsumen
kota itu umumnya adalah sampah an-organik, contohnya plastik. Di
Indonesia, khususnya di Makassar sampah paling bermasalah adalah
plastik. Kebanyakan sampah berbahan plastik menumpuk, menyebar,
memampetkan selokan, bahkan mengotori sungai dan pesisir kota. Selain
ketidaktersediaan teknologi pengolahan sampah an-organik, belum ada
kesungguhan politik dari pemerintah dan pelaku usaha untuk
mengembangkan industri pengolahan sampah an-organik menjadi produk
baru.
Sesungghnya
produsen sekaligus konsumen”kampungan” itu jauh lebih besar
kontribusinya pada keseimbangan lingkungan hidup kota karena
membatasi jumlah sampah an-organik. Seharusnya, pemerintah
mempromosikan pola produksi dan konsumsi ”kampungan” itu dengan
kebijakan pangan dan ekonomi kerakyatan yang tepat.
Kebijakan
Pengelolaan Sampah
1. Retribusi
Pelayanan Persampahan/Kebersihan
Prinsip retribusi
adalah kesetaraan antara hak dan kewajiban. Pemerintah menyediakan
pelayanan dan karena itu, penerima layanan berkewajiban membayar jasa
pemerintah. Hanya saja, retribusi bersifat “take and give”
(imbal-jasa). Besar-kecilnya imbal jasa yang diterima pemerintah
sangat ditentukan oleh tingkat kepuasan pengguna jasa. Sejauh ini
pemerintah kota Makassar mengumpulkan retribusi dari pelayanan
pengangkutan sampah, pelayanan rumah tangga, tempat hiburan, rumah
praktek dokter, apotek, ruko, salon kecantikan, tukang cukur,
penjahit, dan bengkel, warung/kedai. Pemasukan Pemkot dari retribusi
tersebut tahun 2008 sebesar Rp 1.859.526.000 dari total PAD Rp
2.502.039.000. Sementara total anggaran belanja untuk dinas
pengelolaan lingkungan hidup dan keindahan tahun ini sebesar Rp
32.211.681.000. Defisit anggaran Rp 29.709.642.000 ditutupi oleh DAU
pemerintah pusat.
Anggaran program
pengembangan kinerja pengelolaan persampahan sebesar Rp
15.135.817.000 dianggarkan dari DAU. Pos anggaran ini bisa dipakai
untuk mengukur kinerja pelayanan dinas dalam urusan pengelolaan
sampah dalam arti luas, misalnya keseimbangan antara belanja aparat,
peralatan dan pemeliharaan dibandingkan dengan belanja
program/pelayanan yang langsung dirasakan maupun dimanfaatkan
(dikelola) warga kota.
Total anggaran
program sebesar Rp 15,1 milyar itu dibelanjakan untuk 4 kegiatan: (1)
penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan persampahan sebesar Rp
4.3 milyar; (2) peningkatan operasi dan pemeliharaan Rp 10,3 milyar;
(3) pengembangan teknologi pengolahan sampah Rp 0,0; (4) belanja
modal pengadaan konstruksi gedung TPA Rp 460 juta. Jika ditelusuri
lebih jauh, hanya 3 sub kegiatan yang langsung berdampak pada
pelayanan kepada warga kota, yakni pembersihan saluran/parit;
penyapuan dan pengumpulan sampah; pengangkutan sampah dengan total
anggaran Rp 7,1 milyar. Di dalam anggaran ini sebenarnya ada komponen
pembiayaan (upah/gaji) petugas pembersihan, penyapuan dan
pengangkutan sampah. Sementara sub kegiatan pengelolaan sampah yang
berbasis warga tidak/belum dianggarkan. Artinya, dari sisi
pembelanjaannya, anggaran program Rp 15,1 milyar itu belum memenuhi
tingkat kepuasan warga kota. Apalagi jika diuji di tingkat lapangan,
dimana banyak sampah yang menumpuk di pemukiman, di pasar, terminal
dan di jalanan karena lambannya petugas serta minimnya sarana. Dengan
begitu, kinerja pelayanan dinas termasuk rendah atau aparaturnya
boros anggaran.
2. Orientasi
Adipura
Kinerja pelayanan
dinas kebersihan dan keindahan kota adalah satu faktor penentu sukses
tidaknya kota Makassar memperoleh piala Adipura. Setidaknya, kritik
ini mengemuka beberapa bulan lalu.
