Perkumpulan sosial-urbanis, bekerja untuk mewujudkan tata kota berkeadilan sosial, ekonomi, dan politik.
30 Des 2011
Catatan Akhir Tahun 2011
26 Des 2011
Gampong Loen Sayang
Menyebut "gampong loen sayang". mengingat Aceh pasca gempa dan tsunami tujuh tahun lalu - mengenang spirit kebangkitan para survivor dari penderitaan dan kehampaan, menghormati arwah mereka yang hilang, tewas, syahid.
23 Des 2011
Reportase Forum GFDRR - Jakarta 14-15 Nop 2011
16 Des 2011
Catatan dari Pertemuan Akhir Tahun ACHR
13-16 Desember 2011, Hotel Ibis – Bangkok
Pertemuan akhir tahun ACHR sekaligus evaluasi tiga tahun
program ACCA. Pertemuan ini dimulai tanggal 13 Desember jam 1 siang sampai 16
Desember jam 1 siang. Agendanya terbagi tiga: (1) Sub-regional meeting tgl 13
siang sampai sore; (2) Documentation meeting tgl 14-15; (3) ACCA Committee meeting
tgl 16 pagi sampai siang. Saya tidak ikut agenda (1) dan (3). Saya telat tiba
di hotel sekitar jam 6 sore tgl 13 desember, dan cepat pulang sekitar jam 10
tinggalkan hotel.
(catatan pinggir:
malam pertama, peserta cari makan malam sendiri. Saya makan nasi goreng di
trotoar jalan raya nakhon charoen, dekat dari hotel. Usai makan malam jumpa George
ansorena di lobby hotel. Saya mempekenalkan diri. Kebetulan Ake titip film
dokumenternya buat dia. Sempat ngobrol, dia tanya-tanya soal kegiatan Ake di
Indonesia, dan kegiatan akhir tahun upc).
Pertemuan ini diikuti mitra-mitra ACHR-ACCA dari sepuluh
negara;Thailand, Pilipina, Kamboja, Laos, Vietnam, Korea`Selatan, Mongolia,
Myanmar, Sri Lanka, Nepal dan Indonesia. Perwakilan yang hadir adalah
pelaksana/penanggungjawab program ACCA dan CL. Dari Indonesia, selain saya, ada
Marco. Hadir juga Cak-cak sebagai tim arsitek program ACCA di Pilipina. Selain
mitra/perwakilan LSM/OR, hadir juga George Ansorena (Jepang), Norberto
(Pilipina). Keduanya biasa dipanggil “father george” dan “father bob”.
Saya hanya aktif mengikuti agenda (2) documentation
meeting tgl 14-15, dimana setiap mitra pelaksana program ACCA diberi kesempatan
presentasi selama 10-15 menit. Sesi pagi sebelum presentasi, ada prosesi
pengembalian dana angsuran program ACCA dari Vietnam dan penyerahan sumbangan
bagi komunitas korban banjir dari perwakilan Mongolia. Salah seorang penerima
sumbangan adalah ibu rumah tangga yang kehilangan anaknya akibat banjir.
Hari Kedua tanggal
14: Presentasi dokumentasi ACCA difasilitasi oleh Somsuuk dan Tom. Sebagai
pembahas/penanggapnya adalah Diana dari IED (International Economic
Development?) Inggris. Menurut Marco, IED ini semacam lembaga riset/donor yang
didirikan oleh Bill Gates (penguasa Microsoft). Lembaga ini tertarik pada studi
mengenai dampak pembangunan terhadap lingkungan hidup di perkotaan.
Somsuuk dalam pengantarnya, memandu presenter untuk
menjawab tiga pertanyaan kunci; (1) hasil dan dampak perubahan dari program
ACCA terhadap masyarakat luas, serta kebijakan dan kontribusi pemerintah dalam
proyek tersebut; (2) kisah menarik dari proses transformasi proyek pada
penguatan komunitas dan kemitraannya; (3) Pembelajaran penting dari proses
pelaksanaan proyek ACCA.