Masyarakat lepas
tangan dari persoalan ini karena usaha meraih adipura lebih kuat
keinginan dinas/pemkot daripada warga kota. Di kampung dan perumahan
penduduk, orientasi adipura ini tidak bergema. Warga kota asyik
dengan persoalan sampahnya sendiri. Drainase mampat, kanal semakin
dangkal dan airnya kotor, tanah kosong jadi tempat sampah, bak
penampungan sampah luber dan busuk. Tahun ini pemerintah kota
menganggarkan sedikitnya Rp 327 juta untuk membiayai kegiatan
berorientasi adipura. Sekitar Rp 287 juta dihabiskan untuk
koordinasi, pemantauan, pengendalian, sosialisasi, dan monitoring
penilaian adipura/kota sehat. Sebesar Rp 39.325.000 digunakan untuk
lomba-lomba kebersihan. Alokasi anggaran seperti ini menunjukkan
bahwa program adipura adalah urusan dinas/pemkot kepada pemerintah
pusat, yang terpisah dari warganya.
Sudah saatnya
orientasi Adipura itu digeser menjadi strategi pemecahan masalah
sampah dan pencemaran lingkungan hidup. Prioritas pencapaiannya bukan
pada penghargaan adipura, tetapi tingkat partisipasi dan kesadaran
warga (komunitas) dalam mengatasi dan mengelola sampah di wilayah
masing-masing. Termasuk, bagaimana mendorong aparatur pemerintah kota
sungguh-sungguh menata lingkungan dan mengelola sampah di
kantor-kantornya.
Jaminan Peran-serta
Warga
1. Kebijakan yang
Menjamin Partisipasi Warga
Program pengelolaan
sampah dan lingkungan hidup di kota Makassar masih top-down. Hal ini
menunjukkan orientasi pemerintah kota, dalam hal kepentingan aparatur
dinas kebersihan dan lingkungan hidup lebih pada proyeknya (=
anggarannya). Misalnya, pada kegiatan peningkatan peran serta
masyarakat dalam pengendalian lingkungan hidup dianggarkan sebesar Rp
190 juta. Sumbernya dari DAK dan DAU. Sub kegiatannya meliputi
pencegahan pencemaran lingkungan. Kesannya adalah nilai partisipasi
warga kota sebesar Rp 190 juta. Padahal total anggaran programnya
sebesar Rp 709.470.000.
2. Peran-serta ala
Pemulung Warga kota yang paling tinggi partisipasinya dalam mengatasi
persoalan pengelolaan sampah di Makassar adalah para pemulung.
Poylema (2005) membagi 4 kategori pemulung, yakni:
(a) pemulung
jalanan yang sanggup mengumpulkan barang bekas rata 13,6 ton sebulan;
(b) pemulung tetap
di TPA mengumpulkan barang bekas rata-rata 14,8 ton sebulan; (c)
pemulung musiman mengumpulkan barang bekas rata-rata 8 ton sebulan;
(d) pemulung tidak
kentara 1,7 ton sebulan.
Saat ini
diperkirakan lebih dari 1.000 pemulung di kota Makassar. Mereka ini
sejak pagi hingga malam hari memungut, mengumpul, menyortir, dan
menjadikan sampah sebagai sumber penghasilan (pokok). Sepantasnya
jika strategi pelibatan warga dalam pengelolaan sampah belajar dari
pengalaman para pemulung.
Kendala Pengelolaan
Sampah
1. Partisipasi
Warga
a) Adanya
persepsi/anggapan bahwa pengelolaan sampah merupakan tanggungjawab
pemerintah kota, sehingga mengurangi tanggungjawab diri untuk
memelihara kebersihan.
b) Peranserta
masyarakat kurang terarah dan hanya bersifat insidentil, misalnya
dalam rangka peringatan atau perayaan tertentu, kedatangan tamu
agung, atau instruksi atasan.
c) Partisipasi
warga dalam pengelolaan sampah tidak ditunjang oleh program dan
anggaran yang memadai dari dinas kebersihan dan lingkungan hidup.