Prsentasi dibagi tiga region berlangsung sehari penuh. Dimulai
region Asia Selatan, Nepal, Srilanka sampai makan siang. Kemudian region Asia
Timur, Mongolia, Korea Selatan. Asia Tenggara, Vietnam, Laos, Kamboja,
Pilipina, dan terakhir Indonesia. Saya tertarik pada presentasi dari Korea yang
dibawakan Boram Kim, arsitek yang mendampingi RMK di pemukiman illegal/vinyl
house tiga lokasi di Korea. Dia dari Asian Bridge, LSM yang dibentuk Na. Beberapa
pembelajaran menarik dari Korea adalah:
Dibanding presenter lain yang umumnya menyebut ada
kemitraan/kontribusi pemerintah dalam proyek ACCA, presentasi Korea ini terkesan
menghindari kerjasama dengan pemerintah.
Sebelum program ACCA, pendekatan yang dilakukan RMK Korea
adalah berjuang (fighting) menentang penggusuran, yang kemudian membuat RMK
jadi frustasi dan kelelahan (fatique)
Setelah program ACCA, pendekatannya lebih fleksibel,
kongkrit, RMK percaya diri, dan proyek mencakup wilayah lebih luas, tanpa
bergantung pada dana pemerintah. RMK juga mampu membel tanah sendiri untuk
bangun rumah.
Saya menanyakan “seperti apa proyek perumahan pemerintah
Korea, mengapa LSM tidak menggunakannya?” Menurutnya, dana pemerintah cukup
besar, tapi digunakan untuk membangun rumah sewa, dan pengerjaanya dikerjakan
oleh pihak lain, bukan rakyat.
Hal ini berbeda dengan terobosan UPC saat ini. Setelah
program ACCA, selain bermitra dengan pemerintah kota dan pusat (kemensos), UPC
juga mulai memanfaatkan dana pemerintah untuk mengadvokasi kebijakan penataan
kotanya.
Giliran presentasi Indonesia, saya menekankan tiga hal:
pertama, laporan lengkap tiga tahun program ACCA sementara dirampungkan oleh
Wardah, dan saya mewakili presentasinya. Kedua, saya menekankan arti program
ACCA dengan komunitas 5 gunung di magelang pasca letusan gunung Merapi. Ketiga,
launching city wide upgrading di kendari bekerjasama dengan Kemensos. Pada
bagian penutup saya menekankan tujuan bekerjasama dengan Kemensos yakni
strategi mengarusutamakan (mainstreaming) program city wide upgrading menjadi
kebijakan nasional (policy of national wide upgrading).
Setelah presentasi pesertanya agak kikuk, mungkin karena
saya selalu bilang “silahkan lihat foto dan baca keterangan detail di slide,
cukup jelas”. Ada 3 komentar/pertanyaan peserta.
Dari Pilipina menanyakan perkembangan kasus Kampung
Pisang. Penjelasannya, masih dalam negosiasi pemerintah kota dengan
pengusaha/pemilik tanah.
Dari Korea tanggapi soal peranana pemerintah dalam proyek
ACCA di strenkali. Penjelasannya, sudah ada perda penataan strenkali, dan warga
mulai merenovasi rumahnya.
Satu lagi komentar soal relevansi kerjasama ACCA dengan
seniman (Somsuuk, Diana?). Penjelasannya, proyek ACCA menguatkan kekuatan budaya
simbolik (cultural and symbolic power) masyarakat pasca letusan merapi.
(catatan: sore
setelah break coffee, saya dan marco diajak cak-cak diskusi dengan dua arsitek
muda Thailand. Ini berkaitan dengan rencana mereka bikin worskshop jaringan
arsitek komunitas asia di Jogja akhir Januari 2012. Disepakati waktunya 27-30
Januari. Saya diminta beri masukan tematik. Usul saya, mengadaptasi materi
kampanye UNISDR tentang cities resilient. Mereka mau ajak saya jadi pembicara di workshop nanti. Malamnya, jamuan
makan malam IED di atas kapal pesiar Yok Yor Marina. Sambil petik nyanyi sama
cak-cak dan boram kim, saya sempat ngobrol sama Maurice tentang film
dokumentasinya di Aceh. Di film itu ada lagu Here Come the Sun (The
Beatles). Tapi, dia tidak bisa lupa sama Afrizal Malna dengan video artnya. Maurice sedang memproduksi film dokumentasi ACCA
di Kamboja dan Vietnam).
Hari Ketiga tanggal
15: Pengantar diskusi kelompok oleh Diana. Dia menjelaskan materi sebuah
buku yang berjudul Economic and Development, yang di dalamnya ada bahasan
tentang urbanisasi dan persoalan lingkungan hidup dewasa ini. Dia berharap
dalam diskusi kelompok, persoalan tersebut menjadi salah satu referensi
tematik.
Peserta dibagi tiga grup. Saya segrup dengan peserta dari
Pilipina, Korea, Nepal, dan Mongolia. Grup ini dipandu oleh Diana. Umumnya
pandangan peserta relative sama menabung (savings), mapping, kemitraan dengan
pemerintah local, dan peran arsitek. Saya mengusulkan pembahasn tentang social
vulnerability berkaitan dengan perubahan iklim, dan pentingnya transformasi
pengetahuan arsitek kampung (indigenous). Kebetulan dari lima anggota grup/LSM,
ada tiga peserta (Mongolia, Korea, Nepal) latarbelakangnya arsitek. Hasil disko
yang diresume oleh Diana sebagai berikut:
Menabung sebagai alat (tools) untuk memperkuat komunitas
Berjaringan, komunitas dengan pemerintah dan sector
private/profesional
Fleksibilitas proyek ACCA (pengalaman Korea)
Responsibilitas pelaksnaaan proyek
Sesi terakhir hari ketiga adalah diskusi pleno, semacam
overview terhadap laporan masing-masing Negara. Sesi ini dipandu oleh Somsuuk. Saya
kurang perhatikan seluruh rangkaian diskusi karena terlibat diskusi swasta
dengan Marco tentang program ACCA-UPC ke depan dan peran tim arsitek. Selain
itu, ada urusan administrasi keuangan dengan chai (achr). Selain penggantian
ongkos tiket, peserta juga dapat biaya hidup 2500 baht.
Masing-masing perwakilan Negara diminta menyampaikan
hal-hal penting berkaitan dengan program ACCA ke depan. Saya selalu kena giliran
terakhir ditanya sama Somsuuk, bagaimana Indonesia? Jawabanku asal nyambung
saja. UPC belum punya usulan baru program ACCA tahun depan. Program yang ada
saat ini difokuskan pada pencapaian target advokasi city-wide upgrading dengan
memanfaatkan dana Kemensos. Salah satu tindaklanjutnya adalah UPC akan membawa
tim Kemensos berkunjung ke Bangkok. Tentu saja jawaban ini tidak memuaskan
Somsuuk, tapi dia juga tidak tahu mau tanya lagi. Sebelum sesi berakhir, Tom menambahkan
materi bagaimana mengemas media publikasi. Dia menyarakan peserta untuk mempublikasi laporannya dalam
berbagai kemasan media cetak/penerbitan. Bisa dalam bentuk jurnal, poster,
kalender yang berisi gambar dan narasi kegiatan.
Sore sampai malam, saya dan Marco jalan kaki melintasi
jalan layang menghubungkan sungai Chaopraya. Terus menelusuri kawasan Bang Rak
sampai Silom Road. Lihat-lihat pasar, pedagang kaki lima dan penjual makanan,
buah yang memadati trotoar jalan. Rasanya 90% barang jualan itu ada di
Indonesia, bahkan pisang epe dan pakaian Cakar pun ada.