Alokasi anggaran yang ada menceminkan rendahnya komitmen pemkot dalam
mendorong keterlibatan warga dalam pemecahan masalah sampah.
d) Belum ada unit
khusus dari pengelola kebersihan kota yang bertanggung-jawab dalam
penyusunan dan pelaksanaan program penyuluhan, motivasi peranserta
warga, dan mengembangkan model alternatif pengolahan sampah yang
bermanfaat secara sosial, ekonomis dan ramah lingkungan.
2. Kinerja
Pelayanan Pemerintah
a) Manajemen
Pengangkutan
• Keterbatasan
sarana penampungan sampah dalam pemukiman membuat warga terbiasa
membuang sampahnya di sembarang tempat atau di tanah kosong milik
perorangan. Ironisnya lagi, tidak banyak warga yang menyediakan
tanahnya untuk TPS.
• Petugas armada
pengangkut sampah lambat mengangkat sampah yang menumpuk di tempat
pembuangan sampah sementara (bak, kontainer maupun tanah kosong).
Akibatnya sampah meluber ke jalan dan menyumbat selokan.
b) Teknologi
Pengolah Sampah Sangat terbatas penggunaan teknologi pengolah sampah
untuk tujuan sosial maupun komersial. Padahal sekitar 70% sampah di
Makassar adalah sampah organik, yang potensial diolah menjadi pupuk
kompos. Sedangkan sampah an-organik membutuhkan teknologi
pendaur-ulang untuk mengurangi volumenya. Para pemulung sebenarnya
memerlukan mesin pencacah plastik untuk meningkatkan harga jualnya.
c) Kinerja
Pelayanan
• Masih rendahnya
tingkat pelayanan terhadap masyarakat, baik luas wilayah pelayanan,
jumlah pelanggan, maupun jumlah sampah yang dapat ditangani.
• Anggaran
pengelolaan sampah yang rendah serta tidak transparannya konsep dan
peruntukan retribusi sampah
• Masih rendahnya
upaya pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah, baik itu dalam
bentuk kontrak kerja sama, dukungan pembiayaan, teknis dan manajemen,
maupun bentuk kerja sama lainnya.
3. Investasi dan
Teknologi
a) Langkanya jumlah
industri yang menerapkan konsep teknologi bersih dan konsep nirlimbah
b) Terbatasnya jumlah industri yang memanfaatkan sistem dan teknologi
daur ulang c) Rendahnya kepedulian Pelaku Usaha dalam memproduksi
produk dan kemasan ramah lingkungan
Perspektif Berbasis
Komunitas
- Kembali ke pola konsumsi yang akrab lingkungan (organis) dengan mengurangi penggunaan produk maupun makanan/minuman kemasan.
- Melakukan pemilahan sampah di tingkat rumah tangga sampai di tingkat komunal sambil membuat percontohan sistim pengolahan sampah alternatif seperti kompos takakura dan rumah kompos di suatu kawasan pemukiman
- Mendorong tumbuhnya keswakelolaan warga kota dalam mengembangkan sistim pengangkutan sampah dari rumah tangga ke TPS hingga ke TPA dengan tunjangan program pemerintah dan pelaku usaha.
- Menumbuhkan sikap penghargaan kepada para pemulung dan pedagang barang bekas atas peran-sertanya dalam mengurangi volume sampah dan membuka lapangan kerja.
- Menggalakkan promosi penggunaan produk-produk yang ramah lingkungan kerjasama organisasi sosial, pelaku usaha dan pemerintah.
- Mendesak pemerintah kota untuk memprioritaskan program kebersihan dan lingkungan hidup kota sambil melakukan efisiensi belanja aparatur dan belanja barang.
- Mendesak pemerintah memberlakukan pajak lingkungan dan pajak barang mewah sebagai salah satu sumber pembiayaan program kebersihan dan lingkungan hidup berbasis komunitas.
4 komentar:
menarik
Kami RAJA PLASTIK INDONESIA menjual berbagai produk plastik termasuk tempat sampah plastik yang dijual ke seluruh kota di Indonesia. Kantor kami berada di Jakarta, Telp : 021-87787043 / 081953841039, atau klik website kami di : www.rajaplastikindonesia.com atau www.tempatsampahplastik.net
Good
informasi anda sangat berharga bagi kami dan tentunya pegiat recycle di indonesia..trims sdg baca blog sy
Posting Komentar