(catatan: malam
hari saya dikunjungi Jeff Wong. Dia datang ambil titipan Ake, sepasang baju
Toraja buat anaknya. Kami sempat ngobrol sekitar 30 menit mengenai rencana
pertemuan Locoa awal Pebruari 2012 di Bangkok. Dia juga tanya-tanya kegiatan
Ake selama mengikuti PAT UPC di Kendari. Dia sempat bilang, ada peserta dari
Kamboja yang mau berkunjung ke basis FRSN karena ACHR tidak mengagendakan
kunjungan lapang. Sebenarnya, Jef bermaksud undang farher George diskusi dengan
FRSN, tapi pihak ACHR menyatakan father George tidak sempat atau tidak hadir
(?). Dia kaget juga waktu kubilang, ada father George dan Na di pertemuan ini).
Hari Keempat tanggal 16: Saya tidak ikut agenda (3)
committee meeting. Jam 9 saya sudah berkemas. Ruang meeting sudah banyak orang.
Jam 9.30 ketemu Marco. Dia juga tidak bersemangat ikut pertemuan itu karena ikut
UPC. tidak usulan baru untuk tahun depan. Jam 10 tinggalkan hotel, tidak pamit
sama panitia/ACHR. Sempat mampir di kawasan Bang Rak, beli souvenir, oleh-oleh
buat keluarga dan teman-teman KPRM. Jam 11 ke bandara Suvharnabumi.
Makassar, 19 Desember 2012
23 Nov 2011
SEMBADA
28 Okt 2011
Sumpah Pemuda Mahasiswa 2011
17 Okt 2011
"Dunia Sedang Tidak Baik-baik Saja"
Lebih jauh tentang Don K. Marut silahkan klik http://www.trunity.net/infidjakarta/topics/view/55556/ dan http://facebook.com/don.marut.
16 Okt 2011
Hari Habitat 2011: Another Possible World
https://www.un.org/en/observances/habitat-day
Kampanye Hari Habitat Dunia 2011 direspon oleh pemerintah Indonesia dengan menggelar acara Peringatan Hari Habitat Dunia dan Tata Ruang Nasional yang dipusatkan di anjungan Losari Makassar. Menarik untuk mengapresiasi acara ini, andai kita bisa mendiskusikan fokus isunya: tata ruang. Sayang, acara nasional maupun internasional yang difasilitasi pemerintah selalu terbatas pada seremoni. Acara ini menjadi terpisah dari opini publik penghuni ruang, dalam pengertian refleksi atas model pengembangan tata ruang wilayah di Sulsel dan kota Makassar berkaitan dengan dampak perubahan iklim, semisal potensi bencana sosial maupun bencana alam. Jadi sudah betul acara itu milik pemerintah. Akhirnya menjadi ironis, ketika media massa mengungkap heboh perbedaan kepentingan, saling klaim antar-aparat pemerntah terhadap acara tersebut.
Bagi penulis, publik perlu mengapresiasi aspek tematik Hari Habitat
Dunia sebagaimana yang dirilis setiap tahun oleh organ-organ PBB. Dari refleksi
mereka, publik bisa membaca dengan benar situasi kota dunia dewasa ini dan di
masa datang. Referensi aslinya dapat dilacak di website UN-Habitat and UN-ISDR,
serta situs organisasi jaringannya.
Ada dua agenda penting PBB pada setiap bulan oktober: World Habitat Day
(WHD) atau "Hari Habitat", dan World
Disaster Risk Reduction Day (WDRR) atau "Hari Pengurangan Resiko
Bencana". Perayaan WHD dikordinasi oleh UN-Habitat, badan PBB urusan hak
atas pemukiman dan perumahan pada setiap minggu pertama bulan oktober.
Sedangkan WDRR dikordinasi oleh UN-ISDR, badan PBB urusan bencana, yang
menggalang kampanye pengurangan resiko bencana pada setiap minggu kedua
oktober. Kedua agenda PBB ini sesungguhnya merefleksi sekaligus mengevaluasi
dampak pembagunan dunia yang senantiasa dibayang-bayangi kemiskinan, krisis
pangan, dan kerusakan sumberdaya agraria akibat perubahan iklim. Dalam tulisan
ini, kedua agenda tersebut diulas keterkaitan dan kontekstualitasnya
berdasarkan rilis PBB dan organisasi mitranya seperti HIC (Habitat for International Coalition), SELVIP, dan LOCOA, yang
tergabung dalam The Liaison Committee
(semacam komite penghubung).
UN Habitat merilis tema sentral "Resistensi dan Alternatif Hak atas
Habitat" (Resistance and
Alternatives for the Right to Habitat, lihat http://worldhabitatdays.org).
Tahun ini UN Habitat menggalang aksi dan kampanye global dengan dua isu
strategis, yakni: (1) Sebab dan akibat dari penggusuran paksa (forced eviction), perampasan tanah (land grabbing), serta pemiskinan
masyarakat pedesaan dan perkotaan berkaitan dengan konflik habitat, dan; (2)
Solidaritas untuk para aktivis yang memperjuangkan hak atas atas tempat tinggal
(habitat), yang menjadi korban oleh represi dan pelanggaran hak-hak sipil dan
politik. Lebih khusus, kampanye tersebut bertujuan mengidentifikasi dan
mengembangkan kapasitas jaringan dan organisasi yang bekerja pada isu-isu
habitat kota menuju dunia yang lebih baik (another
possible world).
Materi kampanye tahun ini merupakan hasil analisis atas konsekuensi
kebijakan neoliberal dan korupsi sistemik yang memiskinkan kelas masyarakat
yang paling rentan secara ekonomi maupun sosial di pedesaan maupun perkotaan.
Kampanye ini juga menyiratkan perlunya penguatan solidaritas antara gerakan dan
jaringan, serta para aktivis rakyat yang menjadi korban represi aparat ketika
memperjuangkan hak atas perumahan dan tanah tempat tinggal.
Penggusuran pemukiman diidentifikasi sebagai prioritas masalah bersama,
sehingga perlu mengkoordinasikan perlawanan nyata terhadap hal tersebut.
Penggusuran yang paling umum adalah pelanggaran atau perampasan hak atas tanah.
Berbagai kasus menunjukkan bahwa penggusuran merupakan dampak dari kebijakan
yang spekulatif, misalnya pasar (bebas) tanah, dan proyek-proyek mercusuar (mega-project)
yang padat modal, yang bias perkotaan. Model pembangunan yang tidak
mempertimbangkan HAM ini telah mengorbankan penduduk yang paling rentan
(miskin), petani kecil dan masyarakat adat yang menguasai lahan. Laporan lainya
menyoroti konflik sosial yang diciptakan oleh perluasan sistim mono-kulltur dan
privatisasi sumberdaya air, termasuk pengembangan proyek pembangkit listrik
tenaga air di daerah pedesaan dengan mengorbankan budaya pertanian yang sekian
lama menjamin kedaulatan pangan masyarakat agraris.
Diperkirakan 15 juta orang tergusur dari tanah tempat tinggalnya setiap
tahun, yang disebabkan proyek-proyek mercusuar, bencana dan perang (lih.
http://www.witness.org). HIC-HLRN (Housing
and Land Right Network (http://www.hlrn.org/english/home.asp) tahun 2008-2010)
melaporkan empat tipe konflik hak atas habitat, yakni penggusuran (600 kasus),
pengrusakan (demolition, 366 kasus), perampasan hak milik (disposession, 333
kasus), dan deprivasi yang dipicu oleh privatisasi perumahan, tanah dan
pelayanan publik (46 kasus). Di Indonesia, dalam tiga tahun terakhir sedikitnya
1.061.566 orang menjadi korban pembangunan ala neoliberalisme dan rezim
korupsi.
Pada Perayaan Hari Habitat Dunia (World Habitat Day 2011), UN-Habitat
memilih tema “Kota dan Perubahan Iklim” (Cities
and Climate Change). Sedangkan UN-ISDR sampai 2015 mengkampanyekan
ketahanan kota (city resiliency) dan
terus menghimbau pemerintah kota di seluruh dunia untuk mengurangi resiko
bencana akibat perubahan iklim. Dalam siaran persnya, UN Habitat menegaskan
bahwa saat ini tidak ada pihak yang benar-benar bisa meramalkan masa depan
sebuah kota atau negara dalam waktu 10, 20 atau 30 tahun dari dampak perubahan
iklim. Di Era Kota Baru (new urban era),
dimana sebagian besar umat manusia sekarang tinggal di wilayah perkotaan,
dampak terbesar dari bencana akibat perubahan iklim dimulai dan diakhiri di
kota-kota. Pertumbuhan kota sangat berpengaruh besar pada perubahan iklim.
Sementara sifat spekulatif kota dan keterbatasan sumberdaya daerah perkotaan
tiidak cukup untuk mengatasi masalahnya sendiri.
Bias dari kebijakan pembangunan perkotaan berakar pada level
pemerintahan tertinggi dan para petinggi perusahaan (kapitalis). Keduanya terus
mereplikasi kebijakan agraria (pertanahan) yang tidak adil, yang kemudian
mengabadikan pelanggaran hak atas tanah penduduk pedesaan dari masa ke masa.
The Liaison Committee WHD, yakni organisasi masyarakat sipil sebagai Pelapor
Khusus tentang Hak atas Perumahan untuk PBB, juga menegaskan bahwa tidak ada
solusi tunggal yang dinilai berhasil mengatasi pengaruh perubahan iklim dengan
cara memindahkan model pembangunan kota ke desa. Kenyataannya, bias perkotaan
berakibat pada pengrusakan habitat atas nama perubahan iklim, yang mengorbankan
penduduk pedesaan. Dengan krisis keuangan global dewasa ini, semua proses itu
akan mengakselerasi konflik sosial, lapangan kerja dan peperangan. Oleh karena
itu, tuntutan alternatif yang mendesak hari ini dan akan datang adalah dengan
segera mengintegrasikan/mempertimbangkan persoalan tersebut dalam rangka
mencegah pelanggaran hak dasar atas tanah dan tempat tinggal, menjamin keadilan
sosial dan lingkungan hidup untuk berkontribusi bagi pembangunan dunia yang
lebih baik (anoher possible world).
Catatan Hari Habitat 2011
Ada dua agenda penting PBB pada setiap bulan oktober: World Habitat Day (WHD) atau "Hari Habitat", dan World Disaster Risk Reduction Day (WDRR) atau "Hari Pengurangan Resiko Bencana". Perayaan WHD dikordinasi oleh UN-Habitat, badan PBB urusan hak atas pemukiman dan perumahan pada setiap minggu pertama bulan oktober. Sedangkan WDRR dikordinasi oleh UN-ISDR, badan PBB urusan bencana, yang menggalang kampanye pengurangan resiko bencana pada setiap minggu kedua oktober. Kedua agenda PBB ini sesungguhnya merefleksi sekaligus mengevaluasi dampak pembagunan dunia yang senantiasa dibayang-bayangi kemiskinan, krisis pangan, dan kerusakan sumberdaya agraria akibat perubahan iklim. Dalam tulisan ini, kedua agenda tersebut diulas keterkaitan dan kontekstualitasnya berdasarkan rilis PBB dan organisasi mitranya seperti HIC (Habitat for International Coalition), SELVIP, dan LOCOA, yang tergabung dalam The Liaison Committee (semacam komite penghubung).
14 Okt 2011
"Mangkok Nasi Besi"
10 Okt 2011
Kontradiksi dalam Kasus Gizi Buruk
(Bahan Diskusi Publik Tribun Timur, JRMK- KPRM, 10 Oktober 2011)
7 Okt 2011
Piagam Hak atas Kota dalam Forum Sosial Dunia
4 Okt 2011
Refleksi Gerakan Sosial di Indonesia
2 Okt 2011
Sakit yang Ideologis-Politis: "Garring Apa mi Tawwa"
29 Sep 2011
Tukang Becak - Riwayat Petani Urban
arpillerra becak pic (kprm, 2007) |